“Siapa saja yang
mencari ridha Allah dengan risiko
dimurkai oleh manusia maka Allah akan mencukupi dirinya sehingga tidak
memerlukan bantuan manusia. Siapa saja yang mencari ridha manusia dengan
sesuatu yang bisa mengundang kemurkaan Allah maka Allah akan membiarkan dirinya
dikuasai manusia.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu al-Mubarak).
Ibnu Hibban
meriwayatkan hadis di atas di dalam Shahih Ibni
Hibban dengan dua redaksi yang sedikit berbeda.
Pertama, riwayat dari
jalur Urwah, dari Aisyah, dari Rasul ﷺ yang bersabda:
“Siapa saja yang
mencari ridha Allah dengan risiko dimurkai manusia maka Allah meridhai dia dan
akan membuat manusia pun ridha kepada dirinya. Siapa saja yang mencari ridha
manusia dengan sesuatu yang bisa mengundang murka Allah maka Allah murka kepada
dia dan membuat manusia bisa marah kepada dirinya.” (HR. Ibnu Hibban).
Riwayat kedua, dari jalur al-Qasim, dari Aisyah ra. dari Rasul ﷺ
yang bersabda:
“Siapa saja yang membuat ridha Allah meski bakal mengundang kemarahan manusia maka Allah akan menyelamatkan dirinya. Siapa saja yang membuat Allah murka semata-mata demi meraih keridhaan manusia maka Allah akan membiarkan dirinya dikuasi oleh manusia.” (HR. Ibnu Hibban).
“Siapa saja yang membuat ridha Allah meski bakal mengundang kemarahan manusia maka Allah akan menyelamatkan dirinya. Siapa saja yang membuat Allah murka semata-mata demi meraih keridhaan manusia maka Allah akan membiarkan dirinya dikuasi oleh manusia.” (HR. Ibnu Hibban).
Al-Mubarakfuri
di dalam Tuhfah
al-Ahwadzi bi Syarhi Jami' at-Tirmidzi
menjelaskan: Sabda Rasul ﷺ, “Man iltamasa" bermakna thalaba (mencari). Maknanya, siapa saja yang mencari ridha
Allah "bi
sakhathi an-nasi (dengan sesuatu yang
bisa memancing kemarahan manusia).”
As-Sakhathu, as-sukhuthu, as-sukhthu dan al-maskhathu bermakna al-karahah li asy-syay‘i wa 'adamu ar-ridha bihi (ketidaksukaan
dan ketidakridhaan terhadap sesuatu).
"Kafahullah mu’ nata an-nas” (Allah mencukupi
dirinya sehingga tidak membutuhkan bantuan manusia) karena ia telah menjadikan
dirinya sebagai bagian dari hizbulLah
(partai Allah). Siapa saja yang berlindung kepada Allah tidak gagal. Ingatlah
bahwa mereka yang masuk ke dalam partai Allah adalah orang-orang yang
beruntung. Sebaliknya, siapa saja yang mencari ridha manusia dengan sesuatu
yang mendatangkan kemurkaan Allah maka “wakalahu
ila an-nasi", yakni Allah akan menjadikan manusia berkuasa atas dia
hingga manusia itu menyakiti dan menzhalimi dirinya.
Mula Ali al-Qari di
dalam Mirqatu al-Mafatih Syarhu Misykati
al-Mashabih menjelaskan hadits di atas. Siapa saja yang mencari ridha
Allah meski bisa mendatangkan kemarahan manusia, yakni mencari ridha Allah
dalam sesuatu yang menyebabkan manusia tidak suka kepada dia, maka Allah
menyelamatkan dia dari kejahatan mereka berupa kezhaliman dan perlakuan buruk
kepada dirinya. Siapa saja yang mencari ridha manusia dengan sesuatu yang
mendatangkan kemurkaan Allah maka Allah akan membiarkan dia dan tidak menolong
dia. Allah membiarkan dia dikuasi oleh manusia. Ini merupakan pesan yang
komprehensif untuk semua manusia.
Ibnu al-Qayyim
al-Jauziyah di dalam al-Fawa’id
menyatakan “Man ardhallah wa askhatha an-nas"
merupakan prinsip agung yang harus diketahui oleh orang berakal. Ini berlaku
untuk setiap orang. Pasalnya, manusia adalah makhluk sosial yang harus hidup
bersama dengan manusia lainnya. Manusia mempunyai keinginan dan imajinasi yang
tentu ingin disetujui oleh manusia lainnya. Jika orang-orang tidak setuju,
mereka bisa menyakiti dan menyiksa dirinya. Sebaliknya, jika dia membuat
manusia setuju maka serangan dan siksaan itu juga terjadi, kadang dari mereka
dan kadang dari selain mereka.
Ibnu
al-Qayyim juga menyatakan jadi yang wajib dijadikan pegangan adalah sabda
Rasull ﷺ dalam hadits Aisyah yang dikirim kepada Muawiyah,
yang diriwayatkan secara marfu' dan mawquf. Ini berlaku pada orang yang
menolong raja dan pemimpin atas keinginan rusak mereka, juga pada orang yang
menolong pelaku bid'ah yang bernisbat pada ilmu dan agama atas klaim bid'ah
mereka. Siapa saja yang ditunjuki oleh Allah, dia terhalang dari perbuatan
haram dan dia bersabar atas serangan dan permusuhan mereka, kemudian kesudahan
yang baik adalah untuk dia di dunia dan akhirat.
Di antara manusia yang
biasanya banyak dicari ridhanya adalah penguasa. Pasalnya, di tangannya ada
kekuasaan dan alat kekuasaan yang siap dia gunakan, bisa saja untuk menggebuk
siapa saja yang tidak dia sukai atau yang membuat dia marah. Namun, perilaku sekadar
menyenangkan penguasa, tanpa peduli membuat murka Allah SWT, tentu menyimpan
bahaya besar. Apalagi jika itu dilakukan oleh orang yang memiliki agama,
khususnya ulama.
Dalam hal itu Imam
al-Ghazali di dalam Ihya' 'Ulum ad-Din
mengutip ucapan Ibnu Mas'ud ra.: "Seseorang yang sungguh-sungguh masuk ke
istana (penguasa) dengan membawa agamanya, tetapi dia kemudian keluar tanpa
membawa agamanya." Ditanya, “Mengapa begitu?” Ibnu Mas'ud menjawab, “Sebab
dia telah berusaha menyenangkan penguasa itu dengan sesuatu yang mendatangkan
kemurkaan Allah."
Imam al-Ghazali juga
menyatakan, bahwa siapa yang menyibukkan diri mencari ridha manusia dan
memperbagus keyakinan mereka tentangnya, mereka tertipu. Sebabnya, seandainya
dia makrifat kepada Allah dengan sebenarnya niscaya dia tahu bahwa makhluk
tidak berguna sedikitpun dalam menghindarkan sesuatu dari Allah, juga bahwa madharat dan manfaat makhluk itu ada di tangan
Allah. Tidak ada yang memberi manfaat dan tidak pula memadaratkan selain Dia.
Dia pun sadar bahwa siapa saja yang mencari ridha dan kecintaan manusia dengan
sesuatu yang bisa mengundang murka Allah, niscaya Allah murka terhadap dirinya
dan Allah akan membuat manusia marah terhadap dirinya. Bahkan ridha manusia itu
merupakan tujuan yang tidak bisa diraih. Jadi ridha Allah lebih utama dicari.
Alhasil, seseorang
wajib menjadikan rasa takutnya kepada Allah berada di atas semua rasa takut.
Hendaknya dia tidak mempedulikan siapapun dalam menjalankan syariah Allah.
Hendaknya dia tahu bahwa siapa saja yang mencari ridha Allah, meski manusia
tidak suka padanya, maka kesudahan (kebaikan) adalah untuk dirinya. Sebaliknya,
jika dia mencari ridha manusia dan bergantung pada manusia dengan sesuatu yang
bisa membuat Allah murka, maka kondisinya akan berbalik, dan dia tidak meraih
maksudnya. Bahkan yang terjadi justru berlawanan dengan maksudnya, yaitu Allah
murka kepada dirinya dan Allah akan menjadikan manusia juga marah atau tidak
suka kepada dirinya.
Wallah a'lam bi ash-shawab.[]
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Media Politik
Dan Dakwah al-Wa’ie edisi Maret 2018
لاَ
هَوْلَ وَلاَ قُوَّتَ اِلاَّبِاللّهِ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar