Cara Menahan Marah Amarah
ORANG YANG PALING KUAT
Orang
yang paling kuat adalah orang yang bisa menahan dan mengendalikan
amarahnya. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw menyatakan :
“Orang
kuat bukanlah orang yang menang bergulat, tetapi yang disebut orang
kuat adalah orang yang bisa mengendalikan dirinya pada saat marah”. [HR.
Bukhari dan Muslim]
Marah
(ghadhab) merupakan fithrah yang telah diberikan Allah kepada setiap
manusia. Setiap manusia pasti pernah merasakan rasa amarah. Namun
demikian, Islam telah memerintahkan umatnya agar bisa menahan amarah.
Allah swt berfirman, artinya :
“..dan orang-orang yang bisa menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain.” [Ali Imron:135]
Ayat
ini menjelaskan bahwa mengendalikan amarah adalah salah satu sifat
orang-orang yang bertaqwa. Bahkan akan lebih utama lagi apabila ia
memaafkan kesalahan orang yang membuat dirinya marah. Dalam sebuah
hadits qudsi disebutkan bahwa Nabi Musa as pernah bertanya kepada Allah
swt: “Ya
Rabbi! Siapakah di antara hambaMu yang lebih mulia menurut pandanganMu?
Allah berfirman, ”Ialah orang yang apabila berhasil menguasai musuhnya
dapat segera memaafkannya.” [HR. Kharaithi dari Abu Hurairah].
Atas
dasar itu, orang yang memiliki kemuliaan tinggi adalah orang yang mampu
memaafkan musuh-musuhnya. Sungguh, memaafkan orang-orang yang telah
menyakiti dan memusuhi kita merupakan perkara yang sangat berat dan
membutuhkan pengendalian emosi. Wajar saja apabila orang yang bisa
memaafkan kesalahan orang lain terkategori orang-orang bertaqwa dan akan
mendapatkan kemuliaan di sisi Allah swt. Al-Quran juga telah
menyinggung masalah ini di beberapa tempat.
“Memaafkan itu lebih mendekatkan kepada taqwa.” [al-baqarah:237]
“Dan hendaklah mereka suka memaafkan dan mengampuni. Apakah kalian tidak suka Allah mengampuni kalian?’ [al-Nuur:22]
Dalam
hadits-hadits shahih dituturkan keutamaan orang yang bisa menahan
amarah dan bisa memaafkan orang lain. Rasulullah saw bersabda:
“Ada tiga hal yang apabila dilakukan akan dilindungi Allah dalam
pemeliharaanNya, ditaburi rahmatNya, dan dimasukkanNya ke dalam
surgaNya, yaitu: Apabila diberi ia berterima kasih; apabila berkuasa ia
suka memaafkan dan apabila marah ia menahan diri”. [HR. Hakim dan Ibnu
Hibban dari Ibnu ‘Abbas]
“Nabi saw bersabda kepada ‘Uqbah bin ‘Amir ra, “Wahai ‘Uqbah! Maukah
engkau aku beritahukan budi pekerti yang paling utama ahli dunia dan
akherat? Yaitu, menyambung silaturahim dengan orang yang telah
memutuskannya, memberi orang yang tidak pernah memberimu, dan memaafkan
orang yang pernah menganiayamu”. [Ihyaa’ ‘Ulumuddin juz III, hal.158]
Pada
dasarnya, marah (ghadhab) menunjukkan gejala mendidihnya darah dalam
jantung yang didorong oleh motif ingin membinasakan dan yang menyebabkan
panasnya mengalir di kepala. Muka menjadi merah padam, matanya bersinar
tajam, telinganya memerah tidak mau mendengarkan nasehat dan
peringatan. Bahkan rasa amarah yang telah memuncak bakal memadamkan akal
dan pikiran. Nafas memburu dan menyesakkan rongga dada. Gejala-gejala
semacam ini bisa dimaklumi, sebab, amarah itu ibaratnya bara api yang
menyala di dalam hati manusia. Perhatian sabda Rasulullah saw,
“Jagalah
dirimu dari perbuatan marah, sesungguhnya marah itu laksana bara api
yang menyala di dalam hati bani Adam. Cobalah perhatikan (ketika orang
sedang marah) lehernya berkembang dua biji matanya memerah.”
Lantas, bagaimana cara mengatasi dan mengendalikan rasa marah?
Rasulullah saw telah memberikan bimbingan ringkas untuk mengendalikan
rasa marah. Dalam sebuah hadits dituturkan bahwa Rasulullah saw pernah
bersabda:
“Sesungguhnya
marah itu berasal dari setan dan setan diciptakan dari api, dan api
hanyalah dapat dipadamkan dengan air. Apabila di antara kalian marah,
hendaklah berwudhu.” [HR. Ahmad dan Abu Daud]
Kemarahan
bisa dipadamkan dengan cara mengambil air wudhu’. Air wudhu akan
mendinginkan kepala dan meredakan panas yang muncul dari luapan emosi.
Akibatnya, dendam kesumat menjadi padam dan pikiran akan jernih kembali.
Dalam hadits-hadits yang lain disebutkan bahwa rasa amarah bisa
dihilangkan dengan cara dzikir kepada Allah swt. Sebab, dengan dzikir
hati seseorang akan menjadi tenang dan tentram. Kontrol diri semakin
mantap dan hatinya selalu terpaut kepada Allah swt. Tatkala hatinya
selalu terpaut kepada Allah swt, maka ia akan berfikir jernih dan sabar.
Atas dasar itu, dzikrullah adalah kendali dari rasa amarah. Dalam
sebuah hadits qudsiy dituturkan bahwa, apabila ada orang yang tetap
mengingat Allah di saat marah maka dirinya akan mendapatkan rahmat dari
Allah swt.
“Barangsiapa
yang ingat kepadaKu ketika marah, niscaya Aku ingat kepadanya ketika
Aku marah, dan tidak akan Aku hilangkan rahmatKu sebagaimana orang-orang
yang Aku binasakan atau hilangkan rahmatnya” [HR. Dailami dari Anas ra]
Namun demikian, seorang muslim harus membenci dan marah tatkala ia menyaksikan kemungkaran dan kemaksiyatan. Ia tidak boleh ridho dan cenderung terhadap kemungkaran dan kemaksiyatan. Allah SWT berfirman:
“Dan
janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim yang
menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tidak
mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak
akan diberi pertolongan.” [Huud:113]
Dalam
sebuah riwayat dituturkan bahwa Rasulullah saw selalu menunjukkan
amarahnya tatkala menyaksikan kemungkaran dan kemaksiyatan. Dari Abu
Mas’ud ‘Ukhbah bin ‘Amr al-Badriy berkata,
”Ada
seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw dan berkata, “Sesungguhnya
saya terpaksa mundur dari jama’ah sholat Shubuh karena si fulan
memanjangkan bacaan sholatnya bersama kami. “Maka saya tidak pernah
melihat Rasulullah saw marah di dalam memberikan nasehat melebihi
marahnya saat itu, di mana beliau bersabda, ”Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya ada di antara kamu sekalian orang-orang yang menjadikan
jauh. Barangsiapa di antara kamu sekalian menjadi imam maka hendaklah ia
memperpendek bacaannya, karena di belakangnya ada orang yang sudah tua,
ada orang yang lemah, dan ada orang mempunyai keperluan lain.” [HR.
Bukhari Muslim]
Dari ’Aisyah ra dituturkan bahwa ia berkata, ”Rasulullah
saw datang dari bepergian, sedangkan di dalam rumah saya pasang sebuah
tabir yang ada lukisannya, kemudian setelah Rasulullah saw melihatnya
maka beliau mengoyak-ngoyak dan berubahlah wajahnya seraya bersabda,
”Wahai A’isyah, seberat-berat siksaan Allah nanti di hari akhir yaitu
siksaan orang-orang yang menyaingi ciptaan Allah.” [HR. Bukhari dan
Muslim]
Seorang
muslim juga harus menunjukkan rasa marahnya ketika melihat
aturan-aturan Allah swt dicampakkan dan diganti dengan aturan-aturan
kufur. Ia harus marah ketika para penguasa bermesraan dan bermuwalah
dengan orang-orang kafir. Ia juga harus menunjukkan rasa marahnya ketika
melihat para penguasa menerapkan aturan-aturan kufur yang bertentangan
dengan syari’at Allah swt.
Atas dasar itu, kaum muslim harus bisa mengendalikan rasa marahnya, dan
memenejnya sesuai dengan aturan-aturan Islam. Apabila seorang muslim
melihat kemungkaran atau kemaksiyatan maka hatinya akan marah dan
berusaha untuk mengubah kemungkaran tersebut. Sebaliknya, ia akan
bergembira tatkala menyaksikan perintah Allah swt dijunjung tinggi.
Agar
kaum muslim menjadi orang-orang yang kuat, sudah sewajibnya mereka
mengendalikan rasa amarahnya dan memupuk ketaqwaan kepada Allah swt.
Cara Menahan Marah Amarah - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar