Republik Sistem Negara Menyimpang
Pemilihan umum sebagai mekanisme perwujudan
partisipasi masyarakat baik dalam pemilihan presiden dan pemilihan wakil rakyat
adalah pemborosan uang untuk apa yang dinamakan ‘partisipasi’. Contoh biaya kampanye
di Amerika pada American Presidential Election 2008 mencapai $5 billion, biaya
yang dikeluarkan oleh Obama $730 million dan McCain $333 million. Pendanaan ini
kebanyakan datang dari para pemilik modal/punya hubungan modal yang dalam
American Presidential Election 2008 tersebut mencapai 72%.
Di Indonesia, menurut catatan The Nielsen
Co.Ind, belanja iklan pada Pemilu 2009 mencapai Rp 2,154 triliun; meningkat
sekitar 335% dibanding Pemilu 2004. Jumlah biaya iklan politik yang real
sulit diketahui karena banyak iklan terselubung.
Hal inilah yang menjadikan sistem republik
secara efektif memberi para pemilik modal “majority vote”. Karena itu para
pemilik modal memiliki kemampuan dan kesempatan untuk mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Wajar jika pada akhirnya kebijakan pemerintah terpilih lebih
mementingkan kaum ‘kaya’.
sistem republik hanya menguntungkan
segelintir orang. Sistem republik di Indonesia tidak membuat rakyat sejahtera,
tetapi malah sengsara.
Maka dari itu, tidak aneh jika ada yang mengungkapkan
bahwa melalui sistem republik, kesejahteraan rakyat pun sudah diwakili oleh
"wakil" rakyat. Artinya, rakyat tetap miskin, wakil rakyatlah yang kekayaannya
berlipat dan menikmati kesejahteraan.
hukum di alam sistem republik adalah hukum
buatan manusia; walau dibuat bersama, ‘hawa nafsu’ manusia akan tetap dasarnya.
Dalam sistem republik hukum menjadi penuh
dengan kepentingan. Lihat saja bagaimana keberadaan hukum-hukum yang penuh
dengan kepentingan ekonomi; hukum dan aturan diperjualbelikan sesuai dengan
keinginan personal dan kelompok tertentu.
Lalu bagaimana mungkin sistem
republik bisa melahirkan peradilan yang adil ketika persepsi tentang keadilan
pun tidak memiliki standar yang jelas? Bila demikian, bagaimana bisa muncul
peradilan yang solutif, peradilan yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan
yang muncul di tengah-tengah masyarakat; yang dapat menenetramkan kehidupan
sosial, tidak hanya di dunia, namun juga berdimensi ukhrawi?
konsep sharing of power atau distribution of
power dalam sistem republik yang lebih dikenal dengan trias politica. Kekuasaan
dibagi menjadi kekuasan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun
kenyataannya, trias politica lebih menjadi trias corruptica. Lembaga
Legistalif, Eksekutif dan Yudikatif adalah poros dari penyalahgunaan wewenang
dan korupsi.
Sistem republik digembar-gemborkan sebagai
sistem yang compatible dengan masyarakat majemuk. Dalam sistem
republik, katanya, tidak ada dominasi dan hegemoni mayoritas terhadap
minoritas, sehingga akan tercapai suatu konsensus dengan prosedur sistem
republik yang disepakati bersama.
Namun yang terjadi malah sebaliknya, prosedur
sistem republik adalah kesepakatan yang kadang tidak disepakati oleh semua
pihak. Alih-alih menciptakan integrasi masyarakat, sistem republik malah
melahirkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Tidak hanya konflik horisontal
antarmasyarakat, prosedur sistem republik juga melahirkan konflik vertikal
antara elit dengan masyarakat luas.
Kontradiksi antara mayoritas yang diam
(silent majority) dengan minoritas yang tirani (tyrany minority) melahirkan
kondisi bahwa tidak selalu keinginan atau kehendak mayoritas yang harus
dijalankan. Bila mayoritas masyarakat diam, bisa jadi yang sangat berpengaruh
di tengah-tengah masyarakat adalah kalangan minoritas sehingga terjadilah
tirani minoritas. Jadinya, kaum mayoritas gagal terayomi bahkan terlindungi.
Mereka malah menjadi korban dari kalangan minoritas. Inilah kontradiksi dari
sistem republik.
Sistem republik yang merupakan turunan dari
Kapitalisme adalah cara legal yang menjadi justifikasi atas perampokan harta
rakyat. Dengan berdalih pada keputusan wakil rakyat, muncullah berbagai
perundangan yang isinya justru merampas dan menguras kekayaan rakyat. Hal ini
terjadi karena para wakil rakyat yang harusnya menjadi wakil rakyat, ketika
menyusun perundang-undangan malah menjadi wakil kaum kapitalis yang sedari awal
menanam sahamnya di dunia politik agar kepentingannya tetap terjaga.
Jadilah melalui sistem republik aset dan
kekayaan negara terkuras habis, diputuskan untuk diprivatisasi dan dikuasai
oleh swasta. Anggaran negara menjadi bancakan proyek-proyek yang minim dalam
mensejahterakan rakyat namun justru menjadi sarana untuk memupuk kekayaan
swasta yang bermain di sana.
Sistem republik adalah sistem paganis, sistem
yang menjadikan manusia sebagai sumber hukum, bukan sang Pencipta. Melalui
sistem republik, hawa nafsu manusia senantiasa mendapatkan salurannya dan
pembenarannya.
Bagaimana bisa membangun masyarakat yang
bertakwa ketika negara menjadikan ketakwaan hanya menjadi persoalan personal
dan invididual, saat kebenaran dan kebatilan dibiarkan bertarung secara bebas?
Akibatnya, dalam sistem republik, individu-individu jauh dari nilai-nilai
ketuhanan karena negara abai terlibat untuk menjaga masyarakatnya.
Sistem republik dan Islam adalah dua sisi
yang saling bertolak belakang. Sistem republik menjadikan manusia sebagai
tuhan, sedangkan Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang harus
tunduk pada sang Pencipta alam semesta, tuhannya yang hakiki.
Maka dari itu, tidak aneh bila sistem
republik tidak memiliki keberpihakan terhadap Islam. Bahkan Islam hanya
dijadikan stempel bagi penerapan sistem republik. Tidak ada tempat bagi Islam
dalam sistem republik kecuali menjadi korban dan dikorbankan. Demikian juga
bagi umat Islam. Umat mengira bahwa Islam bisa diterapkan melalui sistem
republik. Umat mengira bahwa sistem republik membuka peluang untuk beraspirasi,
menerapkan hukum-hukum Allah. Namun, kenyataaanya tidak. Sekali lagi tidak ada
tempat bagi Islam dan umat Islam dalam sistem republik.
Apa yang terjadi di Mesir dan Aljazair
semestinya menjadi pelajaran bagi kita bahwa memanfaatkan sistem republik untuk
Islam akan berujung pada pengkhianatan oleh sistem republik itu sendiri. Pasalnya,
sistem republik tidak menghendaki sistemnya hancur. Ia memiliki imunitas walau
dengan cara-cara yang tidak demokratis seperti kudeta dan
kecurangan-kecurangan.
sistem republik adalah sistem yang gagal
(failed system); gagal sedari konsep awalnya, gagal dalam proses penerapannya,
dan gagal dalam mencapai tujuannya yang utopis. Tidak layak umat Islam sebagai
khayru ummah menerapkan sistem republik. Maka dari itu, tinggalkanlah sistem
republik, terapkan Islam! Jelas, dengan sistem negara Islam Khilafah rasyidah.
Dari sudut pandang akidah Islam, konsep
sistem republik telah gagal, rusak dan menyesatkan karena sistem republik
memberi manusia/rakyat kedaulatan atau hak mutlak untuk membuat hukum. Padahal dalam
Islam kedaulatan (hak membuat hukum) berada di tangan Al-Musyari’ yakni Allah
SWT. Dengan kata lain, dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syariah
(as-siyadah li asy-syar’i).
Sistem republik gagal dalam praktiknya karena
doktrin sistem republik —bahwa kekuasaan atau kedaulatan berada di tangan
rakyat— tidak pernah benar-benar terealisasi. Rakyat hanya memiliki otoritas
untuk memilih para wakil mereka supaya bisa duduk di kursi pemerintahan. Itupun otoritas yang telah dibatasi dan diarahkan oleh partai dan kapitalis
melalui proses politik yang ada. Rakyat hanya memiliki otoritas memilih orang
yang sudah disaring oleh parpol dan proses politik. Artinya, yang mereka pilih
sebagai wakil mereka adalah orang-orang yang telah ditunjuk oleh parpol peserta
Pemilu, bukan pilihan murni dari rakyat itu sendiri.
Setelah Pemilu usai, kedaulatan riil tidak di
tangan rakyat, tetapi di tangan pemerintah atau penguasa dan anggota
legislatif, sementara di belakang keduanya adalah para kapitalis. Pasca Pemilu,
kepentingan elit lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat. Wakil rakyat
tidak mewakili rakyat, tetapi mewakili diri sendiri dan partainya serta para
kapitalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar