26. Peran Inggris dalam naiknya Saddam
sebelum Perang Teluk pun disembunyikan oleh pemerintah. Berlawanan
dengan pedoman PBB, pemerintahan Margareth Thatcher pada tahun 1980-an, dan
kemudian John Major di tahun 1990-an, terbukti melakukan penjualan senjata
secara diam-diam kepada rezim Saddam Hussein. Senjata-senjata tersebut Irak
gunakan dalam perang melawan Iran, dalam menumpas pemberontak etnis Kurdi dan
untuk membantu program nuklir Saddam Hussein. Laporan yang dibuat oleh seorang
hakim Pengadilan Tinggi, Sir Richard Scott, tersebut mengungkapkan adanya
jaringan konspirasi, intrik, dan penyelewengan yang berlangsung di tubuh
pemerintahan. Pemerintahan konservatif di bawah Perdana Menteri John Major
mampu mengungguli Scott dengan selisih satu suara dalam perdebatan di House of
Commons, 26 Februari; dalam beberapa pemungutan suara Tories melawan oposisi
Partai Buruh. Skandal yang sebenarnya menunjukkan bahwa pada tahun 1980-an,
berdasarkan laju ekspor senjata yang disokong Perdana Menteri Margareth Thatcher,
putra kandungnya, Mark, berperan sebagai penjual keliling tidak resmi bagi
perusahaan senjata Inggris. Mark Thatcher diperkirakan meraup keuntungan
sekitar US$ 160 juta sebagai komisi selama proses tersebut, termasuk hampir US$
40 juta dari hasil transaksi dengan Arab Saudi.
27. Meskipun
penjualan senjata kepada rezim-rezim diktator tidak menimbulkan masalah
diplomatik (protes hanya muncul dari politisi sayap kiri), penjualan ke Iran
dan Irak adalah perkara lain. Pasar yang potensinya besar itu terhambat oleh
larangan PBB untuk menjual senjata ke kedua negara tersebut, yang saat itu
berada di tengah-tengah peperangan yang menewaskan lebih dari satu juta orang.
Potensi kerugian dari pasar Irak sangat terasa, antara tahun 1970-1990 Inggris
memasok beragam perlengkapan perang secara besar-besaran kepada rezim Saddam,
mulai dari mobil-mobil kelas VIP berlapis baja hingga perlengkapan tank dan
komunikasi tercanggih. Baru sekarang diketahui bahwa perusahaan-perusahaan
Inggris memasok persenjataan kepada kedua belah pihak yang bertikai pada tahun
1980-an dengan cara yang sederhana, yaitu mengirim senjata-senjata tersebut
kepada negara-negara perantara yang kemudian mengekspornya ke Iran atau Irak.
Perusahaan Inggris BMARC, direkturnya adalah mantan menteri Jonathan Aitken,
menyuplai ratusan senjata angkatan laut ringan ke Singapura, sebuah negara yang
sebetulnya tidak memiliki armada angkatan laut dalam jumlah besar. Dari sana,
senjata-senjata tersebut dialirkan ke Iran. Adapun negara-negara yang dikenal
sebagai perantara untuk penjualan senjata ke Irak adalah Oman dan Yordania. Pada
tahun 1986 pihak pabean Swedia mendapati sebuah kartel Eropa, termasuk beberapa
perusahaan Inggris, sedang berupaya menyuplai bahan-bahan peledak melalui
Yordania.
Sebagian
orang berargumentasi, seperti juga Presiden Clinton dalam pidatonya baru-baru
ini dalam Konferensi Partai Buruh, bahwa negara-negara Barat telah membuat
kesalahan –yaitu dengan memanjakan para diktator. Namun hal ini sebenarnya
hanya sebuah katalis untuk menjernihkan situasi dengan menggulingkan rezim
Irak. Logika terbalik tersebut barangkali cukup membuat delegasi Partai Buruh
terkesan, akan tetapi tidak bisa membuat terkesan para pengamat yang cermat
mengkaji situasi politik internasional terkini. Ketika terjadi serangan 11
September terhadap New York dan Washington, alih-alih belajar dari ‘kesalahan’
masa lalu, Barat malah menjadikan para diktator itu sebagai sekutu dalam
‘Perang terhadap Terorisme’-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar