RIKAZ DAN BARANG TAMBANG
Rikaz diambil dari
lafazh (rakaza - yarkuzu), yang maknanya
adalah tersembunyi. Hal ini semakna dengan firman Allah Swt.:
“Atau kamu dengar
suara mereka yang samar-samar?” (QS. Maryam: 98)
Makna (rikzan) dalam
ayat di atas adalah suara yang tersembunyi.
Rikaz adalah apa yang
terkandung di dalam perut bumi, yang bukan merupakan harta yang dibutuhkan oleh
suatu komunitas (jama'ah). Dengan kata lain, harta tersebut bukan merupakan hak
seluruh kaum muslimin, sebagaimana yang terdapat di dalam pembahasan-pembahasan
fikih, maka orang yang menggalinya berhak memiliki 4/5, sedangkan 1/5-nya harus
dia keluarkan.
Kalau harta temuan
hasil penggalian tersebut merupakan harta yang dibutuhkan oleh suatu komunitas
(jama'ah) atau merupakan hak seluruh kaum muslimin, maka harta galian tersebut
merupakan hak milik umum (collective property)
yang masuk dalam Baitul Mal pos harta milik umum dan dikelola oleh
Imam/Khalifah.
Yang menentukan
adalah, apabila harta yang tersimpan di dalam tanah tersebut asalnya karena
tindakan seseorang, serta jumlahnya terbatas, tidak sampai mencapai jumlah yang
biasa dibutuhkan oleh suatu komunitas (jama'ah), maka harta tersebut termasuk
rikaz.
Apabila, harta
tersebut asli (dari dasar tanah, bukan karena tindakan manusia) serta
dibutuhkan oleh suatu komunitas (jama'ah), maka harta tersebut tidak termasuk
dalam katagori rikaz, dan harta tersebut menjadi hak milik umum (collective property).
Apabila harta tersebut
asli, namun tidak dibutuhkan oleh suatu komunitas (jama'ah), semisal ada
seorang pemukul batu yang berhasil menggali batu bangunan dari sana, ataupun
yang lain, maka harta tersebut tidak termasuk rikaz, juga tidak termasuk hak
milik umum, melainkan termasuk hak milik individu (private property).
Sedangkan kepemilikan
atas rikaz dan pengeluaran khumus yaitu 1/5 dari rikaz tersebut telah
ditetapkan berdasarkan hadits.
Imam An-Nasa'i telah
meriwayatkan dari Amru Bin Syu'aib, dari bapaknya, dari kakeknya yang
mengatakan: Rasulullah SAW ditanya tentang luqathah
(barang temuan), maka beliau SAW bersabda:
"Barang yang ada
di jalan (yang dilewati) atau kampung yang ramai itu tidak termasuk luqhatah, sehingga diumumkan selama satu
tahun. Apabila -selama satu tahun itu- pemiliknya datang untuk memintanya, maka
berikanlah barang tersebut kepadanya. Apabila tidak ada, maka barang itu adalah
milikmu. Adapun barang yang ditemukan pada jalan yang biasanya tidak dilalui
atau kampung yang tidak berpenghuni maka padanya, serta di dalam rikaz terdapat
khumus."
(HASAN. Diriwayatkan
oleh an-Nasa-i: Kitab az-Zakaah, bab al-Ma'din (no.2494, V/44)
Lafazh ma’din (barang
tambang) makna bahasanya adalah tinggal di satu tempat, sebagaimana firman
Allah Swt.:
“Bagi mereka Surga
‘Adn.” (QS. Al-Kahfi: 31)
Karena Surga tersebut
merupakan tempat tinggal dan kekekalan.
Barang tambang dapat
dipilah menjadi dua, yaitu barang tambang yang terbatas jumlahnya dalam suatu
jumlah, yang tidak termasuk berjumlah besar, menurut ukuran individu, serta
barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya.
Barang tambang yang
terbatas jumlahnya adalah termasuk milik pribadi (private
property) serta boleh dimiliki secara pribadi, dan terhadap barang
tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz, yang di dalamnya terdapat 1/5 harta
(yang harus dikeluarkan).
Sedangkan barang
tambang yang tidak terbatas jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan, maka
barang tambang tersebut adalah milik umum (collective
property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Imam At-Tirmidzi
meriwayatkan hadits dari Abyadh Bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada
Rasulullah SAW untuk mengelola tambang garamnya. Lalu Rasulullah memberikannya.
Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya:
"Wahai
Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya
engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir." Rasulullah
kemudian bersabda: "Tariklah tambang tersebut darinya."
Ma'u al-'iddu adalah air yang tidak terbatas
jumlahnya. Hadits tersebut menyerupakan garam dengan air yang mengalir, karena
jumlahnya tidak terbatas. Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW
memberikan tambang garam kepada Abyadh Bin Hamal, ini menunjukkan kebolehan
memberikan tambang garam. Tatkala beliau mengetahui, bahwa tambang tersebut
merupakan tambang yang mengalir, yang tidak bisa habis, maka beliau mencabut
pemberiannya dan melarang dimiliki oleh pribadi, karena tambang tersebut milik
umum.
Mayoritas ulama
berpendapat bahwa khumus rikaz itu wajib dikeluarkan oleh orang yang
menemukannya; baik muslim, kafir dzimmi, orang dewasa, anak kecil, berakal
maupun gila. Hanya saja wali anak kecil dan orang gila mewakili keduanya dalam
mengeluarkan seperlima tersebut.
Ibnul Mundzir berkata,
“Saya mengumpulkan pendapat seluruh ahli ilmu yang saya ketahui, bahwa kafir
dzimmi wajib mengeluarkan seperlima dari rikaz. Ini adalah pendapat Malik,
penduduk Madinah, ats-Tsauri, al-Auza’i, penduduk Irak…”
Imam asy-Syafi’i
berkata, “Seperlima itu tidak wajib, kecuali bagi orang yang terkena kewajiban
zakat. Karena seperlima ini adalah zakat.”
Menurut Imam
asy-Syafi’i seperlima itu diberikan kepada orang-orang yang berhak menerima
zakat.
Abu Hanifah, Malik,
dan Ahmad berpendapat bahwa orang-orang yang berhak menerima seperlima tersebut
adalah orang-orang yang berhak menerima fai’.
Mengenai pendapat
‘Umar bin Khaththab, diriwayatkan oleh asy-Sya’bi, bahwa seseorang pernah
menemukan seribu dinar yang terpendam di daerah luar Madinah. Lalu harta
tersebut dibawanya menghadap ‘Umar bin al-Khaththab ra. Maka beliau mengambil
seperlima dari harta tersebut, yaitu dua ratus dinar, dan memberikan sisanya
kepada orang tadi. Selanjutnya ‘Umar ra. membagikan dua ratus dinar tadi kepada
kaum muslimin yang hadir, dan masih tersisa sebagian. Kemudian 'Umar berkata,
“Ke manakah pemilik dinar ini?” Orang itu pun kembali menghadap 'Umar. Maka
berkatalah ‘Umar kepadanya, “Ambillah uang ini untukmu!”
(Lihat: Talkhiisul Habiir (II/193)
Disebutkan dalam al-Mughni, “Jika seperlima itu adalah zakat,
tentulah akan dikhususkan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat dan
sisanya tidak dikembalikan kepada orang yang mendapatkannya. Ditambah lagi,
seperlima itu juga wajib atas kafir dzimmi, sedangkan zakat tidak wajib.”
Sumber pemasukan tetap
Baitul Mal adalah fai', ghanimah, anfal, kharaj,
jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya,
pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang, serta harta
zakat.
Pemasukan harta dari
hak milik umum, termasuk tambang yang jumlahnya melimpah, diletakkan pada
bagian khusus Baitul Mal, dan tidak boleh dicampuradukkan dengan yang lain.
Sebab harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum muslimin, yang diberikan
oleh khalifah sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin yang menjadi pandangan
dan ijtihadnya berdasarkan hukum-hukum syara'.
Harta khumus,
merupakan hak Baitul Mal, dibelanjakan untuk urusan negara dan urusan umat,
serta delapan ashnaf, dan apa saja yang menjadi pandangan negara Islam.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Bacaan:
Taqiyuddin
An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi Fil Islam
(terjemahan), Darul Ummah, Beirut
Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Kitaab az-Zakaah (terjemahan),
Pustaka Ibnu Katsir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar