Oleh: Dr. M. Kusman
Sadik
Ratusan ribu mahasiswa
yang diterima akan segera memasuki perguruan tinggi. Mereka datang di tengah
ramainya perbincangan seputar pernyataan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) terkait radikalisme. Menurut BNPT ada tujuh perguruan tinggi
ternama yang disinyalir terpapar paham radikalisme. Pernyataan BNPT tersebut
sangat penting untuk dikritisi. Sebab tidak hanya berpotensi merugikan
perguruan tinggi itu namun juga bisa mendiskreditkan umat Islam.
Pertama,
istilah radikalisme yang dilontarkan oleh BNPT tersebut sangat kabur sehingga
tidak jelas apa definisi dan indikatornya. Menurut The Concise Oxford
Dictionary, radikal (radix atau radices) berarti akar, sumber, atau asal mula.
Dalam kamus Oxford itu disebutkan, istilah radikal ketika dikaitkan dengan
perubahan atau tindakan bermakna sesuatu yang mampu mempengaruhi karakteristik
dasar (fundamental nature) serta menyeluruh.
Jadi secara bahasa,
sebenarnya istilah radikal itu justru bersifat positif yakni sesuatu yang
bersifat fundamental. Itu justru sesuai dengan karakter perguruan tinggi yang
memang mengkaji berbagai aspek hingga pada sisi fundamentalnya. Namun kemudian
istilah radikal tersebut dikonotasikan dengan sesuatu yang negatif yakni
sebagai pendorong terorisme.
Sementara istilah
moderat, lawan dari istilah radikal, dikonotasikan sebagai sesuatu yang
positif. Kemudian media dan pihak tertentu mendefinisikan sesuai keinginannya
apa makna moderat itu.
Misalnya ada upaya
mengopinikan bahwa orang moderat itu adalah mereka yang apabila agamanya dihina
diam saja. Sementara orang yang melawan penghinaan tersebut akan dikategorikan
radikal. Orang yang mendukung sekularisme-liberalisme akan dikategorikan sebagai
orang yang berpikiran moderat. Sedangkan orang yang mendukung upaya penerapan
syariah secara kaffah akan dikategorikan berpikiran radikal.
Kedua,
ada upaya untuk mengaitkan isu radikalisme dengan terorisme. Itu bertumpu pada
asumsi bahwa pemicu terorisme adailah radikalisme atau paham radikal. Mereka
biasa mengatakan bahwa radicalism is only one
step short of terrorism. Artinya, ada narasi yang ingin dibangun di
ranah publik bahwa Islam itu mengandung paham radikal yang nantinya akan
melahirkan aksi terorisme.
Padahal aksi terorisme yang
terjadi di negeri ini sendiri masih menjadi tanda tanya besar bagi umat Islam.
Siapakah sebenarnya pelaku terorisme dan apa motif di balik aksi tersebut.
Memang bisa saja pelaku terorisme itu seorang Muslim, atau ada identitas
keislaman yang melekat pada diri pelaku. Tapi siapa yang ada di balik pelaku
tersebut masih kabur dan gelap.
Ketiga,
sangat kuat indikasinya bahwa yang menjadi target isu radikalisme dan terorisme
itu adalah Islam. Tidak hanya orang dan organisasinya, namun juga ajaran Islam
itu sendiri yang akan dibidik melalui isu tersebut. Misalnya, belum lama ada
sebuah lembaga kajian yang menyebut masjid-masjid kampus sebagai sarang
radikalisme. Itu sebuah framing untuk
memojokkan para aktivis dakwah Islam yang pusat aktivitasnya memang di masjid.
Pusat Pengkajian Islam
dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta beberapa waktu
yang lalu menerbitkan buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia.”
Penggunaan istilah salafi radikal tersebut sangat subjektif dan bias. Karena,
apa yang mereka maksud dengan ”salafi" dan apa yang dimaksud dengan
”radikal” sangat tidak jelas kriterianya. Jadi buku tersebut lebih tepatnya
sebagai sarana propaganda untuk mendiskreditkan umat Islam. Bukan buku ilmiah
yang bisa dipertanggungjawabkan secara data, metodologi, dan analisis.
Tentu saja tuduhan
semacam itu bagian dari penyesatan opini. Kalau kita perhatikan, umat Islam
yang memperjuangkan penegakan syariah secara kaffah itu melakukannya melalui
dakwah. Sebuah proses yang bersifat edukatif dan argumentatif. Tidak ada
satupun bukti bahwa perjuangan mereka itu disertai kekerasan apalagi aksi
terorisime.
Apa yang sekarang
terjadi sesungguhnya merupakan wujud ghazwul-fikri
(perang pemikiran) yang memang gencar dilakukan oleh negara-negara Barat
pimpinan Amerika Serikat. Inilah fakta perang peradaban antara Islam dan Barat
seperti yang diramalkan Huntington dalam bukunya The
Clash of Civilizations and the Remaking of World Order.
Civitas academica
Muslim di berbagai perguruan tinggi harus menyambut clash of civilizations ini melalui dakwah argumentatif yang
berbasis nalar. Sehingga nanti akan terpapar dengan jelas betapa mulianya
sistem Islam dan betapa rusaknya sekularisme-liberalisme itu. Wallahua'lam bi ash-shawab.[]
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 222
Tidak ada komentar:
Posting Komentar