BAB II
ORANG-ORANG
YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT
Orang orang yang
berhak mendapatkan zakat itu ada delapan golongan, yang Allah sebutkan dalam
firman-Nya:
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk* orang-orang fakir, orang-orang miskin, para
pengurus zakat, mu’allaf, hamba sahaya, orang-orang yang berhutang, orang yang
berjuang (perang) fii sabilillah, dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah; dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” (TQS.
At-Taubah: 60)
* Huruf laam dalam ayat ini menunjukkan kepemilikan
atau hak atau taqdirnya, ‘diwajibkan’, sebagaimana yang ditunjukkan oleh akhir
ayat: “Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan.”
Diriwayatkan dari
Ziyad bin al-Harits ash-Shuda-i, dia berkata:
“Aku mendatangi
Rasulullah Saw. lalu membai’atnya. Kemudian datanglah seorang pria, lantas
berkata, "Berikanlah kepadaku sebagian zakat!” Maka Nabi Saw. berkata,
“Sesungguhnya Allah Swt. tidak rela dengan hukum Nabi atau yang selainnya dalam
zakat, sehingga Allah sendiri yang memberikan ketentuan di dalamnya, dengan
membagi zakat kepada delapan golongan. Jika engkau termasuk salah satunya, maka
aku akan memberikan hakmu.”
(DHA’IF. HR. Abu
Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Man Yu’tha minash Shadaqah wa Haddul Ghaniy (II/281,
no.1630). Beliau berkata: “Di dalam sanadnya terdapat 'Abdurrahman bin Ziyad
bin An'am al-Ifriqi, lebih dari satu ulama yang mempermasalahkannya.”)
Penjelasan
dari Delapan Golongan yang Disebutkan dalam Ayat
ORANG-ORANG
FAKIR DAN ORANG-ORANG MISKIN
Mereka adalah
orang-orang yang butuh tetapi tidak memiliki sesuatu yang mencukupi mereka,
kebalikan dari orang-orang kaya yang berkecukupan. Ukuran seseorang disebut
kaya adalah nishab yang lebih dari kebutuhan pokok dirinya, istri
dan anak-anaknya, berupa makanan, minuman, pakaian, rumah, kendaraan, alat-alat
kerja, dan semisalnya, yang setiap orang tidak bisa lepas darinya. Siapa
saja yang tidak memiliki ukuran di atas, maka dinamakan fakir, berhak
mendapatkan zakat.
Disebutkan dalam
hadits Mu’adz:
“Zakat itu diambil
dari orang-orang kaya di kalangan mereka dan diberikan kepada orang-orang
miskin dari kalangan mereka.”
Orang yang diambil
zakatnya adalah orang kaya yang memiliki nisbah.
Sebaliknya, orang yang
diberi zakat adalah orang fakir yang tidak memiliki harta sebanyak orang kaya.
Tidak ada perbedaan
antara fakir dan miskin dari segi kebutuhan, kesulitan, dan hak mendapatkan
zakat. Tetapi ayat di atas menggabungkan antara fakir dan miskin (dengan huruf 'athaf yaitu wawu,
-ed.). Sedangkan (huruf) 'athaf mengandung arti pembeda. Namun hal ini
tidak bertolak belakang dengan apa yang kami ungkapkan karena orang miskin merupakan bagian
dari orang-orang fakir, di mana mereka memiliki sifat-sifat yang lebih khusus.
Hal ini cukup sebagai pembeda.
Dijelaskan dalam
hadits bahwa orang-orang miskin adalah kaum fakir yang selalu menjaga harga
dirinya dengan tidak meminta-minta, dan kefakiran mereka tidak diketahui oleh
orang lain. Lalu mereka pun disebutkan dalam ayat al-Qur-an, karena orang lain
tidak menyadari kefakiran mereka, disebabkan kondisi mereka yang terlihat baik.
Diriwayatkan dari Abu
Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Bukanlah orang miskin
itu adalah yang mondar-mandir karena satu atau dua biji kurma, bukan pula
karena satu atau dua suap makanan. Orang miskin hanyalah orang yang menjaga
kehormatan dirinya. Bacalah (firman Allah) jika kalian mau,
“Mereka sama sekali
tidak minta-minta kepada manusia, apalagi merengek.” (TQS. Al-Baqarah: 273)
(SHAHIH. Diriwayatkan
oleh:
Muslim: Kitab az-Zakaah, bab al-Miskiinil
ladzi Laa Yajidu Ghinan wa Laa Yufthanu lahu fa Yutashaddaq 'alaihi (II/719,
no.102)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Tafsiirul
Miskiin (V/84-85, no.2571)
Abu Dawud dengan
lafazh yang mirip: Kitab az-Zakaah, bab Man Yu’tha minash Shadaqah wa Haddul Ghaniy
(II/283-284, no.1631)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab al-Miskiinil
ladzi Yutashaddaq 'alaihi (I/379)
Ahmad dalam al-Musnad (II/260, 457 dan 469)
Disebutkan dalam
lafazh yang lain:
“Orang miskin itu
bukanlah orang yang berkeliling kepada orang lain, disebabkan satu suap atau
dua suap makanan atau karena satu atau dua biji kurma. Tetapi orang miskin
adalah orang yang tidak mendapatkan sesuatu yang menutupi kebutuhannya, namun
tidak ada yang menyadari kondisinya sehingga (tidak) diberi sedekah. Ia tidak
berdiri untuk minta-minta kepada orang lain.”
(Diriwayatkan oleh:
Al-Bukhari: Kitab az-Zakaah, bab Qaulullaahi
Ta'aala Laa Yas-aluunan Naasa Ilhaafaa (II/154)
Muslim: Kitab az-Zakaah, bab al-Miskiinil
ladzi Laa Yajidu Ghinan wa Yufthanu Lahu fa Yutashaddaq 'alaihi (II/719
no.101)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Tafsiirul
Miskiin (V/85, no. 2572)
Ahmad dalam al-Musnad (I/384, 446, II/260, 316, 393, 449
dan 469)
Abu Dawud dengan
lafazh yang mirip: Kitab az-Zakaah, bab Man Yu'tha minash Shadaqah wa Haddul Gina
(II/283-284, no.1631)
Malik dalam
al-Muwaththa': Kitab Shifatin Nabi bab Ma Jaa-a fil Masaakin (II/923, no.7)
Ukuran zakat yang
diberikan kepada orang fakir dengan jumlah (jika memungkinkan) yang
mengeluarkannya dari kefakiran kepada kekayaan, dari serba butuh menjadi cukup
selamanya. Hal ini berbeda sesuai perbedaan individu dan keadaan.
‘Umar ra. berkata,
“Jika engkau memberi mereka, maka jadikanlah mereka kaya!”
Maksudnya, memberi
zakat.
Dijelaskan dalam
hadits bahwa meminta itu halal bagi orang fakir hingga ia mendapatkan sesuatu
yang memungkinkan untuk menunjang kehidupannya dan mencukupinya sepanjang
hayat.
Diriwayatkan dari
Qabishah bin Mukhariq al-Hilali, ia berkata, “Aku menanggung hutang (untuk
mendamaikan perselisihan), lalu aku mendatangi Rasulullah Saw. untuk minta
kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Tunggulah hingga datangnya zakat, maka
kami akan memerintahkan (petugas zakat) untuk memberikan sebagiannya kepadamu.”
Kemudian beliau Saw. bersabda:
“Wahai Qabishah,
sesungguhnya minta-minta itu tidak dihalalkan keeuali untuk tiga kelompok. (1)
Seseorang yang menanggung hutang untuk mendamaikan perselisihan, maka meminta
itu dihalalkan baginya, sampai ia mendapatkannya, kemudian ia menahan diri
(tidak meminta lagi). (2) Seseorang ditimpa musibah yang menghancurkan
hartanya, maka halal baginya untuk meminta, sehingga dia mendapatkan sesuatu
yang bisa menopang kehidupannya -atau beliau bersabda- sesuatu yang bisa
menutupi hajat hidupnya. (3) Seseorang yang ditimpa kefakiran, sehingga tiga
orang yang berpengetahuan dari kaumnya berkata, “Fulan telah tertimpa
kefakiran.” Maka halal baginya untuk meminta, sehingga dia mendapatkan sesuatu
yang bisa menopang kehidupannya -atau beliau bersabda- sesuatu yang bisa
menutupi hajat hidupnya. Adapun meminta selain itu, wahai Qabishah, maka
merupakan barang haram yang dimakan oleh pelakunya secara haram.”
(SHAHIH. Diriwayatkan
oleh:
Muslim: Kitab az-Zakaah, bab Man
Tahillu Lahul Mas-alah (II/722, no.109)
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Maa
Tajuuzu fiihil Mas-alah (II/290, no.1640)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab ash-Shadaqah
liman Tahammala bi Hamaalatin (V/89-90, no.2580)
Ad-Darimi: Kitab az-Zakaah, bab Man
Tahillu Lahush Shadaqah (I/396)
Ahmad dalam al-Musnad (V/60) dengan lafazhnya dan dengan
lafazh yang hampir sama (III/477)
Orang yang kuat dan mampu
bekerja (sehingga bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga yang menjadi
tanggungannya) tidak diberi zakat, kedudukannya seperti orang kaya.
Diriwayatkan dari
‘Ubaidillah bin ‘Adi bin al-Khiyar, beliau berkata:
“Dua orang mengabarkan
kepadaku, bahwa mereka mendatangi Nabi Saw. ketika haji wada’, yaitu ketika
beliau sedang membagi-bagikan zakat. Lalu keduanya pun meminta sebagian zakat.
Maka Rasulullah Saw. melihat kami (keduanya) dari atas sampai bawah dan memandang
kami sebagai orang yang kuat. Lalu beliau bersabda, “Jika kalian mau, maka
kalian akan kuberi. Tetapi dalam zakat ini tidak terdapat hak bagi orang kaya
serta orang yang kuat dan mampu bekerja.” (Maksudnya, mampu bekerja untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya, sebagaimana yang dikatakan oleh asy-Syaukani)
(SHAHIH. Diriwayatkan
oleh:
Abu Dawud: Kitab az-Zakaah, bab Fiz
Zakaah Hal Tuhmal min Baladin Ila Baladin? (II/285-286, no.1633)
An-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab Mas-alatul
Qawiyyil Muktasib (V/99-100, no.2598)
Ahmad dalam al-Musnad (IV/224 dan V/362)
Diriwayatkan dari
Raihan bin Yazid, dari ‘Abdullah bin 'Amr ra., dari Nabi Saw., beliau berkata:
“Zakat itu tidak halal
diberikan kepada orang kaya, serta orang yang kuat dan sehat badannya untuk
bekerja.”
(SHAHIH. HR.
At-Tirmidzi: Kitab az-Zakaah, bab Maa jaa-a man laa Tahillu Lahush Shadaqah
(III/33, no.652), dan beliau berkata, “Hadits ini hasan.”)
(Mirrotun maknanya adalah berbadan kuat dan
sehat, yang dengannya ia bisa menanggung beban dan kelelahan. Adapun sawiyyin maknanya adalah anggota badan yang
sehat dan normal)
Pemilik
harta yang sudah mencapai nishab tetapi belum bisa memenuhi kebutuhan hidupnya
Barangsiapa memiliki
harta yang mencapai nishab, dari jenis apapun harta tersebut, tetapi dia belum
bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, karena tanggungannya yang banyak, atau
karena harga yang melambung tinggi; di mana ia disebut sebagai orang kaya jika
dilihat dari sisi harta yang mencapai nishab
sehingga konsekuensinya terkena kewajiban zakat; tetapi juga disebut sebagai
orang fakir jika dilihat dari sisi bahwa apa yang dimilikinya belum bisa
mencukupi kebutuhan hidupnya, maka pada kondisi ini ia boleh menerima zakat
seperti layaknya orang fakir.
An-Nawawi berkata,
“Barangsiapa memiliki lahan, tetapi pemasukannya kurang dari kebutuhan
hidupnya, maka dia adalah orang fakir yang berhak menerima zakat, dan ia tidak
dibebankan untuk menjual lahan tersebut.”
Disebutkan dalam kitab
al-Mughni, Al-Maimuni berkata, “Aku
pernah berdiskusi dengan Abu 'Abdillah -Ahmad bin Hanbal-, lalu kukatakan,
“Bisa jadi seseorang memiliki unta dan kambing yang sudah terkena kewajiban
zakat, tetapi ia masih masuk ke dalam kategori orang fakir. Ia memiliki empat
puluh ekor kambing juga pekerjaan, tetapi hal itu tidak mencukupi kebutuhan
hidupnya. Bolehkah ia diberi zakat?” Beliau menjawab, “Ya, boleh. Sebab, ia
tidak punya harta sekaligus tidak mampu mendapatkan usaha yang bisa
mencukupinya. Oleh sebab itu, ia boleh mengambil zakat, seolah-olah apa yang
dimilikinya itu tidak terkena kewajiban zakat.”
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Bacaan: Syaikh Sayyid
Sabiq, Fiqhus Sunnah, Kitaab az-Zakaah
(terjemahan), Pustaka Ibnu Katsir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar