BAB
III
Orang-Orang Yang Diharamkan
Menerima Zakat
Sebelumnya telah kami
jelaskan tentang golongan-golongan yang berhak menerima zakat. Pada kesempatan
ini kami akan jelaskan siapa saja yang tidak halal dan tidak berhak menerima
zakat. Mereka adalah:
ORANG-ORANG KAFIR DAN ATHEIS
Ini adalah perkara
yang disepakati oleh para ulama fiqih. Disebutkan dalam hadits:
“(Zakat itu) diambil
dari orang-orang kaya pada kalangan mereka dan diberikan kepada orang-orang
miskin dari kalangan mereka.”
Maksudnya, orang-orang
kaya dari kalangan kaum muslimin dan orang-orang fakir dari kalangan kaum
muslimin, bukan selain mereka.
Ibnul Mundzir berkata,
“Para ulama yang kami ketahui sepakat bahwa kafir dzimmi tidak berhak
mendapatkan zakat sedikitpun kecuali para mu-allaf; sebagaimana telah
dijelaskan.”
Namun mereka bisa
mendapatkan sedekah sunnah. (Maksudnya, boleh memberikan shadaqah sunnah kepada
kafir dzimmi)
Disebutkan dalam
al-Qur-an:
“Dan mereka memberikan
makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang
ditawan.” (TQS. Al-Insaan: 8)
Di dalam hadits juga
disebutkan:
“Ikatlah jalinan
silaturahmi dengan ibumu!” (Padahal ibunya itu adalah seorang wanita musyrik)
(SHAHIH. Diriwayatkan
oleh:
Al-Bukhari: Kitab al-Adab, bab Shilatil
Mar-ah Ummaha wa Laha Zauj (VIII/5) dan Kitab al-Hibah wa Fadhluha, bab
al-Hadiyyah lil Musyrikiin...(III/215)
dan kitab al-Jizyah wal Muwaada'ah bab
Haddatsana Abdaan... (IV/126)
Muslim: Kitab az-Zakaah, bab Fahdlun
Nafaqah was Shadaqah 'alal Aqrabiin... (II/696, no.49-50)
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab ash-Shadaqah
'ala Ahlidz Dzimmah (II/307, no.1668)
Ahmad dalam al-Musnad (VI/344, 347)
BANI HASYIM
Mereka adalah keluarga
'Ali, 'Uqail, Ja’far, al-‘Abbas dan al-Harits ra. Ibnu Qudamah berkata, “Kami
tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa Bani
Hasyim tidak halal menerima zakat wajib.”
Nabi Saw. bersabda:
“Sesungguhnya shadaqah
(yang wajib/zakat) itu tidak layak bagi Muhammad dan keluarga Muhammad, karena
itu adalah kotoran-kotoran manusia.”
Diriwayatkan oleh
Muslim.
Diriwayatkan dari Abu
Hurairah ra., bahwa beliau berkata:
“Al-Hasan pernah
mengambil sebiji kurma dari kurma shadaqah (yang wajib/zakat) (lalu memasukkan
kurma itu ke mulutnya), maka Nabi Saw. berkata, ‘Ekh, ekh! -agar dia
mengeluarkannya. Tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak memakan shadaqah (yang
wajib/zakat).”
(SHAHIH. Diriwayatkan
oleh:
Al-Bukhari: Kitab az-Zakaah, bab Ma
Yudzkaru fish Shadaqah lin Nabiyyi Saw. (II/157) dan kitab al-Jihaad bab Man
Takallama bil Faarisiyyah war Rathaanah...(IV/90)
Muslim: Kitab az-Zakaah bab Tahrimuz
Zakaah 'ala Rasulillaah Saw. wa 'alaa Aalihi… (II/751 no.161)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab as-Shadaqah
La Tahillu Lin Nabiyyi walaa li Ahli Baitihi (I/386-387)
Ahmad dalam al-Musnad (II/409, 444, 476)
Tentang Bani
al-Muththalib, Asy-Syafi'i berpendapat bahwa mereka juga tidak boleh
mengambil zakat seperti halnya Bani Hasyim. Berdasarkan riwayat asy-Syafi’i,
Ahmad, dan al-Bukhari, dari Jubair bin Muth’im ra., ia berkata, “Tatkala
peristiwa Khaibar, Rasulullah Saw. memberikan bagian kerabat kepada Bani Hasyim
dan Bani al-Muththalib, sementara beliau tidak memberikannya kepada Bani Naufal
dan Bani ‘Abdi Samsy. Maka aku pun pergi bersama ‘Utsman untuk menemui Nabi
Saw., lalu kami bertanya, “Wahai Rasulullah, mereka adalah Bani Hasyim, kami
tidak mengingkari keutamaan mereka karena Allah telah menjadikanmu berasal dari
kalangan mereka, tetapi bagaimana dengan saudara-saudara kami dari Bani
al-Muththalib, engkau memberi mereka, sementara engkau tidak memberi kami,
padahal kekerabatan kami adalah satu?” Maka Rasulullah Saw. menjawab: “Kami dan
Bani al-Muththalib tidak pernah berpisah, baik pada zaman Jahiliyyah maupun
pada masa Islam. Kami dan mereka adalah satu.” Lalu beliau menganyam jari-jari
kedua tangan beliau.”
(Diriwayatkan oleh:
Al-Bukhari: Kitab Fardhil Khumus, bab Wa minad Dalil 'annal Khumus lil Imaam... (IV/111)
Abu Dawud: Kitab al-Kharaj wal Imaarah wal Fai’ bab fii Bayaani Mawaadhi’ Qismil Khumus wa Sahmi Dzil
Qurbaa (III/383-384, no.2980)
Ibnu Hazm berkata,
“Maka benarlah bahwa tidak boleh membedakan hukum di antara mereka (Bani Hasyim
dan Bani al-Muththalib), karena mereka adalah satu kesatuan, dengan nash sabda
Rasulullah Saw. Sah juga untuk dikatakan bahwa mereka (Bani al-Muthalib) termasuk
keluarga Muhammad, dan jika mereka termasuk keluarga Muhammad Saw., maka zakat
itu haram bagi mereka.”
Sebagaimana Rasulullah
Saw. mengharamkan zakat bagi Bani Hasyim, maka beliau pun mengharamkannya bagi mawali mereka (budak yang telah mereka
bebaskan).
Diriwayatkan dari Abu
Rafi’ bekas budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah Saw. (ia berkata), “Nabi
Saw. pernah mengutus seseorang dari Bani Makhzum untuk mengambil zakat, lalu ia
berkata kepada Abu Rafi', “Temanilah aku, sehingga engkau juga mendapat sebagian
zakat. Abu Rafi’ berkata, "Tidak, hingga aku mendatangi Rasulullah Saw.
dan bertanya kepadanya. Akhirnya ia pun pergi menemui Nabi Saw. dan menanyakan
hal ini. Maka Nabi Saw. bersabda:
“Shadaqah (yang
wajib/zakat) itu tidak halal bagi kami, sedangkan mawali
suatu kaum termasuk dari kaum itu sendiri.”
(Diriwayatkan oleh:
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab ash-Shadaqah
'alaa Bani Hasyim (II/298, no.1650)
At-Tirmidzi: Kitab az-Zakaah, bab Ma
jaa-a fii Karaahiyatish Shadaqah lin Nabiyyi Saw. wa Ahli Baitihi wa Mawaaliihi
(III/37, no.657). Abu 'Isa berkata, “Hadits hasan shahih.”
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Maulal
Qaum Minhum (V/107, no.2612)
Ahmad dalam al-Musnad (VI/10, 390)
Ibnu Qudamah berkata,
“Mengenai keluarga Nabi Saw., maka mayoritas Hanafiyyah berpendapat dan inilah
pendapat yang sah dari Syafi’iyyah, begitu juga Hanabilah dan mayoritas
Zaidiyyah, mereka berkata, “Keluarga Nabi Saw. boleh mengambil sedekah sunnah,
berbeda dengan zakat.”
Mereka melanjutkan,
“Karena yang diharamkan bagi mereka adalah kotoran-kotoran manusia. Itu adalah
zakat, bukan sedekah sunnah.”
ORANG TUA DAN ANAK
Para ulama fiqih
sepakat bahwa tidak boleh memberikan zakat kepada bapak, kakek, ibu, nenek,
anak dan cucu. Sebab, hukumnya wajib untuk memberi nafkah kepada ayah dan
seterusnya ke atas, begitu juga kepada anak dan seterusnya ke bawah, jika
mereka dalam keadaan fakir. Jika zakat itu diberikan kepada mereka, maka dia
telah mengambil kesempatan untuk terhindar dari kewajiban memberi nafkah.
Ini jika mereka dalam
keadaan fakir. Jika mereka dalam keadaan kaya, tetapi mereka secara sukarela
berperang di jalan Allah, maka ia juga bisa memberikan zakat kepada mereka dari
bagian sabilillaah, sebagaimana bolehnya
memberi zakat kepada mereka dari bagian ghaarimuun
(orang yang berhutang). Karena tidak wajib baginya untuk membayar hutang
mereka. Mereka juga bisa diberi zakat dari bagian amil, jika mereka masuk dalam
kategori tersebut.
ISTERI
Ibnul Mundzir berkata,
“Para ulama sepakat bahwa seorang suami tidak boleh memberikan zakat kepada
isterinya.”
Sebab, hukumnya wajib
bagi suami tadi untuk menafkahi isterinya, maka isteri tidak lagi membutuhkan
zakat darinya. Kasusnya sama dengan kedua orangtua. Kecuali jika si isteri
memiliki hutang, maka dia boleh diberi zakat oleh suaminya dari bagian ghaarimuun untuk melunasi hutang tersebut.
MENUNAIKAN ZAKAT UNTUK AMALAN
IBADAH LAINNYA
Tidak boleh menunaikan
zakat untuk amalan yang mendekatkan diri kepada Allah, selain dari delapan
asnaf yang telah disebutkan dalam firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya zakat
itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin... ” (TQS. At-Taubah:
60)
Maka tidak boleh
memberikan zakat dalam rangka membangun masjid, jembatan, memperbaiki jalan,
menjamu tamu, mengkafani mayit, dan yang semisalnya.
Abu Dawud berkata,
“Aku pernah mendengar Imam Ahmad ditanya, “Bisakah mayit dikafani dengan uang
zakat?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan tidak dibenarkan melunasi hutang orang
yang meninggal dengan zakat?” Beliau juga berkata, “Yang boleh dibayar dengan zakat
hanyalah hutang orang yang masih hidup, bukan hutang orang yang sudah
meninggal, karena orang yang meninggal tidak dinamakan ghaarim.” Beliau lalu ditanya lagi, “Bagaimana jika zakat itu
diberikan kepada keluarganya?” Beliau berkata, “Jika diberikan kepada
keluarganya maka dibolehkan.”
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Bacaan: Syaikh Sayyid
Sabiq, Fiqhus Sunnah, Kitaab az-Zakaah
(terjemahan), Pustaka Ibnu Katsir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar