Dari kejauhan, di
dalam barisan pasukan koalisi Kafir Quraisy, seorang Kafir bernama Ibnu Qami’ah
tengah mengamati sesosok berjubah yang sedang asyik mengayunkan pedangnya
menghantam tubuh-tubuh Kafir yang dilaknati Allah di tengah pertempuran, sosok
tersebut memegang pedang di tangan yang satu, sementara di tangan yang satunya
lagi memegang panji hitam yang di dalamnya bertuliskan kalimat tauhid "Laa
ilaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah’’, dengan itulah Ia bertarung gagah.
Sosok berjubah yang
sedang bertempur dengan gagah berani itu tidak lepas dalam bidikan mata Ibnu
Qami’ah, sosok itu tidak asing bagi Ibnu Qami’ah yang pernah ikut dalam
pertempuran di Badar setahun sebelumnya. Ia melihat lekat sosok paling dominan
di tengah kaum muslimin tersebut. Bagi Ibnu Qaimi’ah sosok itulah yang telah
merendahkan dan menghina sembahan-sembahan mereka seperti Latta dan ‘Uzza yang
telah disembah secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dialah yang
telah menyebabkan perpecahan di Mekah, dialah yang telah memutuskan hubungan
sanak saudara menjadikan mereka bermusuhan satu dengan lainnya.
Ibnu Qami’ah mengenal
sosok tersebut sebagai Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib pembawa agama
pemecah-belah. Ibnu Qami’ah tidak mengetahui bahwa sosok berjubah pemegang
panji hitam tersebut sebenarnya adalah Mush’ab bin Umair, bukan Rasulullah Saw.
Ia mengenal sosok tersebut sebagai Nabi Muhammad karena jubah perang yang
dikenakan oleh sosok tersebut juga digunakan oleh Rasul Saw. pada saat perang
Badar setahun sebelumnya.
Dengan mata yang telah
difokuskan hanya untuk satu target, Ibnu Qami’ah menghunus pedangnya lalu
berlari kencang dengan kudanya ke arah sosok berjubah itu. Dari arah belakang,
Ibnu Qami’ah mengayunkan pedangnya menghantam tubuh Mush’ab bin Umair, dengan sekali
tebasan, tangan kanan Mush’ab yang sedang memegang panji terlepas dari
tubuhnya. Panji hitam ar-rayah hampir saja jatuh ke tanah, dengan sigap Mush’ab
menangkapnya sehingga panji Tauhid itu kembali berkibar dengan gagahnya di
bawah langit Uhud, Mush’ab masih memberikan perlawanannya meski dengan satu
tangan yang tertinggal, Ia masih berdiri dangan tegak melawan musuh-musuh
Islam.
Ibnu Qami’ah semoga
Allah melaknatnya, belum juga merasa puas atas keberhasilannya melepas tangan
Mush’ab dari tubuhnya, terlebih panji yang dipegang Mush’ab belum juga berhasil
Ia jatuhkan.
Ibnu Qami’ah lalu
kembali maju dan mengayunkan pedangnya ke arah Mush’ab, kali ini pedangnya
menyasar tangan kiri Mush’ab. Dengan sekali tebasan, tangan kiri Mush’ab yang
memegang panji kembali lepas dari tubuhnya, hampir saja panji itu jatuh ke
tanah bersamaan dengan lepasnya tangan Mush’ab, namun Mush’ab sama sekali tak
sudi melihat nama Allah, Tuhan yang menciptakannya dan nama Rasulnya yang mulia
yang telah memberinya jalan cahaya Islam itu sampai jatuh ke tanah, dengan
segera Mush’ab melabuhkan badan dan merangkul tiang panji tauhid dengan
lengannya yang masih tersisa, Ia lalu kembali menegakkan rayah tersebut di
tengah-tengah pertempuran.
Mush’ab tak lagi
memperhatikan apa yang menimpa dirinya, saat itu yang Ia lakukan adalah
bagaimana agar panji Islam ar-Rayah yang diamanahkan oleh Rasul Saw. kepadanya
tetap berkibar di tengah pertempuran meski Ia sendiri harus kehilangan kedua
tangan bahkan nyawanya. Bagi Mush’ab, amanah yang diberikan kepadanya untuk
memegang panji perang umat Islam adalah sebuah kehormatan yang tak ternilai
oleh apapun. Dengan sisa kekuatan yang Ia miliki, Mush’ab meneguhkan hati, lalu
membenamkan kedua lututnya ke dalam tanah untuk memperkuat posisinya agar tidak
jatuh, Ia lantas berteriak ‘’Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,
sesungguhnya telah berlalu beberapa orang rasul yang diutus sebelumnya’’.
Itulah kata terakhir dari Mush’ab bin Umair, sebuah kata cinta yang
melambangkan bukti bahwa hingga detik terakhir dari hidupnya Ia persembahkan
untuk menjalankan amanah yang diembankan kepadanya dari seorang Nabi agung nan
mulia, Muhammad Rasulullah Saw.
Melihat keteguhan dan
kuatnya Mush’ab untuk tetap bertahan, membuat Ibnu Qami’ah merasa dongkol dan
geram, sebab meski dua tebasan pedangnya telah mengakibatkan lepasnya tangan
Mush’ab bin Umair, namun itu tidak juga mampu menjatuhkannya ke tanah, begitu
juga dengan panji yang dipegang Mush’ab. Akhirnya Ibnu Qami’ah sekali lagi
kembali mengarahkan kudanya ke arah Mush’ab, kali ini Ia tidak lagi menggunakan
pedangnya untuk membunuh Mush’ab, Ia mengambil sebuah tombak dengan besi
runcing tajam yang mengkilap diujungnya, dengan itulah Mush’ab akan syahid.
Dengan tombak itu Ia akan mengakhiri perjalanan dakwahnya, mengorbankan jiwa
dan raganya atas nama Allah dan Rasulnya demi kemuliaan Islam.
Ibnu Qami’ah lalu
datang dan menusukkan tombak tersebut dari arah belakang, ujung tombak itu
hampir menembus hingga ke dada Mush’ab. Darah segar mengalir deras dari tubuh
Mush’ab kemudian jatuh berkucuran membasahi pasir Uhud, tubuh seorang bangsawan
berwajah tampan itu mulai melemah dirangkul ajal, matanya yang indah perlahan
meredup dan kini tertutup untuk selamanya, lelaki yang membuka dakwah Islam di
Madinah itu pun perlahan merebah jatuh di pelukan bumi. Sang pembawa misi
rahasia dari Rasul itu kini telah selesai menjalankan tugasnya. Panji yang
dipeluk Mush’ab masih melekat di tubuhnya, seakan tak ingin membiarkan panji
itu membujur hina di atas tanah meski dirinya sendiri sudah tak bernyawa. Ali
bin Abi Thalib yang melihat Mush’ab telah terbaring diatas tanah, Ia bergegas
berlari dan bermaksud menolong Mush’ab, namun Ia dapati Mush’ab sudah tak
bernyawa. Mush’ab telah wafat sebagai Syuhada Uhud. Ali lalu mengambil panji
rayah tersebut kemudian kembali mengibarkannya di tengah pertempuran....
(Dikutip dari buku
MISI RAHASIA MUSH'AB BIN UMAIR, Al Azhar Press 2018)
#BukanSembarangBendera
#BelaKalimatTauhid
#BelaBenderaTauhid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar