Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 30 Juli 2016

Dakwah Islam siap menanggung resiko


 


Para pemimpin Quraisy itupun satu persatu dilucuti jati diri mereka oleh Al-Qur’an (lihat Ahmad Mahmud, Dakwah Islam, hal 119-120). Tentang Abu Lahab, Allah Swt. berfirman:
﴿تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ﴾
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab…” (QS. Al Lahab [111]: 1)

Tentang pembesar dari Bani Makhzum, Walid bin Al Mughirah, Allah Swt. berfirman:
﴿ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا ! وَجَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَمْدُودًا﴾
“Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian. Dan Aku telah jadikan baginya harta benda yang banyak.” (QS. Al Muddattsir [74]: 11-12)

Terhadap Abu Jahal, Allah Swt. berfirman:


“Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, yaitu ubun-ubun yang mendustakan lagi durhaka.” (QS. Al Alaq [96]: 15-16)

Menghadapi tindakan keras orang-orang Quraisy, sempat muncul keinginan para sahabat untuk menggunakan kekerasan/senjata. Mereka memohon kepada Rasulullah Saw. agar mengizinkan hal itu. Tapi Rasulullah Saw. mencegah keinginan mereka seraya bersabda (lihat: Ahmad Mahmud, Dakwah Islam, terj. 121):
﴿إِنِّيْ أُمِرْتُ بِالْعَفْوِ، فَلاَ تُقَاتِلُوا الْقَوْمَ﴾
“Aku diperintahkan untuk menjadi seorang pemaaf. Oleh karena itu, jangan memerangi kaum itu.” (HR. Ibnu Abi Hatim, An Nasai, dan Al Hakim)

Bahkan ketika Rasulullah Saw. telah mendapatkan baiat dari orang-orang Anshar di Aqobah dan mereka meminta izin kepada Rasul untuk memerangi orang-orang Quraisy, Beliau Saw. menjawab: “Kami belum diperintahkan untuk (aktivitas) itu, maka kembalilah kalian ke hewan-hewan tunggangan kalian.” Dikatakan, ‘Maka, kamipun kembali ke peraduan kami, lalu tidur hingga tiba waktu subuh.” (Sirah Ibnu Hisyam bi Syarhi al-Wazir al-Maghribi, jilid I/305)

Bahkan dalam pergulatan politik antara kelompok kafirin dengan kelompok mukminin, mereka menggunakan peristiwa politik internasional untuk melemahkan lawan. Ini terjadi ketika terjadi perang antara Persia dan Romawi di Syam di mana tentara Romawi dikalahkan oleh tentara Persia. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Syihab, berkata, “Kami mendapatkan kaum musyrikin tengah berdebat dengan kamu muslimin. Saat itu mereka masih berada di Mekah dan sebelum Rasulullah melakukan hijrah. Orang-orang musyrik berkata, “Romawi telah menyatakan dirinya sebagai ahlul kitab, dan sungguh mereka telah dikalahkan oleh Majusi (Persia). Sedangkan kalian yakin bahwa kalian akan mengalahkan keduanya dengan kitab yang diturunkan kepada Nabi kalian. Bagaimana kalian dapat mengalahkan Romawi dan Majusi? Kami pasti mengalahkan kalian.” Maka turunlah firman Allah Swt.:
﴿الم ! غُلِبَتِ الرُّومُ ! فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ ! فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ ! بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ﴾
“Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ruum [30]: 1-5)

Namun demikian orang-orang Quraisy yang berhati beku itu tak bisa menerima kebenaran Islam yang dibawakan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat. Lebih-lebih setelah wafatnya paman Beliau Saw., Abu Thalib, salah seorang pemuka Quraisy yang selama ini mendukung dakwah Nabi, melindungi Beliau Saw., dan menjadi mediator antara para pemimpin Quraisy dengan keponakannya. Mereka melakukan tindakan yang lebih keras, tanpa sungkan-sungkan lagi.

Rasulullah Saw. pun mengontak para pemimpin Qabilah di sekitar Makkah untuk mengajak mereka masuk Islam dan melindungi Beliau Saw. dan melindungi dakwah Islam serta siap menanggung resiko melawan kebengisan orang-orang Quraisy. Rasul juga menyeru para pemuka kabilah-kabilah Arab. Beliau berkata kepada mereka, “Ya Bani fulan! Saya adalah utusan Allah bagi kalian, dan menyeru kepada kalian untuk beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, dan agar kalian meninggalkan apa yang kalian sembah, beriman kepadaku dan percaya kepadaku, dan janganlah kalian mencegah aku, sampai aku menjelaskan apa yang telah disampaikan Allah kepadaku.” Akan tetapi paman Beliau Saw., Abu Lahab, berdiri di belakang Beliau, membantah dan mendustakan perkataan Beliau Saw. Tak satupun kabilah menerima Beliau.

Dalam Sirah Ibnu Hisyam diriwayatkan, “Zuhri menceritakan, bahwa Rasulullah Saw. mendatangi secara pribadi Bani Kindah, akan tetapi mereka menolak Beliau. Beliau juga mendatangi Bani Kalban akan tetapi mereka menolak. Beliau juga mendatangi Bani Hanifah, dan meminta kepada mereka nushrah dan kekuatan, namun tidak ada orang Arab yang lebih keji penolakannya terhadap Beliau kecuali Bani Hanifah. Beliau juga mendatangi Bani ‘Aamir bin Sha’sha’ah, mendo’akan mereka kepada Allah, dan meminta kepada mereka secara pribadi. Kemudian berkatalah seorang laki-laki dari mereka yang bernama Biharah bin Firas, “Demi Allah, seandainya aku mengabulkan pemuda Quraisy ini, sungguh orang Arab akan murka.” Kemudian ia berkata, “Apa pendapatmu, jika kami membai’atmu atas urusan kamu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyelisihimu, apakah kami akan diberi kekuasaan setelah engkau? Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Urusan itu hanyalah milik Allah, yang Ia berikan kepada siapa yang dikehendaki.” Bahirah berkata, “Apakah kami hendak menyerahkan leher-leher kami kepada orang Arab, sedangkan jika Allah memenangkan kamu, urusan bukan untuk kami.” Kami tidak butuh urusanmu.”
….


Benturan Iman dan kekufuran


 


Mulailah terjadi benturan (ishthidam/ clash) antara iman dengan kekufuran di masyarakat, dan mulailah terjadi pergesekan (ihtikak) antara ide-ide yang benar dengan ide-ide yang rusak, dan mulailah tahap kedua, yaitu tahap interaksi dan perjuangan (marhalah tafaul wal kifah). Pada tahap ini mulailah orang-orang Kafir Quraisy melawan dakwah dan menyakiti Rasulullah Saw. dan kaum muslimin dengan berbagai macam cara.

Periode inilah yang paling berat yang dihadapi Rasul dan para sahabat sepanjang perjuangan mereka. Gembong kekufuran Abu Jahal pernah melempar Beliau Saw. dengan isi perut hewan sembelihan mereka.

Semua itu justru hanya menambah kesabaran dan kesungguhan Beliau Saw. dalam dakwah. Kaum muslimin pun menghadapi berbagai ancaman dan gangguan. Setiap kabilah menyiksa dan memfitnah anggota sukunya yang masuk Islam. Sampai-sampai salah seorang budak Habsyi, Bilal bin Rabbah ra., mereka lempar di atas padang pasir, di bawah terik matahari, mereka tindih dadanya dengan batu, dan mereka biarkan di situ agar mati, tidak lain karena dia tetap mempertahankan kalimat tauhid: ahad-ahad! Summayyah istri Yasir ra., mereka siksa hingga mati karena tidak mau kembali (murtad) dari agama Islam kepada agama nenek moyang mereka. Kaum muslimin secara umum dihinakan dan disiksa. Namun mereka bersabar menerima cobaan itu dalam rangka menggapai ridho Allah Swt.

Rasulullah Saw. dan para sahabat menghadapi berbagai perlawanan dakwah yang dilancarkan oleh orang-orang Kafir Quraisy, baik itu penyiksaan fisik (at ta’dziib) , propaganda busuk (ad da’aawah/ad di’ayah) untuk menyudutkan Islam dan kaum muslimin di dalam negeri dan luar negeri, maupun blokade total (al muqatha’ah), dengan sikap sabar dan terus berdakwah menegakkan agama Allah Swt. tanpa kekerasan. Tatkala Rasul melihat Yasir dan istrinya dibantai disiksa oleh orang-orang Quraisy, Beliau Saw. tidak menggerakkan kaum muslimin untuk melakukan perlawanan fisik terhadap mereka. Beliau Saw. bersabda:
«صَبْرًا آلَ يَاسِرٍ فَإِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةِ إِنِّيْ لاَ أَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا»
“Bersabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya janji Allah untuk kalian adalah Surga. Sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatu apapun dari Allah.”

Ketika mendengar janji surga itu, Sumayyah, istri Yasir yang sedang disiksa oleh kafir Quraisy, mengatakan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihatnya secara nyata!” (lihat: An Nabhani, Ad Daulah Al Islamiyah, hal.18)

Pertanyaan kita, mengapa Rasulullah Saw. yang terkenal sempurna akhlaqnya, bahkan sudah mendapatkan gelar al Amin (yang terpercaya), kok dimusuhi begitu rupa oleh orang-orang Quraisy? Benturan yang dilakukan oleh kafir Quraisy terhadap dakwah Islam adalah hal yang wajar. Sebab, Rasulullah Saw. mengemban dakwah dan menampilkan kelompok yang mengemban dakwah bersama Beliau Saw. dalam bentuk yang menantang. Lebih dari itu, substansi dakwah itu sendiri adalah perjuangan dan perlawanan terhadap status quo Quraisy dan masyarakat Makkah.

Sebab substansi dakwah adalah menyeru kepada mentauhidkan Allah dan seruan ibadah hanya kepada-Nya serta seruan untuk meninggalkan penyembahan kepada berhala dan seruan untuk melepaskan diri dari sistem kehidupan jahiliyah mereka yang rusak. Maka terjadilah benturan dengan Quraisy secara total. Bagaimana mungkin tidak terjadi benturan, padahal Rasulullah Saw. membodohkan impian mereka, merendahkan tuhan-tuhan mereka, dan mencela kehidupan murahan mereka, dan mengkritik tatanan kehidupan mereka yang zalim. Dan Al-Qur’an pun turun menyerang mereka dengan jelas. Allah Swt. berfirman:
﴿إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ﴾
“Sesungguhnya kalian dan apa (berhala) yang kalian sembah selain Allah adalah umpan Jahannam.” (QS. Al-Anbiyaa’ [21]: 98)
﴿وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ﴾
“Dan apa yang kalian berikan berupa riba untuk menambah harta kekayaan manusia, maka tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. ar-Rûm [30]: 39)
﴿وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ ! الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ ! وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ ﴾
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. al-Muthafifîn [83]: 1-3)

Oleh karena itu, orang-orang Quraisy pun menghadang dakwah. Mereka menyakiti Rasulullah Saw. dan para sahabat. Mereka menyiksa, mengembargo, dan membuat propaganda untuk melawan Beliau Saw. dan agama yang dibawanya. Namun itu semua tidak menyurutkan langkah dakwah Rasulullah Saw. Beliau Saw. tetap menyerang mereka, terus melawan pandangan-pandangan yang salah, dan menghancurkan aqidah-aqidah yang rusak, dan bersungguh-sungguh menempuh jalan penyebaran dakwah. Beliau Saw. mendakwahkan Islam dengan jelas, tanpa tedeng aling-aling, tanpa merendahkan diri, tanpa cenderung kepada kekufuran, dan tanpa menjilat gembong-gembong kekufuran.

Hal itu Beliau lakukan sekalipun menghadapi berbagai gangguan dari Quraisy, meskipun menghadapi berbagai kesulitan. Dan dakwah yang Beliau lakukan di tengah berbagai kesulitan itu justru membuat Islam dari hari ke hari menyebar ke seluruh masyarakat Arab, sehingga banyak para penyembah berhala dan orang-orang Nasrani masuk Islam, bahkan para pembesar Quraisy pun mendengarkan Al-Qur’an dan hati mereka berdebar-debar. Sejarah mencatat bahwa tiga orang gembong kafir Quraisy, yaitu Abu Sufyan bin Harb, Abu Jahal Amru bin Hisyam, dan Al Akhnas bin Syariq secara terpisah selama tiga malam berturut-turut mendengar Rasulullah Saw. membaca Al-Qur’an di rumahnya. Rasulullah Saw. biasanya menghabiskan sebagian besar malamnya dengan qiyamul lail dan membaca Al-Qur’an secara tartil.....


Sabtu, 23 Juli 2016

Hukum tunduk kepada nash-nash


 


Adanya eksistensi nash dan terpeliharanya nash, mengandung arti terpeliharanya hujjah Allah atas manusia. Sedangkan manusia itu sendiri, maka mungkin saja menyimpang atau tersesat, atau men-takwilkan nash-nash dengan sesuatu yang tidak dikandungnya, menambahi atau mengurangi. Namun, hal ini masih dalam batas-batas pemahaman, bukan nash-nash al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim beriman dengan benar, konsisten dan istiqâmah melaksanakan perintah-perintah Allah yang Maha Mengetahui, juga berusaha agar tidak menyimpang darinya.

Inilah Islam yang telah baku. Seorang muslim yang beriman dengan apa yang telah ditetapkan. Sementara, manusia itu, siapapun, tidak akan mampu membuat hukum yang haq, meskipun diberikan kepadanya kecerdasan berpikir, kedalaman pengalaman dan kekuatan iman. Dalam proses penyimpulan hukum, manusia harus tunduk kepada nash-nash yang ada, meskipun dia adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Itulah yang beliau maksudkan dengan perkataannya pada khutbahnya yang pertama setelah beliau menerima jabatan Khalifah: “Taatlah kalian kepadaku selama aku mentaati Allah dalam urusan kalian. Seandainya aku berbuat maksiat, maka tidak ada ketaatan kepadaku…aku ini tidak lain adalah pengikut, bukan orang yang membuat-buat (bid’ah).”
Hal itu merupakan pencerminan dari sabda Rasulullah saw:
“Ikutilah, dan janganlah membuat bid’ah. Sungguh telah dicukupkan untuk kalian.”
Dengan demikian, kaum Muslim harus konsisten, tidak mudah menyerah, harus mengikuti, dan tidak berbuat bid’ah.

Disebutkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Anas ra. Ada sekelompok orang yang memberitakan tentang ibadah Rasulullah Saw., maka seolah-olah mereka sangat sedikit dibandingkan dengan apa yang dilakukan Rasulullah Saw., lalu mereka berkata: ‘Di mana posisi kita dibandingkan Nabi Saw. Allah telah mengampuni dosa beliau baik yang dahulu maupun yang sesudahnya’. Lalu mereka berjanji untuk bangun pada malam hari (shalat malam) dan puasa pada siang harinya serta menjauhi wanita. Maka Rasululah Saw. bersabda kepada mereka:
‘Apakah kalian kaum yang mengatakan begini dan begini? Sesungguhnya aku lebih takut kepada Allah daripada (rasa takut yang) kalian (miliki), dan lebih bertakwa kepada-Nya. Namun demikian aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan akupun menikahi wanita.’
Dan Rasul mengakhiri sabdanya dengan:
“Barangsiapa yang tidak senang kepada sunnahku maka dia tidak termasuk golonganku.”

Terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali sesuai dengan syariah. Tidak termasuk taqarrub kepada-Nya apapun yang dibuat-buat oleh manusia.

Terdapat juga kecaman untuk orang-orang yang tasâhul (meremehkan) Islam. Pada dasarnya orang seperti ini beriman kepada Islam, akan tetapi dia melalaikan berbagai kewajiban dan bersandar pada angan-angan. Dia mengerjakan dosa besar, lalu berjanji pada dirinya akan bertaubat sebelum mati, seolah-olah dia mengetahui kapan waktu kematiannya. Sikap seperti ini diharamkan. Seorang muslim wajib mengambil Islam secara total, dan tidak besikap ridha kecuali dengan ketaatan. Inilah manhaj Allah yang lurus.

Tidak dibolehkan menyimpang dan keluar dari garis lurus yang Rasulullah telah gariskan. Mereka meremehkan berbagai hukum. Mereka melontarkan pendapat-pendapat yang tidak ada kaitannya dengan nash-nash Islam. Semua itu dilakukan untuk memberikan kepada Barat deskripsi tentang Islam, bahwa Islam itu sesuai dengan waktu dan realitas. Mereka berpendapat perlunya meninggalkan nash-nash syara’ yang telah disepakati oleh umat untuk diamalkan. Contoh tentang takwil mereka adalah bahwa orang murtad tidak perlu dibunuh meskipun Rasulullah telah bersabda:
“Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad dari Islam), maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Alasan mereka itu bahwa situasi dan realitas ketika Rasullullah mengatakan hal itu amat berbeda dengan situasi dan realitas kita sekarang ini. Itu dilakukan agar pemikiran ini sesuai dengan pemikiran Barat yang terkait dengan kebebasan berakidah. ….


Jumat, 22 Juli 2016

Muslim bersikap konsisten kepada hukum Syariah


 


Banyak hukum-hukum syara’ yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim, dan berdosa jika ditinggalkan. Sementara Barat memandangnya sebagai sesuatu yang ekstrim, radikal dan perbuatan teror. Contohnya adalah pemikiran tentang jihad fi sabilillah, pemikiran tentang upaya mendirikan negara Khilafah, pemikiran tentang amar ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa, menentang kekufuran dan menyebarkan dakwah, membuang demokrasi, haramnya transaksi riba, pakaian wanita, dan banyak lagi yang lain.
Semua itu mengharuskan seorang muslim bersikap konsisten kepadanya. Apakah boleh bagi kita berhukum kepada demokrasi yang berlandaskan pada pemikiran Barat yang rusak dan busuk, yang tidak menebarkan kebaikan bagi para pengikutnya? Kita wajib menolak campur tangan Barat terhadap agama kita.

Al-Mughâlât atau al-ghuluw berarti az-ziyâdah dan mubâlaghah. Mubâlaghah dalam beragama berarti tasyaddud dan tashallub, yakni melampaui batas yang dituntut dan yang telah ditetapkan. Itu disebut juga dengan ifrâth. Lawan katanya adalah tafrîth, yang berasal dari fi’il farratha fi al-amr farathan atau qashsharahu bihi wadhi’ahu wa qaddama al-‘ajza fîhi. Tafrîth dalam agama berarti melalaikan hukum-hukumnya dan menyia-nyiakan haknya, menampakkan kelemahan dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya. Dari sini lahir perkataan: lâ ifrâtha walâ tafrîtha fi al-Islâm.

Adapun iqtishâd sama dengan tawassuth, i’tidâl, rusyd dan istiqâmah. Orang yang mu’tadil (pertengahan, normal, proporsional) dalam agama adalah orang yang istiqâmah di dalam mengerjakan perintah Allah, dan tidak menyimpang, baik ke arah yang berlebihan atau lalai. Allah Swt. berfirman:
“Di antara mereka ada golongan yang proporsional (orang berlaku jujur dan lurus dan tidak menyimpang dari kebenaran), dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (TQS. al-Maidah [5]: 66)

Umat ini adalah umat yang mu’tadilah terhadap perintah Rabbnya, artinya konsisten dengan batas-batas yang diperintahkan Allah kepadanya.
Orang yang memperhatikan definisi-definisi ini memahami bahwa yang dituntut dari seorang muslim adalah konsisten dengan batas-batas Allah, dan tidak boleh melampauinya. Seorang muslim harus mu’tadil, yaitu lurus terhadap perintah-Nya. Rasulullah Saw. bersabda:
“Katakanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamalah.” (HR. Muslim)

Konsistenlah dengan apa yang Allah perintahkan kepadamu dan berhentilah dari apa yang dilarang-Nya. Jadi, kata istiqamah-lah di sini berarti bertakwalah. Dari sini datanglah firman Allah untuk menjelaskan makna tersebut:
“Dan tetaplah segaimana diperintahkan kepadamu.” (TQS. asy-Syura [42]: 15)

Allah-lah yang memerintah, dan seorang muslim harus mentaati perintah-Nya. Seorang muslim tidak akan mengetahui jalan takwa dan jalan yang lurus, sendirian. Seandainya dia mengikuti dirinya sendiri, berarti dia telah mengikuti hawa nafsu. Dan barangsiapa mengikuti hawa nafsunya, berarti dia telah menyimpang.
Oleh karena itu, istiqâmah itu tidak lain mengikuti apa yang diperintahkan Allah semata, dan tidak melampauinya, baik dengan melebih-lebihkan ataupun melalaikannya. Untuk memahami hal itu harus kembali kepada asasnya.

Seorang muslim yang beriman kepada Allah, akan beriman pula bahwa penyelesaian yang dibawa Islam adalah sesuai dengan fithrahnya, yang telah Allah fithrahkan kepadanya. Sebab, penyelesaian-penyelesaian itu berasal dari al-Khaliq, yang telah menciptakan fithrah itu sendiri dan menetapkan khasiat-khasiat-nya, serta menciptakan apa yang baik baginya.
Pada waktu yang sama, seorang muslim juga beriman bahwa solusi yang disodorkan agama-agama dan ideologi-ideologi lain adalah dangkal, salah, menyimpang, menyengsarakan dan tidak membuat manusia bahagia. Karena solusi-solusi tersebut adalah buatan manusia yang bersifat lemah, yang membutuhkan kepada yang lain, dan penuh dengan keterbatasan. Akal manusia tidak mampu mencakup seluruh fakta tentang dirinya sebagai manusia. Implikasinya, tidak mampu melahirkan solusi.

Islam memiliki kelebihan dibandingkan dengan ideologi-ideologi dan agama-agama lain. Islam adalah jalan hidup dari Allah, mencakup seluruh perbuatan manusia dan memberikan kepada manusia solusi yang menjamin kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Allah Swt. berfirman:
“Lalu, barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat pada keadaan buta. Berkatalah ia: ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? Allah berfirman: ‘Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu pula pada hari ini kamupun dilupakan’. Adapun orang yang berjalan di muka bumi ini bukan dengan petunjuk Allah maka dia adalah buta, menyimpang dari kebenaran, menyimpang dari yang haq.” (TQS. Thahaa [20]: 123-126)

Allah telah memelihara untuk kita agama ini dari kemusnahan. Allah mencegah tangan-tangan yang akan mengotori untuk merubah dan memalingkan nash-nash-Nya hingga musnah. Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (TQS. al-Hijir [15]: 9)
….

Selasa, 19 Juli 2016

Berdenyutnya kebangkitan dalam diri umat


 


apa yang kita saksikan sekarang ini adalah mulai berdenyutnya kebangkitan di dalam diri umat. Umat melihat kepada Barat, penguasa dan “ulama” buruk (as-sû) dengan pandangan yang sama. Umat memandang Barat bagaikan melihat setan, sedangkan para penguasa itu menjadi murid-muridnya. Para ulama buruk (as-sû) tidak akan menduduki posisi kecuali jika mereka melanggar kehormatan agama. Itulah kebanyakan ulama pada masa kemunduran, dan fungsi mereka akan berakhir dengan berakhirnya masa kemunduran itu. Di era kebangkitan Islam yang sebenarnya, akan muncul para ulama yag bersih, taqwa dan jujur.


Sesungguhnya kita sekarang ini berada pada tahap di mana Barat dan para penguasa, hidup dalam ketakutan yang amat sangat terhadap kembalinya Islam. Mereka menganggap setiap pemikiran Islami yang dilontarkan merupakan bahaya yang mengancam kedudukan mereka, sehingga mereka berusaha untuk mengepungnya dan menuduhnya dengan berbagai dakwaan. 

Mereka menggunakan corong media masa maupun propaganda, bahkan acapkali menggunakan lidah-lidah para “ulama” untuk menyerangnya. Mereka menggambarkan gerakan-gerakan Islam yang menuntut (penerapan sistem) Islam semata sebagai ekstrimis dan teroris. 

Di lain pihak para “ulama”, para penulis, baik lokal maupun nasional, dengan rajin mengarang buku-buku dan memberikan ceramah-ceramah agar kaum Muslim menjauhi sikap “ekstrim” dan menyerukan sikap moderat. Mereka semuanya bertolak dari satu perspektif yaitu perspektif Barat. Para ulama itu dipandang sebelah mata oleh umat dan citra mereka seperti penguasa. 

Para “ulama” itu sendiri dijauhi oleh umat dengan memunggunginya. Hal itu disebabkan banyaknya justifikasi yang mereka lontarkan dan tidak mengandung kebenaran. Fatwa-fatwa mereka menyimpang dari pokok-pokok syariat yang telah baku. Pada akhirnya bukan hanya bertentangan dengan pemahaman yang Islami, malah bertentangan dengan nash-nash syara’ yang telah disepakati umat validitas sumbernya. Sebagian fatwa itu bahkan memerintahkan untuk mengerjakan yang munkar dan melarang yang ma’ruf. Semoga Allah Swt. melindungi kita dari semua itu. 


Sikap fanatik yang ditunjukkan oleh para “ulama” dengan melontarkan pemikiran-pemikiran yang pro Barat, yang notabenenya merupakan pemikiran asing yang disusupkan ke dalam Islam, itu dilakukan bukan untuk mencari keridhaan Allah, melainkan untuk menyenangkan para penguasa dan kroni-kroninya. Meskipun mereka berusaha menunjukkan semangat untuk membela kaum Muslim dan kepentingan dakwah Islam akan tetapi umat amat memahami kosongnya pemikiran mereka dan penyimpangan yang dilontarkan para penggagasnya.


Islam datang untuk menjawab seluruh problematika manusia sebagai satu kesatuan. Islam menjawab tentang hubungan manusia dengan dirinya sendiri melalui aturan-aturan akhlak, (hukum tentang) math’umât (tentang makanan dan minuman) dan malbûsât (tentang pakaian); dan menjawab tentang hubungan manusia dengan sesamanya melalui aturan-aturan mu’amalât dan uqûbât; juga menjawab tentang hubungan manusia dengan Rabbnya melalui aturan-aturan ibadah dan akidah. 

Islam merupakan aturan yang integral (menyeluruh) dan menyelesaikan setiap perbuatan manusia. Islam adalah pemikiran menyeluruh yang menjadikannya mampu untuk menjawab setiap hal yang berkaitan dengan urusan hidup.


Di samping itu, bangunan Islam adalah bangunan yang paripurna, yang tegak di atas asas yang memancarkan setiap penyelesaian. Di atasnyalah dibangun seluruh pemikiran. Oleh karena itu, pemahaman-pemahaman Islam, keyakinan-keyakinannya dan tolok ukurnya, semuanya berasal dari unsur pemikirannya yang asasi.


Islam tegak di atas asas iman seorang muslim, bahwa Allah adalah Pencipta dan Pengatur; bahwa manusia itu lemah, membutuhkan kepada yang lain, serba kurang dan terbatas; bahwa manusia tidak mampu memberikan penyelesaian. Allah Swt. telah mengutus Rasul-Nya untuk mengajarkan kepada manusia siapakah Allah yang harus disembah, bagaimana beribadah kepada-Nya, apa yang menjadi konsekuensinya apabila manusia beribadah, atau konsekuensinya jika tidak melakukannya, yakni berupa pahala dan siksa di dalam kehidupan Akhirat. 

Semua ini menumbuhkan pada diri seorang muslim tolok ukur bagi setiap perbuatannya, yaitu halal dan haram. Fungsi akal manusia bukan untuk membuat hukum, tetapi akal manusia digunakan untuk memahami apa yang ditunjukkan oleh nash-nash. Nash-nash itulah yang mampu memberikan solusi, yaitu nash-nash yang berasal dari Allah Swt. Tugas manusia adalah untuk memahami nash-nash supaya mereka konsisten. Dalam memahami nash-nash tersebut manusia bisa salah, bisa juga benar. Meskipun demikian, dalam dua kondisi itu tetap diberikan pahala, asalkan tunduk kepada metode ijtihad yang syar’i. 

Berdasarkan hal ini kaum Muslim sangat memperhatikan itsbat (penetapan) nash-nash. Dari sinilah lahir ilmu hadits. Mereka juga sangat memperhatikan pemahaman nash-nash sehingga melahirkan ilmu ushul fiqih. Di antara kaidah-kaidah ushul fiqih, antara lain:
- Sesungguhnya Allah itu adalah Hakim.
- Hukum asal dari setiap perbuatan dan segala sesuatu terikat dengan dalil syara’.
- Sesungguhnya, khair (kebaikan) itu adalah apa yang membuat Allah ridha, dan syar (buruk) adalah apa yang membuat Allah murka.
- Sesungguhnya, hasan (terpuji) itu adalah apa yang dianggap hasan (terpuji) oleh syara’, dan qabîh (tercela) itu adalah apa yang dianggap qabîh (tercela) oleh syara.
….


Minggu, 17 Juli 2016

Mengubah UUD berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah


 


Sistem pemerintahan suatu negara berdasarkan kepada UUD. Dan UUD-nya diambil dari sumber-sumber tertentu yang dibangun di atas asas tertentu. Dalam perkara ini kita harus mencermati, apakah asas negara itu akidah Islam sehingga al-Qur’an dan as-Sunnah serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya dijadikan sebagai sumber satu-satunya untuk membuat UUD? Apakah hukum-hukum yang terdapat di dalam UUD tidak keluar sedikitpun dari wahyu? Jika demikian kondisinya, maka negara itu dianggap Daulah Islamiyah.

Apabila di dalam Daulah Islamiyah banyak terjadi kerusakan atau dijumpai adanya keburukan di dalam penerapan, maka terhadap negara seperti ini harus dilakukan upaya ishlâh (perbaikan), bukan taghyîr. Kondisi semacam itu mirip dengan keadaan Daulah Islamiyah pada masa Utsmani. Khilafah saat itu membutuhkan ishlâh.

Namun, jika asas negara bukan akidah Islam, yang merupakan asas UUD, peraturan dan perundang-undangan lainnya, maka yang dituntut di sini adalah aktivitas taghyîr bukan ishlâh. Contohnya adalah kondisi negara-negara tempat kaum Muslim hidup sekarang ini. Negara-negara itu bukanlah Daulah Islamiyah, karena peraturan-peraturannya tidak eksklusif berasal dari syari’at Islam (meskipun mereka mengatakan bahwa agama negara adalah agama Islam). Sebab yang jadi acuan adalah penerapan bukan sekedar perkataan (pengakuan).

Jadi, selama peraturan negara-negara yang memerintah kaum Muslim sekarang ini UUD-nya tidak berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka realitas ini memerlukan aktivitas yang bersifat taghyîr, yaitu mengubah secara fundamental pusat-pusat peraturan dan kaidah-kaidahnya. Tidak boleh memperbaiki sistem yang bukan Islam. Misalnya memperbaiki kapitalisme supaya bisa dianggap lebih adil, memperbaiki demokrasi sehingga lebih demokratis, menyehatkan perbankan ribawi, menstabilkan industri keuangan non-riil, dsb.

Para penganjur taghyîr (penggantian sistem) mempunyai pemikiran-pemikiran yang sangat berbeda atas realitas yang ingin mereka ubah. Sikap tersebut muncul karena mereka mengikatkan pemikirannya dengan asas yang mereka imani, dan menolak fakta menyimpang yang ada dari segi asasnya. Selama asasnya berbeda, maka apapun yang berasal dari asas tersebut tertolak, karena gugurnya asas, meskipun terdapat kemiripan pada sebagian perkara cabangnya.

Di dalam benak para pencetus ide taghyîr terdapat gambaran yang ingin disampaikan kepada umat manusia. Gambaran ini membawa mereka kemasa Rasulullah Saw. Mereka mengkritik realitas, tempat mereka hidup dengan kritikan yang menyentuh asasnya. Pemikiran yang dilontarkan kelompok ini sama di setiap negeri, karena kondisi yang diciptakan oleh kafir penjajah terhadap kaum Muslim sama dan seragam. Oleh karena itu, solusi terhadap kondisi tersebut juga sama.

Pada fase penjajahan gaya baru Barat atas negeri-negeri kaum Muslim, mereka menjauhkan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber satu-satunya bagi perundang-undangan hidup kita. Itu dilakukan Barat dengan melakukan pemisahan agama Islam dari kehidupan dan peraturan kita. Perlakuan itu berhasil mereka jalankan. Dan hal itu merupakan bencana bagi kita. Sesungguhnya realitas yang ada saat ini tidak akan bisa diperbaiki dengan cara tambal sulam, meskipun amat banyak. Dan orang yang tidak memahami realitas tentang sesuatu tidak akan mungkin mengetahui hukumnya.

Orang yang menyeru kepada ideologi Islam sekarang ini tidak bisa mengabaikan hadits Nabi Saw.:
“…Kemudian akan datang Khilafah yang berdasarkan pada manhaj ke-Nabian.” (HR. Imam Ahmad)

Orang yang menginginkan hadirnya Khilafah yang berdasarkan pada manhaj ke-Nabian tidak akan memiliki alternatif lain kecuali meneladani sirah manusia terbaik (yaitu Muhammad Saw.), yang usaha-usahanya menghasilkan buah. Dan dengan taufik Allah bisa menelurkan sebaik-baik umat yang dikeluarkan di tengah-tengah manusia. Sesungguhnya sirah itu adalah satu untaian dengan sirah para Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka. Hanya kepada Allah kita memohon agar kita termasuk di dalam salah satu mata rantainya. Maka kita juga harus meneladani sirah Muhammad Saw. Masyarakat lalu meneladaninya pula, dan bersatu untuk melaksanakan amal perbuatan mulia yaitu dakwah Islam ideologis.

Orang yang mengemban dakwah Islam secara benar dan berusaha mewujudkannya kembali di dalam realitas pemerintahan dan kehidupan secara ikhlas, baik individu ataupun partai, tidak mungkin berhasil dengan bergabung dengan sistem pemerintahan bukan-Islam. Karena di saat yang sama dia berusaha untuk mengungkap kerusakannya, mengungkap pertentangannya dengan dalil-dalil syar’i yang qath’i tsubut (pasti sumbernya) dan qath’i dilalah (pasti penunjukannya).
Sungguh, merupakan suatu bencana dan dosa besar apabila seorang pengemban dakwah mengadopsi maslahat yang diukur dengan akalnya dan tidak diakui oleh syara’, sebagai dalil baginya dengan melanggar nash yang qath’i tsubut dan qath’i dilalah; atau menggunakan syubhat dalil.

Rasul Saw. mengirimkan surat-surat dakwah kepada para kepala negara lain. Di dalam juz ke-12 dari kitab Syarah Shahih Muslim an-Nawawi, disebutkan bahwa Najasy (gelar bagi raja Habasyah) yang dikirimi surat oleh Rasulullah Saw. dan diajaknya masuk Islam pada akhir tahun ke-6 Hijriah, setelah beliau kembali dari Perang Hudaibiyah, bukanlah Najasy yang Rasulullah Saw. menshalat jenazahkan. Teksnya berbunyi:
“Dari Anas bahwa Nabi Saw. telah menulis surat kepada Kisra, kepada Kaisar dan kepada Najasy, serta kepada setiap Jabbar (penguasa), mengajak mereka kepada Allah ta’ala, bukan Najasy yang Nabi Saw. menshalat (jenazahkan) atasnya.“ (Hadits dari Anas bin Malik, yang diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya)

Najasy yang telah masuk Islam ini telah menerima kekuasaan pada tahun ke-7 Hijriah, karena Rasulullah Saw. telah mengirimkan banyak utusannya kepada para Raja dan Amir. Di antara mereka adalah Najasy. Hal itu beliau lakukan sekembalinya dari perang Hudaibiyah, yang terjadi pada akhir tahun ke-6 Hijriah, bulan Dzulqa’idah. Mungkin Najasy ini telah meninggal pada tahun ke-7 Hijriah, dan pada tahun itu pula Najasy yang masuk Islam telah menerima estafet pemerintahan. Dialah yang Rasulullah Saw. melakukan shalat jenazah atasnya, yang waktu kematiannya terjadi sebelum penaklukkan kota Makkah pada tahun ke-8 Hijriah, sebagaimana yang disebutkan oleh Baihaqi dalam kitab Dalâ’ilu an-Nubuwwah.
Dengan demikian, jarak antara pengangkatannya menjadi Raja dan ke-Islamannya, begitu juga dengan kematiannya sangat singkat. Dia masuk Islam secara rahasia, dan tidak ada seorangpun yang mengetahui ke-Islamannya, bahkan Rasulullah Saw. sendiri tidak mengetahuinya selain diberitahu melalui wahyu tentang kematiannya, juga ke-Islamannya pada hari kematiannya itu. Waktu yang singkat yang dilaluinya sebagai seorang muslim sebelum dia meninggal tidak memungkinkannya untuk mengetahui tentang hukum-hukum Islam. Dan ketidaktahuan Nabi Saw. terhadap hal itu menyebabkan beliau tidak sempat mengirimkan kepadanya utusan yang akan menjelaskan apa yang harus dikerjakan.
….


Sabtu, 16 Juli 2016

Ibadah dan Ketundukan Hukum kepada Allah

 
 

Syariat dengan akidahnya ditegakkan di atas landasan iman kepada Allah yang Esa, dan wajib meng-Esakannya di dalam ibadah. Ucapan (lâ ilâha) berarti menafikan ketuhanan, ibadah dan tasyri’ kepada selain Allah. Dan ucapan (illa Allah) berarti itsbat (penetapan) semua itu hanya untuk Allah. Dialah Tuhan yang layak untuk diibadahi dan layak untuk membuat hukum. Ini mengharuskan juga beribadah dan tunduk kepada-Nya, serta mengetahui syari’at-Nya melalui Rasulullah Saw. Inilah yang dikandung oleh bagian kedua dari ucapan syahadat, yaitu perkataan (Muhammad Rasulullah). Artinya, wajib menjadikan Rasulullah Saw. sebagai satu-satunya figur yang diikuti dan diteladani dalam perkara tasyri’.

Ushul fiqih telah membatasi sumber wahyu agar tasyri’ tidak diambil selain dari wahyu. Ushul fiqih juga membatasi kaidah-kaidah istinbath (penyimpulan hukum dari nash-nash) agar tidak ada unsur yang masuk ke dalam syara’, berupa sesuatu yang bukan syara’. Oleh karena itu pembahasan pertama di dalam ushul fiqih adalah bahwa Hâkim (pembuat hukum) adalah Allah Swt., dan bahwa hukum itu hanya hak Allah saja. Tidak ada hukum kecuali syara’ telah menjelaskannya.
Kemudian datang fiqih yang merupakan terjemahan praktis untuk beribadah kepada Allah semata dan tunduk kepada-Nya. Tidak menerima tasyri’ selain-Nya, dan hanya berhukum kepada syari’at-Nya semata.
Dan bergabung menjalankan sistem pemerintahan yang kufur berarti mengajak untuk ridho mendiamkan kebathilan: undang-undang buatan manusia; musyarri’ selain Allah, sejajar dengan Allah; menerima berbilangnya sumber tasyri’... Lalu, di mana ke-Esaan Yang Disembah, yang menuntut ke-Esaan dalam peribadatan, baik dzahir maupun batin?
Tidak dibolehkannya mensyarikatkan Allah mengharuskan pula tidak boleh turut serta di dalam penetapan hukum-hukum menyalahi-Nya.

Sirah perjalanan dakwah Rasulullah Saw. menunjukkan tidak disisakannya satu keraguanpun terhadap fundamentalnya pemikiran dan menjauhkannya dari realitas yang mungkin bisa mempengaruhinya. Bahkan, berusaha untuk mempengaruhi realitas dan memunculkan perubahan. Dakwah Rasulullah Saw. tidak terpengaruh fakta-fakta syirik yang ada di tengah-tengah orang kafir Makkah, tidak memperhatikan lagi adat kebiasaan mereka, tidak memperhitungkan apakah manusia akan menerima atau menolak dakwahnya, dan tidak bermanis muka kepada penguasa.
Padahal kondisi Rasulullah Saw. dan kondisi dakwah di kota Makkah ketika itu sangat keras. Rasulullah Saw. menyerukan (lâ ilaâha illa Allah) yang merupakan inti Islam secara keseluruhan, dan penolakan secara total terhadap selain Islam, baik akidah maupun syari’at. Berdasar asas ini pula Abu Jahal bersama tokoh-tokoh Makkah lainnya melakukan penolakan.
Dengan bertumpu kepada asas ini Rasulullah Saw. menjalankan dakwah kepada umat manusia seluruhnya, baik yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, hamba sahaya ataupun orang merdeka, kaya maupun miskin, orang Arab atau selain Arab, penyembah berhala ataupun ahli kitab.
Rasulullah Saw. menghadapi mereka dan berjuang untuk menyampaikannya. Beliau memulai dengan menyebut tuhan-tuhan mereka. Mereka membalasnya dengan pemusuhan. Kemudian mereka menawarkan kompromi, dan meminta beliau agar tidak mengganggu mereka. Jika hal ini diterima, maka mereka juga tidak akan mengganggu beliau. Mereka menginginkan andai saja Rasulullah Saw. bermanis muka kepada mereka, maka mereka akan melakukan hal yang sama.
Kenyataannya, Rasulullah Saw. tidak menuruti keinginan mereka dan memilih bersikap sabar terhadap penolakan mereka terhadap dakwahnya, dan gangguan mereka terhadap sahabat-sahabatnya maupun orang-orang mukmin lain yang beriman terhadapnya.
Kesabaran merupakan bukti kebenaran dakwah dan ucapannya. Beliau Saw. juga menolak (dengan tegas) syarat yang diajukan bani Sha’sha’ah tatkala beliau mendatangi mereka supaya mereka menerima Islam kaaffah dan mau memberikan pertolongan mereka terhadap Islam di saat-saat dakwah beliau dalam kondisi kritis. Tidak seorangpun yang menolong.
Mereka bersedia untuk menolong beliau akan tetapi dengan mengajukan persyaratan, (yaitu) jika beliau wafat, maka kekuasaan Islam harus diserahkan kepada mereka. Saat itu beliau tidak mengatakan adanya celah (peluang) terbuka yang dapat dimanfaatkan, setelah setiap jalan yang ada di hadapan beliau tertutup rapat. Beliau malah mengatakan kepada mereka -dan kepada kita juga untuk mengajarkan, memberi petunjuk dan mengajak-:
“Perkara (kekuasaan) itu adalah urusan Allah. Dialah yang memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki.”

Dakwah Rasulullah Saw. berjalan hanya bersandar kepada pemikiran dan taufiq Allah Swt. bahkan dakwah beliau juga sampai pada tercapainya tujuan dengan berdirinya Darul Islam yang baru seluas Madinah setelah Allah Swt. membuka hati dan akal orang-orang yang menolong dan mendukung beliau. Ini merupakan taufiq dari Allah Swt. yang akan diperoleh juga oleh orang-orang yang bertawakal kepada-Nya, meminta pertolongan-Nya, memelihara kejernihan pemikiran dan kecemerlangan pemahaman, istiqamah dalam perjalanan (dakwahnya) dan menjaga kebenaran tingkah lakunya.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. Maka kamu akan melihat orang-orang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana’. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya) atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (TQS. al-Maidah [5]: 51-52)
….

Kamis, 14 Juli 2016

Politik harus berjalan sesuai dengan hukum Syara'


 


Berhukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah fardhu. Wajib mengesakan Allah dan hal ini terdapat dalam syahadat mereka. Meskipun demikian mereka (zholim) telah menelaah –berdasarkan metode berpikirnya tadi- bahwa boleh bagi seorang muslim untuk bergabung dalam sistem pemerintahan thaghut. Mereka telah menyimpang jauh dari kebenaran.

Menurut logika dan metode berpikir yang keliru itu berbagai asumsi kemaslahatan membolehkan pelanggaran terhadap syara’ dan akan menolong musuh-musuh Allah. Pemikiran mereka telah melahirkan perkara yang melampaui batas (yaitu) mereka menempati posisi sebagai pembuat syara’ (hukum). Mereka mengeluarkan produk-produk yang tidak berguna untuk dakwah ideologi Islam, tidak mendekatkan kaum Muslim pada kebenaran ataupun kemenangan, dan tidak pula bisa merubah realitas yang ada. Justru dampak negatif yang muncul, dan hal ini telah dibuktikan berdasarkan realitas.

Tidak diragukan lagi bahwa bergabung dengan sistem pemerintahan jahiliah menimbulkan kerusakan yang besar. Para penguasa itu menerapkan sistem thaghut, menyimpang dari perintah Allah dan menentang hukum-hukum-Nya. Sungguh hal ini adalah dosa yang amat besar.

Apakah layak untuk mendapatkan berbagai maslahat yang diasumsikan itu dengan menjadikan seorang muslim berhak melanggar perintah Rabbnya? Apakah tidak ada jalan lain, jalan yang tidak mengundang kemurkaan Allah?

Sesungguhnya gerakan-gerakan Islam ketika terjun di bidang politik harus berjalan sesuai dengan hukum syara’ dan terikat dengan metode Rasulullah Saw.
Apakah tidak ada jalan yang benar bagi seorang da’i untuk menyeru peminum khamr meninggalkan kebiasaannya itu selain jalan yang salah yaitu dengan masuk ke bar, kemudian turut minum khamr bersamanya. Kemudian meninggalkan perbuatan itu untuk meyakinkan peminum khamr bahwa dia mampu meninggalkannya. Demi Allah, betapa lemahnya akal yang melahirkan pemikiran seperti ini! Bagaimana mungkin dia mengizinkan dirinya mengganti syari’at Allah!

Sistem bathil yang dimasuki oleh mereka itu tidak akan berubah dengan kehadiran mereka, bahkan justru memperburuk citra mereka di hadapan masyarakat, karena masyarakat akan menempatkan sikap yang sama terhadap sistem maupun orang-orang yang bergabung di dalamnya.
Justru mereka akan memberikan contoh yang buruk dan teladan yang tidak layak untuk ditiru. Hal itu telah dibuktikan berdasarkan kenyataan.
Jika tidak ada gerakan Islam yang ikhlas dan sadar yang tampil menghadapi seruan-seruan ini, dan ulama kaum Muslim yang pemberani maka Islam pasti akan hilang dari jiwa-jiwa manusia seperti mereka akibat keterangan-keterangan yang telah diberikan dan sikap-sikap kompromistis terhadap kebathilan oleh para pencetus ide-ide ini yang tekun memperkuat dan membelanya.

Demi Allah, betapa jauhnya perbedaan antara gerakan-gerakan atau “ulama” yang berada dalam kubangan sistem jahiliah itu yang menyesaki dadanya dengan sistem yang rusak, dengan gerakan-gerakan Islam dan ulama yang mengatakan yang hak dan menegakkannya, yang tidak takut celaan orang-orang yang mencela, meskipun dijebloskan ke dalam penjara para penguasa muslim. Ingatlah dengan firman Allah Swt.:
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-Rasul telah bersabar.” (TQS. al-Ahqaf [46]: 35)

“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar.” (TQS. ar-Ruum [30]: 60)

Gerakan ideologi Islam mesti melalui jalan yang benar untuk meraih cita-cita tanpa terjerumus pada perkara bathil. Pada hakikatnya tidak ada maslahat yang akan tercapai apabila melakukan maksiat kepada Allah dan turut serta kekuasaan sistem pemerintahan yang jahiliah. Sebaliknya, justru akan berakibat negatif baginya, dakwah dan Islam.

Dengan metode yang bathil maka para tokoh dan anggotanya belajar untuk bersikap membengkok-bengkokkan kebenaran. Apabila mereka berkumpul dengan penguasa tempat mereka bergabung di dalam sistem pemerintahan bathil, maka mereka akan mengatakan apa yang disukai manusia. Pernyataan-pernyataan mereka menjadi berubah-rubah. Dan mereka di sebagian besar waktunya berdiam diri terhadap tuntunan-tuntunan Islam yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingannya.

Dakwah yang mereka lakukan akhirnya hanya terbatas pada hal-hal yang tidak membahayakan sistem bathil yang ada. Mereka enggan mendakwahkan hukum-hukum yang membuat sistem bathil gelisah dan selanjutnya tidak pernah berpikir untuk keluar dari situasi itu.

Mereka menjadikan maslahat sebagai standar (tolok ukur) usaha-usaha politiknya, bukan keterikatan dengan hukum syara’. Apa yang bisa mendatangkan maslahat, mereka kerjakan, meskipun melanggar syara’. Di dalam metode berpikir mereka terdapat kelancangan terhadap agama dan berbelok dari nash-nash yang shahih dan qath’i.

Mereka yang menggunakan metode berpikir akal-akalan ini telah membuka peluang bagi diri mereka sendiri untuk membuat hukum, dan membolehkan hawa nafsu mereka untuk menilai mana yang manfaat dan mana yang mudharat yang terkait dengan setiap perbuatan yang ingin mereka jalankan.
Apabila menurut akal mereka manfaat suatu perbuatan jauh lebih besar dari mudharat-nya, maka perbuatan itu harus dikerjakan. Dan jika mudharat-nya lebih besar dari pada manfaatnya -menurut akalnya- maka perbuatan itu ditinggalkan. Dengan metode berpikir akal-akalan itu seorang muslim memposisikan dirinya sebagai musyarri’ (pembuat syari’at) karena dia mengukur maslahat dengan akal dan hawa nafsunya.

Adapun apa yang mereka contohkan dengan mengutip pendapat sebagian ulama untuk memperkuat pemikiran mereka, maka pendapat manusia bukanlah hujjah yang bernilai di hadapan syara’, tidak termasuk sebagai dalil dan tidak layak digunakan sebagai hujjah. Apabila mereka mengatakan: bahwa si fulan berpendapat demikian, demikian, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya telah berkata dengan perkataan-perkataan yang benar, qath’i dan kuat.
Apakah dibenarkan kita menghapus perkataan Allah dan Rasul-Nya dengan perkataan manusia, siapapun dia?! Pemikiran maslahat telah menguasai para pencetus ide ini sehingga mereka layak disebut sebagai oportunis. ….

Rabu, 13 Juli 2016

Nabi Muhammad menghapus syari’at para nabi sebelumnya


 


Sesungguhnya tidak dijumpai satu teks pun di dalam al-Qur’an yang menyebutkan secara langsung ataupun hanya berupa isyarat, yang menunjukkan bahwa beliau (Yusuf as.) telah memerintah dengan syari’at raja. Tidak terdapat satu isyaratpun bahwa Nabi Yusuf as. telah memerintah dengan (hukum) selain apa yang diturunkan Allah.

“Tiadalah patut bagi Yusuf untuk menghukum saudaranya menurut undang-undang raja.” (TQS. Yusuf [12]: 76)

Nabi Yusuf as. meminta kepada raja agar diberikan kepadanya urusan tentang penyimpanan gandum dan pengaturan distribusinya pada tahun-tahun yang subur. Tugas ini sangat sulit sehingga tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang kuat, terpercaya, penjaga dan berilmu, seperti Yusuf as. Dan raja memberikannya kebebasan dalam mengatur.
Tidak mungkin Nabi Yusuf melakukan pelanggaran syara’, karena beliau adalah seorang Nabi yang bersifat ma’shum. Allah Swt. telah menyebutnya sebagai muhsin, mukhlis dan bertakwa. Beliau lebih mengutamakan penjara dari kesesatan. Beliau sendiri yang meminta dimasukkan ke dalam penjara. Beliau pula yang menolak untuk keluar dari penjara kecuali nama baiknya dibersihkan. Beliau adalah orang yang sifat ‘iffah dan kesuciannya membuat kagum orang-orang kafir yang mengenalnya, begitu juga raja dan saudara-saudaranya, setelah mereka mengetahui siapa beliau yang sebenarnya.

Para ulama fiqih maupun ushul fiqih telah meletakkan kaidah:
Syar’un man qablana laisa syar’an lana (syariat orang-orang sebelum kita bukanlah syari’at bagi kita).

Apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. telah me-nasakh (menghapus) syari’at para nabi sebelumnya.
Syari’at Nabi Muhammad Saw. telah melarang untuk berhukum kepada selainnya, dan mengharamkam secara qath’i (pasti, tegas) untuk mengambil hukum-hukum kafir dan hukum jahiliyyah apapun bentuknya.
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an maupun kenyataan (perbuatan) Rasulullah Saw., terutama ketika beliau berupaya mendirikan pemerintahan sesuai dengan apa yang diturunkan Allah; begitu juga akidah maupun hukum-hukum, seluruhnya telah menunjukkan tentang tidak bolehnya bergabung melestarikan hukum kufur sistem pemerintahan kufur.

Seluruh Nabi-Nabi memiliki kesamaan di dalam perkara akidah. Mereka mengajak untuk beriman dan tunduk kepada Allah yang Maha Esa, Maha Pencipta dan Maha Pengatur. Mereka juga mengajak untuk beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari akhir. Allah Swt berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah Aku oleh kamu sekalian’.” (TQS. al-Anbiya [21]: 25)
Para Nabi memiliki kesamaan dalam hal kewajiban untuk tabligh (menyampaikan wahyu), menanggung risiko dan kesulitan-kesulitannya, bersabar melaksanakan perintah Allah dan berkorban di dalam melaksanakan perintah Allah.

“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat-kalimat Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita Rasul-rasul itu.” (TQS. al-An’aam [6]: 34)
Para Nabi juga memiliki kesamaan di dalam hal menyeru kaumnya agar bersikap konsisten dan taat. Allah Swt berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.” (TQS. an-Nisa [4]: 64)
Mereka pun memiliki kesamaan, yaitu didustakan oleh kaum mereka dan dakwah mereka diolok-olok. Allah Swt berfirman:
“Alangkah besarnya penyesalan hamba-hamba itu, tiada datang seorang Rasulpun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-oloknya.” (TQS. Yasin [36]: 30)

Allah Swt. juga berfirman:
“Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: ‘Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami’. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: ‘Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang dzalim itu dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka, yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) ke hadirat-Ku dan takut kepada ancamanku’.” (TQS. Ibrahim [14]: 13-14)
Mereka juga memiliki kesamaan di dalam hal pertolongan Allah yang selalu datang di bagian akhir. Allah Swt berfirman:
“Sehingga apabila para Rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para Rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdosa.” (TQS. Yusuf [12]: 110)

Demikianlah dakwah para Nabi itu seluruhnya memiliki kesamaan dalam banyak aspek yang telah kami sebutkan sebagiannya. Dan bagi orang-orang yang terdahulu terdapat kondisi-kondisi yang perlu untuk diingat. Allah Swt. telah menyebutkannya untuk kita agar kita bisa mengambil pelajaran, mengambil ibrah, memperoleh nasihat dan petunjuk untuk menetapkan iman, memperkuat azam (niat) dan menambah kesabaran.
Selain itu juga untuk memastikan bahwa untaian dakwah itu satu simpul dalam aspek akidahnya, dan aspek dakwahnya konsisten dengan tuntunan Yang Maha Mengetahui, termasuk dari segi risikonya. Ayat-ayat itu datang untuk menerangi setiap muslim tentang sifat-sifat dakwah dan tabi’at manusia dalam menghadapinya.
Hal itu juga sama dengan menyodorkan kepada musuh agar memilih antara kufur atau iman. Bahwa pertarungan di antara keduanya tidak akan pernah berhenti. Juga agar loyalitas kita hanya ditujukan kepada Allah, terbebas dari syirik, dan adanya pertolongan Allah setelah teruji keimanan dan amalan kita….

Selasa, 12 Juli 2016

Bersikap Teguh Berdakwah Ideologi Islam


 


Bersikap Teguh

Agama ini telah sempurna, dan nikmat juga telah disempurnakan. Tidak ada penggantian/perubahan terhadap kalimat-kalimat Allah Swt. Allah berfirman:
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS. al-An’aam [6]: 115)

Di antara karunia Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah disempurnakannya bagi mereka agama mereka, begitu pula disempurnakannya nikmat bagi mereka. Allah Swt. juga menjaga al-Qur’an dan memeliharanya dari tangan-tangan yang ingin merubah dan menggantinya.
Firman Allah Swt:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (TQS. al-Hijir [15]: 9)
Sungguh, Allah telah mejaga al-Qur’an agar menjadi hujjah bagi manusia sampai Hari Kiamat.

Tatkala Rasulullah Saw. menerima risalah maka sejak saat itu kaum Muslim wajib mewarisi tugas ideologi Islam dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan berpegang teguh kepada al-Qur’an, menggamit dengan kuat kepada as-Sunnah sebagaimana yang diperintahkan. Jika hal ini dilakukan, maka keadaan mereka sama seperti keadaan Rasulullah dan para sahabatnya. Dalil-dalil yang menjelaskan hal itu sangat banyak.

Tatkala kaum Muslim berdakwah, menyampaikan Islam kepada umat-umat lain, menawarkan kepada mereka agama yang lurus, agama yang berlandaskan pada akal sehat sesuai fitrah, maka pada saat yang sama umat-umat lain itu juga menawarkan agama mereka kepada kaum Muslim, meskipun dalam rangka untuk mempertahankan diri. Sejak itu sebagian kaum Muslim terpengaruh dengan apa yang dijajakan oleh umat-umat lain itu tanpa mereka sadari. Hal ini membawa pengaruh negatif pada pemahaman kaum Muslim terhadap Islam dan terhadap dakwah.
Namun, kondisi tersebut tidak memakan waktu lama. Ulama kaum Muslim menyadari hal itu. Para ulama ini merupakan menara-menara dan rambu penunjuk jalan yang akan memberitahukan kepada kaum Muslim kebenaran sehingga mampu menghilangkan campuran asing yang melekat pada pikiran umat. Para ulama itu dengan gigih mencegah penyimpangan dan menggagalkan pemalsuan sehingga agama kembali bersinar.

Datanglah masanya kepada kita keburukan, dan kita terjebak berada di dalamnya. Kondisi kita sekarang ini menuntut kita untuk kembali kepada sebab-sebab kebaikan sebagaimana yang pernah dilakukan pada mula pertama, agar kita kembali kepada Islam sebagaimana pertama kalinya dahulu.

Untuk membersihkan Islam dari segala kotoran dan menghilangkan seluruh penyimpangan serta mengubur setiap pemalsuan, kita wajib keluar dari cara berpikir yang rusak, yang dipropagandakan oleh Barat. Cara berpikir yang tercampuri dengan tolok ukur berasaskan manfaat dan menuruti hawa nafsu.
Sementara itu, cara berpikir Islam yang benar adalah bertumpu pada anggapan bahwa segala perkara ada di tangan Allah semata. Artinya, tidak boleh kita memasukkan bid’ah terhadap hukum-hukum Allah, juga hasil akal-akalan dan kecenderungan-kecenderungan kita. Tidak boleh kita jadikan hawa nafsu sebagai pemutus perkara.

Tidak boleh bagi kita menjadikan respon negatif manusia, atau tidak adanya interest terhadap Islam, atau keadaan dan situasi yang menyelimuti kita, atau tidak adanya maslahat, sebagai alasan bagi pengemban dakwah ideologi Islam untuk bersikap lemah. Sebab, Allah Swt. bersifat ‘Alîm dan Khabîr (Maha Mengetahui) hakikat tabiat manusia, mengetahui apa yang dibutuhkannya dan apa yang dapat dilaksanakannya. Allah mengetahui realitas dan fakta tempat manusia hidup di dalamnya, mengetahui pula siapa musuh-musuh kaum Muslim, dan bagaimana cara-cara berinteraksi dengan mereka dan seterusnya.

Ijtihad yang benar didasarkan terlebih dahulu kepada pemahaman atas realitas yang ingin dicari hukum syara’-nya, kemudian dilanjutkan dengan mencari hukum syara’-nya dengan menggunakan teks-teks syara’ sesuai dengan dalalah (penunjukan)nya. Barulah diketahui hukum Allah dalam perkara tersebut.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS. al-Hujurat [49]: 1)

Allah Swt berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (TQS. al-Ahzab [33]: 36)

Cara berpikir yang dipengaruhi Barat telah mengakibatkan ditinggalkannya sebagian teks-teks syara’ yang bersifat qath’i (pasti, tegas) dan menempatkan masalah pada posisi dicari-cari alasan situasi dan kondisi, atau karena asumsi adanya maslahat.

Hukum riba misalnya, diharamkan secara qath’i (pasti)dengan lafadz yang jelas, tidak mengandung pengertian lain dan tidak bisa ditakwilkan. Namun sebagian orang ketika bersentuhan dengan realitas, situasi dan kondisi, apalagi diasumsikan mendatangkan manfaat dan bisa menolak mafsadat yang sangat berpengaruh pada kehidupan mereka, maka mereka mengeluarkan hukum lain, yang membolehkan bermuamalah dengan cara riba.
Menggunakan cara berpikir seperti ini berarti mengeluarkan hukum-hukum yang tidak ada sandarannya sama sekali di dalam syara’, bahkan bertentangan dengan syara’ sama sekali. Sementara hal itu bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. secara diametral.
Mereka akan mencari-cari alternatif hukum pengganti lain dengan cara berpikir yang sama. Jadi, kita harus benar-benar waspada terhadap pola pikir seperti ini yang tidak diakui oleh syara’ dan menjadi tempat lahirnya berbagai pemikiran yang menyimpang.
Mereka tidak memiliki metode yang benar dalam berpikir, terutama dari segi cara pandangnya terahadap realitas dan dalam melakukan istinbath (penggalian, penyimpulan) hukum-hukum syara’. Bahkan mereka tidak memiliki cara pandang yang benar terhadap hukum syara’ itu sendiri. Mereka tidak bisa membedakan antara thariqah (metode) dan uslub (cara) di dalam dakwah. Ini dimungkinkan karena kuatnya pengaruh pemikiran tentang “elastisnya syari’at”, sehingga mereka menganggap remeh hukum-hukum syara’, lalu menggantinya dengan hukum-hukum yang tidak syar’i dengan dalih bahwa hal itu sesuai dengan perkembangan zaman.
Sikap semacam itu adalah sikap yang tidak benar dan tidak menunjukkan pada adanya penelitian yang mendalam terhadap realitas yang ingin dirubah. Yang harus diamati secara seksama atas realitas adalah ciri-ciri dasar yang ada, bukan pada bentuknya yang berubah-ubah.
Masyarakat misalnya, memiliki unsur-unsur utama (yang bersifat baku dan tidak berubah) berupa manusia, pemikiran, perasaan dan sistem (peraturan). Unsur-unsur itu tetap ada meskipun tampak dalam bentuk yang bermacam-macam. Bisa berbentuk kabilah, negara kecil, atau negara yang amat kompleks. Bisa juga berupa negara yang demokratis atau bahkan diktator. Jadi, yang dilihat adalah ciri-ciri dasarnya. Dengan demikian, bentuk-bentuk masyarakat yang berbeda-beda tidak mempengaruhi thariqah (metode) dakwah.
Contoh dalam masalah ini adalah, bahwa untuk merubah pemikiran-pemikiran yang salah dan pemahaman-pemahaman yang keliru, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang buruk di dalam masyarakat, adalah dengan mewujudkan sistem syariat yang pernah dijalankan oleh Rasulullah Saw. Ini merupakan aktivitas yang tidak pernah berubah.
Yang berbeda dalam masalah ini adalah, mungkin pemikiran masyarakat itu berbentuk nasionalisme/ ashobiyah, atau kesukuan, atau ideologi sosialis, atau ideologi kapitalis. Pemikiran yang bersifat ideologis lebih kuat daripada pemikiran-pemikiran lain sehingga untuk membongkarnya memerlukan usaha yang sangat besar.
Tambahan lagi, bermacam-macamnya pemikiran terkadang bisa mempersulit atau mempermudah aktivitas. Namun, tidak merubah jalan yang harus ditempuh. Bentuk pemerintahan, meskipun hanya sistem kabilah, atau berbentuk negara kecil, atau negara yang amat kompleks seperti pada masa sekarang ini, tidak akan merubah hukum-hukum thariqah (metode) dakwah. Pengaruhnya hanya mempersulit atau mempermudah aktivitas dakwah. Begitu pula kondisi dari sistem yang ingin dirubah itu bisa bersandar kepada militer, bisa juga bersandar kepada kabilah-kabilah bersenjata. ...


Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam