Naluri beragama muncul karena mendengar ayat-ayat Allah/ melihat tanda kebesaran Allah.
- Bentuknya
berupa membutuhkan kepada Sang pencipta, yang Maha kuasa dan Maha Mengatur.
- Naluri
ini ada pada orang beriman maupun kafir.
- Penampakannya
penyucian (taqdis) kepada Pencipta, Maha kuasa.
- Taqdis
kadang sempurna (ibadah) kadang sederhana (pengagungan biasa).
- Taqdis:
penghormatan setulus hati yang paling tinggi (bukan karena takut/ naluri
mempertahankan diri baqa’).
- Setiap
manusia pasti menyembah sesuatu. Tidak pernah ada suatu masa/umat kapanpun di
manapun tidak menyembah sesuatu. Walau penguasa dikatator melarangnya mereka
rela mati demi hal itu
- maka
tidak ada yg bisa mencabut/menghilangkan naluri ini/ mencegah manusia
beribadah. Hanya bisa meredam sementara. Karena sudah alami/sunnatullah
- Orang
atheis yang mengaku tak beragama dan mengolok-olok ibadah sebenarnya juga beribadah
hanya saja menyembah makhluk (misal: alam, energi, pahlawan, dll. yg
diagungkan). Kekeliruan besar
- Maka
kufur lebih sulit daripada beriman. Kufur harus mengalihkan manusia dari
fitrahnya.
MUNCULNYA TAQDIS
*Taqdis (pensucian) adalah tingkat penghormatan setulus hati yang paling tinggi yang dilakukan oleh manusia terhadap sesuatu yang dianggap agung.
*Dalam tindakan taqdis, dorongan yang muncul karena manusia merasa lemah dan membutuhkan kepada Sang Pencipta, Pengatur alam semesta.
**dengan cara melakukan ibadah, tunduk dan pasrah terhadap hukum-hukum-Nya adalah taqdis yang muncul karena pemikiran (pemahaman akal) bahwasanya Allah adalah satu-satunya Dzat yang patut disembah; atau bahwasanya hukum-hukum tersebut berasal dari Allah, sehingga mewajibkan adanya sikap pasrah dan tunduk padanya.
CARA TAQDIS
* Kadang juga sudah benar yang ditaqdiskan tapi salah tata caranya.
*Taqdis adalah sesuatu yang fithri dalam diri manusia (manifestasi naluri). Bentuk tertinggi berupa ibadah. Bentuk lainnya misalnya ketundukan, kekhusyu'an, tindakan merendahkan diri, ataupun tindakan membesarkan dan mengagungkan sesuatu.
*Kuat lemahnya pentaqdisan tergantung pemahaman seseorang. pemahamanlah yang menentukan tata cara taqdis, dan menentukan kapan suatu taqdis dilakukan atau ditinggalkan. Maka bisa saja manusia salah mentaqdiskan, harusnya mentaqdiskan Al-Khaliq (pencipta) tapi justru mentaqdiskan makhluk.
** pemahaman yang salah berbahaya, misal menyatakan bahwa Al-Qur'an sudah tidak layak lagi di masa kini maka ia pun telah kufur akibat ucapannya. Ini karena kesalahan pemahaman: menganggap bahwa hanya perbuatan yang termasuk tata cara taqdis, namun ucapan tidak. Jadi, pemahaman yang salah berbahaya. Padahal, hal ini sangat mudah terjadi pada kebanyakan manusia, terutama pada orang-orang yang sikap taqdisnya muncul dari dorongan perasaan belaka. Maka taqdis harus muncul dari pemikiran.
TAQDIS
• Taqdisnya
seorang muslim harus dilakukan karena dorongan aqidah aqliyah (keyakinan yang
muncul setelah melalui proses berpikir, bukan kepercayaan tanpa dalil/bukti).
Siapa yang harus melakukan taqdis, dan siapa yang harus disucikan. Maka taqdis
harus dilakukan tanpa harus diperdebatkan lagi.
• Dengan
pemahaman akal, kaum muslimin telah menyadari bahwa melakukan taqdis kepada
Allah adalah suatu tindakan beribadah kepada-Nya yang dilakukan dengan cara
mentaati perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya, serta tunduk dan pasrah
terhadap apapun yang tercantum dalam Kalamullah yaitu Al-Qur'anul Karim.
Mereka pun menyadari (dengan akalnya) bahwa mensucikan Nabi Muhammad Saw.
adalah dengan bersifat ta'dzim dan memuliakan beliau dalam setiap kondisi dan
keadaan. Hal itu dilakukannya dengan menundukkan diri dan pasrah total
terhadap apa yang terbukti kebenarannya dari hadits beliau dengan memahami
bahwa semua itu adalah wahyu dari Allah.
• Oleh karena
itu, taqdis terhadap Al-Qur'an dan Hadits Nabi (dengan pemikiran pula) bahwa
Al-Qur'an dan Hadits memang harus disucikan, kemudian apa yang disucikan
dijadikan suatu hal yang pasti kebenarannya dan tidak lagi menerima perdebatan
atau dijadikan pembahasan di kalangan orang-orang yang sudah sangat memahami
keharusan taqdis terhadapnya.
• Aqidah aqliyah
yang dipeluk oleh kaum muslimin, telah memberikan ketentuan siapa yang harus
melakukan taqdis dan siapa yang harus disucikan. Bagi kaum muslimin, akal telah
menentukan apa yang seharusnya disucikan dan bagaimana cara mensucikannya.
Sama sekali manusia tidak akan mampu mematikan/menghilangkan naluri beragama
taqdis. Sebab hal itu telah menjadi satu kesatuan (bagian yang tak
terpisahkan) dari proses penciptaannya sebagai manusia.
• Kaum
muslimin tidak boleh meninggalkan taqdis terhadap sesuatu yang telah diwajibkan
mensucikannya, akan tetapi musuh-musuh Islam telah menyusupkan berbagai kekeliruan
yang dapat menghilangkan taqdis terhadap sesuatu yang telah diperintahkan oleh
Islam untuk mensucikannya. Mereka pun telah mengubah
arti taqdis terhadap sesuatu, setelah mereka menemui kesulitan untuk
menghilangkan taqdis itu sama sekali (dari benak kaum muslimin). Oleh
karena itu, adalah suatu kewajiban atas orang-orang yang sadar dari kalangan
kaum muslimin untuk menjadikan taqdis bersumber dari aqidah Islam yang disertai
dorongan berpikir, taqdis tersebut menjadi suatu perkara yang telah pasti
kebenarannya. Sehingga setiap muslim memiliki kemampuan menempati satu
posisi dalam suatu celah dari sekian banyak celah perbentengan Islam, agar
musuh-musuh
Islam tidak dapat menerobosnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar