• Ibadah
merupakan hal yang fithri dalam diri manusia (manifestasi naluri
beragama). Dalam ibadah, manusia harus
ditunjuki agar dia beribadah kepada Dzat yang memang patut disembah, yaitu Al Khaliq,
dan supaya perasaannya tidak tersesat dengan menyembah sesuatu yang sebenarnya
tidak patut disembah, atau keliru (caranya) dalam mendekatkan diri kepada Al
Khaliq dengan suatu cara yang justru menjauhkan dari-Nya. Maka peranan aqal dalam ibadah adalah suatu
keharusan, yang berfungsi menentukan siapa yang patut disembah, yaitu Al
Khaliq.
• Adapun
mengenai tata cara bagaimana makhluq beribadah kepada Al Khaliq, maka hal ini
berada di luar jangkauan akal manusia dan akal tak akan pernah mampu
memahaminya, karena tata cara ibadah ini berupa seperangkat hukum-hukum yang
harus dikerjakan manusia ketika beribadah kepada Allah. Aturan ini jelas tidak
mungkin berasal dari makhluq, sebab
makhluq sama sekali tidak mungkin mengetahui hakekat Al Khaliq, sehingga dapat
mengatur hubungan dengan-Nya. Juga karena makhluq tidak mampu memahami
Dzat-Nya, sehingga bisa menentukan tata cara beribadah kepada-Nya.
• Itulah
sebabnya mustahil bagi manusia untuk menetapkan hukum-hukum yang mengatur
ibadah antara dia dengan Khaliqnya berdasarkan aqalnya, begitu pula yang
mengatur hubungannya dengan Khaliq yaitu yang menyangkut bagaimana
mensucikan-Nya. Berdasarkan hal ini maka
aturan-aturan ibadah harus berasal dari Khaliq, bukan dari makhluq. Yaitu berasal dari Dzat yang disembah, bukan
dari hamba. Jadi hukum-hukum tentang
ibadah harus berasal dari Allah SWT semata, bukan dari manusia. Dan manusia tidak memiliki peran apapun dalam
hal ini meskipun sedikit, karena mustahil bagi manusia dapat
menentukannya. Di samping itu
aturan-aturan tersebut harus disampaikan Al-Khaliq kepada seluruh makhluq
(manusia) agar ia dapat beribadah sesuai dengan aturan-aturan yang telah dibuat
oleh-Nya. Dengan demikian kebutuhan
manusia terhadap para Rasul yang menyampaikan hukum-hukum ibadah kepada mereka
adalah suatu hal yang pasti, mengingat manusia mustahil menetapkan
aturan-aturan itu, sedangkan aturan-aturan tersebut hanya boleh berasal dari
Allah SWT semata.
• Tanpa
aturan ibadah dari al-Khaliq, maka manusia akan berusaha melakukan suatu
perbuatan taqdis yang menyebabkan terjadinya penyimpangan. Misalnya dengan menyembah patung berhala yang
dianggapnya sebagai jelmaan Tuhan, atau jika ia mensucikannya dianggapnya telah
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ini
berarti telah terjadi usaha pengalihan hasil pemenuhan taqdis yaitu sampainya
rasa syukur makhluq kepada Dzat Yang layak dipuji dan menerima rasa syukur beralih kepada sesuatu yang tak layak dipuji,
yaitu berhala. Hal ini menunjukkan telah
terjadi pengalihan gharizah dari keberadaan dan tujuan gharizah itu sendiri,
yaitu kecenderungan manusia mensucikan Pencipta Yang Maha Kuasa.
LAA ILAAHA ILLALLAAH: TIDAK ADA YANG BERHAK DISEMBAH,
KECUALI ALLAH
• Mentaqdiskan
(mensucikan/ mengibadahi) sesuatu adalah fitrah manusiaà orang merasa tenang/ tentram
jika beribadah karena telah memenuhi kebutuhan naluri tadayyun-nya.
• Namun
beribadah tidak boleh hanya dituntun/ mengandalkan perasaan untuk menentukan
siapa yang berhak disembah à
jika demikian maka bisa: terjerumus pada kesesatan dan khurafat*à menyembah selain
pencipta à
harusnya disembah tapi diabaikan, harusnya dilenyapkan/direndahkan justru
disembah/ disucikan/ diibadahi à
salah milih Tuhan à
contoh cerita kisah Nabi Ibrahim menemukan sesembahan yang benar: QS.Al-An`am:
74-78!
• Namun
harus dengan proses berfikir seperti Nabi Ibrahim** Nabi Ibrahim tidak
menyembah berhala, bintang, bulan, dan matahari sewaktu belum meyakini siapa
Tuhan yang sebenarnya. Jadi, harus pasti dulu 100% bahwa yang disembah itu
sudah benar pencipta alam semesta, diri manusia, dan kehidupan ini tanpa ada
keraguan sedikitpun: yang azali, wajibul-wujud, satu-satunya Zat yang
menciptakan maka tidak bisa manusia menyembah yang lain
• Ibadah
: tanda syukur kepada Pencipta bahwa kita telah diberi berbagai kenikmatan.
• Syahadat
seorang muslim bemakna : tidak ada sesembahan selain Allah à mewajibkan ibadah
hanya kepada Allah dan membatasi semata hanya kepada Allah saja. Makanya
kalimat didahului dengan kata ‘laa’,
artinya tidak ada.
• QS.
Al-Mu’minun: 84-91, QS. Al-An’am: 46, QS. At-Thur: 43, QS. Al-Baqarah: 163,QS.
Al-Baqarah: 255,QS. Shaad: 65, QS. Al-Maaidah: 73.
• *Khurafat:
bermaksud mendekatkan diri pada Allah dengan jalan sesuatu yang justru semakin
menjauhkan diri dari Allah
•
**Kisah ini Allah ceritakan kepada kita di dalam
Al-Qur`an agar kita mengetahui cara yang benar menemukan Tuhan yang benar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar