a. Bai'at Aqabah Pertama Untuk
Keimanan
Ketika memasuki musim
haji tahun berikutnya, maka ada dua belas orang laki-laki di antara kaum Anshar
yang mereka itu menemui Rasulullah Saw. di Aqabah. Pertemuan ini merupakan
Bai’at Aqabah Pertama. Mereka membai'at Rasulullah Saw. untuk mengambil ideologi
Islam. Dalam bai’at ini tidak menyinggung soal perang sebagai pembelaan atas
Rasulullah Saw.
Mereka yang turut
dalam Bai’at Aqabah Pertama ini adalah As’ad bin Zurarah, Rafi’ bin Malik,
Ubadah bin ash-Shamit, Abu al-Haitsam bin at-Taihan, Auf bin al-Harits, Mu’ad
bin al-Harits, Dzakwan bin Qais, Yazid bin Tsa’labah, al-Abbas bin Ubadah,
Uqbah bin Amir, Quthbah bin Amir, dan Uwaim bin Sa’id.
Ubadah bin ash-Shamit
ra. menuturkan kepada kami secara rinci tentang proses Bai’at Aqabah Pertama.
Ubadah bin ash-Shamit berkata: “Saya termasuk di antara orang yang turut dalam
Bai'at Aqabah Pertama. Ketika itu jumlah kami dua belas orang laki-laki. Kemudian,
kami membai’at Rasulullah Saw. sebagaimana bai'atnya kaum perempuan. Bai'at itu
berlangsung sebelum diwajibkannya perang. Sehingga bai'at itu isinya bahwa kami
tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak akan mencuri, tidak
akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak kami, tidak akan melakukan
kebohongan yang kami buat-buat sendiri di antara tangan dan kaki kami, dan kami
tidak akan membangkang Rasulullah Saw., ketika kami diperintah berbuat baik.
(Rasulullah Saw. bersabda:) Jika kalian menepati (isi bai'at) ini, maka kalian
berhak mendapatkan Surga. Jika kalian melakukan satu saja di antara (larangan
yang ada dalam bai’at) ini, maka urusannya dikembalikan kepada Allah Yang Maha
Tinggi lagi Maha Perkasa. Sehingga, jika Allah berkehendak, maka Allah
menyiksanya, dan jika Allah berkehendak, maka Allah mengampuninya.”
Jika dicermati isi
yang terkandung dalam Ba’at Aqabah Pertama ini, maka kelihatan sekali bahwa
isinya meliputi tiga hal, yaitu:
1. Keimanan kepada Allah Yang Maha Esa, dan
membuang jauh-jauh sesembahan-sesembahan selain Allah.
2. Istiqamah, yakni disiplin dalam bertingkah
laku.
3. Mengambil kebenaran yang keluar dari lisan
Rasulullah Saw., yakni dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dengan demikian, tiga
hal ini merupakan tema sentral Islam. Mengingat, dalam Bai’at Aqabah Pertama
ini tidak disinggung sama sekali tentang perang sebagai pembelaan atas
Rasulullah Saw. dan agamanya.
Mengirim Mush’ab bin Umair Untuk
Mengemban Misi Rahasia:
Disebutkan di dalam
kitab-kitab Sirah bahwa ketika
orang-orang yang membai’at itu hendak kembali ke negeri mereka, maka Rasulullah
Saw. mengirim Mush'ab bin Umair bin Hasyim bin Abdi Manaf agar turut bersama
mereka.
Rasulullah Saw.
memerintahkan agar ketika sampai di Madinah, Mush’ab mengajari mereka membaca
al-Qur’an, mengajari mereka tentang Islam, dan memberi mereka pemahaman tentang
agama. Sehingga di Madinah, Mush'ab dipanggil al-Muqri’. Di Madinah, Mush’ab
juga berperan sebagai imam ketika mereka shalat.
Sebenarnya, Mush’ab
punya misi yang lain, yakni untuk mengenal dari dekat tentang masyarakat
Madinah al-Munawwarah dan keberadaannya; untuk mengetahui perasaan yang
sebenarnya terhadap dakwah, da’i (yang mendakwahkannya), dan perubahan apa yang
kemungkinan terjadi dengan perasaan ini; untuk mengetahui mana yang teman dan
mana yang lawan, mana orang-orang yang mendukung dan mana orang-orang yang
menentang, dan elemen-elemen apa saja yang berpengaruh di Madinah… Agar ketika
Mush’ab kembali, Mush’ab mampu memberikan kepada Rasulullah Saw. gambaran yang
jelas dan benar tentang Madinah yang menjadi pusat perhatian Rasulullah Saw.,
sebab Rasulullah Saw. hendak menjadikan Madinah sebagai landasan untuk
mendirikan Negara Islam.
Sehingga dengan
gambaran yang jelas dan benar itu, maka Rasulullah Saw. akan mampu memberikan
penilaian situasi yang benar tentang Madinah, dan dengan gambaran yang jelas
dan benar itu juga, maka Rasulullah Saw. akan mampu bergerak dengan cepat dan
cermat ketika waktu keberangkatan Rasulullah Saw. ke Madinah telah tiba.
b. Bai'at Aqabah Kedua Untuk an-Nushrah
Mush'ab bin Umair
berangkat ke Madinah al-Munawwarah bersama kafilah orang-orang Madinah yang
telah membai’at Rasulullah Saw. untuk keimanan. Mush’ab tinggal di Madinah
selama setahun penuh. Di Madinah Mush’ab bertindak sebagai imam shalat, menyeru
orang-orang agar bersikap lemah lembut dan sabar dalam beriman, memperdalam
iman ke dalam hati orang-orang yang beriman, dan menanamkan dalam diri mereka
rasa cinta untuk berkorban. Mush'ab juga menjelaskan bahwa iman jika tidak
dibungkus dengan kekuatan yang melindunginya, maka misi keimanan tidak akan
mampu membawa pada perbaikan hidup, dan agar mereka mendapatkan kemuliaan,
mereka harus melindungi iman yang telah bersarang dalam dada mereka, serta
melindungi setiap orang yang menyeru kepada iman.
Setelah setahun -pada
musim haji- Mush'ab bin Umair kembali ke Makkah al-Mukarramah bersama beberapa
penduduk Madinah al-Munawwarah yang hendak pergi ke Makkah. Suatu malam Mush’ab
bin Umair menemui Rasulullah Saw. secara terpisah. Mush’ab melaporkan kepada
Rasulullah Saw. semua informasi yang berhasil dia peroleh tentang Madinah dan
penduduknya.
Dengan demikian,
Rasulullah Saw. telah mengetahui dengan jelas bahwa orang-orang yang beriman di
antara penduduk Madinah benar-benar yakin akan wajibnya melindungi dan membela
Rasulullah Saw. Sehingga, dengan informasi-informasi yang dilaporkan oleh Mush’ab
kepada Rasulullah Saw. ini, maka Rasulullah Saw. akan mampu memberikan
penilaian situasi dengan detail.
Menurut penilaian
beliau secara global, bahwa di Madinah al-Munawwarah akan ada tiga kelompok:
1. Orang-orang Arab di antara penduduk Madinah.
Kelompok ini benar-benar solid setelah mereka saling bermusuhan, dan setelah
mereka dilelahkan oleh banyak peperangan.
2. Orang-orang Yahudi. Mereka kelompok yang
tidak dapat dipercaya. Jiwa mereka dipenuhi oleh kebencian terhadap agama baru,
yakni Islam. Mereka berusaha menghancurkan Islam dengan cara-cara yang kotor.
Sehingga tidak perlu berharap keikhlasan mereka agar loyal kepada Negara Islam.
3. Orang-orang Muhajirin yang akan datang ke
Madinah al-Munawwarah. Mereka adalah kelompok yang sangat loyal terhadap Negara
Islam yang akan didirikan di Madinah. Akan tetapi, kelompok ini diliputi oleh
kemiskinan, sebab mereka telah meninggalkan semua harta miliknya di Makkah.
Mereka berkumpul di Madinah untuk turut andil dalam membangun bangunan yang
tinggi, yaitu Negara Islam di atas tanah Madinah al-Munawwarah.
Rasulullah Saw. telah
memprediksikan bahwa persoalan Negara Islam yang akan didirikan di Madinah
al-Munawwarah tidak akan berjalan mulus dengan adanya orang-orang Yahudi,
kecuali disertai dengan kekuatan, sebab mereka kelompok yang terus-menerus
digerakkan oleh kebencian. Begitu juga, Rasulullah Saw. menilai bahwa kaum
kafir Quraisy tidak akan senang dengan berdirinya Negara Islam di Madinah.
Padahal dalam waktu yang bersamaan Negara Islam punya target
membasmi kemusyrikan dan mencabutnya hingga ke akar-akarnya. Sehingga, dapat
dipastikan bahwa hal ini akan membawa pada konflik bersenjata antara Negara
Islam dengan kekuatan-kekuatan yang melindungi kemusyrikan.
Maka berdasarkan
prediksi situasi ini, Rasulullah Saw. telah membuat keputusan penting dan
bersifat rahasia. Keputusan ini meski telah jelas bagi Rasulullah Saw., namun
dalam beberapa hari beliau masih belum bisa menjelaskannya, agar masalah itu
tidak tersebar, dan agar tidak mempersulit dalam menjalankannya.
Keputusan ini intinya
sebagai berikut:
1. Menyukseskan proses hijrah. Ini artinya
mengumpulkan kekuatan yang dapat dipercaya di daerah yang akan didirikan Negara
Islam.
2. Mengusahakan perbaikan kondisi internal di
dalam Madinah al-Munawwarah yang terdiri dari orang-orang Arab, Anshar, Yahudi
dan Muhajirin.
3. Membersihkan musuh-musuh Negara Islam
sesudah persiapan untuk masalah yang penting ini telah selesai dengan sempurna.
5. Berpindahnya berbagai elemen dan
kepemimpinan ke Madinah al-Munawwarah (Hijrah) secara total.
Agar proses hijrah
berjalan dengan sempurna, maka harus direalisasikan keselamatan tiga hal:
a. Keselamatan ketika
keluar dari Makkah al-Mukarramah.
b. Keselamatan ketika
dalam perjalanan menuju Madinah al-Munawwarah.
c. Keselamatan ketika
sampai di Madinah al-Munawwarah hingga benar-benar tinggal di Madinah
al-Munawwarah.
1.
Memindahkan Berbagai Elemen dan Membangun Kelompok-kelompok Pelindung
Misi kelompok ini
adalah menyukseskan proses sampainya Rasulullah Saw. -sang pemimpin- ke Madinah
al-Munawwarah, menjaga keselamatan beliau di Madinah, dan mewaspadai setiap
gerakan yang berusaha menggagalkan proses hijrah. Adapun pembentukan kontruksi
ini terdiri dari dua kelompok:
1. Kelompok penduduk Madinah yang telah masuk
Islam dan bertemu Rasulullah Saw., yakni mereka yang telah berbai’at kepada
Rasulullah Saw. untuk melindungi dan menolongnya (kaum Anshar).
2. Kelompok orang-orang beriman di antara
penduduk Makkah (kaum Muhajirin) yang akan pergi dari Makkah al-Mukarramah
menuju Madinah al-Munawwarah.
Rasulullah Saw. harus
bergerak secara rahasia, agar tidak ada musuh yang mengetahuinya, sebab jika
ada yang mengetahuinya, maka akan merusak rencana-rencana yang telah beliau
susun. Untuk itu, Rasulullah Saw. membuat kesepakatan dengan orang-orang mukmin
di antara penduduk Madinah al-Munawwarah untuk berkumpul di Aqabah guna diambil
bai’atnya.
Ketika memasuki
sepertiga malam di hari kedua dari hari Tasyrik, maka keluarlah orang-orang
mukmin ke tempat yang telah disepakatinya dengan sembunyi-sembunyi. Mereka
menyelinap seperti menyelinapnya kucing liar, sampai akhirnya mereka pun
berkumpul di Aqabah.
Mereka berjumlah tujuh
puluh tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan di antara istri mereka,
yaitu Nasibah binti Ka'ab al-Maziniyah dan Asma’ binti Adi. Sedang Rasulullah
Saw. hadir dengan ditemani pamannya Abbas bin Abdul Muththalib. Ketika itu Abbas
menurut pandangan umum masih menganut agama kaumnya, hanya saja dia senang
menghadiri urusan yang menyangkut keponakannya, dan dia sangat percaya dengan
keponakannya (Muhammad).
Rasulullah Saw.
melihat bahwa yang hadir banyak sekali, sehingga bukan sikap yang bijak jika
Rasulullah Saw. langsung berbicara dengan semua orang yang ada, sebab ada
kemungkinan di antara mereka yang hadir ada orang-orang yang tidak begitu paham
dengan tujuan perkataan Rasulullah Saw., yang akhirnya justru akan merusak
rencana. Begitu juga, Rasulullah Saw. harus mendengar pendapat di antara mereka
yang ingin berpendapat, dan kalau itu dilakukan, maka akan memakan waktu
pertemuan yang cukup lama, padahal pertemuannya harus berjalan cepat.
Rasulullah Saw. menginginkan pertemuan itu selesai secepat mungkin, agar
pertemuan mereka tidak diketahui oleh orang-orang musyrik, sebab kalau mereka
tahu, pasti mereka akan merusak apa yang telah direncanakannya.
Untuk itu, Rasulullah
Saw. meminta dari mereka dua belas orang perwakilan -kepala suku- agar
Rasulullah Saw. dapat berbicara dengan mereka, dan sebaliknya mereka dapat
berbicara dengan Rasulullah Saw. Lalu keluarlah menghadap Rasulullah Saw. dua
belas orang kepala suku.
Sembilan orang dari
Khazraj, yaitu As’ad bin Zurarah, Sa’ad bin ar-Rabi’, Abdullah bin Rawwahah,
Rafi’ bin Malik, al-Barra’ bin Ma’rur, Abdullah bin Amru bin Haram, Ubadah bin
ash-Shamit. Sedang yang tiga orang lagi dari Aus, yaitu Usaid bin Hudhair, Sa’ad
bin Khaitsamah dan Abu al-Haitsam bin at-Taihan.
Ketika mereka telah
berkumpul, maka orang pertama yang berbicara adalah Abbas bin Abdul Muththalib.
Dia berkata: “Wahai orang-orang Khazraj -bangsa Arab menyebut komunitas di
antara kaum Anshar: Khazraj ini dengan sebutan singa dan serigala hitamnya Bangsa
Arab- sesungguhnya Muhammad itu dari golongan kami sebagaimana yang kamu tahu.
Sungguh kami dan kaum kami telah menolaknya. Padahal dia termasuk orang yang
patut diteladani, orang yang terpandang di tengah-tengah kaumnya, dan orang
yang berpengaruh di negerinya. Dia sudah tidak mau lagi, kecuali keberpihakan
kepada kalian, dan bergabung dengan kalian. Jika kalian memandang bahwa kalian
mampu memenuhi apa yang diserukan kepada kalian, dan membelanya dari
orang-orang yang menentangnya, maka dukunglah dia. Dan jika kalian memandang
bahwa kalian pasrah dan tunduk kepadanya, setelah dia menemui kalian, maka
sejak sekarang tolonglah dia memecahkan kesulitannya. Sungguh dia itu orang
yang terpandang dan berpengaruh di tengah-tengah kaumnya dan juga di negerinya.”
Mereka berkata: “Kami telah mendengar apa yang kamu katakan. Sekarang,
bicaralah! Wahai Rasulullah Saw., lalu ambillah dari kami untukmu dan Tuhanmu
apa yang kamu inginkan.” Kemudian, Rasulullah Saw. meminta mereka berbai’at
untuk keimanan dan kesediaan menolong Rasulullah Saw. (an-nushrah). Dan merekapun membai’atnya.
Ubadah bin Shamit
berkata:
“Rasulullah meminta
kami berbai'at untuk selalu mendengarkan dan mentaati (perintahnya), baik
ketika kami dalam kesulitan maupun lapang, ketika kami senang maupun benci, dan
kami tidak akan mengutamakan diri kami sendiri, kami tidak akan merebut urusan
(kekuasaan) ini dari yang berhak, dan kami akan selalu berkata benar di manapun
kami berada, sedikitpun kami tidak akan pernah merasa takut akan celaan orang
yang suka mencela.”
Barra’ bin Ma’rur
adalah orang yang paling bersemangat. Dia adalah orang pertama yang mengambil
tangan Rasulullah Saw., dia berkata: “Benar, demi Dzat yang dengan haq telah
mengutusmu menjadi nabi, maka kami akan benar-benar melindungimu sebagaimana
kami melindungi para istri dan anak-anak kami. Untuk itu, bai'atlah kami, wahai
Rasulullah, demi Allah, kami keturunan dari generasi yang senang perang,
penduduk kami semuanya bersenjata, dan tradisi seperti ini telah diwariskan
dari generasi ke generasi.”
Abu Haitsam bin Taihan
mengikuti langkah Barra’. Dia mengambil tangan Rasulullah Saw. dan berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya di antara kami dan orang-orang itu -yakni
orang-orang Yahudi- ada ikatan perjanjian, namun kami akan memutuskan ikatan
itu. Apakah kamu berkeinginan, jika kami melakukan itu, kemudian Allah
memenangkan kamu, kamu akan kembali kepada kaummu dan kamu meninggalkan kami?”
Mendengar itu Rasulullah Saw. pun tersenyum, lalu berkata: “Ingat baik-baik! ad-dam ad-dam, al-hadam
al-hadam (darah dibalas dengan darah, dan pertumpahan darah dibalas
dengan pertumpahan darah).” Ingat! Aku bagian dari hidup kalian, dan kalian
bagian dari hidupku, aku akan memerangi siapa saja yang memerangi kalian, dan
aku akan berdamai dengan siapa saja yang berdamai dengan kalian.” Kemudian,
orang-orang berbai’at semuanya.
(Kata al-Hadmu atau
al-Hadamu bermakna Ihdaru ad-Dam (menumpahkan darah), artinya jika mereka
menginginkan darah kalian, maka hal itu sama saja dengan mereka menginginkan
darahku. Dan jika mereka menumpahkan darah
kalian, maka hal itu sama saja dengan mereka menumpahkan darahku)
a.
Berangkatnya Kelompok Pelindung Pertama
Dengan selesainya
Bai’at Aqabah ini berarti Rasulullah Saw. telah membangun gelombang pertama
kelompok pelindung di Madinah al-Munawwarah.
Dengan bai'at ini,
cahaya mulai tampak memancar menyinari horizon politik, sehingga dengan jelas
menunjukkan rencana-rencana politik Rasulullah Saw. bahwa tujuan Rasulullah
Saw. hijrah dari Makkah ke Madinah adalah untuk mendirikan masyarakat
baru di negeri yang aman, yang berada di bawah kontrol dan kendalinya, dengan
sistem yang berasal dari Allah Swt. Itulah Negara Islam.
Kemudian Rasulullah
Saw. berkata: “Sekarang, pergilah ke tempat kalian masing-masing.” Abbas bin
Ubadah bin Nadhlah berkata kepada Rasulullah Saw.: “Demi Allah, Dzat yang telah
mengutusmu dengan haq, jika kamu berkehendak, maka besok kami akan benar-benar
menghancurkan penduduk Mina dengan pedang-pedang kami.” Rasulullah Saw.
bersabda: “Kami belum mendapat perintah untuk
itu. Akan tetapi, kembalilah kalian ke tempat masing-masing.”
Orang-orang pun kembali ke tempat tidur mereka masing-masing, lalu mereka
tidur.
Setelah pagi mulai
terang, maka tokoh-tokoh terhormat kaum kafir Quraisy pergi pagi-pagi sekali
guna menemui mereka. Para tokoh kaum kafir Quraisy berkata: “Wahai orang-orang
Khazraj, sungguh telah sampai berita kepada kami, bahwa kalian telah datang menemui
warga kami ini (Muhammad), dan kalian keluar menemuinya tanpa sepengetahuan
kami, kalian membai'atnya untuk memerangi kami. Sungguh! Demi Allah, tidak
satupun dari komunitas bangsa Arab yang paling kami benci meletusnya perang
antara kami dan mereka daripada meletusnya perang dengan kalian!”
Mereka menemui
kelompok orang-orang musyrik, namun orang-orang yang mereka temui bersumpah
atas nama Allah, bahwa sesuatu itu tidak pernah terjadi, “Kami memang tidak
mengetahuinya,” kata mereka untuk meyakinkan. Orang-orang itu benar, dan mereka
sungguh-sungguh tidak mengetahuinya. Sebab, orang-orang yang beriman ketika
melakukan bai’at tidak diketahui oleh mereka.
Dan agar rahasia tetap
terjaga, maka kaum Anshar memerintahkan orang-orangnya di antara penduduk
Madinah agar segera kembali ke Madinah al-Munawwarah begitu selesai menjalankan
ibadah haji mereka. Dan sesuai perintah, merekapun segera pergi.
Akan tetapi, kaum
kafir Quraisy tidak mau begitu saja berhenti menyelidiki berita tentang
pertemuan penduduk Madinah dengan Rasulullah Saw. Ketika mereka telah yakin
bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi, maka mereka bergerilya mencari
orang-orang yang diduga turut dalam pertemuan itu. Mereka mendapatkan Sa’ad bin
Ubadah dan Mundzir bin Amru di Adzakhir (tempat di dekat Makkah) dan keduanya
adalah pemimpin suku.
Mundzir bin Amru
mereka siksa hingga tidak berdaya, sedang Sa’ad bin Ubadah mereka bawa, dan
kedua tangannya diikat ke lehernya dengan menggunakan tali kendaraannya.
Kemudian mereka menyeretnya hingga mereka sampai di Makkah. Selama dalam
perjalanan mereka terus-menerus memukulinya, mereka menarik rambut
ubun-ubunnya, karena dia seorang yang berambut lebat. Seseorang yang turut
bersama mereka menariknya, lalu berkata: “Celaka kamu! Adakah antara kamu dan
salah seorang di antara kaum Quraisy punya hubungan yang baik dan bukan hanya
sekedar perjanjian?” Sa’ad berkata: “Ya, demi Allah ada. Saya rekan bisnis
Jubair bin Muth'im bin Adi bin Naufal bin Abdi Manaf, di negeriku aku selalu
melindungi mereka dari orang-orang yang ingin berbuat zhalim kepada mereka.
Begitu juga halnya dengan Harits bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi
Manaf.” Seorang berkata: “Celaka kamu! Kamu mau berlindung dengan nama dua
orang itu, dengan menyebutkan bahwa antara kamu dan keduanya punya hubungan
baik.”
Sa’ad meminta agar
kedua nama itu dipanggil, karena Sa’ad sangat berharap perlindungan keduanya.
Seorang yang kelihatannya kasihan pada Sa’ad pergi dengan terburu-buru mencari
kedua orang itu. Dia menemukan dua orang itu di masjid dekat Ka’bah. Kepada keduanya
dia berkata: “Seseorang dari Khazraj sekarang sedang dipukuli di suatu lembah
yang luas. Dia berharap pertolongan kalian berdua. Dia menyebutkan bahwa antara
dia dan kalian berdua punya hubungan baik untuk saling melindungi.” Keduanya
berkata: “Siapa dia?” “Saad bin Ubadah,” jawab orang itu. Keduanya berkata:
“Demi Allah, dia benar. Dia di negerinya selalu membantu bisnis kami, dan
melindungi kami dari orang-orang yang ingin berbuat zhalim.” Orang itu berkata:
“Kalau begitu, pergilah dan selamatkan Sa'ad dari siksaan mereka.” Dengan
demikian, Sa’ad pun dibebaskan.
Bacaan: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press