Bersikap
Teguh
Agama
ini telah sempurna, dan nikmat juga telah disempurnakan. Tidak ada
penggantian/perubahan terhadap kalimat-kalimat Allah Swt. Allah berfirman:
“Telah
sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil.
Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS. al-An’aam [6]: 115)
Di antara karunia
Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah disempurnakannya bagi mereka agama mereka,
begitu pula disempurnakannya nikmat bagi mereka. Allah Swt. juga menjaga
al-Qur’an dan memeliharanya dari tangan-tangan yang ingin merubah dan
menggantinya.
Firman Allah Swt:
“Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (TQS. al-Hijir [15]: 9)
Sungguh, Allah telah
mejaga al-Qur’an agar menjadi hujjah bagi manusia sampai Hari Kiamat.
Tatkala
Rasulullah Saw. menerima risalah maka sejak saat itu kaum Muslim wajib mewarisi
tugas ideologi Islam dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan berpegang teguh kepada
al-Qur’an, menggamit dengan kuat kepada as-Sunnah sebagaimana yang
diperintahkan. Jika hal ini dilakukan, maka keadaan mereka sama seperti keadaan
Rasulullah dan para sahabatnya. Dalil-dalil yang menjelaskan hal itu sangat
banyak.
Tatkala
kaum Muslim berdakwah, menyampaikan Islam kepada umat-umat lain, menawarkan
kepada mereka agama yang lurus, agama yang berlandaskan pada akal sehat sesuai
fitrah, maka pada saat yang sama umat-umat lain itu juga menawarkan agama
mereka kepada kaum Muslim, meskipun dalam rangka untuk mempertahankan diri.
Sejak itu sebagian kaum Muslim terpengaruh dengan apa yang dijajakan oleh
umat-umat lain itu tanpa mereka sadari. Hal ini membawa pengaruh negatif pada
pemahaman kaum Muslim terhadap Islam dan terhadap dakwah.
Namun,
kondisi tersebut tidak memakan waktu lama. Ulama kaum Muslim menyadari hal itu.
Para ulama ini merupakan menara-menara dan rambu penunjuk jalan yang akan
memberitahukan kepada kaum Muslim kebenaran sehingga mampu menghilangkan
campuran asing yang melekat pada pikiran umat. Para ulama itu dengan gigih
mencegah penyimpangan dan menggagalkan pemalsuan sehingga agama kembali
bersinar.
Datanglah
masanya kepada kita keburukan, dan kita terjebak berada di dalamnya. Kondisi
kita sekarang ini menuntut kita untuk kembali kepada sebab-sebab kebaikan
sebagaimana yang pernah dilakukan pada mula pertama, agar kita kembali kepada
Islam sebagaimana pertama kalinya dahulu.
Untuk
membersihkan Islam dari segala kotoran dan menghilangkan seluruh penyimpangan
serta mengubur setiap pemalsuan, kita wajib keluar dari cara berpikir yang
rusak, yang dipropagandakan oleh Barat. Cara berpikir yang tercampuri dengan
tolok ukur berasaskan manfaat dan menuruti hawa nafsu.
Sementara
itu, cara berpikir Islam yang benar adalah bertumpu pada anggapan bahwa segala
perkara ada di tangan Allah semata. Artinya, tidak boleh kita memasukkan bid’ah
terhadap hukum-hukum Allah, juga hasil akal-akalan dan
kecenderungan-kecenderungan kita. Tidak boleh kita jadikan hawa nafsu sebagai
pemutus perkara.
Tidak
boleh bagi kita menjadikan respon negatif manusia, atau tidak adanya interest
terhadap Islam, atau keadaan dan situasi yang menyelimuti kita, atau tidak
adanya maslahat, sebagai alasan bagi pengemban dakwah ideologi Islam untuk
bersikap lemah. Sebab, Allah Swt. bersifat ‘Alîm
dan Khabîr (Maha Mengetahui)
hakikat tabiat manusia, mengetahui apa yang dibutuhkannya dan apa yang dapat
dilaksanakannya. Allah mengetahui realitas dan fakta tempat manusia hidup di
dalamnya, mengetahui pula siapa musuh-musuh kaum Muslim, dan bagaimana
cara-cara berinteraksi dengan mereka dan seterusnya.
Ijtihad yang benar
didasarkan terlebih dahulu kepada pemahaman atas realitas yang ingin dicari
hukum syara’-nya, kemudian dilanjutkan dengan mencari hukum syara’-nya dengan
menggunakan teks-teks syara’ sesuai dengan dalalah
(penunjukan)nya. Barulah diketahui hukum Allah dalam perkara tersebut.
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS.
al-Hujurat [49]: 1)
Allah
Swt berfirman:
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang
nyata.” (TQS. al-Ahzab [33]: 36)
Cara
berpikir yang dipengaruhi Barat telah mengakibatkan ditinggalkannya sebagian
teks-teks syara’ yang bersifat qath’i
(pasti, tegas) dan menempatkan masalah pada posisi dicari-cari alasan situasi
dan kondisi, atau karena asumsi adanya maslahat.
Hukum
riba misalnya, diharamkan secara qath’i (pasti)dengan
lafadz yang jelas, tidak mengandung pengertian lain dan tidak bisa ditakwilkan.
Namun sebagian orang ketika bersentuhan dengan realitas, situasi dan kondisi,
apalagi diasumsikan mendatangkan manfaat dan bisa menolak mafsadat yang sangat
berpengaruh pada kehidupan mereka, maka mereka mengeluarkan hukum lain, yang
membolehkan bermuamalah dengan cara riba.
Menggunakan
cara berpikir seperti ini berarti mengeluarkan hukum-hukum yang tidak ada
sandarannya sama sekali di dalam syara’, bahkan bertentangan dengan syara’ sama
sekali. Sementara hal itu bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Saw. secara diametral.
Mereka
akan mencari-cari alternatif hukum pengganti lain dengan cara berpikir yang
sama. Jadi, kita harus benar-benar waspada terhadap pola pikir seperti ini yang
tidak diakui oleh syara’ dan menjadi tempat lahirnya berbagai pemikiran yang
menyimpang.
Mereka
tidak memiliki metode yang benar dalam berpikir, terutama dari segi cara
pandangnya terahadap realitas dan dalam melakukan istinbath
(penggalian, penyimpulan) hukum-hukum syara’. Bahkan mereka tidak memiliki cara
pandang yang benar terhadap hukum syara’ itu sendiri. Mereka tidak bisa
membedakan antara thariqah (metode) dan uslub (cara) di dalam dakwah. Ini dimungkinkan
karena kuatnya pengaruh pemikiran tentang “elastisnya syari’at”, sehingga
mereka menganggap remeh hukum-hukum syara’, lalu menggantinya dengan
hukum-hukum yang tidak syar’i dengan dalih bahwa hal itu sesuai dengan
perkembangan zaman.
Sikap
semacam itu adalah sikap yang tidak benar dan tidak menunjukkan pada adanya
penelitian yang mendalam terhadap realitas yang ingin dirubah. Yang harus
diamati secara seksama atas realitas adalah ciri-ciri dasar yang ada, bukan
pada bentuknya yang berubah-ubah.
Masyarakat
misalnya, memiliki unsur-unsur utama (yang bersifat baku dan tidak berubah)
berupa manusia, pemikiran, perasaan dan sistem (peraturan). Unsur-unsur itu
tetap ada meskipun tampak dalam bentuk yang bermacam-macam. Bisa berbentuk
kabilah, negara kecil, atau negara yang amat kompleks. Bisa juga berupa negara
yang demokratis atau bahkan diktator. Jadi, yang dilihat adalah ciri-ciri
dasarnya. Dengan demikian, bentuk-bentuk masyarakat yang berbeda-beda tidak
mempengaruhi thariqah (metode) dakwah.
Contoh
dalam masalah ini adalah, bahwa untuk merubah pemikiran-pemikiran yang salah
dan pemahaman-pemahaman yang keliru, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang
buruk di dalam masyarakat, adalah dengan mewujudkan sistem syariat yang pernah
dijalankan oleh Rasulullah Saw. Ini merupakan aktivitas yang tidak pernah
berubah.
Yang
berbeda dalam masalah ini adalah, mungkin pemikiran masyarakat itu berbentuk
nasionalisme/ ashobiyah, atau kesukuan, atau ideologi sosialis, atau ideologi
kapitalis. Pemikiran yang bersifat ideologis lebih kuat daripada
pemikiran-pemikiran lain sehingga untuk membongkarnya memerlukan usaha yang
sangat besar.
Tambahan
lagi, bermacam-macamnya pemikiran terkadang bisa mempersulit atau mempermudah
aktivitas. Namun, tidak merubah jalan yang harus ditempuh. Bentuk pemerintahan,
meskipun hanya sistem kabilah, atau berbentuk negara kecil, atau negara yang
amat kompleks seperti pada masa sekarang ini, tidak akan merubah hukum-hukum thariqah (metode) dakwah. Pengaruhnya hanya
mempersulit atau mempermudah aktivitas dakwah. Begitu pula kondisi dari sistem
yang ingin dirubah itu bisa bersandar kepada militer, bisa juga bersandar
kepada kabilah-kabilah bersenjata. ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar