MACAM-MACAM HUKUM SYARA`
• Hukum
syara' adalah "Seruan Allah dan RasulNya yang berkaitan dengan amal
perbuatan hamba (manusia)‘, yang berupa perintah dan larangan. Oleh karena itu pemahaman terhadap hukum
syara' sangat bergantung pada pemahaman terhadap perkataan Allah (Al-Qur`an) dan perkataan Rasul (hadits/ As-Sunnah).
• Hanya
saja tidak setiap seruan Syaari' itu wajib dilaksanakan dan mendapatkan siksa
jika meninggalkannya, atau haram dilakukan dan mendapat siksa jika
mengerjakannya. Akan tetapi hal itu
sangat tergantung pada jenis seruannya.
Oleh karenanya, merupakan suatu perbuatan dosa dan kelancangan terhadap
Diinullah, jika seseorang secara terburu-buru menetapkan sesuatu bahwa itu
adalah wajib, hanya karena ia membaca satu ayat atau satu hadits yang
menunjukkan adanya perintah untuk melakukan sesuatu. Demikian juga halnya dengan seseorang yang
secara tergesa-gesa mengeluarkan fatwa tentang sesuatu bahwa ini adalah haram,
karena ia membaca satu ayat atau satu hadits yang menunjukkan adanya perintah
untuk meninggalkannya.
• Wajib
bagi kaum muslimin untuk memahami jenis seruan Syaari' sebelum mengeluarkan
hukumnya (wajib, sunnah, mubah, makruh, haram). Agar tidak mengharamkan apa
yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah.
• Seruan
Syaari' dapat dipahami dengan adanya ciri-ciri (qorinah) yang menentukan arti
dari nash. Tidak setiap perintah adalah
wajib dan tidak setiap larangan adalah haram.
Suatu perintah bisa berupa mandub atau mubah, begitu pula suatu larangan
bisa berupa makruh.
CONTOH 1: MENENTUKAN HUKUM WAJIB
• Allah
SWT berfirman:"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
dan tidak pula kepada Hari Kemudian serta mereka tidak mengharamkan apa-apa
yang diharamkan Allah dan RasulNya." (QS At-Taubah: 29).
• Sesungguhnya
Allah telah memerintahkan jihad. Dan perintah tersebut adalah WAJIB,
yang apabila ditinggalkan akan mendapatkan siksa dari Allah SWT. Akan tetapi ketentuan perintah itu fardlu
tidak muncul hanya karena adanya bentuk kalimat perintah saja,
melainkan karena adanya indikasi-indikasi lain, yang menunjukkan
bahwa perintah tersebut menuntut suatu perbuatan secara pasti. Indikasi (qarinah) yang dimaksud adalah
nash-nash yang lain, "(Dan) jika kamu tidak pergi berperang, maka Allah
akan mengadzab kamu dengan adzab yang pedih" (QS At-Taubah: 39).
CONTOH 2: MENARIK HUKUM SUNNAH
• Rasulullah
bersabda:"Shalat jamaah itu lebih utama dari shalat sendirian
bandingannya dua puluh tujuh derajat". Sesungguhnya Beliau
memerintahkan shalat berjamaah, meskipun tuntutan tersebut tidak menggunakan
bentuk perintah.
• Begitu
pula ketika beliau bersabda:"Aku pernah mencegah kalian dari ziarah
kubur, maka sekarang berziarahlah". Beliau memerintahkan untuk
melakukan ziarah kubur.
• Namun
demikian perintah atau seruan dalam kedua hadits di atas adalah mandub
(sunah) dan bukan fardlu. Hukum mandub
tersebut ditetapkan dari indikasi-indikasi yang lain, misalnya diamnya
Rasullullah Saw. terhadap sekelompok orang yang shalat sendirian, atau diamnya
Beliau terhadap orang yang tidak melakukan ziarah kubur. Sikap beliau ini menunjukkan bahwa seruan itu
tidak berupa tuntutan atau seruan yang pasti.
• Allah
SWT berfirman:"Apabila selesai ditunaikan haji, maka berburulah
kamu". (QS Al-Maidah 2). "Apabila telah ditunaikan shalat maka
bertebaranlah kamu di muka bumi". (QS Al-Jumu'ah: 10).
• Sesungguhnya
dalam kedua ayat tersebut di atas, Allah SWT memerintahkan berburu setelah melepaskan
pakaian ihram, dan memerintahkan bertebaran di muka bumi setelah melaksanakan
shalat jum'at.
• Akan
tetapi perintah berburu seusai melepaskan pakaian ihram tersebut bukanlah wajib
atau mandub. Demikian pula perintah
untuk bertebaran di muka bumi seusai shalat jum'at tidak berarti wajib atau
mandub. Keduanya menunjukkan hukum
mubah.
• Hukum
ini diketahui dari adanya indikasi yang lain, yaitu bahwa Allah SWT telah
memerintahkan berburu setelah menanggalkan pakaian ihram, di mana perbuatan itu
dilarang sebelumnya. Demikian pula Allah
telah memerintahkan agar bertebaran di muka bumi seusai shalat jum'at, yaitu
perbuatan yang dilarang Allah ketika masuk waktu shalat jum'at.
• Qarinah
(indikasi) itu menunjukkan bahwa perkara tersebut adalah mubah, artinya
perbuatan berburu dan bertebaran di muka bumi pada kondisi demikian adalah
mubah.
CONTOH 4: MENARIK HUKUM MAKRUH
• Rasulullah
menyatakan:"Barangsiapa yang mampu (kaya) tetapi tidak menikah, maka ia
tidak termasuk golonganku".
• Juga
tatkala kita membaca larangan Rasulullah Saw. tentang tabattul
(membujang), sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari Sumrah ra.: "Bahwa
sesungguhnya Nabi Saw. mencegah perbuatan tabattul (membujang)".
• Maka
dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. mencegah seorang muslim
yang mampu (kaya) untuk membujang, sebagaimana tercantum dalam hadits yang
pertama.
• Sedang
dalam hadits yang kedua, Beliau melarang setiap orang untuk tidak menikah
selamanya (sepanjang umurnya).
• Namun
demikian bukan berarti tidak beristri atau tidak bersuami bagi orang yang
mampu/kaya itu haram hukumnya.
• Akan
Tetapi larangan ini menunjukkan bahwa perbuatan itu hukumnya MAKRUH. Status makruh ini diperoleh berdasarkan
indikasi-indikasi yang lain.
• Misalnya
diamnya Rasulullah Saw. terhadap sebagian orang mampu/kaya tetapi belum menikah
dan diamnya Rasulullah terhadap sebagian shahabat yang tidak menikah.
CONTOH 5: MENARIK HUKUM HARAM
• Allah
SWT berfirman:"Janganlah kamu mendekati zina" (QS Al-Isra':
32).
• Sesungguhnya
Allah SWT melarang perbuatan zina. Status hukum haram tidak muncul hanya karena
adanya kalimat larangan saja, melainkan berdasarkan indikasi-indikasi
lainnya, yang menunjukkan bahwa larangan itu bersifat pasti. Indikasi itu
berupa nash-nash lain, "Sesungguhnya
zina itu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang berakibat buruk"
(Al-Isra': 32). "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka
deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera" (QS An-Nur:
2).
• Maka
untuk mengetahui jenis hukum dari suatu nash, sangat bergantung pada pemahaman
secara syar'i terhadap nash tersebut dan hubungannya dengan qarinah/indikasi
yang menunjukkan makna seruan yang terdapat dalam nash tersebut.
• Setelah
diteliti terhadap semua nash dan hukum-hukum, maka ditentukan bahwa hukum
syara' itu ada lima jenis, yaitu: wajib, terlarang/Haram, Mandub (sunnah),
Makruh, Mubah
• Hal
ini karena seruan Allah bisa berupa tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan;
atau tuntutan meninggalkan suatu perbuatan; atau memberikan pilihan untuk
mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Dan tuntutan tersebut ada yang bersifat pasti, dan ada yang tidak
pasti. Jika tuntutan mengerjakan itu bersifat
pasti maka akan menjadi fardlu; dan jika tuntutan itu tidak pasti maka akan
menjadi hukum mandub. Sedangkan jika
tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan bersifat pasti, maka hukumnya
haram. Tetapi bila sifatnya tidak pasti,
maka hukumnya makruh. Adapun tuntutan
yang memberikan alternatif untuk mengerjakan suatu perbuatan atau
meninggalkannya, maka hukumnya menjadi mubah.
• Jelaslah
bahwa hukum syara' itu hanya ada lima macam, yaitu fardhu, haram, mandub,
makruh, dan mubah. Tidak lebih dari itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar