Sesungguhnya
tidak dijumpai satu teks pun di dalam al-Qur’an yang menyebutkan secara
langsung ataupun hanya berupa isyarat, yang menunjukkan bahwa beliau (Yusuf
as.) telah memerintah dengan syari’at raja. Tidak terdapat satu isyaratpun
bahwa Nabi Yusuf as. telah memerintah dengan (hukum) selain apa yang diturunkan
Allah.
“Tiadalah
patut bagi Yusuf untuk menghukum saudaranya menurut undang-undang raja.” (TQS.
Yusuf [12]: 76)
Nabi
Yusuf as. meminta kepada raja agar diberikan kepadanya urusan tentang
penyimpanan gandum dan pengaturan distribusinya pada tahun-tahun yang subur.
Tugas ini sangat sulit sehingga tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang
yang kuat, terpercaya, penjaga dan berilmu, seperti Yusuf as. Dan raja
memberikannya kebebasan dalam mengatur.
Tidak
mungkin Nabi Yusuf melakukan pelanggaran syara’, karena beliau adalah seorang
Nabi yang bersifat ma’shum. Allah Swt. telah menyebutnya sebagai muhsin,
mukhlis dan bertakwa. Beliau lebih mengutamakan penjara dari kesesatan. Beliau
sendiri yang meminta dimasukkan ke dalam penjara. Beliau pula yang menolak
untuk keluar dari penjara kecuali nama baiknya dibersihkan. Beliau adalah orang
yang sifat ‘iffah dan kesuciannya
membuat kagum orang-orang kafir yang mengenalnya, begitu juga raja dan
saudara-saudaranya, setelah mereka mengetahui siapa beliau yang sebenarnya.
Para ulama fiqih
maupun ushul fiqih telah meletakkan kaidah:
Syar’un man qablana laisa syar’an lana
(syariat orang-orang sebelum kita bukanlah syari’at bagi kita).
Apa yang dibawa oleh
Nabi Muhammad Saw. telah me-nasakh (menghapus)
syari’at para nabi sebelumnya.
Syari’at
Nabi Muhammad Saw. telah melarang untuk berhukum kepada selainnya, dan
mengharamkam secara qath’i (pasti,
tegas) untuk mengambil hukum-hukum kafir
dan hukum jahiliyyah apapun bentuknya.
Banyak
sekali ayat-ayat al-Qur’an maupun kenyataan (perbuatan) Rasulullah Saw.,
terutama ketika beliau berupaya mendirikan pemerintahan sesuai dengan apa yang
diturunkan Allah; begitu juga akidah maupun hukum-hukum, seluruhnya telah
menunjukkan tentang tidak bolehnya bergabung melestarikan hukum kufur sistem
pemerintahan kufur.
Seluruh
Nabi-Nabi memiliki kesamaan di dalam perkara akidah. Mereka mengajak untuk
beriman dan tunduk kepada Allah yang Maha Esa, Maha Pencipta dan Maha Pengatur.
Mereka juga mengajak untuk beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya dan hari akhir. Allah Swt berfirman:
“Dan
Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah
Aku oleh kamu sekalian’.” (TQS. al-Anbiya [21]: 25)
Para
Nabi memiliki kesamaan dalam hal kewajiban untuk tabligh
(menyampaikan wahyu), menanggung risiko dan kesulitan-kesulitannya,
bersabar melaksanakan perintah Allah dan berkorban di dalam melaksanakan
perintah Allah.
“Dan
sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi
mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap
mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorangpun yang
dapat merubah kalimat-kalimat Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu
sebahagian dari berita Rasul-rasul itu.” (TQS. al-An’aam [6]: 34)
Para
Nabi juga memiliki kesamaan di dalam hal menyeru kaumnya agar bersikap
konsisten dan taat. Allah Swt berfirman:
“Dan
Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.”
(TQS. an-Nisa [4]: 64)
Mereka
pun memiliki kesamaan, yaitu didustakan oleh kaum mereka dan dakwah mereka
diolok-olok. Allah Swt berfirman:
“Alangkah
besarnya penyesalan hamba-hamba itu, tiada datang seorang Rasulpun kepada
mereka melainkan mereka selalu memperolok-oloknya.” (TQS. Yasin [36]: 30)
Allah Swt. juga
berfirman:
“Orang-orang
kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: ‘Kami sungguh-sungguh akan mengusir
kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami’. Maka Tuhan
mewahyukan kepada mereka: ‘Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang dzalim
itu dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka,
yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) ke
hadirat-Ku dan takut kepada ancamanku’.” (TQS. Ibrahim [14]: 13-14)
Mereka
juga memiliki kesamaan di dalam hal pertolongan Allah yang selalu datang di
bagian akhir. Allah Swt berfirman:
“Sehingga
apabila para Rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan
telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para Rasul itu
pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak
dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdosa.” (TQS. Yusuf [12]:
110)
Demikianlah
dakwah para Nabi itu seluruhnya memiliki kesamaan dalam banyak aspek yang telah
kami sebutkan sebagiannya. Dan bagi orang-orang yang terdahulu terdapat
kondisi-kondisi yang perlu untuk diingat. Allah Swt. telah menyebutkannya untuk
kita agar kita bisa mengambil pelajaran, mengambil ibrah, memperoleh nasihat dan petunjuk untuk menetapkan iman,
memperkuat azam (niat) dan menambah
kesabaran.
Selain
itu juga untuk memastikan bahwa untaian dakwah itu satu simpul dalam aspek
akidahnya, dan aspek dakwahnya konsisten dengan tuntunan Yang Maha Mengetahui,
termasuk dari segi risikonya. Ayat-ayat itu datang untuk menerangi setiap
muslim tentang sifat-sifat dakwah dan tabi’at manusia dalam menghadapinya.
Hal
itu juga sama dengan menyodorkan kepada musuh agar memilih antara kufur atau
iman. Bahwa pertarungan di antara keduanya tidak akan pernah berhenti. Juga
agar loyalitas kita hanya ditujukan kepada Allah, terbebas dari syirik, dan
adanya pertolongan Allah setelah teruji keimanan dan amalan kita….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar