Sistem pemerintahan
suatu negara berdasarkan kepada UUD. Dan UUD-nya diambil dari sumber-sumber
tertentu yang dibangun di atas asas tertentu. Dalam perkara ini kita harus
mencermati, apakah asas negara itu akidah Islam sehingga al-Qur’an dan
as-Sunnah serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya dijadikan sebagai sumber
satu-satunya untuk membuat UUD? Apakah hukum-hukum yang terdapat di dalam UUD
tidak keluar sedikitpun dari wahyu? Jika demikian kondisinya, maka negara itu
dianggap Daulah Islamiyah.
Apabila di dalam
Daulah Islamiyah banyak terjadi kerusakan atau dijumpai adanya keburukan di
dalam penerapan, maka terhadap negara seperti ini harus dilakukan upaya ishlâh (perbaikan), bukan taghyîr. Kondisi semacam itu mirip dengan
keadaan Daulah Islamiyah pada masa Utsmani. Khilafah saat itu membutuhkan ishlâh.
Namun, jika asas
negara bukan akidah Islam, yang merupakan asas UUD, peraturan dan
perundang-undangan lainnya, maka yang dituntut di sini adalah aktivitas taghyîr bukan ishlâh.
Contohnya adalah kondisi negara-negara tempat kaum Muslim hidup sekarang ini.
Negara-negara itu bukanlah Daulah Islamiyah, karena peraturan-peraturannya
tidak eksklusif berasal dari syari’at Islam (meskipun mereka mengatakan bahwa
agama negara adalah agama Islam). Sebab yang jadi acuan adalah penerapan bukan
sekedar perkataan (pengakuan).
Jadi, selama peraturan
negara-negara yang memerintah kaum Muslim sekarang ini UUD-nya tidak
berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka realitas ini memerlukan aktivitas
yang bersifat taghyîr, yaitu mengubah
secara fundamental pusat-pusat peraturan dan kaidah-kaidahnya. Tidak boleh
memperbaiki sistem yang bukan Islam. Misalnya memperbaiki kapitalisme supaya
bisa dianggap lebih adil, memperbaiki demokrasi sehingga lebih demokratis,
menyehatkan perbankan ribawi, menstabilkan industri keuangan non-riil, dsb.
Para penganjur taghyîr (penggantian sistem) mempunyai
pemikiran-pemikiran yang sangat berbeda atas realitas yang ingin mereka ubah.
Sikap tersebut muncul karena mereka mengikatkan pemikirannya dengan asas yang
mereka imani, dan menolak fakta menyimpang yang ada dari segi asasnya. Selama
asasnya berbeda, maka apapun yang berasal dari asas tersebut tertolak, karena
gugurnya asas, meskipun terdapat kemiripan pada sebagian perkara cabangnya.
Di dalam benak para
pencetus ide taghyîr terdapat gambaran
yang ingin disampaikan kepada umat manusia. Gambaran ini membawa mereka kemasa
Rasulullah Saw. Mereka mengkritik realitas, tempat mereka hidup dengan kritikan
yang menyentuh asasnya. Pemikiran yang dilontarkan kelompok ini sama di setiap
negeri, karena kondisi yang diciptakan oleh kafir penjajah terhadap kaum Muslim
sama dan seragam. Oleh karena itu, solusi terhadap kondisi tersebut juga sama.
Pada fase penjajahan
gaya baru Barat atas negeri-negeri kaum Muslim, mereka menjauhkan al-Qur’an dan
as-Sunnah sebagai sumber satu-satunya bagi perundang-undangan hidup kita. Itu
dilakukan Barat dengan melakukan pemisahan agama Islam dari kehidupan dan peraturan
kita. Perlakuan itu berhasil mereka jalankan. Dan hal itu merupakan bencana
bagi kita. Sesungguhnya realitas yang ada saat ini tidak akan bisa diperbaiki
dengan cara tambal sulam, meskipun amat banyak. Dan orang yang tidak memahami
realitas tentang sesuatu tidak akan mungkin mengetahui hukumnya.
Orang yang menyeru
kepada ideologi Islam sekarang ini tidak bisa mengabaikan hadits Nabi Saw.:
“…Kemudian akan datang
Khilafah yang berdasarkan pada manhaj ke-Nabian.” (HR. Imam Ahmad)
Orang yang
menginginkan hadirnya Khilafah yang berdasarkan pada manhaj ke-Nabian tidak akan memiliki alternatif lain kecuali
meneladani sirah manusia terbaik (yaitu Muhammad Saw.), yang usaha-usahanya
menghasilkan buah. Dan dengan taufik Allah bisa menelurkan sebaik-baik umat
yang dikeluarkan di tengah-tengah manusia. Sesungguhnya sirah itu adalah satu
untaian dengan sirah para Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka. Hanya
kepada Allah kita memohon agar kita termasuk di dalam salah satu mata
rantainya. Maka kita juga harus meneladani sirah Muhammad Saw. Masyarakat lalu
meneladaninya pula, dan bersatu untuk melaksanakan amal perbuatan mulia yaitu
dakwah Islam ideologis.
Orang yang mengemban
dakwah Islam secara benar dan berusaha mewujudkannya kembali di dalam realitas
pemerintahan dan kehidupan secara ikhlas, baik individu ataupun partai, tidak
mungkin berhasil dengan bergabung dengan sistem pemerintahan bukan-Islam. Karena
di saat yang sama dia berusaha untuk mengungkap kerusakannya, mengungkap
pertentangannya dengan dalil-dalil syar’i yang qath’i
tsubut (pasti sumbernya) dan qath’i
dilalah (pasti penunjukannya).
Sungguh, merupakan
suatu bencana dan dosa besar apabila seorang pengemban dakwah mengadopsi
maslahat yang diukur dengan akalnya dan tidak diakui oleh syara’, sebagai dalil
baginya dengan melanggar nash yang qath’i
tsubut dan qath’i dilalah; atau
menggunakan syubhat dalil.
Rasul Saw. mengirimkan
surat-surat dakwah kepada para kepala negara lain. Di dalam juz ke-12 dari
kitab Syarah Shahih Muslim an-Nawawi, disebutkan bahwa Najasy (gelar bagi raja
Habasyah) yang dikirimi surat oleh Rasulullah Saw. dan diajaknya masuk Islam pada
akhir tahun ke-6 Hijriah, setelah beliau kembali dari Perang Hudaibiyah,
bukanlah Najasy yang Rasulullah Saw. menshalat jenazahkan. Teksnya berbunyi:
“Dari Anas bahwa Nabi
Saw. telah menulis surat kepada Kisra, kepada Kaisar dan kepada Najasy, serta
kepada setiap Jabbar (penguasa), mengajak mereka kepada Allah ta’ala, bukan
Najasy yang Nabi Saw. menshalat (jenazahkan) atasnya.“ (Hadits dari Anas bin Malik,
yang diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya)
Najasy yang telah
masuk Islam ini telah menerima kekuasaan pada tahun ke-7 Hijriah, karena
Rasulullah Saw. telah mengirimkan banyak utusannya kepada para Raja dan Amir.
Di antara mereka adalah Najasy. Hal itu beliau lakukan sekembalinya dari perang
Hudaibiyah, yang terjadi pada akhir tahun ke-6 Hijriah, bulan Dzulqa’idah.
Mungkin Najasy ini telah meninggal pada tahun ke-7 Hijriah, dan pada tahun itu
pula Najasy yang masuk Islam telah menerima estafet pemerintahan. Dialah yang
Rasulullah Saw. melakukan shalat jenazah atasnya, yang waktu kematiannya
terjadi sebelum penaklukkan kota Makkah pada tahun ke-8 Hijriah, sebagaimana
yang disebutkan oleh Baihaqi dalam kitab Dalâ’ilu
an-Nubuwwah.
Dengan demikian, jarak
antara pengangkatannya menjadi Raja dan ke-Islamannya, begitu juga dengan
kematiannya sangat singkat. Dia masuk Islam secara rahasia, dan tidak ada
seorangpun yang mengetahui ke-Islamannya, bahkan Rasulullah Saw. sendiri tidak
mengetahuinya selain diberitahu melalui wahyu tentang kematiannya, juga
ke-Islamannya pada hari kematiannya itu. Waktu yang singkat yang dilaluinya
sebagai seorang muslim sebelum dia meninggal tidak memungkinkannya untuk
mengetahui tentang hukum-hukum Islam. Dan ketidaktahuan Nabi Saw. terhadap hal
itu menyebabkan beliau tidak sempat mengirimkan kepadanya utusan yang akan
menjelaskan apa yang harus dikerjakan.
….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar