Dalam Konteks ushul
fikih, as-Sunnah baik sunnah qawliyah,
fi'liyah ataupun taqririyah, dari sisi sanad bisa diklasifikasikan menjadi
tiga: mutawatir, masyhur dan ahad.
Pengklasifikasian
tersebut secara umum mu'tabar menurut para ulama ushul, meski ada perbedaan
mereka dalam ungkapan.
Syaikh Wahbah
az-Zuhaili dalam Ushul al-Fiqh al-Islami
menjelaskan bahwa as-Sunnah menurut sanad terbagi menurut jumhur menjadi dua
klasifikasi: mutawatir dan ahad, baik khabar
ahad itu mustafidh, yaitu yang perawinya
lebih dari tiga, seperti yang ditetapkan oleh al-Amidi dan Ibnu Hajib, atau ghayru mustafidh yaitu masyhur, yakni yang
perawinya tiga orang atau lebih kemudian menjadi terkenal (masyhur); meski pada
abad kedua atau ketiga sampai batas dinukilkan oleh para perawi tsiqah yang tidak dibayangkan mereka sepakat
atas kebohongan (Lihat: Al-Amidi, Al-Ihkam fi
Ushul al-Ahkam; al-Ghazali, Al-Mustashfa,
I/93; Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul,
hlm.41 dst; Ali asy-Syasyi, Ushul asy-Syasyi,
hlm.81; As-Subki, Al-Ibhaj, ii/186).
Menurut Hanafiyah,
as-Sunnah berdasarkan sanadnya terbagi ke dalam tiga klasifikasi: mutawatir,
masyhur dan ahad (Lihat: Ibnu Amir al-Haj, At-Taqrir
wa at-Tahbir, II/225; At-Talwih 'ala
at-Tawdih, II/2).
Dua macam
pengklasifikasian itu tidak berbeda banyak. Khabar
wahid mustafidh itulah yang disebut masyhur.
Jadi hadis itu, jika
dinukilkan oleh jamaah (sekelompok) orang dari tabi' at-tabi'in, dari jamaah
at-tabi'in, dari jamaah (sekelompok) Sahabat, dari Nabi saw. maka itulah
mutawatir.
Jika dinukilkan oleh
jamaah tabi' at-tabi'in, dari jamaah at-tabi'in, dari satu atau lebih Sahabat
yang jumlah mereka tidak sampai pada batas tawatur, maka itu adalah hadits
masyhur karena diterima oleh umat dan terkenal di tengah mereka.
Jika diriwayatkan oleh
satu perawi atau lebih dan jumlah mereka tidak mencapai batas tawatur sejak
masa Sahabat, at-tabi'in dan tabi' at-tabi'in maka itu disebut khabar ahad.
Adapun dari sisi
berfaedah yakin atau zhann, maka
as-Sunnah hanya ada dua kasifikasi: (1) berfaedah yaqin/ qath'i/ al-ilmu; (2) berfaedah zhann.
Hadits masyhur, dari
sisi ini, termasuk hadits ahad.
Hadits itu, jika
diriwayatkan oleh sejumlah tabi' at-tabi'in yang aman dari bersepakat atas
kebohongan, dari sejumlah at-tabi'in yang aman dari bersepakat atas kebohongan,
dari sejumlah sahabat yang tegak hujjah qath'i dengan ucapan mereka, maka hadits
demikian adalah hadits mutawatir.
Jadi hadits mutawatir
itu, jika pada tiga tingkatan (Sahabat, at-tabi'in dan tabi' at-tabi'in) jumlah
perawinya mencapai batas tawatur pada setiap tingkatannya.
Jika salah satu dari
tiga tingkatan itu tidak mencapai batas tawatur maka termasuk khabar ahad, baik yang tidak terpenuhi itu
pada tingkat Sahabat, at-tabi’in atau tabi’ at-tabi’in atau di semua tingkatan
itu, maka termasuk khabar ahad; tidak
berfaedah yakin, melainkan berfaedah zhann.
Hanya saja, jika yang
tidak mencapai batas tawatur itu hanya pada tingkat Sahabat, sementara pada
tingkat at-tabi'in dan tabi' at-tabi'in mencapai batas tawatur, maka disebut
hadis masyhur karena kemasyhurannya di tengah umat. Namun, dari sisi faedahnya tidak
berbeda dengan khabar ahad, yaitu tidak
berfaedah yakin, melainkan hanya berfaedah zhann.
Hadis Mutawatir
At-Tawatur secara
bahasa artinya mengikutnya sesuatu setelah yang lain dengan masa jeda di antara
keduanya. Makna itu dinyatakan di dalam al-Quran: "tsumma arsalna rusulana tatra” (Kemudian Kami mengutus (kepada
umat-umat itu) para rasul Kami berturut-turut (TQS. al-Mu'minun [23]: 44).
Adapun dalam istilah
ulama ushul, hadits mutawatir adalah khabar jamaah (sekelompok perawi) yang
banyak jumlahnya sampai batas tercapai keyakinan (al-'ilmu) dengan ucapan
mereka. Hal itu tidak akan tercapai, artinya tidak mutawatir, kecuali jika
mereka yakin dengan apa yang mereka beritakan dan bukan dugaan (zhann). Keyakinan mereka itu disandarkan pada
penginderaan langsung (mendengar atau melihat). Kelompok perawi yang terpenuhi
syarat tersebut ada pada tingkat Sahabat, at-tabi'in dan tabi' at-tabi'in.
Dengan demikian khabar
mutawatir itu harus memenuhi syarat:
Pertama,
perawinya harus berjumlah banyak. Banyaknya jumlah perawi harus disertai
kondisi dan keadaan yang memustahilkan mereka bersepakat atas kebohongan. Ini
berbeda-beda dari sisi sosok pribadi perawi, tempat dan keadaan.
Kedua,
jumlah dan keadaan yang memustahilkan untuk bersepakat atas kebohongan itu
terpenuhi pada semua tingkatan: tingkat Sahabat, at-tabi'in dan tabi'
at-tabi’in.
Ketiga,
pada tingkat Sahabat, apa yang mereka beritakan harus bersandar pada
penginderaan, baik mendengar atau melihat langsung atau lainnya; bukan
bersandar pada penetapan akal, sebab penetapan akal bisa salah (Lihat:
Al-'Allamah Taqiyuddin an-Nabhan, asy-Syakhshiyyah
al-Islamiyyah, I/332: Al-Ghazali, Al-Mustashfa,
II/86; Ibnu Amir al-Haj, at-Taqrir wa at-Tahbir,
II/233; Al-Laknawi al-Anshari, Fawatih
ar-Rahamut, II/115; as-Subki, al-Ibhaj
Syarh al-Minhaj, ii/187; Asy-Syaukani, Irsydu
al-Fuhul, hlm.41).
Mengenai jumlah yang
mengantarkan pada keyakinan atau tawatur, para ulama ushul berbeda pendapat
berapa minimalnya. Ada yang mengatakan lima, dua belas, dua puluh, empat puluh,
tujuh puluh, 313 orang dan lainnya. Sebagiannya mengemukakan dalil yang mendukung
pendapatnya. Hanya saja, Syaikh Wahbah az-Zuhaili mengatakan, semua dalilnya
itu lemah, tidak merujuk pada akal maupun naql; tidak ada di antara dalil-dalil
itu dan objek perselisihan sesuatu yang menghimpun atau pengikat. Yang rajih,
patokan at-tawatur adalah tercapainya al-'ilmu (kepastian) dan keyakinan
terhadap ucapan orang yang memberitakan, tanpa batasan jumlah tertentu (Lihat:
Syarh al-Jalal al-Mahali 'ala Jam'i al-Jawami', 2/106; Ibnu Amir al-Haj, At-Taqrir wa at-Tahbir; as-Subki, Zil; al-Ibhaj, II/189; Sayid al-Katani, an-Nazhmu al-Mutanatsir min al-Hadits al-Mutawatir,
hlm.10).
Semua pendapat yang
menentukan jumlah minimal tercapainya tawatur itu tidak memiliki sandaran dari
akal maupun naql. Pasalnya, tidak ada nas yang menyatakan jumlah tertentu. Akal
juga tidak me-rajih-kan jumlah tertentu.
Patokan khabar mutawatir adalah tercapainya al-'ilmu al-yaqin, bukan riwayat
jumlah tertentu. Sebab, bersama jumlah itu ada indikasi yang menunjukkan kuat
atau lemahnya khabar.
Kadangkala khabar itu
diriwayatkan oleh jumlah tertentu yang dengan riwayat mereka tidak tercapai
kepastian dan keyakinan.
Kadang khabar
diriwayatkan oleh kelompok lain dengan jumlah yang sama dan tercapai kepastian
dan keyakinan. Pasalnya, penilaian khabar itu berbeda menurut indikasi-indikasi
yang menyertai, meski jumlahnya sama.
Atas dasar itu, hadis
mutawatir yang menghasilkan kepastian dan keyakinan harus diriwayatkan oleh
sejumlah orang, bukan jumlah tertentu. Jumlah orang itu, juga tempat mereka
yang saling berjauhan, memustahilkan mereka bersepakat atas kebohongan.
Patokan jumlah hanya
didasarkan pada kemustahilan mereka bersepakat atas kebohongan.
Jadi hadis mutawatir
itu haruslah diriwayatkan oleh jama’ah (sekelompok perawi) dan jumlah mereka
harus menghalangi mereka bersepakat atas kebohongan. Hal itu berbeda-beda,
bergantung pada orang yang memberitakan, fakta-fakta dan indikasi-indikasi yang
menyertai (Al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah
al-Islamiyyah, III/82-83).
Menurut kesepakatan
para ulama, hukum hadits mutawatir adalah qath'i
tsubut berasal dari Rasul Saw. Hadits mutawatir berfaedah al-'ilmu
(kepastian) dan al-yaqin (keyakinan), orang yang mengingkari hadis mutawatir
dikafirkan (Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Ushul
al-Fiqhi al-Islami, I/453).
Al-'Allamah Syaikh
Tqaiyuddin an-Nabhani dalam asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (I/332) menyatakan
bahwa hukum hadits mutawatir berfaedah al-‘ilmu
adh-dharuri (kepastian yang bersifat mutlak). Artinya, manusia dipaksa
yakin dan tidak mungkin bisa menolak. Bersifat dharuri
tidak lain karena tidak memerlukan nazhar
(penelaahan). Artinya, khabar mutawatir berfaedah pada kepastian.
Khabar mutawatir ada
dua jenis: mutawatir lafzh[an]
(mutawatir redaksi [ungkapanl-nya) dan mutawatir ma'n[an]
(mutawatir maknanya). Kedua jenis tersebut ada.
Diriwayatkan banyak
hadis mutawatir, meski ada perbedaan tentang penilaian hadits sebagai mutawatir
menurut para ulama sesuai perbedaan pandangan mereka tentang mutawatir. Contoh
hadits mutawatir lafzh[an]: sabda Rasul
Saw.:
“Siapa saja yang
berdusta atas namaku secara sengaja, hendaklah ia siapkan tempat duduknya di
Neraka.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh 70-an Sahabat.
Contoh lain hadis
mutawatir adalah hadis al-Hawdh, hadis mengusap kaus kaki, hadis mengangkat
tangan di dalam shalat (Dr. Mahmud Thahhan. Taysir
Mushthalah al-Hadits, hlm.21).
Contoh hadits
mutawatir lafzh[an], menurut sebagian
pen-tahqiq, adalah sabda Rasul Saw.:
“Tidak ada wasiat
untuk ahli waris” (HR. Ahmad dan Ashhab as-Sittah dari Anas).
Hadits ini
diriwayatkan oleh dua belas Sahabat. Di antara mereka apa yang dikeluarkan oleh
Ibnu Abi Syaibah, ad-Daraquthni dan Ibnu Adi dari Ali ra. (Syaikh Wahbah
az-Zuhaili, Ushul al-Fiqhi al-Islami,
I/452).
Adapun contoh hadis
mutawatir maknawi adalah shalat sunnah shubuh dua rakaat (Al-'Allamah
an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyah,
I/333).
Contoh lainnya adalah
hadits tentang mengangkat kedua tangan saat berdoa. Ada sekitar 100 hadits
tentang ini. Masing-masing menyatakan Rasul Saw. mengangkat kedua tangan saat
berdo’a dalam berbagai masalah meski masing-masing hadits itu tidak mutawatir (Dr.
Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits,
hlm.21, mengutip dari As-Suyuthi, Tadrib
ar-Rawi, II/180).
Masih banyak lagi
hadits mutawatir yang lain.
WalLah a'lam bi ash-shawab. [Yahya
Abdurrahman]
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Media Politik
Dan Dakwah al-Wa’ie edisi Maret 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar