4. Kesulitan lain adalah keterikatan manusia
dengan kemaslahatan hidup mereka/kepentingan (duniawi)nya. Itu adalah karena
manusia terikat dengan kepentingan pribadinya, pekerjaannya sehari-hari, dan
pada saat yang sama terikat dengan ideologi. Kadang-kadang
kepentingan-kepentingan tersebut bertentangan dengan da'wah Islam. Oleh sebab
itu harus dilakukan kompromi antara keduanya. Untuk mengatasi kesulitan ini
adalah, wajib atas setiap orang yang meyakini ideologi ini (Islam) untuk
menjadikan da'wah dan partai (dakwah Islam ideologis) sebagai titik sentral
bagi setiap kepentingan pribadinya. Ia tidak boleh sibuk dengan
pekerjaan-pekerjaan yang melupakan dan menghalanginya dari da'wah. Dengan cara
ini kepentingan da'wah akan lebih diutamakan dari kepentingan pribadi, di mana
da'wah merupakan sumbu putar tempat kepentingan-kepentingan pribadi berputar.
5. Kesulitan lain adalah sulitnya mengorbankan
kehidupan dunia berupa harta, perdagangan dan sejenisnya di jalan Islam dan
da'wah Islam.
Untuk
mengatasi kesulitan ini adalah dengan mengingatkan orang-orang beriman bahwa
Allah telah membeli jiwa dan harta mereka dengan Sorga, cukup diberi
peringatan, kemudian mereka diberikan pilihan dalam berkorban tanpa memaksanya
untuk berbuat sesuatu.
6. Kesulitan lain adalah perbedaan tempat
tinggal masyarakat. Itu adalah karena ada umat yang tinggal di pusat kota, ada
yang di desa, ada yang hidup mengembara (badui). Alat-alat yang dipakai di
kota berbeda dengan yang dipakai di desa, yang di desa pun berbeda dengan alat
yang dipakai di perkampungan dan kemah-kemah badui. Oleh sebab itu, kadangkala
perbedaan bentuk-bentuk materi ini memunculkan pemikiran untuk membedakan
pembinaan umat dan pengarahan mereka dalam memperjuangkan ideologi. Ini sangat
berbahaya, karena umat sekalipun berbeda bentuk-bentuk materinya, adalah umat
yang satu, perasaan dan pemikirannya satu, ideologinya satu. Oleh karena itu
da'wah terhadap umat harus satu, tak ada perbedaan antara kampung dan kota, dan
kerja-kerja interaksi dengan umat adalah juga satu.
Dalam
marhalah (tahapan) kedua ini partai (dakwah Islam) menghadapi dua bahaya, yaitu
bahaya yang bersifat ideologis dan bahaya Kelas. Adapun bahaya ideologis datang
dari arus jama'ah (masyarakat), dan keinginan untuk memenuhi permintaan umat
yang bersifat temporer (pragmatis) dan nyinyir, dan juga datang dari dominannya
kegagalan yang telah terpatri dalam pendapat jama'ah (masyarakat) atas
pemikiran-pemikiran kepartaian.
Hal
itu disebabkan karena ketika partai (dakwah Islam ideologis) mengarungi
lapangan kehidupan dalam masyarakat, berhubungan dengan massa untuk
berinteraksi dengannya, untuk memimpin mereka, dan pada waktu partai membekali
mereka dengan ideologi partai, pada massa itu telah ada pertentangan
pemikiran-pemikiran kuno, warisan-warisan generasi masa lalu,
pemikiran-pemikiran asing yang berbahaya, dan ketaklidan pada kafir penjajah.
Maka ketika partai (dakwah Islam ideologis) melakukan aktivitas tafa'ul (interaksi)
dengan massa, membekali mereka dengan pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat
partai, dan berusaha memperbaiki pemahaman-pemahaman mereka, membangkitkan
aqidah Islamiyah dalam diri mereka, menciptakan suasana yang benar, kebiasaan
umum yang baik dengan pemahaman-pemahaman partai.
Semuanya
ini membutuhkan dakwah, propaganda, sehingga umat berkumpul di sekitar partai
atas dasar ideologi (Islam), dalam bentuk memperkuat iman kepada ideologi
(Islam: aqidah dan syariah) di tengah-tengah umat, dan menghembuskan di
dalamnya kepercayaan akan mafahim (pemahaman) partai (dakwah Islam ideologis),
sikap memuliakan dan memperhitungkan partai, dan membawa mereka untuk ta'at dan
beraktivitas bersama partai. Pada saat itu, maka kewajiban partai (dakwah Islam
ideologis) adalah memperbanyak syabab (anggota)nya yang beriman yang dipercaya
umat terjun di tengah-tengah umat, mengendalikan para pemimpin mereka, seperti
perwira di kalangan militer. Jika partai (dakwah Islam ideologis) berhasil
dalam marhalah tafa’ul (tahapan berinteraksi) ini, partai akan memimpin umat
kepada tujuan yang diinginkannya, sesuai dengan batas-batas ideologi (Islam),
dan mengamankan kereta agar tidak keluar dari relnya.
Adapun
apabila partai (dakwah Islam ideologis) memimpin masa sebelum sempurna tafa'ul
(berinteraksi dakwah) dengannya, dan sebelum tercipta kesadaran umum pada umat,
maka kepemimpinannya bukan dengan hukum-hukum dan pemikiran-pemikiran dari
ideologi (Islam), tetapi dengan membangkitkan apa yang bergelora di dalam jiwa
umat, dengan membangkitkan perasaannya, dan menggambarkan bahwa tuntutan
mereka akan terpenuhi dalam waktu dekat. Dengan itu partai memuaskan massa
dengan membangkitkan perasaannya, menggambarkan bahwa tuntutan mereka bisa
dipenuhi dalam waktu dekat.
Hal ini dilakukan
partai (dakwah ideologi Islam) dengan berulang-ulang sampai mereka tunduk pada
partai, kemudian partai memimpin mereka secara masal. Maka pada saat itu mereka
berjalan bersama partai (ideologi Islam) dengan perasaannya, bukan dengan akal
dan kesadarannya, dan anggota partai adalah pemimpin kelompok masyarakat ini.
Hanya saja kelompok ini, dalam keadaan ini, tak terlepas dari perasaannya
semula seperti patriotisme, nasionalisme, ruhiyah, kependetaan/ kerahiban, dan
keadaan jamaah (masyarakat) mempengaruhinya. Maka pada saat itu akan muncul 'an'anat (kebanggaan akan asal-usul) rendahan
seperti golongan-golongan dan (fanatisme) madzhab-madzhab dan pemikiran kuno
seperti kemerdekaan dan kebebasan, keangkuhan-keangkuhan yang merusak seperti unshuriyah (keunsuran) dan
kekerabatan/kekeluargaan. Maka muncullah pertentangan antara mereka dan partai
(dakwah ideologi Islam) karena mereka memaksakan kepada partai
tuntutan-tuntutan yang tidak sesuai dengan ideologi (Islam), dan menyerukan
tujuan-tujuan temporer (pragmatis) yang membahayakaan umat. Mereka sangat ingin tuntutan
itu dipenuhi, keinginan mereka untuk terpenuhi bertambah-tambah dan muncul pula
di sini keangkuhan-keangkuhan yang bermacam-macam. Dalam keadaan ini partai
(dakwah ideologi Islam) berada di antara dua api. Pertama berhadapan dengan
kemarahan dan kebencian umat serta kehancuran kekuasaannya atas jamaah. Kedua
adalah berhadapan dengan terlepasnya partai (dakwah ideologi Islam) dari
ideologi (Islam) dan menggampangkan sesuatu yang ada di dalamnya. Kedua hal ini
berbahaya bagi partai. Oleh karena itu jika berhadapan dengan dua hal ini
-'kelompok masyarakat atau ideologi (Islam) - hendaklah partai berpegang teguh
pada ideologi (Islam), sekalipun harus berhadapan dengan kebencian umat, karena
kebencian itu adalah kebencian sementara.
Bacaan: Terjemahan AT TAKATTUL AL HIZBI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar