Memindahkan Zakat
Para ulama fiqih
sepakat tentang bolehnya memindahkan zakat dari satu negeri ke negeri lain,
selama diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya, jika penduduk negeri
yang bersangkutan sudah tidak lagi membutuhkan zakat tersebut. Namun jika
penduduk negeri yang bersangkutan masih membutuhkan zakat, maka sejumlah hadits
jelas-jelas menyatakan bahwa zakat dari tiap negeri diberikan kepada
orang-orang fakir di negeri itu sendiri, tidak dipindahkan ke negeri lain.
Karena tujuan dari zakat adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir di
setiap negeri. Jika zakat dipindahkan ke negeri lain -padahal masih ada kaum
fakir negeri yang bersangkutan-, maka akan menyebabkan orang-orang fakir di
negeri tersebut tetap dalam keadaan membutuhkan. Sedangkan dalam hadits Mu’adz
disebutkan:
“Kabarkanlah kepada
mereka, bahwa mereka wajib mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang
kaya di kalangan mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir dari mereka.”
Diriwayatkan dari Abu
Juhaifah, beliau berkata:
“Petugas zakat Nabi
Saw. datang kepada kami. Lalu dia mengambil zakat dari kalangan orang kaya di
antara kami, kemudian diberikan kepada orang-orang fakir di antara kami. Pada
saat itu aku masih kecil dan dalam keadaan yatim, maka aku diberi seekor unta betina
yang masih muda.”
(HR. At-Tirmidzi
(beliau menghasankannya): Kitab az-Zakaah bab Ma
Jaa-a annash Shadaqah Tu'-khadzu minal Aghniyaa' faturaddu fil Fuqaraa’
(III/31, no.649)
Diriwayatkan dari
'Imran bin Hushain ra. bahwa ia ditugaskan mengambil zakat. Ketika kembali, ia
ditanya, “Mana harta zakat?” Dia pun menjawab, “Apakah engkau mengutusku untuk
mendapatkan harta?! Kami mengambil zakat tersebut seperti kami mengambilnya pada
zaman Rasulullah Saw. dan kami meletakkannya di tempat yang dulu kami
letakkan.”
(Diriwayatkan oleh:
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Fiz
Zakaah Hal Tuhmalu min Baladin ilaa Baladin? (II/276 no.1625)
Ibnu Majah: Kitab az-Zakaah, bab Ma
Jaa-a fi 'Ummaalish Shadaqah (I/579, no.1811)
Hadits-hadits ini
dijadikan dalil oleh para ulama fiqih tentang disyari’atkannya membagi-bagikan
zakat kepada penduduk negeri yang bersangkutan.
Mereka berbeda
pendapat tentang memindahkan zakat ke negeri lain jika dalam negeri yang
bersangkutan masih terdapat orang-orang yang membutuhkan zakat, setelah mereka
sepakat tentang bolehnya memindahkan zakat ke negeri lain yang membutuhkan,
jika penduduk negeri yang bersangkutan sudah tidak lagi membutuhkan zakat,
seperti yang sudah dijelaskan.
Asy-Syafi'iyyah
berkata, “Tidak boleh memindahkan zakat. Wajib hukumnya membagikan zakat di
negeri yang bersangkutan. Kecuali tidak didapatkan lagi orang yang berhak
menerimanya di sana.”
Diriwayatkan dari 'Amr
bin Syu’aib bahwa Mu'adz bin Jabal tetap berada di daerah al-Janad (daerah di
Yaman, -ed.), mulai dari ketika
Rasulullah Saw. mengutusnya sampai beliau wafat. Kemudian Mu’adz datang
menghadap ‘Umar, namun ‘Umar tetap memposisikannya seperti sebelumnya. Lalu
Mu’adz mengirimkan sepertiga dari zakat penduduknya, tetapi ‘Umar mengingkari
hal ini, seraya berkata, “Aku mengutusmu bukan hanya sekedar untuk memungut
zakat dan mengambil jizyah. Tetapi aku mengutusmu untuk mengambil zakat dari
kalangan orang-orang kaya dan mengembalikannya kepada orang-orang fakir di
kalangan mereka.”
Mu'adz menjawab, “Aku
tidak akan mengirimkan sedikitpun kepadamu, sekiranya aku masih mendapati orang
yang berhak mengambilnya dariku.”
Pada tahun kedua,
Mu’adz mengirimkan setengah dari zakat, maka terjadi lagi perdebatan seperti
sebelumnya.
Pada tahun ketiga,
Mu'adz mengirimkan seluruh zakat. ‘Umar pun mempertanyakan hal ini seperti yang
sudah-sudah. Mu’adz mene jawab, “Aku tidak menemukan seorangpun yang berhak
mengambilnya dariku.” (Al-Amwaal karya
Abu 'Ubaid hal.784 (no.1911). Riwayat hadits ini munqathi'.
Sebab, 'Amr bin Syu'aib tidak pernah bertemu dengan Mu’adz)
Malik berkata, “Tidak
dibolehkan memindahkan zakat, kecuali ada kebutuhan yang mendesak pada penduduk
suatu negeri, maka seorang imam boleh memindahkan zakat tersebut kepada mereka
dengan ijtihad dan berbagai pertimbangan.”
Hanabilah berpendapat,
“Tidak dibolehkan memindahkan zakat dari negeri yang bersangkutan menuju tempat
sejauh perjalanan yang membolehkan mengqashar
shalat. Wajib hukumnya membagikan zakat pada tempat yang bersangkutan atau
tempat yang dekat dengannya, sampai pada tempat yang jaraknya kurang dari jarak
perjalanan yang membolehkan mengqashar
shalat.”
Abu Dawud berkata,
“Aku pernah mendengar Ahmad ditanya, “Apakah boleh memindahkan zakat dari satu
negeri ke negeri lain?” Beliau menjawab, “Tidak.” Lalu ditanya lagi, “Bagaimana
jika kepada karib kerabatnya?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali jika penduduk
negeri yang bersangkutan sudah tidak lagi membutuhkan zakat, maka ketika itu
boleh dipindahkan.”
Mereka berhujjah
dengan hadits Abu ‘Ubaid di atas.
Ibnu Qudamah berkata,
“Jika ada seseorang yang menyalahi hal ini, di mana ia memindahkan zakat
tersebut, maka zakatnya tetap sah menurut pendapat mayoritas ulama.”
Jika seseorang berada
di suatu negeri, sementara hartanya berada di negeri yang lain, maka yang
menjadi patokan adalah tempat keberadaan harta, karena hartalah yang
menyebabkan adanya kewajiban zakat. Di samping itu, harta tadi terlihat oleh
orang-orang yang berhak menerima zakatnya.
Jika sebagian harta
berada di tempat pemilik harta, sedangkan sebagian lagi berada di negeri lain,
maka zakat tersebut ditunaikan di tempat si pemilik harta berada.
Ini kaitannya dengan
zakat harta. Adapun zakat fithrah, maka
dibagikan di negeri tempat seseorang terkena kewajiban ini, baik hartanya ada
di sana ataupun di tempat lain. Sebab, zakat fithrah terkait dengan orang yang
mengeluarkannya, bukan pada hartanya.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Bacaan: Syaikh Sayyid
Sabiq, Fiqhus Sunnah, Kitaab az-Zakaah
(terjemahan), Pustaka Ibnu Katsir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar