Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 14 Juli 2018

Mengutamakan Ridha Allah Di Atas Ridha Manusia



“Siapa saja yang mencari ridha Allah dengan risiko dimurkai oleh manusia maka Allah akan mencukupi dirinya sehingga tidak memerlukan bantuan manusia. Siapa saja yang mencari ridha manusia dengan sesuatu yang bisa mengundang kemurkaan Allah maka Allah akan membiarkan dirinya dikuasai manusia.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu al-Mubarak).

Ibnu Hibban meriwayatkan hadis di atas di dalam Shahih Ibni Hibban dengan dua redaksi yang sedikit berbeda.
Pertama, riwayat dari jalur Urwah, dari Aisyah, dari Rasul yang bersabda:
“Siapa saja yang mencari ridha Allah dengan risiko dimurkai manusia maka Allah meridhai dia dan akan membuat manusia pun ridha kepada dirinya. Siapa saja yang mencari ridha manusia dengan sesuatu yang bisa mengundang murka Allah maka Allah murka kepada dia dan membuat manusia bisa marah kepada dirinya.” (HR. Ibnu Hibban).

Riwayat kedua, dari jalur al-Qasim, dari Aisyah ra. dari Rasul yang bersabda: 
“Siapa saja yang membuat ridha Allah meski bakal mengundang kemarahan manusia maka Allah akan menyelamatkan dirinya. Siapa saja yang membuat Allah murka semata-mata demi meraih keridhaan manusia maka Allah akan membiarkan dirinya dikuasi oleh manusia.” (HR. Ibnu Hibban).

Al-Mubarakfuri di dalam Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarhi Jami' at-Tirmidzi menjelaskan: Sabda Rasul , “Man iltamasa" bermakna thalaba (mencari). Maknanya, siapa saja yang mencari ridha Allah "bi sakhathi an-nasi (dengan sesuatu yang bisa memancing kemarahan manusia).”
As-Sakhathu, as-sukhuthu, as-sukhthu dan al-maskhathu bermakna al-karahah li asy-syay‘i wa 'adamu ar-ridha bihi (ketidaksukaan dan ketidakridhaan terhadap sesuatu).
"Kafahullah mu’ nata an-nas” (Allah mencukupi dirinya sehingga tidak membutuhkan bantuan manusia) karena ia telah menjadikan dirinya sebagai bagian dari hizbulLah (partai Allah). Siapa saja yang berlindung kepada Allah tidak gagal. Ingatlah bahwa mereka yang masuk ke dalam partai Allah adalah orang-orang yang beruntung. Sebaliknya, siapa saja yang mencari ridha manusia dengan sesuatu yang mendatangkan kemurkaan Allah maka “wakalahu ila an-nasi", yakni Allah akan menjadikan manusia berkuasa atas dia hingga manusia itu menyakiti dan menzhalimi dirinya.

Mula Ali al-Qari di dalam Mirqatu al-Mafatih Syarhu Misykati al-Mashabih menjelaskan hadits di atas. Siapa saja yang mencari ridha Allah meski bisa mendatangkan kemarahan manusia, yakni mencari ridha Allah dalam sesuatu yang menyebabkan manusia tidak suka kepada dia, maka Allah menyelamatkan dia dari kejahatan mereka berupa kezhaliman dan perlakuan buruk kepada dirinya. Siapa saja yang mencari ridha manusia dengan sesuatu yang mendatangkan kemurkaan Allah maka Allah akan membiarkan dia dan tidak menolong dia. Allah membiarkan dia dikuasi oleh manusia. Ini merupakan pesan yang komprehensif untuk semua manusia.

Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah di dalam al-Fawa’id menyatakan “Man ardhallah wa askhatha an-nas" merupakan prinsip agung yang harus diketahui oleh orang berakal. Ini berlaku untuk setiap orang. Pasalnya, manusia adalah makhluk sosial yang harus hidup bersama dengan manusia lainnya. Manusia mempunyai keinginan dan imajinasi yang tentu ingin disetujui oleh manusia lainnya. Jika orang-orang tidak setuju, mereka bisa menyakiti dan menyiksa dirinya. Sebaliknya, jika dia membuat manusia setuju maka serangan dan siksaan itu juga terjadi, kadang dari mereka dan kadang dari selain mereka.

Ibnu al-Qayyim juga menyatakan jadi yang wajib dijadikan pegangan adalah sabda Rasull dalam hadits Aisyah yang dikirim kepada Muawiyah, yang diriwayatkan secara marfu' dan mawquf. Ini berlaku pada orang yang menolong raja dan pemimpin atas keinginan rusak mereka, juga pada orang yang menolong pelaku bid'ah yang bernisbat pada ilmu dan agama atas klaim bid'ah mereka. Siapa saja yang ditunjuki oleh Allah, dia terhalang dari perbuatan haram dan dia bersabar atas serangan dan permusuhan mereka, kemudian kesudahan yang baik adalah untuk dia di dunia dan akhirat.

Di antara manusia yang biasanya banyak dicari ridhanya adalah penguasa. Pasalnya, di tangannya ada kekuasaan dan alat kekuasaan yang siap dia gunakan, bisa saja untuk menggebuk siapa saja yang tidak dia sukai atau yang membuat dia marah. Namun, perilaku sekadar menyenangkan penguasa, tanpa peduli membuat murka Allah SWT, tentu menyimpan bahaya besar. Apalagi jika itu dilakukan oleh orang yang memiliki agama, khususnya ulama.

Dalam hal itu Imam al-Ghazali di dalam Ihya' 'Ulum ad-Din mengutip ucapan Ibnu Mas'ud ra.: "Seseorang yang sungguh-sungguh masuk ke istana (penguasa) dengan membawa agamanya, tetapi dia kemudian keluar tanpa membawa agamanya." Ditanya, “Mengapa begitu?” Ibnu Mas'ud menjawab, “Sebab dia telah berusaha menyenangkan penguasa itu dengan sesuatu yang mendatangkan kemurkaan Allah."

Imam al-Ghazali juga menyatakan, bahwa siapa yang menyibukkan diri mencari ridha manusia dan memperbagus keyakinan mereka tentangnya, mereka tertipu. Sebabnya, seandainya dia makrifat kepada Allah dengan sebenarnya niscaya dia tahu bahwa makhluk tidak berguna sedikitpun dalam menghindarkan sesuatu dari Allah, juga bahwa madharat dan manfaat makhluk itu ada di tangan Allah. Tidak ada yang memberi manfaat dan tidak pula memadaratkan selain Dia. Dia pun sadar bahwa siapa saja yang mencari ridha dan kecintaan manusia dengan sesuatu yang bisa mengundang murka Allah, niscaya Allah murka terhadap dirinya dan Allah akan membuat manusia marah terhadap dirinya. Bahkan ridha manusia itu merupakan tujuan yang tidak bisa diraih. Jadi ridha Allah lebih utama dicari.

Alhasil, seseorang wajib menjadikan rasa takutnya kepada Allah berada di atas semua rasa takut. Hendaknya dia tidak mempedulikan siapapun dalam menjalankan syariah Allah. Hendaknya dia tahu bahwa siapa saja yang mencari ridha Allah, meski manusia tidak suka padanya, maka kesudahan (kebaikan) adalah untuk dirinya. Sebaliknya, jika dia mencari ridha manusia dan bergantung pada manusia dengan sesuatu yang bisa membuat Allah murka, maka kondisinya akan berbalik, dan dia tidak meraih maksudnya. Bahkan yang terjadi justru berlawanan dengan maksudnya, yaitu Allah murka kepada dirinya dan Allah akan menjadikan manusia juga marah atau tidak suka kepada dirinya.

Wallah a'lam bi ash-shawab.[]

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Media Politik Dan Dakwah al-Wa’ie edisi Maret 2018

لاَ هَوْلَ وَلاَ قُوَّتَ اِلاَّبِاللّهِ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam