Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 11 Juli 2018

Klasifikasi as-Sunnah



Dalam Konteks ushul fikih, as-Sunnah baik sunnah qawliyah, fi'liyah ataupun taqririyah, dari sisi sanad bisa diklasifikasikan menjadi tiga: mutawatir, masyhur dan ahad.

Pengklasifikasian tersebut secara umum mu'tabar menurut para ulama ushul, meski ada perbedaan mereka dalam ungkapan.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam Ushul al-Fiqh al-Islami menjelaskan bahwa as-Sunnah menurut sanad terbagi menurut jumhur menjadi dua klasifikasi: mutawatir dan ahad, baik khabar ahad itu mustafidh, yaitu yang perawinya lebih dari tiga, seperti yang ditetapkan oleh al-Amidi dan Ibnu Hajib, atau ghayru mustafidh yaitu masyhur, yakni yang perawinya tiga orang atau lebih kemudian menjadi terkenal (masyhur); meski pada abad kedua atau ketiga sampai batas dinukilkan oleh para perawi tsiqah yang tidak dibayangkan mereka sepakat atas kebohongan (Lihat: Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam; al-Ghazali, Al-Mustashfa, I/93; Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, hlm.41 dst; Ali asy-Syasyi, Ushul asy-Syasyi, hlm.81; As-Subki, Al-Ibhaj, ii/186).

Menurut Hanafiyah, as-Sunnah berdasarkan sanadnya terbagi ke dalam tiga klasifikasi: mutawatir, masyhur dan ahad (Lihat: Ibnu Amir al-Haj, At-Taqrir wa at-Tahbir, II/225; At-Talwih 'ala at-Tawdih, II/2).

Dua macam pengklasifikasian itu tidak berbeda banyak. Khabar wahid mustafidh itulah yang disebut masyhur.

Jadi hadis itu, jika dinukilkan oleh jamaah (sekelompok) orang dari tabi' at-tabi'in, dari jamaah at-tabi'in, dari jamaah (sekelompok) Sahabat, dari Nabi saw. maka itulah mutawatir.
Jika dinukilkan oleh jamaah tabi' at-tabi'in, dari jamaah at-tabi'in, dari satu atau lebih Sahabat yang jumlah mereka tidak sampai pada batas tawatur, maka itu adalah hadits masyhur karena diterima oleh umat dan terkenal di tengah mereka.
Jika diriwayatkan oleh satu perawi atau lebih dan jumlah mereka tidak mencapai batas tawatur sejak masa Sahabat, at-tabi'in dan tabi' at-tabi'in maka itu disebut khabar ahad.

Adapun dari sisi berfaedah yakin atau zhann, maka as-Sunnah hanya ada dua kasifikasi: (1) berfaedah yaqin/ qath'i/ al-ilmu; (2) berfaedah zhann.

Hadits masyhur, dari sisi ini, termasuk hadits ahad.
Hadits itu, jika diriwayatkan oleh sejumlah tabi' at-tabi'in yang aman dari bersepakat atas kebohongan, dari sejumlah at-tabi'in yang aman dari bersepakat atas kebohongan, dari sejumlah sahabat yang tegak hujjah qath'i dengan ucapan mereka, maka hadits demikian adalah hadits mutawatir.
Jadi hadits mutawatir itu, jika pada tiga tingkatan (Sahabat, at-tabi'in dan tabi' at-tabi'in) jumlah perawinya mencapai batas tawatur pada setiap tingkatannya.
Jika salah satu dari tiga tingkatan itu tidak mencapai batas tawatur maka termasuk khabar ahad, baik yang tidak terpenuhi itu pada tingkat Sahabat, at-tabi’in atau tabi’ at-tabi’in atau di semua tingkatan itu, maka termasuk khabar ahad; tidak berfaedah yakin, melainkan berfaedah zhann.
Hanya saja, jika yang tidak mencapai batas tawatur itu hanya pada tingkat Sahabat, sementara pada tingkat at-tabi'in dan tabi' at-tabi'in mencapai batas tawatur, maka disebut hadis masyhur karena kemasyhurannya di tengah umat. Namun, dari sisi faedahnya tidak berbeda dengan khabar ahad, yaitu tidak berfaedah yakin, melainkan hanya berfaedah zhann.

Hadis Mutawatir

At-Tawatur secara bahasa artinya mengikutnya sesuatu setelah yang lain dengan masa jeda di antara keduanya. Makna itu dinyatakan di dalam al-Quran: "tsumma arsalna rusulana tatra” (Kemudian Kami mengutus (kepada umat-umat itu) para rasul Kami berturut-turut (TQS. al-Mu'minun [23]: 44).

Adapun dalam istilah ulama ushul, hadits mutawatir adalah khabar jamaah (sekelompok perawi) yang banyak jumlahnya sampai batas tercapai keyakinan (al-'ilmu) dengan ucapan mereka. Hal itu tidak akan tercapai, artinya tidak mutawatir, kecuali jika mereka yakin dengan apa yang mereka beritakan dan bukan dugaan (zhann). Keyakinan mereka itu disandarkan pada penginderaan langsung (mendengar atau melihat). Kelompok perawi yang terpenuhi syarat tersebut ada pada tingkat Sahabat, at-tabi'in dan tabi' at-tabi'in.

Dengan demikian khabar mutawatir itu harus memenuhi syarat:
Pertama, perawinya harus berjumlah banyak. Banyaknya jumlah perawi harus disertai kondisi dan keadaan yang memustahilkan mereka bersepakat atas kebohongan. Ini berbeda-beda dari sisi sosok pribadi perawi, tempat dan keadaan.
Kedua, jumlah dan keadaan yang memustahilkan untuk bersepakat atas kebohongan itu terpenuhi pada semua tingkatan: tingkat Sahabat, at-tabi'in dan tabi' at-tabi’in.
Ketiga, pada tingkat Sahabat, apa yang mereka beritakan harus bersandar pada penginderaan, baik mendengar atau melihat langsung atau lainnya; bukan bersandar pada penetapan akal, sebab penetapan akal bisa salah (Lihat: Al-'Allamah Taqiyuddin an-Nabhan, asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, I/332: Al-Ghazali, Al-Mustashfa, II/86; Ibnu Amir al-Haj, at-Taqrir wa at-Tahbir, II/233; Al-Laknawi al-Anshari, Fawatih ar-Rahamut, II/115; as-Subki, al-Ibhaj Syarh al-Minhaj, ii/187; Asy-Syaukani, Irsydu al-Fuhul, hlm.41).

Mengenai jumlah yang mengantarkan pada keyakinan atau tawatur, para ulama ushul berbeda pendapat berapa minimalnya. Ada yang mengatakan lima, dua belas, dua puluh, empat puluh, tujuh puluh, 313 orang dan lainnya. Sebagiannya mengemukakan dalil yang mendukung pendapatnya. Hanya saja, Syaikh Wahbah az-Zuhaili mengatakan, semua dalilnya itu lemah, tidak merujuk pada akal maupun naql; tidak ada di antara dalil-dalil itu dan objek perselisihan sesuatu yang menghimpun atau pengikat. Yang rajih, patokan at-tawatur adalah tercapainya al-'ilmu (kepastian) dan keyakinan terhadap ucapan orang yang memberitakan, tanpa batasan jumlah tertentu (Lihat: Syarh al-Jalal al-Mahali 'ala Jam'i al-Jawami', 2/106; Ibnu Amir al-Haj, At-Taqrir wa at-Tahbir; as-Subki, Zil; al-Ibhaj, II/189; Sayid al-Katani, an-Nazhmu al-Mutanatsir min al-Hadits al-Mutawatir, hlm.10).

Semua pendapat yang menentukan jumlah minimal tercapainya tawatur itu tidak memiliki sandaran dari akal maupun naql. Pasalnya, tidak ada nas yang menyatakan jumlah tertentu. Akal juga tidak me-rajih-kan jumlah tertentu. Patokan khabar mutawatir adalah tercapainya al-'ilmu al-yaqin, bukan riwayat jumlah tertentu. Sebab, bersama jumlah itu ada indikasi yang menunjukkan kuat atau lemahnya khabar.
Kadangkala khabar itu diriwayatkan oleh jumlah tertentu yang dengan riwayat mereka tidak tercapai kepastian dan keyakinan.
Kadang khabar diriwayatkan oleh kelompok lain dengan jumlah yang sama dan tercapai kepastian dan keyakinan. Pasalnya, penilaian khabar itu berbeda menurut indikasi-indikasi yang menyertai, meski jumlahnya sama.
Atas dasar itu, hadis mutawatir yang menghasilkan kepastian dan keyakinan harus diriwayatkan oleh sejumlah orang, bukan jumlah tertentu. Jumlah orang itu, juga tempat mereka yang saling berjauhan, memustahilkan mereka bersepakat atas kebohongan.
Patokan jumlah hanya didasarkan pada kemustahilan mereka bersepakat atas kebohongan.
Jadi hadis mutawatir itu haruslah diriwayatkan oleh jama’ah (sekelompok perawi) dan jumlah mereka harus menghalangi mereka bersepakat atas kebohongan. Hal itu berbeda-beda, bergantung pada orang yang memberitakan, fakta-fakta dan indikasi-indikasi yang menyertai (Al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/82-83).

Menurut kesepakatan para ulama, hukum hadits mutawatir adalah qath'i tsubut berasal dari Rasul Saw. Hadits mutawatir berfaedah al-'ilmu (kepastian) dan al-yaqin (keyakinan), orang yang mengingkari hadis mutawatir dikafirkan (Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqhi al-Islami, I/453).

Al-'Allamah Syaikh Tqaiyuddin an-Nabhani dalam asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (I/332) menyatakan bahwa hukum hadits mutawatir berfaedah al-‘ilmu adh-dharuri (kepastian yang bersifat mutlak). Artinya, manusia dipaksa yakin dan tidak mungkin bisa menolak. Bersifat dharuri tidak lain karena tidak memerlukan nazhar (penelaahan). Artinya, khabar mutawatir berfaedah pada kepastian.

Khabar mutawatir ada dua jenis: mutawatir lafzh[an] (mutawatir redaksi [ungkapanl-nya) dan mutawatir ma'n[an] (mutawatir maknanya). Kedua jenis tersebut ada.
Diriwayatkan banyak hadis mutawatir, meski ada perbedaan tentang penilaian hadits sebagai mutawatir menurut para ulama sesuai perbedaan pandangan mereka tentang mutawatir. Contoh hadits mutawatir lafzh[an]: sabda Rasul Saw.:

“Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja, hendaklah ia siapkan tempat duduknya di Neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh 70-an Sahabat.

Contoh lain hadis mutawatir adalah hadis al-Hawdh, hadis mengusap kaus kaki, hadis mengangkat tangan di dalam shalat (Dr. Mahmud Thahhan. Taysir Mushthalah al-Hadits, hlm.21).

Contoh hadits mutawatir lafzh[an], menurut sebagian pen-tahqiq, adalah sabda Rasul Saw.:

“Tidak ada wasiat untuk ahli waris” (HR. Ahmad dan Ashhab as-Sittah dari Anas).

Hadits ini diriwayatkan oleh dua belas Sahabat. Di antara mereka apa yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, ad-Daraquthni dan Ibnu Adi dari Ali ra. (Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqhi al-Islami, I/452).

Adapun contoh hadis mutawatir maknawi adalah shalat sunnah shubuh dua rakaat (Al-'Allamah an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyah, I/333).

Contoh lainnya adalah hadits tentang mengangkat kedua tangan saat berdoa. Ada sekitar 100 hadits tentang ini. Masing-masing menyatakan Rasul Saw. mengangkat kedua tangan saat berdo’a dalam berbagai masalah meski masing-masing hadits itu tidak mutawatir (Dr. Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, hlm.21, mengutip dari As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, II/180).

Masih banyak lagi hadits mutawatir yang lain.

WalLah a'lam bi ash-shawab. [Yahya Abdurrahman]

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Media Politik Dan Dakwah al-Wa’ie edisi Maret 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam