Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 16 Juli 2016

Ibadah dan Ketundukan Hukum kepada Allah

 
 

Syariat dengan akidahnya ditegakkan di atas landasan iman kepada Allah yang Esa, dan wajib meng-Esakannya di dalam ibadah. Ucapan (lâ ilâha) berarti menafikan ketuhanan, ibadah dan tasyri’ kepada selain Allah. Dan ucapan (illa Allah) berarti itsbat (penetapan) semua itu hanya untuk Allah. Dialah Tuhan yang layak untuk diibadahi dan layak untuk membuat hukum. Ini mengharuskan juga beribadah dan tunduk kepada-Nya, serta mengetahui syari’at-Nya melalui Rasulullah Saw. Inilah yang dikandung oleh bagian kedua dari ucapan syahadat, yaitu perkataan (Muhammad Rasulullah). Artinya, wajib menjadikan Rasulullah Saw. sebagai satu-satunya figur yang diikuti dan diteladani dalam perkara tasyri’.

Ushul fiqih telah membatasi sumber wahyu agar tasyri’ tidak diambil selain dari wahyu. Ushul fiqih juga membatasi kaidah-kaidah istinbath (penyimpulan hukum dari nash-nash) agar tidak ada unsur yang masuk ke dalam syara’, berupa sesuatu yang bukan syara’. Oleh karena itu pembahasan pertama di dalam ushul fiqih adalah bahwa Hâkim (pembuat hukum) adalah Allah Swt., dan bahwa hukum itu hanya hak Allah saja. Tidak ada hukum kecuali syara’ telah menjelaskannya.
Kemudian datang fiqih yang merupakan terjemahan praktis untuk beribadah kepada Allah semata dan tunduk kepada-Nya. Tidak menerima tasyri’ selain-Nya, dan hanya berhukum kepada syari’at-Nya semata.
Dan bergabung menjalankan sistem pemerintahan yang kufur berarti mengajak untuk ridho mendiamkan kebathilan: undang-undang buatan manusia; musyarri’ selain Allah, sejajar dengan Allah; menerima berbilangnya sumber tasyri’... Lalu, di mana ke-Esaan Yang Disembah, yang menuntut ke-Esaan dalam peribadatan, baik dzahir maupun batin?
Tidak dibolehkannya mensyarikatkan Allah mengharuskan pula tidak boleh turut serta di dalam penetapan hukum-hukum menyalahi-Nya.

Sirah perjalanan dakwah Rasulullah Saw. menunjukkan tidak disisakannya satu keraguanpun terhadap fundamentalnya pemikiran dan menjauhkannya dari realitas yang mungkin bisa mempengaruhinya. Bahkan, berusaha untuk mempengaruhi realitas dan memunculkan perubahan. Dakwah Rasulullah Saw. tidak terpengaruh fakta-fakta syirik yang ada di tengah-tengah orang kafir Makkah, tidak memperhatikan lagi adat kebiasaan mereka, tidak memperhitungkan apakah manusia akan menerima atau menolak dakwahnya, dan tidak bermanis muka kepada penguasa.
Padahal kondisi Rasulullah Saw. dan kondisi dakwah di kota Makkah ketika itu sangat keras. Rasulullah Saw. menyerukan (lâ ilaâha illa Allah) yang merupakan inti Islam secara keseluruhan, dan penolakan secara total terhadap selain Islam, baik akidah maupun syari’at. Berdasar asas ini pula Abu Jahal bersama tokoh-tokoh Makkah lainnya melakukan penolakan.
Dengan bertumpu kepada asas ini Rasulullah Saw. menjalankan dakwah kepada umat manusia seluruhnya, baik yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, hamba sahaya ataupun orang merdeka, kaya maupun miskin, orang Arab atau selain Arab, penyembah berhala ataupun ahli kitab.
Rasulullah Saw. menghadapi mereka dan berjuang untuk menyampaikannya. Beliau memulai dengan menyebut tuhan-tuhan mereka. Mereka membalasnya dengan pemusuhan. Kemudian mereka menawarkan kompromi, dan meminta beliau agar tidak mengganggu mereka. Jika hal ini diterima, maka mereka juga tidak akan mengganggu beliau. Mereka menginginkan andai saja Rasulullah Saw. bermanis muka kepada mereka, maka mereka akan melakukan hal yang sama.
Kenyataannya, Rasulullah Saw. tidak menuruti keinginan mereka dan memilih bersikap sabar terhadap penolakan mereka terhadap dakwahnya, dan gangguan mereka terhadap sahabat-sahabatnya maupun orang-orang mukmin lain yang beriman terhadapnya.
Kesabaran merupakan bukti kebenaran dakwah dan ucapannya. Beliau Saw. juga menolak (dengan tegas) syarat yang diajukan bani Sha’sha’ah tatkala beliau mendatangi mereka supaya mereka menerima Islam kaaffah dan mau memberikan pertolongan mereka terhadap Islam di saat-saat dakwah beliau dalam kondisi kritis. Tidak seorangpun yang menolong.
Mereka bersedia untuk menolong beliau akan tetapi dengan mengajukan persyaratan, (yaitu) jika beliau wafat, maka kekuasaan Islam harus diserahkan kepada mereka. Saat itu beliau tidak mengatakan adanya celah (peluang) terbuka yang dapat dimanfaatkan, setelah setiap jalan yang ada di hadapan beliau tertutup rapat. Beliau malah mengatakan kepada mereka -dan kepada kita juga untuk mengajarkan, memberi petunjuk dan mengajak-:
“Perkara (kekuasaan) itu adalah urusan Allah. Dialah yang memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki.”

Dakwah Rasulullah Saw. berjalan hanya bersandar kepada pemikiran dan taufiq Allah Swt. bahkan dakwah beliau juga sampai pada tercapainya tujuan dengan berdirinya Darul Islam yang baru seluas Madinah setelah Allah Swt. membuka hati dan akal orang-orang yang menolong dan mendukung beliau. Ini merupakan taufiq dari Allah Swt. yang akan diperoleh juga oleh orang-orang yang bertawakal kepada-Nya, meminta pertolongan-Nya, memelihara kejernihan pemikiran dan kecemerlangan pemahaman, istiqamah dalam perjalanan (dakwahnya) dan menjaga kebenaran tingkah lakunya.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. Maka kamu akan melihat orang-orang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana’. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya) atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (TQS. al-Maidah [5]: 51-52)
….

Tidak ada komentar:

Related Posts with Thumbnails

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam