Mengapa AS menyudutkan Indonesia sebagai sarang teroris?
Dua Motif AS
Mengapa AS begitu getol menyudutkan Indonesia sebagai sarang teroris? Tidak lain karena Indonesia memendam dua potensi: potensi ancaman dan potensi andalan. Indonesia dianggap berpotensi sebagai ancaman karena penduduknya mayoritas Muslim. Kita tahu, di mana pun adanya, kaum Muslim—yang mengemban ideologi Islam—dipandang sebagai musuh Barat. Namun demikian, Indonesia adalah negeri yang menjadi salah satu andalan AS. Sebab, Indonesia adalah negeri yang sangat luas dengan kekayaan alam yang sangat melimpah. Banyak perusahaan AS telah lama beroperasi di negeri ini.
Dengan dua potensi tersebut, mudah dimengerti bila sejak lama AS membidik Indonesia.
1. Motif Politis-Ideologis
Potensi ancaman dari kalangan Islam di Indonesia akhir-akhir ini tampaknya semakin membuat gerah AS. Tuntutan penerapan syariat Islam terus menggema, bahkan di Gedung MPR/DPR. Sejalan dengan meningkatnya kesadaran politik umat, kebobrokan AS pun semakin banyak terungkap sehingga masyarakat semakin memahaminya. Semangat anti AS dengan ideologi kapitalisnya pun mencuat.
Karena itu, AS pun berupaya melawan Islam dan kaum Muslim dengan berbagai cara—antara lain dengan terus melemparkan isu terorisme—dalam rangka melindungi kepentingan ideologis-politisnya Indonesia. Untuk mendukung tuduhannya bahwa terorisme itu ada juga di Indonesia, AS melakukan beberapa manuver:
Pertama, terus-menerus membombandir Indonesia dengan tuduhan negatif, yakni sebagai sarang teroris. Yang mutakhir adalah pernyataan bahwa Kedutaan Besar di Jakarta dan Konsulat Jenderal di Surabaya—yang sempat ditutup beberapa waktu lalu—berada dalam risiko serangan teroris (9/9/2002). Padahal, ancaman seperti yang dituduhkan tidak terbukti sama sekali. Bahkan Kapolri Da’i Bachtiar mengatakan (14/9/2002), “Ternyata tidak ada (ancaman itu). Informasi adanya ancaman berasal dari Washington.”
Kedua, terus menangkap sejumlah Muslim Indonesia di luar negeri dengan tuduhan terlibat terorisme. Setelah penangkapan Tamsil Linrung, Agus Dwi Karna, dan Jamal Balfas (di Filipina) serta Agus Budiman (di Amerika), 4 orang Muslim Indonesia kembali ditangkap di Filipina (14/9/2002). Mereka adalah Uskar Makawata, Jaka Antari, Julkiri Latemna, dan Rahman Yanis. Mereka ditangkap di wilayah General Santos, bagian selatan Filipina. Dari tiga Muslim yang dituduh, ternyata alasannya hanya karena mereka tidak bisa menunjukkan dokumen-dokumen resmi mengenai keberadaan mereka di Filipina, sedangkan yang satunya lagi dituduh terlibat membantu merencanakan pengeboman pusat perbelanjaan. Ini menunjukkan bahwa penangkapan yang ada lebih ke arah rekayasa belaka.
Ketiga, penangkapan Muslim luar negeri di Indonesia. Omar Al-Faruq, warga Kuwait, ditangkap di Bogor, pada tanggal 5 Juni lalu oleh dinas intelejen AS, CIA. Pria berusia 31 tahun itulah yang kabarnya mengungkap rencana penyerangan sejumlah fasilitas AS di Asia Tenggara pada 11 September 2002. Namun anehnya, penangkapan ini baru diungkap baru-baru ini (18/9/2002). Penangkapan ini juga dibantah oleh Sekretaris Interpol Mabes Polri, Brigjen Pol. Dadang Garnida. Ia menegaskan, pihaknya belum pernah mengetahui sama sekali ada jaringan Al-Qaidah tertangkap (18/9/2002). Bahkan Dubes Kuwait, Jamal Mubaraq, membantah (18/9/2002), “Faruq bukanlah warga negara Kuwait. Hal itu dibesar-besarkan Pers Amerika.”
Menurut mantan Direktur (BAKIN), A.C. Manulang, Omar Al-Faruq adalah agen binaan CIA. Al-Faruq ditugaskan untuk menyusup dan merekrut agen lokal melalui kelompok-kelompok Islam radikal. “Karena tugasnya sudah selesai, dibuat skenario tertangkap,” kata Manulang, (Tempo News Room, 19/9/2002).
Menurut analisis Manulang, hal itu dapat dibaca dari pola yang dipergunakan Al-Faruq, yaitu berkewarganegaraan Kuwait, memiliki paspor Pakistan, masuk ke Indonesia melalui jalur pengungsi, dan kemudian menikahi orang Indonesia. Sasarannya, menciptakan konflik terkendali di Indonesia dengan membangun opini Indonesia sebagai ladang persemaian teroris yang subur. “Setelah memperoleh informasi lengkap, lumrah dalam dunia intelijen untuk menghilangkan orang,” katanya.
Keempat, melakukan aksi secara langsung berupa penutupan Kedubes dan Konjen AS di Indonesia pada hari Senin (9/9/2002). Keputusan ini memang merupakan sebuah kejutan karena alasannya yang terkesan dibuat-buat. Buktinya, sampai detik ini, sama sekali tidak ada ancaman, serangan, dan pengrusakan fasilitas AS di Indonesia.
Dengan semua manuver itu, AS berharap akan ada kesan bahwa Indonesia benar-benar merupakan sarang teroris. Hal ini akan dijadikan alasan pembenar oleh AS untuk mendesak pemerintah Indonesia agar menekan siapa saja yang dipandang sebagai ‘teroris’ yang dapat mengancam kepentingan ideologis-politis AS. Yang dimaksudkan oleh AS ternyata adalah umat Islam yang dicap sebagai “Islam Garis Keras” yang menghendaki penerapan syariat Islam. Paling tidak, demikian pernyataan Kepala BIN, Hendropriyono. Ia menyatakan, “Jaringan Al-Qaidah itu telah menyusup di gerakan perburuhan dan kalangan Islam Garis Keras yang frustasi karena gagalnya penerapan syariat Islam dalam konstitusi selama ini.” (18/9/2002).
Sayangnya, data ini berasal dari dokumen dari Badan Intelejen AS, CIA.
Berkaitan dengan masalah ini, Presiden AS George W Bush menelepon Megawati (18/9/2002). Responnya, diadakanlah rapat mendadak hingga pukul 19.00 WIB (18/9/2002) yang dihadiri oleh Megawati, Panglima TNI, Kapolri, Menkeh HAM, Menkopolkam, dan Kepala BIN. Hasilnya yang terpenting adalah bahwa Indonesia mengadakan kerjasama dengan intelejen internasional untuk memerangi teroris tersebut.
Pada sisi lain, AS telah menyepakati membangun dok kapal perang—di samping yang komersial—di Bitung, Sulawesi Utara. Penandatanganan kerjasama itu disaksikan oleh Kepala Atase Militer AS di Indonesia, Rick Martines (3/9/2002). Dengan demikian, AS dapat mengontrol Indonesia secara militer dengan lebih mudah.
2. Motif Ekonomis
Realitas menunjukkan bahwa beberapa wilayah Indonesia yang kaya akan sumberdaya alamnya saat ini—setelah sebelumnya dibikin rusuh—sering dikaitkaitkan dengan isu teroris. Contohnya adalah Poso. Jauh sebelumnya, Poso dituduh oleh AS sebagai pusat pembenihan sel-sel Al-Qaidah. Kenyataannya, di Poso terdapat kandungan migas yang besar. Penemuan besar migas oleh Unocal Indonesia Co. semuanya telah disertifikasi. PT Expan mengumumkan penemuan cadangan gas yang cukup besar di daerah Luwuk Kabupaten Poso sebesar 3 TCF (Triliun Kaki Kubik). Dewan Maritim Nasional pada 1998 mengumumkan keberadaan sekitar 32 titik kandungan migas di Teluk Tomini yang diperkirakan baru akan habis diproduksi selama 1200 tahun (lihat: www.ristek.gov.id). Poso juga kaya akan perkebunan kelapa sawit, kopra, dan cengkih. Kabarnya, AS juga telah menemukan kayu sahara yang dianggap mampu mencegah AIDS di Poso.
Contoh lain adalah Maluku. New York Times, seperti dikutip Republika (12/9/2002), memberitakan bahwa Al-Faruq sempat singgah di Ambon dan Poso. Al-Faruq ditulis sebagai ahli keuangan Al-Qaidah dan penghubung jaringan teroris regional dengan Al-Qaidah. Kenyataannya, dilihat dari posisinya, Maluku cocok untuk pangkalan militer. Bahkan, pada era Orde Baru, AS disebut-sebut mengincar Ambon untuk dijadikan pangkalan militernya sebagai pengganti Subic, Filipina.
Contoh lain lagi adalah Papua. Penembakan terhadap 2 warga AS pekerja PT Freeport Indonesia (FI) di Papua diangkat pers Barat sebagai berkaitan dengan teroris. Karena peristiwa itulah, Kedubes AS ditutup. Kenyataannya, kekayaan alam Irian Barat demikian melimpah. Sebagai gambaran, pada tahun 1988, secara tak terduga, Freeport Indonesia menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg yang diperkirakan mencapai 72 juta tons. Kemudian mereka mengajukan pembaruan Kontrak Karya (KK) selama 30 tahun dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan tambang lainnya. Berbeda dengan KK I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya tembaga. Melalui KK tersebut, pada tahun 1996 saja, FI meraup keuntungan sekitar US$ 1,5 miliar (Gatra, 10/1998). Sementara itu, menurut Econit, royalti yang diberikan FI ke pemerintah tidak berubah, hanya 1-3,5%, sehingga penerimaan pemerintah dari pajak, royalti, dan deviden FI hanya US$ 479 juta (SWA, 1997).
Aceh juga sama, yakni merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang kaya minyak. Karena itu, melalui Henry Dunant Centre, AS juga tampak bermain di Aceh.
Kesimpulan
Pepatah mengatakan, “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.” Demikianlah tampaknya yang dikehendaki AS. Dengan terus-menerus melemparkan isu terorisme, AS sesungguhnya hendak membidik dua kepentingan -ideologis-politis dan ekonomi—sebagaimana dipaparkan di atas.
Karena itu, sudah selayaknya kaum Muslim Indonesia—baik sipil maupun militer, partai maupun non partai, mahasiswa, pelajar, buruh, petani, dan nelayan, para ulama dan para santri, para budayawan, wartawan dan cendekiawan, serta para bisnisman dan hartawan—menggalang semua kekuatan yang ada.
Marilah kita menyatukan langkah menuju ridha Allah, menjaga persatuan dan kesatuan kaum Muslim, agar tidak mudah diobok-obok oleh kekuatan kufur AS dan para sekutunya dengan segala tipudaya mereka.
Marilah kita semua berpegang teguh pada firman Allah SWT:
"Berpegang teguhlah kalian pada tali agama Allah dan janganlah bercerai-berai." (QS Ali ‘Imran [3]: 103).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar