Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 29 Desember 2017

Nabi SAW Mendapat Pertolongan Kekuasaan Mendirikan Negara Islam



a. Bai'at Aqabah Pertama Untuk Keimanan

Ketika memasuki musim haji tahun berikutnya, maka ada dua belas orang laki-laki di antara kaum Anshar yang mereka itu menemui Rasulullah Saw. di Aqabah. Pertemuan ini merupakan Bai’at Aqabah Pertama. Mereka membai'at Rasulullah Saw. untuk mengambil ideologi Islam. Dalam bai’at ini tidak menyinggung soal perang sebagai pembelaan atas Rasulullah Saw.
Mereka yang turut dalam Bai’at Aqabah Pertama ini adalah As’ad bin Zurarah, Rafi’ bin Malik, Ubadah bin ash-Shamit, Abu al-Haitsam bin at-Taihan, Auf bin al-Harits, Mu’ad bin al-Harits, Dzakwan bin Qais, Yazid bin Tsa’labah, al-Abbas bin Ubadah, Uqbah bin Amir, Quthbah bin Amir, dan Uwaim bin Sa’id.
Ubadah bin ash-Shamit ra. menuturkan kepada kami secara rinci tentang proses Bai’at Aqabah Pertama. Ubadah bin ash-Shamit berkata: “Saya termasuk di antara orang yang turut dalam Bai'at Aqabah Pertama. Ketika itu jumlah kami dua belas orang laki-laki. Kemudian, kami membai’at Rasulullah Saw. sebagaimana bai'atnya kaum perempuan. Bai'at itu berlangsung sebelum diwajibkannya perang. Sehingga bai'at itu isinya bahwa kami tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak kami, tidak akan melakukan kebohongan yang kami buat-buat sendiri di antara tangan dan kaki kami, dan kami tidak akan membangkang Rasulullah Saw., ketika kami diperintah berbuat baik. (Rasulullah Saw. bersabda:) Jika kalian menepati (isi bai'at) ini, maka kalian berhak mendapatkan Surga. Jika kalian melakukan satu saja di antara (larangan yang ada dalam bai’at) ini, maka urusannya dikembalikan kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Perkasa. Sehingga, jika Allah berkehendak, maka Allah menyiksanya, dan jika Allah berkehendak, maka Allah mengampuninya.”
Jika dicermati isi yang terkandung dalam Ba’at Aqabah Pertama ini, maka kelihatan sekali bahwa isinya meliputi tiga hal, yaitu:

1. Keimanan kepada Allah Yang Maha Esa, dan membuang jauh-jauh sesembahan-sesembahan selain Allah.
2. Istiqamah, yakni disiplin dalam bertingkah laku.
3. Mengambil kebenaran yang keluar dari lisan Rasulullah Saw., yakni dari al-Qur’an dan as-Sunnah.

Dengan demikian, tiga hal ini merupakan tema sentral Islam. Mengingat, dalam Bai’at Aqabah Pertama ini tidak disinggung sama sekali tentang perang sebagai pembelaan atas Rasulullah Saw. dan agamanya.

Mengirim Mush’ab bin Umair Untuk Mengemban Misi Rahasia:

Disebutkan di dalam kitab-kitab Sirah bahwa ketika orang-orang yang membai’at itu hendak kembali ke negeri mereka, maka Rasulullah Saw. mengirim Mush'ab bin Umair bin Hasyim bin Abdi Manaf agar turut bersama mereka.
Rasulullah Saw. memerintahkan agar ketika sampai di Madinah, Mush’ab mengajari mereka membaca al-Qur’an, mengajari mereka tentang Islam, dan memberi mereka pemahaman tentang agama. Sehingga di Madinah, Mush'ab dipanggil al-Muqri’. Di Madinah, Mush’ab juga berperan sebagai imam ketika mereka shalat.
Sebenarnya, Mush’ab punya misi yang lain, yakni untuk mengenal dari dekat tentang masyarakat Madinah al-Munawwarah dan keberadaannya; untuk mengetahui perasaan yang sebenarnya terhadap dakwah, da’i (yang mendakwahkannya), dan perubahan apa yang kemungkinan terjadi dengan perasaan ini; untuk mengetahui mana yang teman dan mana yang lawan, mana orang-orang yang mendukung dan mana orang-orang yang menentang, dan elemen-elemen apa saja yang berpengaruh di Madinah… Agar ketika Mush’ab kembali, Mush’ab mampu memberikan kepada Rasulullah Saw. gambaran yang jelas dan benar tentang Madinah yang menjadi pusat perhatian Rasulullah Saw., sebab Rasulullah Saw. hendak menjadikan Madinah sebagai landasan untuk mendirikan Negara Islam.
Sehingga dengan gambaran yang jelas dan benar itu, maka Rasulullah Saw. akan mampu memberikan penilaian situasi yang benar tentang Madinah, dan dengan gambaran yang jelas dan benar itu juga, maka Rasulullah Saw. akan mampu bergerak dengan cepat dan cermat ketika waktu keberangkatan Rasulullah Saw. ke Madinah telah tiba.

b. Bai'at Aqabah Kedua Untuk an-Nushrah

Mush'ab bin Umair berangkat ke Madinah al-Munawwarah bersama kafilah orang-orang Madinah yang telah membai’at Rasulullah Saw. untuk keimanan. Mush’ab tinggal di Madinah selama setahun penuh. Di Madinah Mush’ab bertindak sebagai imam shalat, menyeru orang-orang agar bersikap lemah lembut dan sabar dalam beriman, memperdalam iman ke dalam hati orang-orang yang beriman, dan menanamkan dalam diri mereka rasa cinta untuk berkorban. Mush'ab juga menjelaskan bahwa iman jika tidak dibungkus dengan kekuatan yang melindunginya, maka misi keimanan tidak akan mampu membawa pada perbaikan hidup, dan agar mereka mendapatkan kemuliaan, mereka harus melindungi iman yang telah bersarang dalam dada mereka, serta melindungi setiap orang yang menyeru kepada iman.

Setelah setahun -pada musim haji- Mush'ab bin Umair kembali ke Makkah al-Mukarramah bersama beberapa penduduk Madinah al-Munawwarah yang hendak pergi ke Makkah. Suatu malam Mush’ab bin Umair menemui Rasulullah Saw. secara terpisah. Mush’ab melaporkan kepada Rasulullah Saw. semua informasi yang berhasil dia peroleh tentang Madinah dan penduduknya.
Dengan demikian, Rasulullah Saw. telah mengetahui dengan jelas bahwa orang-orang yang beriman di antara penduduk Madinah benar-benar yakin akan wajibnya melindungi dan membela Rasulullah Saw. Sehingga, dengan informasi-informasi yang dilaporkan oleh Mush’ab kepada Rasulullah Saw. ini, maka Rasulullah Saw. akan mampu memberikan penilaian situasi dengan detail.
Menurut penilaian beliau secara global, bahwa di Madinah al-Munawwarah akan ada tiga kelompok:

1. Orang-orang Arab di antara penduduk Madinah. Kelompok ini benar-benar solid setelah mereka saling bermusuhan, dan setelah mereka dilelahkan oleh banyak peperangan.
2. Orang-orang Yahudi. Mereka kelompok yang tidak dapat dipercaya. Jiwa mereka dipenuhi oleh kebencian terhadap agama baru, yakni Islam. Mereka berusaha menghancurkan Islam dengan cara-cara yang kotor. Sehingga tidak perlu berharap keikhlasan mereka agar loyal kepada Negara Islam.
3. Orang-orang Muhajirin yang akan datang ke Madinah al-Munawwarah. Mereka adalah kelompok yang sangat loyal terhadap Negara Islam yang akan didirikan di Madinah. Akan tetapi, kelompok ini diliputi oleh kemiskinan, sebab mereka telah meninggalkan semua harta miliknya di Makkah. Mereka berkumpul di Madinah untuk turut andil dalam membangun bangunan yang tinggi, yaitu Negara Islam di atas tanah Madinah al-Munawwarah.

Rasulullah Saw. telah memprediksikan bahwa persoalan Negara Islam yang akan didirikan di Madinah al-Munawwarah tidak akan berjalan mulus dengan adanya orang-orang Yahudi, kecuali disertai dengan kekuatan, sebab mereka kelompok yang terus-menerus digerakkan oleh kebencian. Begitu juga, Rasulullah Saw. menilai bahwa kaum kafir Quraisy tidak akan senang dengan berdirinya Negara Islam di Madinah. Padahal dalam waktu yang bersamaan Negara Islam punya target membasmi kemusyrikan dan mencabutnya hingga ke akar-akarnya. Sehingga, dapat dipastikan bahwa hal ini akan membawa pada konflik bersenjata antara Negara Islam dengan kekuatan-kekuatan yang melindungi kemusyrikan.
Maka berdasarkan prediksi situasi ini, Rasulullah Saw. telah membuat keputusan penting dan bersifat rahasia. Keputusan ini meski telah jelas bagi Rasulullah Saw., namun dalam beberapa hari beliau masih belum bisa menjelaskannya, agar masalah itu tidak tersebar, dan agar tidak mempersulit dalam menjalankannya.
Keputusan ini intinya sebagai berikut:

1. Menyukseskan proses hijrah. Ini artinya mengumpulkan kekuatan yang dapat dipercaya di daerah yang akan didirikan Negara Islam.
2. Mengusahakan perbaikan kondisi internal di dalam Madinah al-Munawwarah yang terdiri dari orang-orang Arab, Anshar, Yahudi dan Muhajirin.
3. Membersihkan musuh-musuh Negara Islam sesudah persiapan untuk masalah yang penting ini telah selesai dengan sempurna.
5. Berpindahnya berbagai elemen dan kepemimpinan ke Madinah al-Munawwarah (Hijrah) secara total.

Agar proses hijrah berjalan dengan sempurna, maka harus direalisasikan keselamatan tiga hal:
a. Keselamatan ketika keluar dari Makkah al-Mukarramah.
b. Keselamatan ketika dalam perjalanan menuju Madinah al-Munawwarah.
c. Keselamatan ketika sampai di Madinah al-Munawwarah hingga benar-benar tinggal di Madinah al-Munawwarah.

1. Memindahkan Berbagai Elemen dan Membangun Kelompok-kelompok Pelindung

Misi kelompok ini adalah menyukseskan proses sampainya Rasulullah Saw. -sang pemimpin- ke Madinah al-Munawwarah, menjaga keselamatan beliau di Madinah, dan mewaspadai setiap gerakan yang berusaha menggagalkan proses hijrah. Adapun pembentukan kontruksi ini terdiri dari dua kelompok:

1. Kelompok penduduk Madinah yang telah masuk Islam dan bertemu Rasulullah Saw., yakni mereka yang telah berbai’at kepada Rasulullah Saw. untuk melindungi dan menolongnya (kaum Anshar).
2. Kelompok orang-orang beriman di antara penduduk Makkah (kaum Muhajirin) yang akan pergi dari Makkah al-Mukarramah menuju Madinah al-Munawwarah.

Rasulullah Saw. harus bergerak secara rahasia, agar tidak ada musuh yang mengetahuinya, sebab jika ada yang mengetahuinya, maka akan merusak rencana-rencana yang telah beliau susun. Untuk itu, Rasulullah Saw. membuat kesepakatan dengan orang-orang mukmin di antara penduduk Madinah al-Munawwarah untuk berkumpul di Aqabah guna diambil bai’atnya.
Ketika memasuki sepertiga malam di hari kedua dari hari Tasyrik, maka keluarlah orang-orang mukmin ke tempat yang telah disepakatinya dengan sembunyi-sembunyi. Mereka menyelinap seperti menyelinapnya kucing liar, sampai akhirnya mereka pun berkumpul di Aqabah.
Mereka berjumlah tujuh puluh tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan di antara istri mereka, yaitu Nasibah binti Ka'ab al-Maziniyah dan Asma’ binti Adi. Sedang Rasulullah Saw. hadir dengan ditemani pamannya Abbas bin Abdul Muththalib. Ketika itu Abbas menurut pandangan umum masih menganut agama kaumnya, hanya saja dia senang menghadiri urusan yang menyangkut keponakannya, dan dia sangat percaya dengan keponakannya (Muhammad).
Rasulullah Saw. melihat bahwa yang hadir banyak sekali, sehingga bukan sikap yang bijak jika Rasulullah Saw. langsung berbicara dengan semua orang yang ada, sebab ada kemungkinan di antara mereka yang hadir ada orang-orang yang tidak begitu paham dengan tujuan perkataan Rasulullah Saw., yang akhirnya justru akan merusak rencana. Begitu juga, Rasulullah Saw. harus mendengar pendapat di antara mereka yang ingin berpendapat, dan kalau itu dilakukan, maka akan memakan waktu pertemuan yang cukup lama, padahal pertemuannya harus berjalan cepat. Rasulullah Saw. menginginkan pertemuan itu selesai secepat mungkin, agar pertemuan mereka tidak diketahui oleh orang-orang musyrik, sebab kalau mereka tahu, pasti mereka akan merusak apa yang telah direncanakannya.
Untuk itu, Rasulullah Saw. meminta dari mereka dua belas orang perwakilan -kepala suku- agar Rasulullah Saw. dapat berbicara dengan mereka, dan sebaliknya mereka dapat berbicara dengan Rasulullah Saw. Lalu keluarlah menghadap Rasulullah Saw. dua belas orang kepala suku.
Sembilan orang dari Khazraj, yaitu As’ad bin Zurarah, Sa’ad bin ar-Rabi’, Abdullah bin Rawwahah, Rafi’ bin Malik, al-Barra’ bin Ma’rur, Abdullah bin Amru bin Haram, Ubadah bin ash-Shamit. Sedang yang tiga orang lagi dari Aus, yaitu Usaid bin Hudhair, Sa’ad bin Khaitsamah dan Abu al-Haitsam bin at-Taihan.

Ketika mereka telah berkumpul, maka orang pertama yang berbicara adalah Abbas bin Abdul Muththalib. Dia berkata: “Wahai orang-orang Khazraj -bangsa Arab menyebut komunitas di antara kaum Anshar: Khazraj ini dengan sebutan singa dan serigala hitamnya Bangsa Arab- sesungguhnya Muhammad itu dari golongan kami sebagaimana yang kamu tahu. Sungguh kami dan kaum kami telah menolaknya. Padahal dia termasuk orang yang patut diteladani, orang yang terpandang di tengah-tengah kaumnya, dan orang yang berpengaruh di negerinya. Dia sudah tidak mau lagi, kecuali keberpihakan kepada kalian, dan bergabung dengan kalian. Jika kalian memandang bahwa kalian mampu memenuhi apa yang diserukan kepada kalian, dan membelanya dari orang-orang yang menentangnya, maka dukunglah dia. Dan jika kalian memandang bahwa kalian pasrah dan tunduk kepadanya, setelah dia menemui kalian, maka sejak sekarang tolonglah dia memecahkan kesulitannya. Sungguh dia itu orang yang terpandang dan berpengaruh di tengah-tengah kaumnya dan juga di negerinya.” Mereka berkata: “Kami telah mendengar apa yang kamu katakan. Sekarang, bicaralah! Wahai Rasulullah Saw., lalu ambillah dari kami untukmu dan Tuhanmu apa yang kamu inginkan.” Kemudian, Rasulullah Saw. meminta mereka berbai’at untuk keimanan dan kesediaan menolong Rasulullah Saw. (an-nushrah). Dan merekapun membai’atnya.

Ubadah bin Shamit berkata:

“Rasulullah meminta kami berbai'at untuk selalu mendengarkan dan mentaati (perintahnya), baik ketika kami dalam kesulitan maupun lapang, ketika kami senang maupun benci, dan kami tidak akan mengutamakan diri kami sendiri, kami tidak akan merebut urusan (kekuasaan) ini dari yang berhak, dan kami akan selalu berkata benar di manapun kami berada, sedikitpun kami tidak akan pernah merasa takut akan celaan orang yang suka mencela.”

Barra’ bin Ma’rur adalah orang yang paling bersemangat. Dia adalah orang pertama yang mengambil tangan Rasulullah Saw., dia berkata: “Benar, demi Dzat yang dengan haq telah mengutusmu menjadi nabi, maka kami akan benar-benar melindungimu sebagaimana kami melindungi para istri dan anak-anak kami. Untuk itu, bai'atlah kami, wahai Rasulullah, demi Allah, kami keturunan dari generasi yang senang perang, penduduk kami semuanya bersenjata, dan tradisi seperti ini telah diwariskan dari generasi ke generasi.”
Abu Haitsam bin Taihan mengikuti langkah Barra’. Dia mengambil tangan Rasulullah Saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di antara kami dan orang-orang itu -yakni orang-orang Yahudi- ada ikatan perjanjian, namun kami akan memutuskan ikatan itu. Apakah kamu berkeinginan, jika kami melakukan itu, kemudian Allah memenangkan kamu, kamu akan kembali kepada kaummu dan kamu meninggalkan kami?” Mendengar itu Rasulullah Saw. pun tersenyum, lalu berkata: “Ingat baik-baik! ad-dam ad-dam, al-hadam al-hadam (darah dibalas dengan darah, dan pertumpahan darah dibalas dengan pertumpahan darah).” Ingat! Aku bagian dari hidup kalian, dan kalian bagian dari hidupku, aku akan memerangi siapa saja yang memerangi kalian, dan aku akan berdamai dengan siapa saja yang berdamai dengan kalian.” Kemudian, orang-orang berbai’at semuanya.

(Kata al-Hadmu atau al-Hadamu bermakna Ihdaru ad-Dam (menumpahkan darah), artinya jika mereka menginginkan darah kalian, maka hal itu sama saja dengan mereka menginginkan darahku. Dan jika mereka menumpahkan darah kalian, maka hal itu sama saja dengan mereka menumpahkan darahku)

a. Berangkatnya Kelompok Pelindung Pertama

Dengan selesainya Bai’at Aqabah ini berarti Rasulullah Saw. telah membangun gelombang pertama kelompok pelindung di Madinah al-Munawwarah.

Dengan bai'at ini, cahaya mulai tampak memancar menyinari horizon politik, sehingga dengan jelas menunjukkan rencana-rencana politik Rasulullah Saw. bahwa tujuan Rasulullah Saw. hijrah dari Makkah ke Madinah adalah untuk mendirikan masyarakat baru di negeri yang aman, yang berada di bawah kontrol dan kendalinya, dengan sistem yang berasal dari Allah Swt. Itulah Negara Islam.

Kemudian Rasulullah Saw. berkata: “Sekarang, pergilah ke tempat kalian masing-masing.” Abbas bin Ubadah bin Nadhlah berkata kepada Rasulullah Saw.: “Demi Allah, Dzat yang telah mengutusmu dengan haq, jika kamu berkehendak, maka besok kami akan benar-benar menghancurkan penduduk Mina dengan pedang-pedang kami.” Rasulullah Saw. bersabda: “Kami belum mendapat perintah untuk itu. Akan tetapi, kembalilah kalian ke tempat masing-masing.” Orang-orang pun kembali ke tempat tidur mereka masing-masing, lalu mereka tidur.
Setelah pagi mulai terang, maka tokoh-tokoh terhormat kaum kafir Quraisy pergi pagi-pagi sekali guna menemui mereka. Para tokoh kaum kafir Quraisy berkata: “Wahai orang-orang Khazraj, sungguh telah sampai berita kepada kami, bahwa kalian telah datang menemui warga kami ini (Muhammad), dan kalian keluar menemuinya tanpa sepengetahuan kami, kalian membai'atnya untuk memerangi kami. Sungguh! Demi Allah, tidak satupun dari komunitas bangsa Arab yang paling kami benci meletusnya perang antara kami dan mereka daripada meletusnya perang dengan kalian!”
Mereka menemui kelompok orang-orang musyrik, namun orang-orang yang mereka temui bersumpah atas nama Allah, bahwa sesuatu itu tidak pernah terjadi, “Kami memang tidak mengetahuinya,” kata mereka untuk meyakinkan. Orang-orang itu benar, dan mereka sungguh-sungguh tidak mengetahuinya. Sebab, orang-orang yang beriman ketika melakukan bai’at tidak diketahui oleh mereka.

Dan agar rahasia tetap terjaga, maka kaum Anshar memerintahkan orang-orangnya di antara penduduk Madinah agar segera kembali ke Madinah al-Munawwarah begitu selesai menjalankan ibadah haji mereka. Dan sesuai perintah, merekapun segera pergi.

Akan tetapi, kaum kafir Quraisy tidak mau begitu saja berhenti menyelidiki berita tentang pertemuan penduduk Madinah dengan Rasulullah Saw. Ketika mereka telah yakin bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi, maka mereka bergerilya mencari orang-orang yang diduga turut dalam pertemuan itu. Mereka mendapatkan Sa’ad bin Ubadah dan Mundzir bin Amru di Adzakhir (tempat di dekat Makkah) dan keduanya adalah pemimpin suku.
Mundzir bin Amru mereka siksa hingga tidak berdaya, sedang Sa’ad bin Ubadah mereka bawa, dan kedua tangannya diikat ke lehernya dengan menggunakan tali kendaraannya. Kemudian mereka menyeretnya hingga mereka sampai di Makkah. Selama dalam perjalanan mereka terus-menerus memukulinya, mereka menarik rambut ubun-ubunnya, karena dia seorang yang berambut lebat. Seseorang yang turut bersama mereka menariknya, lalu berkata: “Celaka kamu! Adakah antara kamu dan salah seorang di antara kaum Quraisy punya hubungan yang baik dan bukan hanya sekedar perjanjian?” Sa’ad berkata: “Ya, demi Allah ada. Saya rekan bisnis Jubair bin Muth'im bin Adi bin Naufal bin Abdi Manaf, di negeriku aku selalu melindungi mereka dari orang-orang yang ingin berbuat zhalim kepada mereka. Begitu juga halnya dengan Harits bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf.” Seorang berkata: “Celaka kamu! Kamu mau berlindung dengan nama dua orang itu, dengan menyebutkan bahwa antara kamu dan keduanya punya hubungan baik.”
Sa’ad meminta agar kedua nama itu dipanggil, karena Sa’ad sangat berharap perlindungan keduanya. Seorang yang kelihatannya kasihan pada Sa’ad pergi dengan terburu-buru mencari kedua orang itu. Dia menemukan dua orang itu di masjid dekat Ka’bah. Kepada keduanya dia berkata: “Seseorang dari Khazraj sekarang sedang dipukuli di suatu lembah yang luas. Dia berharap pertolongan kalian berdua. Dia menyebutkan bahwa antara dia dan kalian berdua punya hubungan baik untuk saling melindungi.” Keduanya berkata: “Siapa dia?” “Saad bin Ubadah,” jawab orang itu. Keduanya berkata: “Demi Allah, dia benar. Dia di negerinya selalu membantu bisnis kami, dan melindungi kami dari orang-orang yang ingin berbuat zhalim.” Orang itu berkata: “Kalau begitu, pergilah dan selamatkan Sa'ad dari siksaan mereka.” Dengan demikian, Sa’ad pun dibebaskan.

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam