Kepastian Benturan Antar Peradaban
Dalil Samar (Syubhat Dalil) bagi Orang-Orang yang
Menyangkal Keniscayaan Benturan Peradaban
Demikianlah tadi telah disampaikan pernyataan dan tindakan
para penganut peradaban kufur, yang menunjukkan kesesuaian antara keduanya.
Namun demikian, masih ada kaum Muslimin yang menipu dan ada pula yang bersikap
naif, yang selalu memaksakan diri berdialog serta menyangkal adanya benturan
dan pertarungan peradaban. Sebagian ummat tetap melakukan dialog antar agama -
khususnya dengan kaum Nasrani - dengan tujuan untuk mencari titik temu antara
Islam dan Nasrani - misalnya sikap menentang atheisme. Mereka lupa atau
pura-pura lupa bahwa kufur adalah suatu aqidah lain, sebagaimana firman Allah,
"Bagimu agamamu dan bagiku agamaku." (QS Al
Kafirun: 6)
Pada ayat sebelumnya, Allah menyeru kepada kaum kafir dengan
bentuk jamak,
"Katakanlah, hai orang-orang kafir." (QS Al
Kafirun: 1)
Kemudian Allah SWT menjelaskan diin dalam bentuk tunggal,
"Bagimu agamamu." (QS Al Kafirun: 6)
Demikian pula bila kita memahami masalah Palestina. Siapakah
yang merekayasa pendirian negara Yahudi Israel, melindunginya, dan membantunya
dengan uang, senjata, dan dukungan politik, selain negara-negara kafir yang
tegak di atas peradaban kapitalis?
Jadi, orang-orang yang menipu ummat mempunyai kewajiban untuk
menghentikan seruan kufur tersebut; karena sadar atau tidak, dengan berpendapat
seperti itu mereka telah menjadi agen intelektual kaum kapitalis. Sedangkan
kalangan Muslim yang bersikap naif telah menganggap remeh dan menyibukkan
dirinya dengan hal-hal yang tidak berguna, serta ikut serta menipu ummat.
Mereka ikut serta dalam berbagai pertemuan dan dialog yang diadakan kaum Yahudi
dan Nasrani. Seruan mereka adalah seruan yang penuh keraguan, yang
dikumandangkan oleh orang-orang yang berniat memisahkan kaum Muslimin dari diinul
Islam, dan hendak mencampuradukkan yang hak dan yang bathil.
"Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, 'Sesungguhnya petunjuk Allah
itulah petunjuk yang benar.' Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan
mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu." (QS Al Baqarah: 120)
Demikian juga firman-Nya,
"Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak,
lalu mereka bersikap lunak pula kepadamu." (QS Al Qalam: 9)
Yang dimaksud bersikap lunak adalah cenderung kepada mereka.
Ayat ini, sekalipun berbicara tentang kaum musyrik Makkah, namun dapat pula
dialamatkan pada setiap orang kafir dan musyrik. Ayat-ayat yang muhkamat
(pasti) telah membuktikan; para sahabat pun bersepakat (ijma); dan Ummat
Islam juga tahu pasti, bahwa ahli kitab masuk dalam golongan orang-orang kafir.
Oleh karena itu tidak mungkin berkompromi atau cenderung kepada mereka.
Sebaliknya, kita harus menunjukkan kesalahan agama mereka, kekufuran mereka,
dan kebohongan mereka, serta menyeru mereka untuk masuk ke dalam diin
yang hak, yakni diinul Islam. Setelah Khilafah berhasil ditegakkan,
mereka pun diseru untuk masuk Islam; bila menolak masuk Islam, mereka harus
membayar jizyah; bila masih juga menolak, baru kemudian mereka diperangi.
Adalah suatu kesesatan bila berdalil dengan firman Allah,
"Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab,
melainkan dengan cara yang paling baik." (QS Al Ankabut: 46),
namun menyembunyikan penggalan ayat berikutnya, yaitu:
"kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka.
Dan katakanlah, 'Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu, dan
hanya kepada-Nya kami berserah diri." (QS Al Ankabut: 46)
Dengan demikian, menurut ayat ini, orang-orang yang berbuat
zhalim diperkecualikan dari perintah untuk berdebat dengan cara yang
paling baik. Merekalah orang-orang yang memerangi kaum Muslimin dan tidak mau
membayar jizyah. Maka yang harus dilakukan kepada orang-orang seperti itu
adalah dengan mengalahkan mereka, bukan berdebat dengan mereka.
Demikian pula merupakan suatu kesalahan menjadikan firman
Allah,
"Dan katakanlah kepada orang-orang yang tidak
beriman, 'Berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya kami pun berbuat pula.
Dan tunggulah, sesungguhnya kami pun menunggu." (QS Huud: 121-122)
sebagai dalil untuk "hidup berdampingan secara damai
antara kami dan mereka". Ayat ini justru bermakna intimidasi dan
ancaman; yaitu bahwa kaum Muslimin diperintahkan, tidak sekedar mengintimidasi
atau mengancam mereka, namun untuk memerangi mereka bila tidak mau memeluk Islam atau (tetap kafir
tapi tidak mau) membayar jizyah. Lalu di mana adanya 'hidup
berdampingan secara damai' (tanpa masuk Islam atau membayar jizyah)?
Sementara itu, atas dasar firman Allah SWT,
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang
Yahudi, Shabi'in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang
musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS Al Hajj: 17)
beberapa kalangan menyerukan untuk "menyerahkan
keputusan kepada Allah atas segala perbedaan aqidah dan perbuatan antara kita
dan mereka". Bila makna yang dipahami adalah tidak memaksa mereka
masuk Islam, maka pemahaman itu tidaklah keliru. Tetapi bila seruan itu
dipahami sebagai membiarkan mereka dalam kekufuran dan tidak menyeru mereka
untuk masuk Islam, maka pemahaman itu keliru. Karena, kita diperintahkan untuk
berdakwah kepada mereka, sampai mereka masuk Islam, atau (tetap kafir serta) membayar
jizyah, atau diperangi. Bila yang dimaksud adalah tidak memerangi mereka, maka
pemahaman ini juga tidak tepat; karena perang ofensif (qital ath-thalab)
merupakan salah satu kewajiban dalam Islam sebagaimana akan dijelaskan
kemudian.
Ada pula sebagian kalangan yang menjadikan ayat Al Qur'an
berikut,
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama, dan
tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil." (QS Al Mumtahanah: 8)
sebagai dalil "bolehnya berbuat baik, adil, dan
memperlakukan kaum kafir dengan baik". Maka katakanlah bahwa ayat ini
ditujukan kepada orang-orang mukmin yang tinggal di Makkah dan tidak ikut
hijrah, maka mereka boleh bermuamalah dengan mereka secara baik-baik. Bila
dalil tersebut dimaknai bahwa setiap orang kafir boleh diperlakukan dengan
baik, karena mereka tidak memerangi dan mengusir kaum Muslimin, maka pemahaman
itu memang benar. Tentu saja, dalil itu tidak bisa digunakan terhadap
orang-orang yang memerangi kaum Muslimin di Palestina, yang mengusir dan
membantu pengusiran tersebut. Demikian pula, dalil itu tidak bisa ditujukan
kepada orang-orang yang memerangi kaum Muslim Afghanistan, yang mengusir
mereka, dan yang membantu pengusirannya. Begitu juga, dalil itu tidak bisa
digunakan untuk orang-orang yang memerangi kaum Muslimin di Irak pada Perang
Teluk Kedua, di Kashmir, di Chechnya, dan sebagainya.
Bila mereka menjadikan firman Allah,
"Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka
condonglah kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya dialah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al Anfaal: 61)
sebagai dalil untuk mengatakan bahwa "Islam adalah
agama perdamaian, dan bahwa perdamaian adalah asal kata Islam", maka
ayat ini harus dipahami bersama dengan firman-Nya,
"Janganlah kamu bersikap lemah dan menyerukan
perdamaian, padahal kamulah yang berada di atas (menang)." (QS
Muhammad: 35)
Dengan demikian, bila kaum Muslimin hidup dalam keadaan
bermartabat, kuat, berkuasa, dan sebagai satu jamaah, maka tidak ada istilah
"perdamaian". Pertimbangan untuk menentukan manfaat atau mudharat
dari sebuah perdamaian diserahkan sepenuhnya kepada Khalifah, dan tidak perlu
ada pertimbangan dari orang lain kecuali yang mendapat amanat darinya.
Allah SWT berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam
Islam (as-silm) secara kaaffah, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS Al
Baqarah: 208)
Maka katakanlah bahwa perlu ada pemahaman mengenai siapa saja
yang diseru oleh ayat ini, serta apa yang dimaksud dengan as-silm.
'Orang-orang yang beriman' dalam ayat ini bisa bermakna kaum Muslimin, tetapi
bisa juga berarti orang-orang yang beriman terhadap nabi-nabi sebelum Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan as-silm bisa berarti Islam, tetapi bisa pula
bermakna perdamaian (sulh).
Bila yang diseru adalah kaum Muslimin, maka tidak ada artinya
memerintahkan mereka "masuk ke dalam perdamaian bersama kaum mukmin
lainnya", karena yang diseru bukanlah prajurit tetapi sesama kaum mukmin.
Makna yang lebih tepat adalah "masuklah ke dalam Islam secara
keseluruhan, yaitu dengan menaati seluruh syariat Allah SWT, menegakkan aturan
dan hukum-hukum-Nya, bukan dengan berusaha mengambil sebagian dan meninggalkan
sebagian yang lain."
Sementara itu, bila yang diseru adalah orang-orang yang
beriman sebelum Nabi Muhammad SAW, tidak ada artinya juga menyerukan kepada
mereka untuk "masuklah ke dalam perdamaian." Makna seperti itu tidak
ada dalam Al Qur'an. Imam At Thabari mengatakan, "Sedangkan bila yang
dimaksud adalah masuk ke dalam perdamaian, maka hal ini tidak dikenal dalam
khazanah Al Qur'an." Dengan demikian, makna ayat tersebut adalah
menyeru orang-orang mukmin untuk masuk Islam dan untuk masuk secara keseluruhan.
Jadi, siapapun yang diseru ayat itu, tidak ada seruan bagi kaum Muslimin untuk
ikut serta ke dalam suatu perjanjian perdamaian dengan kaum kafir atau
perdamaian bersama (muwada'ah).
Sebagian kalangan ada pula yang menggunakan firman Allah SWT,
"Tetapi jika mereka membiarkan kamu dan tidak
memerangi kamu serta menyerukan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi
jalan bagimu untuk memerangi mereka." (QS An Nisa': 90)
untuk melarang kaum Muslimin memerangi kaum kafir yang
membiarkan kaum Muslimin. Maka katakanlah bahwa ayat ini sebenarnya berkaitan
dengan orang-orang munafik yang minta perlindungan kepada kaum yang mempunyai
perjanjian dengan kaum Muslimin, dan mereka mengikuti aturan dan hukum kaum
tersebut. Ayat ini berbicara tentang orang-orang munafik yang keluar bersama
orang-orang kafir untuk memerangi kaum Muslimin, tetapi kemudian mundur dari
peperangan, sebagaimana para munafik yang ikut bersama kaum musyrik Quraisy
pada Perang Badr. Maka bagi mereka yang mundur dan minta perlindungan kepada
kaum yang punya perjanjian dengan kaum Muslimin, tidak ada alasan untuk
dibunuh.
Bila mereka mengajukan firman Allah SWT,
"Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuasa menolong mereka." (QS Al Hajj: 39)
untuk mendukung pendapat mereka, bahwa "izin
berperang hanya diberikan kepada kaum yang teraniaya untuk melawan orang-orang
yang memeranginya". Maka katakanlah bahwa perintah untuk berperang
merupakan perintah yang mutlak, tanpa ada syarat berupa penganiayaan. Alasannya
adalah bahwa penggalan ayat "karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya" bukan menjadi 'illat hukum peperangan, namun hanya
merupakan gambaran realitas (wasf waqi'). Ketika kaum musyrik Quraisy
menganiaya kaum Muslimin yang akan mendatangi Rasulullah SAW, memukuli dan
melukai kepala mereka, maka kaum Muslimin mengadu kepada Rasulullah SAW. Namun
ternyata Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, "Bersabarlah, karena
aku belum mendapat perintah untuk berperang" sampai mereka berhijrah. Kemudian turunlah ayat ini, di mana Allah memerintahkan
kaum Muslimin berperang setelah sekian lama Ia mencegahnya. Ad Dhahak berkata,
"Para sahabat Rasulullah SAW meminta izin untuk memerangi orang-orang
kafir ketika mereka menganiayanya, namun Allah berfirman,
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang
yang berkhianat lagi mengingkari nikmat." (QS Al Hajj: 38)
"Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuasa menolong mereka." (QS Al Hajj: 39)
Dengan demikian, ayat ini diturunkan untuk mencabut larangan
bagi kaum Muslimin dalam memerangi orang-orang kafir. Oleh sebab itu, ayat ini
menggambarkan suatu situasi yang spesifik, sekalipun mengandung perintah untuk
berperang melalui makna isyarat (dalalat al-isyarah). Jadi, ayat itu
tidak menjelaskan legitimasi mengenai berperang di jalan Allah secara umum,
tetapi legitimasi untuk berperang untuk menjauhkan mara bahaya. Oleh karena itu
tidak ada kontradiksi antara ayat ini dan ayat-ayat dalam Surat At Taubah.
Selain itu, ayat-ayat dalam Surat At Taubah diturunkan belakangan, jadi tidak
ada kemungkinan untuk dinasakh (dihapus), ditakhsis (dikhususkan), atau
ditaqyid (dibatasi).
Bila mereka merujuk pada hadits dari Ibnu Awfa, bahwa
Rasulullah SAW bersabda,
"Hai manusia, janganlah berharap bertemu dengan musuh
dan berdoalah kepada Allah agar mendapat keselamatan. Apabila engkau bertemu
mereka, bersabarlah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya surga itu ada di bawah
bayangan pedang."
Maka ketahuilah, bahwa hadits tersebut tidak berkaitan dengan
perjanjian damai, karena isinya adalah tentang larangan untuk berharap bertemu
musuh, bukan larangan untuk memerangi mereka atau perintah untuk membuat
perjanjian damai dengannya. Para ulama mengatakan bahwa pelarangan itu
berkaitan dengan perkara yang ada di balik harapan itu, yaitu kebanggaan ('ijab).
Jadi penunjukan hadits ini sebagai dalil perjanjian damai dengan kaum kafir
merupakan langkah yang tidak tepat.
Ada pula pengambilan kesimpulan dengan ayat-ayat Al Qur'an
atau hadits yang tampaknya tidak perlu dibantah dan tidak perlu dijelaskan
lebih lanjut. Namun demikian, kami akan menunjukkan di sini dengan maksud untuk
membuktikan bahwa ada beberapa di antara penyeru dialog yang berusaha dengan
segala cara mencari dalil untuk mendukung pendapat mereka. Tujuan utama mereka
adalah untuk membuktikan bahwa Islam adalah diin perdamaian dan bukan diin
perjuangan, pertarungan, dan jihad. Sebaliknya, dalam pandangan mereka, Islam
adalah diin keamanan, perdamaian, dan toleransi. Beberapa nash yang mereka
klaim sebagai dalil bagi pandangan mereka adalah sebagai berikut:
"Dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS
Quraisy: 4)
"... tanah suci yang aman." (QS Al Ankabut:
67)
"Dan demi kota ini yang aman." (QS At Tin:
3)
"Dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka,
sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa." (QS An
Nuur: 55)
Demikian pula sabda Rasulullah SAW,
"Siapapun di antara kalian bangun dalam keadaan aman dalam
kelompoknya (sirb)."
Jelas bahwa menjadikan nash-nash di atas sebagai dalil bagi
pendapat kufur mereka merupakan bentuk pelecehan terhadap syariat dan juga pelecehan pikiran ummat.
Kepastian Benturan
Antar Peradaban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar