•
Rasulullah sama sekali tidak pernah berijtihad
dan tidak patut berijtihad
•
secara SYAR'I, banyak ayat Al
Qur'an dengan jelas menunjukkan bahwa semua ucapan dan perbuatan beliau tidak
lain hanyalah bersumber dari wahyu (bukan pendapat beliau)
•
"Katakanlah Muhammad aku hanya memberi
peringatan kepadamu dengan al-wahyu
(QS Al Anbiya 45). "Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku“ (QS Yunus l5). "(Dan) Tidaklah ia mengucapkan sesuatu
berasal dari hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang
diwahyukan"(An Najm 3-4). QS. Shaad: 70, QS. Al- Hasyr: 7, QS.
Al-Ahzab: 21, QS. Al-Ahqaf: 9, QS. Al-A’raf: 203, QS. Al-Anfal: 67, QS.
At-Taubah: 43, 83, 84, QS. Muhammad: 4, QS. An-Nuur: 62, Hadits: “Kalian
lebih tahu urusan dunia kalian”
•
Sedangkan
ditinjau secara AQLI , Beliau Saw. sering menunggu turunnya al
wahyu dalam menentukan sejumlah besar masalah hukum. Berarti menunjukkan bahwa
beliau tidak diijinkan berijtihad.
•
Di
samping itu Rasulullah Saw. adalah orang yang wajib dijadikan panutan mutlak.
Jika beliau melakukan ijtihad, berarti memungkinkan terjadinya suatu kesalahan
pada diri beliau. Andaikan beliau salah
dalam ijtihad, sementara kita diwajibkan mengikutinya, berarti kita diwajibkan
mengikuti kesalahan. Kemungkinan yang
demikian ini adalah sesuatu yang bathil (mustahil).
•
Seorang
rasul WAJIB ma`sum
KEMA`SUMAN RASUL
• Pasti
, dipastikan berdasarkan akal. Karena menyampaikan risalah (tabligh) dari
Allah. Kalau cacat, meskipun dalam satu masalah saja, berarti ada kemungkinan
terjadinya cacat pada seluruh masalah. Maka rusaklah nilai kenabian dan
kerasulan secara keseluruhan.
• Kema'shuman
dalam tabligh bersifat pasti jika tidak demikian berarti mengingkari/ kufuri
risalahnya/ kenabiannya yang telah ditetapkan oleh Allah. Adapun kema'shuman adalah dalam
perbuatan-perbuatan dosa-dosa besar (Al kabaair). Adapun terhadap
dosa-dosa kecil (Ash shaghaair) para ulama berbeda pendapat, apakah para
Nabi dan Rasul ma'shum dari perbuatan dosa-dosa kecil. Sebagian ulama
berpendapat ma’sum, sebagian berpendapat tidak.
• Yang
benar adalah bahwa semua yang haram untuk dikerjakan dan yang wajib dilakukan,
yaitu berupa seluruh jenis fardlu dan seluruh bentuk yang haram, maka dalam hal
ini para Nabi dan Rasul bersifat ma'shum. Baik hal itu termasuk dosa
besar/kecil berarti ma`sum dari ma'siyat.
• Selain
itu dalam tindakan yang termasuk khilaful aula (tidak mengerjakan yang
terbaik/paling layak), maka mereka tidaklah ma'shum. Dibolehkan mereka mengerjakan tindakan khilaful
aula secara mutlaq. Sebab, ditinjau
dari berbagai sudut manapun, hal itu tidak termasuk dalam jenis maksiyat.
• Muhammad
Saw. ma`sum. Rasulullah Saw. tidak
pernah menyampaikan satu hukumpun, kecuali dari al wahyu. Allah berfirman: "Katakanlah,
sesungguhnya aku hanyalah memberi peringatan kepadamu dengan al wahyu"
(QS. Al Anbiyaa: 45). "(Dan) Dia (Muhammad) tidaklah mengucapkan
sesuatu dari hawa nafsunya. Apa yang
diucapkannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan" (QS An Najm: 3-4)
baik Qur`an maupun hadits. "Yang diwahyukan kepadaku, adalah "Aku
hanya seorang pemberi peringatan yang nyata." (QS Shaad: 70)
• Yang
dimaksud ayat tersebut tentang aqaaid, hukum, dan setiap masalah yang
diperintahkan oleh Allah untuk disampaikan dan memberi peringatan kepada
manusia (tidak tercakup penggunaan cara/taktik atau perbuatan jibiliyah/ perbuatan
alami manusia). Jadi, dalam hal ini kekhususan adalah dalam perbuatan dan
pemikiran manusia, bukan masalah cara dan sarana, atau yang semisal dengan itu.
setiap perkara terkait perbuatan manusia (af'aalul 'ibaad) dan
pemikiran-pemikirannya adalah berasal dari wahyu Allah. Sebab, kita
diperintahkan mengikuti beliau dan menjadikannya suri tauladan. "Apa
yang dibawa oleh Rasul ke padamu, maka ambillah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah" (QS Al Hasyr:
7). "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu" (QS Al Ahzaab: 21)
• Berdasarkan
dua ayat tersebut maka ucapan, perbuatan, dan diamnya Rasulullah, merupakan
dalil syar'iy (semuanya wahyu dari Allah). Beliau memberikan tata cara
pemecahan problematika kehidupan sesuai dengan wahyu, tanpa menyimpang
sedikitpun. Allah SWT berfirman:"Aku
tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku" (QS Al
Ahqaaf 9). "Katakanlah: 'Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan
dari Tuhanku kepadaku."( QS Al A'raaf: 203). berarti membatasi
meneladani Rasulullah dengan apa yang telah diterima dari Allah SWT. Semua itu teramat jelas dan gamblang, bahwa
apa yang diperintahkan kepada Rasulullah Saw. untuk menyampaikannya kepada
manusia adalah wahyu semata.
• Beliau
Saw., dalam banyak persoalan hukum, seperti zhihar, li'aan, dan lain
sebagainya, menanti turunnya al wahyu.
Beliau tidak mengucapkan sesuatu hukum/ketetapan, atau mengerjakan dan
mendiamkan sesuatu yang berkaitan dengan tasyri', kecuali semua itu berdasarkan
wahyu dari Allah SWT.
• Para
sahabat, jika bingung membedakan antara
perbuatan, ide atau sarana, mereka bertanya kepada Rasulullah Saw. apakah itu
wahyu atau pendapat pribadi (Rasul) yang berarti perkara yang bisa
dimusyawarahkan). Kalau wahyu, mereka
semua menurut. Tapi jika pendapat pribadi (Rasul), dalam perkara yang bisa
dimusyawarahkan, merekapun berdialog dengan Rasul. Kadang Rasul Saw. mengikuti
pendapat mereka, sebagaimana yang terjadi dalam peristiwa perang Badar,
Khandaq, dan Uhud.
• Dalam
hal-hal yang mubah teknis, tidak ada kaitannya dengan apa yang disampaikan oleh
Allah, beliau katakan kepada mereka: “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian“.
Sebagaimana yang terjadi pada peristiwa penyerbukan tanaman korma.
• Jika
beliau Saw. dibolehkan mengucapkan sesuatu yang berkaitan dengan masalah
tasyri', tanpa dasar wahyu, untuk apa beliau menunggu turunnya wahyu, sebelum
menetapkan hukum, dan mengapa para sahabat bertanya pada beliau, apakah suatu
perkara itu wahyu atau pendapat pribadi Rasulullah. Jika tidak demikian tentu Rasul akan menjawab
secara langsung pertanyaan mereka atau mereka akan mengajukan pendapat tanpa
meminta penjelasan.
• Maka
Rasulullah Saw. tidak pernah berkata/bertindak/diam atas sesuatu, kecuali
karena wahyu Allah, bukan dari pendapatnya sendiri (ma`sum dalam menyampaikan
segala sesuatu yang datang dari sisi Allah SWT).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar