PENDAPAT SEORANG MUJTAHID ADALAH HUKUM SYARA`
• Ada
pendapat yang menyatakan bahwa "pendapat imam madzhab" seperti
imam Syafii dan Abu Hanifah bukanlah merupakan hukum syara', melainkan hanya
pendapat mereka. Karenanya, kitapun
tidak perlu terikat pada pendapat mereka.
• Alasan
mereka yaitu hukum syara' itu hanyalah nash-nash Al Qur'an dan Hadits. Konsekuensinya, maka mereka membatasi
hukum-hukum syara' hanya pada apa yang tercantum dalam nash secara jelas, yang
dapat difahami dengan sekedar membacanya.
• Ini
berarti berbagai masalah baru yang tidak tercantum secara tegas dalam nash-nash
syara', dianggap tidak ada ketentuan hukumnya. Dianggap Setiap orang boleh
mengikuti pendapatnya masing-masing maka salah dalam menarik hukum berarti
pelecehan terhadap ijtihad sehingga bisa memalingkan manusia dari syari'at
Allah.
• Padahal,
seseorang hanya boleh menarik hukum dari Al-Qur`an jika ia sudah memenuhi
syarat-syarat tertentu. Di antaranya memahami bahasa Arab, memahami ilmu
hadits, mengetahui sebab nuzul, mengetahui sebab wurud hadis, memiliki ilmu
ushul fiqh, dan berbagai syarat lainnya.
• Al-Qur'an
dan hadits datang dalam bentuk garis-garis besar dan makna-makna umum.
• Ayat-ayat
dalam Al-Qur'an dan teks-teks hadits umumnya berkaitan dengan suatu kejadian
tertentu di masa Rasul.
• Oleh
karena itu, dalam menentukan hukum tidak bisa sembarangan, karena ada beberapa
cara dalam menarik hukum dari nash :
• Ada
hukum yang bisa diambil dengan "manthuq“ : makna yang ditunjukkan
oleh lafadz
• Ada
yang diambil dengan "mafhum“ : makna yang ditunjukkan oleh makna
lafadz
• Atau yang diambil dengan "iqtidlaa"
: makna yang ditunjukkan manthuq dan mafhumnya.
• Lafadz-lafadz
tersebut memiliki makna bahasa dan makna hukum. Selain itu, ada nash-nash lain
dalam Al-Qur'an dan hadits, yang berfungsi untuk mengkhususkan (mentakhshish) lafadz-lafadz
yang berbentuk umum, atau mengikat (mentaqyid) lafadz-lafadz yang "muthlaq".
• Lafadz-lafadz
itupun memiliki "qarinah“ (indikasi)
yang menentukan makna
yang dimaksud; dan menentukan
jenis hukum apakah "perintah“ (wajib, mandub), mubah, atau "larangan“(haram atau
makruh). Demikian juga, qarinah-qarinah
itu menentukan apakah lafadz-lafadz tersebut khusus untuk satu kejadian atau
umum untuk seluruh peristiwa; dan lain sebagainya, dari apa yang tercantum
dalam nash. Oleh karena itu, lafadz-lafadz
tersebut harus difahami secara hukum, bukan semata-mata secara dhahir (harfiah)
atau secara logis.
• Tidaklah
mengherankan, jika kemudian timbul ikhtilaf dalam memahami satu nash.
Sehingga terhadap satu nash terdapat dua pendapat yang berbeda atau bahkan
pendapat yang bertentangan satu sama lain.
Ini baru dilihat dari segi pemahaman atau penunjukkan suatu lafadz.
• Ditambah
lagi dengan adanya perselisihan terhadap keabsahan suatu hadits, apakah bisa
diterima atau tidak. Kemudian muncul
pula ikhtilaf tentang hukum-hukum yang diambil dari hadits tersebut, apakah
bisa diterima atau tidak maka terjadi ikhtilaf dalam nash-nash yang tidak
qath’i (tidak pasti).
• Semuanya dapat dikatakan sebagai hukum syara', walaupun
berbilang jumlahnya, berbeda-beda, atau bahkan bertentangan. Sebab hukum syara' adalah 'Seruan Allah
dan Rasul-Nya yang berkaitan dengan perbuatan hamba.‘ yang perlu difahami
oleh pihak yang diseru -yaitu manusia- agar dapat menjadi suatu hukum syara'
baginya. Sebab suatu nash, supaya dapat diterapkan, perlu dipahami lebih dulu.
• Jadi,
seruan Allah dan Rasul-Nya dianggap sebagai hukum syara' ketika telah difahami
makna apa yang ditunjukkan oleh suatu nash, yang terbukti keabsahannya sebagai
berasal dari Al Qur'an atau hadist.
• Sedangkan
apabila seruan itu belum ditetapkan keabsahannya dan belum difahami makna apa
yang ditunjuk oleh suatu dalil, maka tidak dapat dianggap sebagai hukum syara'.
• Oleh
karena itu yang menjadikan suatu nash sebagai seruan atau bukan adalah
pemahaman terhadap nash itu sendiri. Berarti hukum syara' merupakan pendapat
yang diambil dari nash. Inilah yang dianggap sebagai seruan Allah.
• Dengan
demikian pendapat seorang mujtahid adalah hukum syara', selama disandarkan
kepada Al-Qur'an dan As Sunnah atau dalil-dalil yang ditunjuk oleh Al-Qur`an
dan Sunnah, yaitu Ijma' dan Qiyas.
• Maka
pendapat seorang mujtahid adalah hukum syara‘ (mujtahid dulu maupun sekarang),
selama mereka menggalinya dengan ijtihad yang benar, yang bersandar pada
dalil-dalil syara'.
• Rasulullah
Saw. telah menetapkan diterimanya suatu pemahaman terhadap nash sebagai hukum
syar'i. Beliau juga mendiamkan
(mengakui) terjadinya ikhtilaf dalam pemahaman nash tersebut.
• Contoh,
segera setelah berangkatnya kelompok-kelompok (qabilah) dalam perang Khandaq,
beliau memerintahkan seorang muazhin untuk berseru kepada kaum muslimin: "Siapa
saja yang mendengar dan taat, jangan melakukan shalat ashar kecuali di
(kampung) Bani Quraidhah".
• Para
Shahabatpun berbeda-beda memahami seruan ini.
Sebagian meninggalkan shalat ashar di Madinah dan tidak melakukannya
sampai mereka tiba di Bani Quraidhah.
Sebagian lain memahami, bahwa yang dimaksud adalah agar mereka
bergegas-gegas, sehingga mereka shalat ashar terlebih dahulu, dan kemudian
pergi ke Bani Quraidhah setelah menunaikan shalat. Lalu kedua hal ini disampaikan kepada Rasulullah Saw. dan beliau
menetapkan bahwa kedua pemahaman tersebut dapat diterima.
• Para
Shahabat ra. telah berikhtilaf dalam memahami Al Qur'an dan hadist. Pendapat
mereka berbeda satu dengan lainnya. Setiap pendapat mereka adalah hukum syara'.
Mereka telah ber-ijma', bahwa pendapat yang dikemukakan mujtahid manapun yang
berasal dari nash adalah merupakan hukum syara'.
• Oleh
karena itu, baik hadist maupun ijma' shahabat telah menunjukkan bahwasanya
pendapat yang digali oleh mujtahid manapun dianggap sebagai hukum syara' yang
wajib diikuti oleh orang yang menggalinya (mujtahid itu sendiri), juga bagi
siapa saja yang telah menyetujui pemahaman tersebut, atau yang bertaqlid
kepadanya untuk mengikuti pendapat mujtahid itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar