Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 11 Juli 2018

Betulkah Dalil Khilafah Longgar?



Oleh: K.H. Hafidz Abdurrahman

Soal:

Benarkah dalil tentang Khilafah -baik yang menyangkut kewajiban mendirikan Khilafah, bentuk Khilafah dan lain-lainnya- merupakan dalil umum, yang tidak spesifik? Dengan kata lain, benarkah dalil tentang Khilafah itu longgar sehingga bisa diterjemahkan dengan sistem apapun buatan manusia, seperti negara demokrasi? Bagaimana hukum menggunakan maqâshid syarî'ah atau ma'alat af'âl untuk membatalkan hukum yang qath'i? Bolehkah meng-ijtihad-kan hukum yang dinyatakan oleh nas?

Jawab:

Sebelum menjawab pertanyaan ini, penting kita merenungkan sabda Nabi saw. tentang sosok yang lebih ditakutkan Nabi Saw. menimpa umatnya ketimbang Dajjal.
Pertama: Mereka adalah aimmah mudhillun, pemimpin yang menyesatkan.
(Lihat: HR. Ahmad, Abu Dawud [4252] dan at-Tirmidzi [2229]. Menurut al-Manawi, "Abu al-Biqa' berkata, maknanya adalah, “Aku lebih takutkan terhadap umatku, selain Dajjal, lebih aku takutkan ketimbang terhadap Dajjal." Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi menyatakan, "Maknanya adalah sesuatu yang lebih aku takutkan terhadap umatku, yang paling layak untuk ditakuti adalah para pemimpin yang menyesatkan.” [Lihat, Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz XVIII/]. Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Mereka mengatakan, “Siapa saja ulama kita yang rusak, di dalam dirinya menyerupai Yahudi. Siapa saja ahli ibadah di antara kita yang rusak, maka di dalam dirinya menyerupai Nasrani. Tidak hanya satu ulama' salaf yang mengatakan, “Berhati-hatilah kalian terhadap fitnah orang berilmu yang rusak, dan ahli ibadah yang bodoh. Karena fitnah keduanya menjadi fitnah bagi semua orang yang terkena fitnah." [Lihat: Ibn Taimiyyah, Majmu' Fatawa, Juz I/197])

Kedua: Orang munafik yang pintar, dan berdebat dengan menggunakan al-Qur’an. (Lihat: HR. Ahmad, Musnad Ahmad, Juz I/22 dan 44; ibn ‘Abdi al-Barr, Jami' Bayan al-'Ilmi wa Fadhlih, hadits no.1420)

Karena itu pesan Sayyidina 'Ali penting menjadi pegangan kita:

“Janganlah kamu mengenali kebenaran melalui orangnya. Akan tetapi, kenalilah kebenaran itu (terlebih dulu), maka kamu pasti akan mengenali orangnya (apakah dia orang benar atau salah). (Lihat, Imam al-Ghazali, al-Munqidz min ad-Dhalal, hal. . Hujjatu al-Islam, Imam al-Ghazali, mengutip ucapan Sayyidina 'Ali ini dalam kitab tersebut untuk mengingatkan kaum Muslim agar tidak termakan dengan fitnah para Filsuf Muslim, sehingga mereka tersesat)

Adapun terkait dengan pertanyaan di atas maka jawabannya sebagai berikut:
Pertama, mengenai dalil Khilafah, mari kita bandingkan dengan dalil tentang kewajiban shalat. Ketika Nabi saw. diperintahkan mendirikan shalat, Nabi Saw. naik di atas Bukit Shafa, memperagakan tatacara shalat. Setelah selesai, Nabi Saw. menyatakan kepada para Sahabat:

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian tadi melihat aku mengerjakan shalat.” (HR. al-Bukhari).

Setelah itu Nabi Saw. mempraktikkan shalat tersebut sepanjang hayatnya. Lalu hal itu dilihat, didengar dan dipraktikkan oleh para Sahabat pada zaman Nabi Saw. Semua tindakan, ucapan dan praktik Nabi Saw. dalam mengerjakan shalat tersebut merupakan penjelasan detail tentang tatacara shalat yang diwajibkan oleh Allah SWT. Apakah setelah semuanya itu kita akan mengatakan bahwa dalil-dalil tentang shalat bersifat umum, tidak spesifik?

Sekarang mari kita bandingkan dengan Daulah Islam dan Khilafah. Nabi Saw. diperintahkan oleh Allah SWT:

“Hendaklah kamu menerapkan pemerintahan di antara mereka menurut apa (wahyu) yang telah Allah turunkan. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa (wahyu) yang telah Allah turunkan kepadamu...” (QS. al-Maidah [5]: 49).

Di dalam ayat ini perintah-Nya tegas, "menerapkan hukum” yang juga berarti, "menerapkan pemerintahan." Sebab, logikanya, bagaimana mungkin Allah SWT memerintahkan Nabi agar menerapkan hukum, tetapi tidak ada institusi yang digunakan untuk mengeksekusi perintah tersebut.

Selain itu, ayat ini juga merupakan ayat yang diturunkan di Madinah ketika Nabi Saw. telah mendapatkan Baiat Aqabah kedua dan telah menjadi kepala Negara Islam di Madinah. Nabi Saw. pun menjalankan pemerintahannya, A sampai Z. Semuanya berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan. Semua ucapan, tindakan dan kebijakan Nabi itu diperagakan secara live selama 10 tahun di Madinah. Semuanya itu dilihat, didengar dan diikuti oleh para Sahabat.

Semasa hidupnya Nabi Saw. pun dengan tegas berpesan agar kaum Muslim memegang teguh Sunnah beliau dan Sunnah Khulafaur Rasyidin setelah beliau. Bahkan beliau mengingatkan agar keduanya digigit dengan gigi geraham, agar tidak lepas:

Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah Sunnah itu dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Selain itu, bentuk dan model Khilafah juga sudah dijelaskan dengan detail. Nabi Saw. menyatakan:

“Ada era kenabian di antara kalian, dengan izin Allah akan tetap ada, kemudian ia akan diangkat oleh Allah jika Allah berkehendak untuk mengangkatnya. Setelah itu akan ada era Khilafah yang mengikuti metode kenabian.” (HR. Ahmad).

Nabi Saw. telah menjelaskan praktiknya selama 10 tahun di Madinah, baik dalam ucapan, perbuatan maupun taqrîr [pengakuan]. Setelah beliau wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh para Sahabat. Pemerintahan itu beliau sebut sebagai Khilafah 'ala minhâj nubuwwah karena memang mereka hanya meng-copy paste pemerintahan Nabi Saw. Apakah semuanya ini bukan merupakan dalil yang spesifik? Tidak cukupkah praktik pemerintahan Nabi Saw. selama 10 tahun bersama dengan para Sahabat?

Memang, di dalamnya ada aspek ijtihad. Itu sudah pasti, sebagaimana furu' shalat. Namun demikian, inti, rukun dan bentuknya sudah baku. Jadi, bagaimana mungkin mengatakan dalil-dalil tentang Khilafah masih bersifat umum, tidak spesilik? Padahal dalil-dalilnya sama dengan dalil shalat. Dua-duanya juga sama-sama dipraktikkan sepanjang hidup Nabi Saw. dan para Sahabat. Kalau terkait shalat, mereka [yang suka meragukan Khilafah] tidak mempersoalkan dalil-dalil ‘âm dan takhshîsh atau tafshîl-nya, mengapa dalil-dalil tentang Khilafah mereka persoalkan? Di mana nalarnya?

Lagi pula, dalil umum itu biasanya hanya satu dua. Adapun ucapan, tindakan dan taqrîr Nabi Saw. dalam menjalankan pemerintahan, itu berlangsung selama 10 tahun. Belum lagi pemerintahan Khilafah yang telah menjadi Ijmak Sahabat yang berlangsung selama 30 tahun. Semuanya begitu detail. Lalu masihkah disebut dalil umum? Di mana nalarnya? Karena itu, tidak ada ulama ushul manapun menyatakan pendapat begitu, kecuali orang buta dan tuli. Karena itu pula, wajar ketika 'Ali Abdurraziq menyatakan begitu, Hai'ah Kibar Ulama' al-Azhar memandang dia tidak layak lagi disebut ulama sehingga status keulamaannya dicopot. (Lihat: Dr. Sayyid Taqiyuddin, Radd Hai'ah Kibar Ulama' 'ala Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm li as-Syaikh 'Ali Abdurraziq, Hadiyyah Majallah al-Azhar al-Majjaniyyah, Rabiul Awwal 1414 H, hal.46)
Pasalnya, pendapat dia tidak bisa diterima akal sehat orang yang paham Islam, dalil, ushul dan bahasa Arab. Jelas memalukan.

Di antara mereka ada yang bersandar pada penjelasan as-Syathibi dalam kitabnya, "Khilafah itu umum atau khusus, mengikuti apa yang dijelaskan oleh hadis." Padahal Asy-Syathibi dalam penjelasannya justru menyatakan, "Tampak bahwa hukum tersebut bersifat "kulli" [menyeluruh] dan "âm” [umum], tidak dibatasi. Karena itu bagian-bagian dari seluruh kekuasaannya tidak boleh menyimpang darinya, baik secara umum maupun khusus. Jika demikian, yang dituntut adalah siapapun yang berada di posisi orang yang menggantikannya maka hukum-hukumnya, maqâshid dan aliran hukumnya harus diberlakukan sama." (Lihat, as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari'ah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Juz II/252)

Karena itu, logika ini, yang sekaligus premis pertama, jelas batil.

Kedua, benarkah dalil-dalil tentang Khilafah itu longgar, sehingga bisa diadaptasi dalam sistem pemerintahan demokrasi, yang diklaim sebagai sistem dengan nilai-nilai Islam itu sendiri? Logika ini sebenarnya dibangun dengan premis pertama, bahwa dalil-dalil Khilafah itu bersifat umum, tidak spesifik. Padahal, premis ini sudah batil dan tidak bisa diterima nalar.

Selain itu, harus dipahami, Khilafah adalah isim syar'i [istilah syariah]. Artinya, Khilafah ini bukan istilah buatan manusia. Pasalnya, istilah ini pertama kali digunakan dalam nas syariah dengan konotasi yang khas, berbeda dengan makna yang dikenal oleh orang Arab sebelumnya. Ini sebagaimana kata shalat, haji, zakat, dan sebagainya. (Lihat, al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz I/27-28)

Istilah Khilafah dengan konotasi syariah ini digunakan dalam banyak hadis Nabi saw. dalam banyak riwayat. (Lihat, Musnad al-Bazzar, hadits no.1282. Musnad Ahmad, hadits no.2091 dan 20913. Sunan Abu Dawud, hadits no.4028. Sunan at-Tirmidzi, hadits no.2152. Al-Mustadrak, hadits no.4438)

Adapun pemangkunya disebut khalîfah, jamaknya khulafâ'. Istilah ini pun dinyatakan dalam banyak hadis. (Lihat, Shahih Bukhari, hadits no.6682. Shahih Muslim, hadits no.3393, 3394, 3395, 3396, 3397 dan 3398. Sunan Abu Dawud, hadits no.3731 dan 3732. Musnad Ahmad, hadits no.3394, 19901, 19907, 19943, 19963, 19987, 19997, 20019, 20032, 20041, , 20054, 20103 dan 20137. Sunan at-Tirmidzi, hadits no.2149 dan 4194)

Karena itu istilah Khilafah dan Khalifah adalah istilah syariah, yang memang digunakan dalam nash syariah, yang bersumber dari wahyu. Istilah ini kemudian diadopsi para ulama ushuluddin, fikih dan tsaqâfah Islam yang lainnya dengan konotasi sebagaimana yang dimaksud oleh banyak hadis Nabi Saw.

Konotasinya jelas sehingga tidak ada perbedaan di kalangan ulama dan umat sepanjang 14 abad. (Majmu’ah Muallifin, Mu’jam Musthalahat al-‘Ulum as-Syar’iyyah, hal.756)

Dengan demikian, upaya menyerang dan mengaburkan fakta Khilafah, baik tentang dalil, bentuk dan modelnya dengan kata-kata, "dalilnya umum, tidak spesifik", atau “tidak mempunyai bentuk dan model baku”, jelas bertolak belakang 180 derajat dengan faktanya. Ucapan ini hanya keluar dari bekas ulama, seperti 'Ali Abdurraziq, atau kaum munafik yang pintar bersilat lidah, atau "Dajjal" yang menyesatkan sebagaimana dalam hadis Nabi Saw. di atas. (Lihat, Hr. Ahmad, Abu Dawud [4252] dan at-Tirmidzi [2229]; Hr. Ahmad, Musnad Ahmad, Juz I/22 dan 44; Ibn ‘Abdi al-Barr, Jami' Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih, hadits no.1420. Lihat, catatan kaki no.1 dan 2)

Anehnya, pada saat yang sama, pemerintahan demokrasi yang jelas-jelas tidak ada dalilnya, bahkan bertentangan dengan Islam, dijustifikasi sedemikian rupa agar bisa diterima. Demokrasi jelas sama sekali tidak ada dalilnya, jangankan dalalâh manthûq, mafhûm-nya saja tidak ada. Namun demikian, mereka tetap saja ngotot bahwa demokrasi itu identik dengan Islam. Di mana nalarnya?

Karena itu, upaya mengadaptasi sistem demokrasi yang jelas bertentangan dengan Islam, dengan klaim sebagai pemerintahan Islam jelas menyalahi dalil, fakta dan nalar sehat. (Lihat, penjelasan mendalam Kontradiksi Demokrasi dengan Islam, dalam kitab Kaifa Hudimat al-Khilafah, karya al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, hal.59-69)

Ketiga, bagaimana kedudukan maqâshid syarî'ah dan ma'alat al-af'âl dalam merekonstruksi hukum?

Maqâshid asy-Syarî'ah, yaitu jalb al-mashâlih [mewujudkan kemaslahatan] wa dar'u al-mafâsid [mencegah kerusakan], ini dibahas oleh As-Syathibi, dalam kitabnya, al-Muwâfaqât. Hanya saja, pendapat beliau kemudian diselewengkan, sebagai tujuan pensyariatan hukum syariah, sehingga diklaim sebagai ‘illat hukum, bahkan kemudian diklaim sebagai dalil syariah itu sendiri. Padahal maqâshid asy-syarî'ah itu bukan 'illat hukum, apalagi dalil syariah. Maqâshid asy-Syarî'ah ini adalah tujuan dari pensyariatan dan penerapan hukum syariah secara kaffah. Allah SWT berfirman:

“Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) -dengan membawa syariah, red.- kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta” (QS. al-Anbiya’ [29]: 107).

Rahmat[an] li al-'alamin di sini adalah jalb al-mashâlih [mewujudkan kemaslahatan] wa dar'u al-mafâsid [mencegah kerusakan]. Jalb al-mashâlih wa dar'u al-mafâsid ini adalah hasil dari penerapan syariah secara kaffah sehingga tidak bisa disebut sebagai 'illat hukum, baik untuk hukum secara keseluruhan maupun satu-persatu hukum. (Lihat, al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, Juz III/361-368)

Apalagi jika dengan alasan jalb al-mashâlih wa dar'u al-mafâsid menolak hukum yang qath'i atau yang telah disepakati. Dalam konteks ini, Imam Asy-Syathibi sendiri menyatakan:

“Jika dia menghendaki selain apa yang dikehendaki oleh Asy-Syâri' maka dia benar-benar telah menjadikan apa yang dikehendaki oleh Asy-Syâri' itu tidak lagi diakui [diterima]… Tindakan itu jelas secara nyata bertentangan dengan syariah.” (Lihat, as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Juz II/253)

Kewajiban adanya Khilafah dan Khalifah, sebagaimana yang dititahkan dan dijelaskan oleh Asy-Syâri', jelas-jelas hendak didelegitimasi oleh mereka dengan menggunakan ‘illat dan dalil maqâshid asy-syarî'ah. Beragumen dengan logika seperti ini jelas cacat. Bahkan Asy-Syathibi sendiri menolaknya.

Menolak Khilafah dengan menggunakan kaidah ma'alat al-af'âl [dampak perbuatan] juga tertolak. Dikatakan, misalnya, kewajiban adanya Khilafah dan Khalifah saat ini tidak wajib karena bisa menimbulkan ke-madharat-an yang lebih besar, perpecahan, perang saudara dan sebagainya. Kesimpulan seperti ini dihasikan dari penggunaan kaidah ma'alat al-af'âl [dampak perbuatan]. Sama seperti orang yang mengatakan, memakai cadar hukumnya wajib bagi perempuan agar terhindar dari fitnah. Kesimpulan ini juga menggunakan kaidah ma'alat al-af'âl [dampak perbuatan]. Hukum yang ditarik dengan cara seperti ini jelas keliru karena tidak menggunakan dalil, tetapi hanya menggunakan akal murni.

Ma'alat al-af'âl [dampak perbuatan], baik sebagai dalil maupun kaidah, jelas tidak bisa digunakan; kecuali dalam perkara yang dinyatakan oleh nas dan tidak membatalkan hukum yang ditetapkan oleh nas. Jika tidak, maka tidak boleh digunakan.

Keempat, bolehkah meng-ijtihad-kan perkara yang telah dinyatakan oleh nas? Dalam konteks ini, ada kaidah ushul yang menyatakan:

Tidak boleh ada ijtihad ketika [perkara] itu telah dinyatakan dalam nas.

Khilafah, Khalifah dan sistem pemerintahan Islam ini merupakan perkara yang telah dinyatakan dalam nas sehingga tidak boleh ada ijtihad, apalagi dengan tujuan menegasikan kewajibannya; menolak bentuk, sistem dan modelnya. Hanya dalam perkara yang tidak dinyatakan oleh nash, tidak ada larangan untuk dilakukan ijtihad.

WalLâhu a'lam.[]

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Media Politik Dan Dakwah al-Wa’ie edisi Maret 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam