Oleh: K.H. Hafidz
Abdurrahman
Musim haji tahun ke-13
kenabian, bertepatan dengan bulan Juni 622 M, ada 70 lebih kaum Muslim yang
telah datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka adalah penduduk
Yatsrib yang telah dibina dan dipersiapkan oleh Mush'ab bin Umair. Mereka datang
ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
Mereka saling bertanya
satu dengan yang lain, saat mereka masih di Yatsrib atau di tengah jalan,
”Sampai kapan kita akan membiarkan Rasulullah SAW tawaf dan dibuntuti di gunung
Makkah, dalam keadaan ketakutan?”
Ketika mereka tiba di
Makkah, antara mereka dengan Nabi SAW telah terjadi kontak rahasia. Kedua belah
pihak ini akhirnya sepakat untuk bertemu di pertengahan Hari Tasyrik, di sebuah
lembah, yang terletak di Aqabah, ketika melempar jumrah pertama dari Mina.
Ka'ab bin Malik
menuturkan, ”Kami pun kembali melakukan manasik haji, dan berjanji akan bertemu
dengan Rasulullah SAW di Aqabah, di pertengahan Hari Tasyrik. Ketika kami usai
menunaikan manasik haji, dan berada pada malam yang dijanjikan Rasulullah SAW kepada
kami, maka kami membawa 'Abdullah bin 'Amru bin Hazm Abu Jabir. Beliau adalah
salah seorang pemimpin kami yang terhormat di kalangan kami.” [Lihat: Ibn
Hisyam, Sirah Nabawiyyah, Juz
I/440-441].
Pertemuan ini pun
akhirnya benar-benar terjadi dengan sangat rahasia, di tengah malam yang gelap
gulita. Salah seorang pemuka kaum Anshar menceritakan pertemuan bersejarah ini,
yang telah mengubah perjalanan sejarah, dalam pertempuran antara paganisme dengan
Islam. Ka'ab bin Malik al-Anshari ra. mengatakan:
”Kami keluar untuk
berhaji. Kami berjanji dengan Rasulullah SAW di Aqabah, pada pertengan hari
Tasyrik. Pada malam, di mana kami telah berjanji kepada Nabi Saw. ketika itu,
'Abdullah bin 'Amru bin Hazm bersama kami. Beliau adalah pemuka kaum kami, dan
salah seorang terkemuka di antara kami. Kami telah mengambilnya bersama, dan
kamipun menyembunyikan kaum kami yang bersama kami terhadap kaum musyrik. Kami
pun mengatakan kepadanya: "Wahai Abu Jabir, Anda adalah salah seorang tuan
dari tuan-tuan kami, dan salah seorang terkemuka dari orang-orang terkemuka di
antara kami. Kami tidak menginginkan diri Anda sebagaimana Anda saat ini. Anda
kelak akan menjadi bahan bakar Neraka. Kami pun mengajaknya memeluk Islam. Kami
memberitahukan kepadanya janji dengan Rasulullah untuk melakukan bai'at.” Ia
pun masuk Islam, dan menjadi saksi bersama kami peristiwa Baiat 'Aqabah II. Ia
ketika itu adalah salah seorang Naqib [pemimpin].”
Ka'ab bin Malik
berkata, ”Kami pun malam itu tidur bersama kaum kami di atas tunggangan kami,
hingga setelah melewati seperti tiga malam, kami meninggalkan tunggangan kami
untuk memenuhi janji bertemu dengan Rasulullah SAW. Kami mengendap-endap dengan
senyap, hingga kami berkumpul di sebuah lembah di Aqabah. Kami berjumlah 73
orang lelaki, dan dua orang perempuan, yaitu Nasibah binti Ka'ab, atau Ummu
'Imarah, dari Bani Mazin bin an-Najjar, dan Asma' binti 'Amru, atau Ummu Muni'
dari Bani Salamah.”
“Kami pun berkumpul di
lembah itu menunggu Rasulullah SAW hingga baginda SAW menemui kami. Baginda SAW
ditemani oleh al-'Abbas bin 'Abdul Muthallib, yang ketika itu ia masih memeluk
agama kaumnya. Hanya saja, ia suka menghadiri urusan keponakannya, dan ia juga
dipercaya. Ia orang yang pertama kali berbicara [Lihat: Ibn Hisyam, Sirah Nabawiyyah, Juz I/440-441].
Ketika majelis
tersebut telah mencapal kuorum yang dimaksud, maka pembicaraan pun dimulai
dalam rangka melakukan kesepakatan dalam urusan agama dan militer. Orang yang
pertama kali berbicara adalah al-'Abbas bin ‘Abdul Muthallib, paman Nabi SAW.
Ia menyampaikan kepada mereka dengan terang dan tegas mengenai risiko dari
tanggung jawab yang akan mereka pikul di pundak mereka, sebagai konsekuensi
dari kesepakatan ini.
Ini juga membuktikan,
bahwa Baiat Aqabah II yang kemudian mereka lakukan di Aqabah, Mina, kepada
Rasulullah SAW bukan bai'at biasa, tetapi baiat untuk memberikan kekuasaan
kepada baginda SAW.
Al-‘Abbas berkata,
”Wahai kaum Khazraj, di mana orang-orang Arab menyebut kaum Anshar dengan
sebutan Khazraj, baik untuk Khazraj dan Aus, sesungguhnya Muhammad bagian dari
kami, sebagaimana yang telah kalian ketahui. Kami telah melindunginya dari kaum
kami, dari siapa saja yang seperti kami. Dia dimuliakan di tengah kaumnya,
mendapat perlindungan di negerinya. Tetapi, dia mengabaikan itu semua, kecuali
mengambil dan mengikuti kalian. Jika kalian memandang sanggup memenuhi apa yang
kalian serukan untuknya, dan melindunginya dari siapa saja yang menyelisihinya,
maka silakan, kalian laksanakan, juga apa yang menjadi tanggung jawab kalian.
Tetapi, jika kalian berpikir akan menyerahkannya dan menghinakannya, setelah
kalian keluar membawanya kepada kalian, maka sejak saat ini lupakan saja dia.
Karena dia sudah mendapatkan kemuliaan dan perlindungan di tengah kaum dan
negerinya.” [Lihat: Ibn Hisyam, Sirah
Nabawiyyah, Juz I/441-442].
Ka'ab bin Malik
kemudian berkata, ”Kami telah mendengarkan apa yang Anda sampaikan. Maka
berbicaralah wahai Rasulullah. Ambillah untuk dirimu dan untuk Tuhan-Mu apa
yang Anda inginkan.” [Lihat: Ibn Hisyam, Sirah
Nabawiyyah, Juz I/441-442].
Jawaban Ka'ab bin
Malik, mewakili kaum Anshar ini membuktikan tekad, keputusan bulat, keberanian,
keimanan dan keikhlasan mereka dalam mengemban tanggung jawab yang berat ini.
Sekaligus kesiapan mereka untuk menanggung risiko terburuk yang akan mereka hadapi
setelahnya.
Nabi SAW pun kemudian
menyampaikan penjelasannya, dan setelah itu Baiat Aqabah II pun dilakukan.
Dalam penjelasannya, baginda SAW membacakan Al-Qur’an, mengajak mereka untuk
mengimani Allah, memeluk agama-Nya, serta mengharapkan keislaman mereka.
Setelah itu, barulah baginda SAW menyatakan, “Aku membaiat kalian, agar kalian
melindungiku, sebagaimana kalian melindungi anak-istri kalian.”
Al-Barra’ bin Ma‘rur
kemudian memegang tangan Rasulullah SAW seraya berkata, ”Iya, demi Dzat yang
Mengutusmu dengan membawa kebenaran, kami pasti melindungimu sebagaimana kami
melindungi anak dan istri kami. Baiatlah kami, wahai Rasulullah! Demi Allah, kami
adalah ahli perang dan ahli senjata. Itu kami wariskan dari satu generasi
kepada generasi berikutnya.”
Namun, saat al-Barra'
menyatakan demikian, ucapannya dipotong oleh Abu al-Haitsam bin at-Thayyahan
seraya berkata, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mempunyai hubungan dengan
orang-orang (Yahudi) dan kami akan memutusnya. Jika kami telah melakukannya,
lalu Allah memenangkanmu, maka apakah Engkau akan kembali kepada kaummu, dan
meninggalkan kami?” Baginda SAW menjawab, "Tidak. Darah kalian adalah
darahku. Kehormatan kalian adalah kehormatanku. Aku bagian dari kalian, dan
kalian adalah bagian dariku. Aku akan memerangi siapa saja yang kalian perangi,
dan berdamai dengan siapa saja yang berdamai dengan kalian.”
Setelah itu,
Rasulullah Saw. meminta kepada mereka untuk memilihkan 12 pemimpin di antara
mereka, ”Pilihkan untukku 12 pemimpin, agar mereka menjadi pemimpin bagi
kaumnya.” Mereka pun memilihkan 12 orang itu untuk Nabi SAW. Terdiri atas
sembilan orang dari Khazraj, dan tiga dari Aus. Ini dilakukan oleh Nabi SAW,
karena Nabi belum mengenal para pemimpin di antara mereka.
Begitulah, Baiat
'Aqabah II ini akhirnya benar-benar mereka lakukan, dan kekuasaan mereka pun
benar-benar mereka berikan kepada Rasulullah SAW.[]
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 220
Tidak ada komentar:
Posting Komentar