Khalifah menentukan satu orang Mu’awin Tafwidh yang ikut bertanggung jawab pemerintahan
BAB MU’AWIN AT TAFWIDH (WAKIL KHALIFAH BIDANG PEMERINTAHAN)
PASAL 41
Khalifah
menentukan satu orang Mu’awin Tafwidh yang bersama khalifah bertanggung
jawab tentang jalannya pemerintahan. Mu’awin Tafwidh diberi wewenang
untuk mengatur berbagai urusan berdasarkan pendapat dan ijtihadnya.
KETERANGAN
Rasul bersabda : “Dua orang pembantuku di dunia adalah Abu Bakar dan ‘Umar”
(HR. Tirmidzi). Rasul menunjuk dua orang pembantunya. Beliau melakukan
aktivitas pemerintahan. Maka orang yang membantunya artinya membantu
dalam pelaksanaan aktivitas beliau yaitu pemerintahan.
Ketika
Abu Bakar menjadi khalifah ‘Umar menjadi mu’awin dan peran beliau amat
menonjol hingga orang-orang mengatakan kepada Abu Bakar : “Kami tidak mengerti apakah ‘Umar ataukah Anda yang menjadi khalifah ?”
Bila
seseorang telah menjadi pembantu khalifah dalam bidang pemerintahan
maka khalifah harus menyerahkan pengelolaan semua urusan kepadanya
karena memang ia membantu khalifah dalam semua urusan sehingga secara
umum ia sebagai wakil bagi khalifah. Maka secara praktis ia memiliki
wewenang sebagaimana khalifah karena ia telah menjadi wakil khalifah.
PASAL 42
Mu’awin
Tafwidh disyaratkan sebagaimana persyaratan Khalifah, yaitu laki-laki,
merdeka, Islam, baligh, berakal, adil, dan berkemampuan. Disyaratkan
pula hendaknya memiliki kemampuan terhadap hal-hal yang menyangkut
tugas-tugas yang diserahkan kepadanya.
KETERANGAN
Dalil-dalilnya adalah dalil-dalil yang menjelaskan syarat khalifah.
PASAL 43
Dalam penyerahan tugas kepada Mu’awin Tafwidh, disyaratkan dua hal : Pertama : Kedudukannya mencakup segala urusan negara. Kedua
: Sebagai wakil Khalifah. Di saat pengangkatannya Khalifah harus
menyatakan : “Aku serahkan kepadamu apa-apa yang menjadi tugasku sebagai
wakilku” atau dengan redaksi lain yang semakna, yang mencakup kedudukan
yang umum dan bersifat mewakili. Apabila dalam penyerahan tugas tidak
berbentuk demikian, maka pengangkatannya tidak sah, dan dia tidak
memiliki wewenang selaku Mu’awin Tafwidh.
KETERANGAN
Dalilnya
adalah realita aktivitas mu’awin yaitu bahwa ia adalah wakil khalifah.
Artinya ia mewakili khalifah dalam segala aktivitas khalifah. Dengan
demikian khalifah harus menyerahkan kepadanya aktivitas yang mencakup
segala urusan khalifah.
Perwakilan itu termasuk salah satu akad. Dan suatu akad tidak sah kecuali ada ijab dan qabul.
PASAL 44
Tugas
Mu’awin Tafwidh adalah memberi laporan kepada Khalifah, tentang apa
yang telah diputuskan/apa yang dilakukan, atau tentang
penunjukan/penugasan wali dan pejabat, agar wewenangnya tidak sama
seperti Khalifah. Tugasnya adalah memberi laporan dan melaksanakan apa
yang diperintahkan.
KETERANGAN
Sesuai
dengan realita Muawin bahwa ia adalah wakil dari khalifah. Maka ia
hanya melaksanakan sesuatu yang diwakilkan kepadanya dan ia harus
melaporkan pelaksanaan perbuatan itu kepada khalifah yang mewakilkan
kepadanya. Dan sebagai wakil tentu wewenangnya tidaklah sama dengan
wewenang khalifah yang diwakili.
PASAL 45
Khalifah
wajib mengetahui tugas-tugas pekerjaan Mu’awin Tafwidh dan cara-cara
pelaksanaannya terhadap berbagai urusan, agar Khalifah dapat membenarkan
yang sesuai dengan kebenaran dan mengoreksi kalau terjadi kesalahan,
berdasarkan suatu patokan bahwa pengaturan urusan umat adalah tugas
Khalifah yang dijalankan berdasar ijtihadnya.
KETERANGAN
Ini, karena khalifahlah yang bertanggungjawab untuk melakukan pemeliharaan urusan umat. Sabda Rasul SAW : “Imam adalah (bagaikan) seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang digembalakannya (rakyat).” (HR.
Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar). Dan khalifah bisa
mewakilkannya kepada mu’awinnya. Akan tetapi tetaplah ia yang dimintai
pertanggungjawaban dalam hal ini. Maka khalifah harus mengetahui semua
tugas dan pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh mu’awin. Dan ia pula
yang mengoreksi mu’awin.
PASAL 46
Apabila
Mu’awin Tafwidh telah mengatur suatu urusan, lalu disetujui oleh
Khalifah, maka dia dapat melaksanakannya sesuai dengan apa yang
disetujui khalifah, tanpa mengurangi atau menambahnya. Jika Khalifah
menarik kembali pendapatnya, berkeberatan dan menolak apa yang sudah
dilaksanakan Mu’awin Tafwidh, maka dalam hal ini perlu dipertimbangkan :
jika masih dalam kerangka pelaksanaan hukum sesuai dengan perintahnya
atau menyangkut harta yang sudah diserahkan kepada yang berhak, maka
apabila demikian hanya pendapat Mu’awinlah yang berlaku, yang pada
dasarnya hal itu adalah pendapat Khalifah juga, dan Khalifah tidak boleh
menarik kembali hukum yang sudah dilaksanakan, atau harta yang sudah
dibagikan. Sebaliknya jika apa yang sudah dilaksanakan oleh Mu’awin di
luar ketentuan-ketentuan tersebut, seperti mengangkat wali atau
melengkapi arsenal pasukan, maka seorang Khalifah berhak menolak
perbuatan Mu’awin; dan dalam keadaan ini, yang berlaku adalah pendapat
Khalifah. Bertitik tolak bahwasanya Khalifah memiliki hak untuk mengubah
kembali kebijaksanaannya ataupun kebijaksanaan Mu’awinnya.
PASAL 47
Mu’awin
Tafwidh tidak terikat dengan salah satu instansi atau salah satu bagian
dari tugas-tugas pemerintahan, bertitik tolak dari kekuasaannya yang
bersifat umum. Ia tidak menangani urusan-urusan administratif secara
langsung. Pengawasanya bersifat umum terhadap seluruh badan administrasi
negara.
KETERANGAN
Mu’awin
Tafwidh merupakan mu’awin bagi khalifah. Ia melaksanakan segala tugas
khalifah dan menjalankan wewenang sebagaimana khalifah. Ia membantu
khalifah dalam segala urusan. Oleh karenanya ia tidak terikat dengan
instansi tertentu atau tugas pemerintahan tertentu. Karena ia pembantu
khalifah dalam segala urusan. Karena cakupan tugasnya maka ia tidak
menangani urusan administratif tetapi yang ia lakukan adalah seluruh
tugas pemerintahan secara umum.
Khalifah menentukan satu orang Mu’awin Tafwidh yang ikut bertanggung jawab pemerintahan
Dari Buku: Rancangan UUD Islami (AD DUSTÛR AL ISLÂMI)
Hizbut Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar