Oleh Yudha Pedyanto
Pada tahun 2009,
Satoshi Nakamoto seorang computer scientist dan cyberpunk activist menemukan
sebuah algoritma finansial yang menggemparkan dunia. Algoritma finansial itu
diberi nama Blockchain.
Apakah hebatnya
Blockchain? Algoritma finansial ini memungkinkan netizen bermuamalah secara
online menggunakan Bitcoin; mata uang digital yang tidak tergantung negara mana
pun. Konsekuensinya ia tak bisa direkam, diketahui serta dikendalikan oleh
lembaga keuangan apa pun.
Bagi kapitalisme
global yang mati-matian mempertahankan dollar sebagai global currency-nya, ini jadi ancaman besar. Otoritas
finansial AS langsung memburu dan membekukan semua komunitas online yang
bermuamalah menggunakan bitcoin.
Tentu saja usaha
tersebut sia-sia belaka. Mengapa? Karena tidak seperti e-Money konvensional
yang algoritmanya dijalankan di server terpusat, Blockchain algoritmanya
dijalankan di ribuan server milik netizen yang terdistribusi secara acak di
belantara internet.
Kelebihan lain dari
Blockchain adalah kemampuannya dalam menghadapi manipulasi informasi. Jika
terjadi manipulasi informasi, pasti langsung terdeteksi dan terhapus dengan
sendirinya. Caranya Blockchain memverifikasi setiap informasi baru dengan
rantai informasi sebelumnya, kemudian mengkonfirmasinya dengan informasi valid
yang tersebar di ribuan server tadi.
Anda mungkin pernah
membaca berita; belum lama ini BI dengan mudahnya membekukan isi ulang e-Money
Tokopedia, Shopee, Bukalapak dan PayTren. Karena mereka semuanya terdaftar dan
terpusat. Tapi bagaimana mungkin Anda membekukan sesuatu yang tidak terdaftar,
tersebar dan terdistribusi acak? Bahkan sangat mungkin algoritma Blockchain
berjalan secara siluman di server-server milik pemerintah.
Sebelum lebih jauh
membahas Blockchain, kita kilas balik 65 tahun silam. Pada tahun 1953, Syaikh
Taqiyuddin An-Nabhani seorang hakim mahkamah syariah dan aktivis pergerakan
politik merumuskan sebuah konsep yang menggemparkan dunia. Konsep itu diberi
nama Qiyadah Fikriyah.
Apa hebatnya Qiyadah
Fikriyah? Konsep ini memungkinkan seorang muslim semata-mata tunduk kepada
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pemikiran dan tindakannya sepenuhnya berpusat pada
prinsip (principle-centered), bukan
berpusat pada figur (people-centered)
apalagi uang (money-centered).
Menariknya, mengapa
An-Nabhani sampai harus merumuskan konsep baru bernama Qiyadah Fikriyah?
Bukankah Islam saja sudah cukup? Jawabannya sederhana; karena mereka yang sudah
Islam belum tentu memiliki disiplin mental, emosional dan konseptual untuk
tunduk semata-mata kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Contohnya Islam
melarang pemeluknya untuk makan-minum dengan tangan kiri, berdamai dengan
penjajah Israel atau dangdutan dengan biduan seksi. Tapi ketika ada ulama yang
melakukannya, mereka mengatakan itu tidak apa-apa. Karena ulama tersebut
termasuk Ahlu As-Sama'; semacam manusia penghuni langit yang dapat privilege (hak istimewa) tidak wajib taat
syariat.
Orang-orang seperti
ini sekalipun muslim tapi tidak memiliki Qiyadah Fikriyah, tapi Qiyadah
Syakhsiyah. Pemikiran dan tindakannya tidak ditentukan oleh prinsip, tapi
ditentukan oleh figur (people-centered).
Apa perkataan dan tindakan junjungannya, itu pasti benar, sekalipun prinsip
mengatakan sebaliknya.
Bahkan Nabi SAW tidak
mengajarkan Qiyadah Syakhsiyah ini. Saat perang Badar Nabi SAW sudah menetapkan
posisi strategis pasukan kaum muslimin. Lalu Hubab bin Mundir bertanya; apakah
keputusan itu berdasarkan wahyu atau semata-mata strategi? Ketika Nabi SAW
menjawab strategi, Hubab mengusulkan posisi lain yang lebih strategis. Nabi SAW
akhirnya merevisi keputusannya lalu mengikuti pendapat Hubab bin Mundir.
Jika ada Ahlu
As-Sama’; manusia langit yang paling dekat dengan Allah SWT, maka dia adalah
Nabi Muhammad SAW. Tapi beliau tidak dikultuskan atau didewakan oleh
pengikutnya. Apa yang dilakukan Nabi SAW (selain wahyu) belum pasti benar,
serta terbuka atas masukan atau kritik. Jadi Nabi SAW dan para sahabat
sebenarnya sudah menjalankan konsep Qiyadah Fikriyah sejak 14 abad silam.
Ada juga orang-orang
menganut Qiyadah Madiyah (money-centered),
di mana pemikiran dan tindakannya ditentukan oleh materi; apakah berwujud
harta, tahta atau wanita. Ketika berhadapan dengan kenikmatan duniawi seperti
ini, biasanya sirkuit otak manusia bagian basal
ganglia langsung terpantik kemudian reflek menerima kenikmatan instan
tersebut.
Nabi SAW dan para
Sahabat pun tak terhindar dari godaan basal
ganglia ala Qiyadah Madiyah tadi. Ketika di Makkah para pemimpin Quraisy
menawarkan Nabi SAW harta, tahta dan wanita, dengan syarat Nabi SAW
meninggalkan dakwahnya serta mengikuti ideologi harga mati bangsa Quraisy.
Tentu tawaran tersebut ditolak Nabi SAW dan beliau tetap memegang teguh Qiyadah
Fikriyah-nya.
Konsep Qiyadah
Fikriyah ini sangat relevan untuk di-refresh,
terutama masa-masa kampanye seperti sekarang. Ada seorang hafidz Quran yang
tiba-tiba mendukung petahana, belakangan ternyata dia diduga terlibat kasus
korupsi besar. Ada politisi Islam “garis keras” bersorban tiba-tiba juga
mendukung petahana, belakangan ternyata dia diangkat jadi komisaris perusahaan
plat merah. Mereka jadi korban Qiyadah Madiyah (money-centered),
yang sekalipun muslim tapi tidak memiliki Qiyadah Fikriyah.
Atau ada juga seorang
ulama sepuh tiba-tiba diangkat jadi pemimpin petahana, dengan harapan bisa jadi
figur kharismatik yang menjinakkan kelompok Islam tertentu. Bagi para penganut
Qiyadah Syakhsiyah (people-centered),
trik ini sangat manjur dan menghipnotis. Mereka pun berduyun-duyun
mendukungnya.
Tapi bagi penganut
Qiyadah Fikriyah trik tersebut tak mempan. Karena mereka berpegang pada hadits:
“Ulama’ ketika dekat dengan penguasa yang diinginkan dunia, namun ketika
penguasa mendekati ulama yang dinginkan akhiratnya” (HR. Dailami). Orang-orang
dengan Qiyadah Fikriyah (principle-centered)
memiliki semacam imunitas terhadap trik marketing politik murahan semacam ini.
Ataupun sebaliknya,
katakanlah jika oposisi mengangkat pemimpin yang muda, kaya raya, rajin sholat
duha dan puasa, maka penganut Qiyadah Syakhsiyah langsung mengidolakannya. Tapi
bagi penganut Qiyadah Fikriyah; percuma kaya raya, rajin duha dan puasa tapi
gagasan ekonominya tetap pro pasar bebas ala kapitalisme. Lagi-lagi seseorang
bisa saja beragama Islam, tapi tidak menjamin memiliki Qiyadah Fikriyah Islam.
Jika Satoshi Nakamoto
menemukan algoritma finansial Blockchain yang memungkinkan manusia kebal
terhadap intervensi lembaga finansial kapitalisme global, maka An-Nabhani
merumuskan algoritma mental Qiyadah Fikriyah yang memungkinkan umat Islam kebal
terhadap intervensi politik kaki-tangan kapitalisme global.
Jika Blockchain mampu
mendeteksi manipulasi informasi, demikian pula dengan Qiyadah Fikriyah mampu
mendeteksi manipulasi religi. Caranya Qiyadah Fikriyah memverifikasi manipulasi
tersebut dengan Qur’an dan Sunnah, kemudian mengkonfirmasinya dengan ribuan
penganut Qiyadah Fikriyah lainnya. Menurut saya Qiyadah Fikriyah menjadi
semacam mental Blockchain yang membuat umat Islam tidak mudah dimanipulasi dan
dimanfaatkan kepentingan politik sesaat.
Jika visi Satoshi
Nakamoto dilanjutkan oleh gerakan cyberpunk
underground yang tersebar di internet, maka visi An-Nabhani dilanjutkan
oleh gerakan politik Hizbut Tahrir yang tersebar di lebih 50 negara (dan di
internet). Karena dibekali algoritma mental Qiyadah Fikriyah tadi, Hizbut
Tahrir menjadi sangat independen dan konsisten dalam mewujudkan cita-citanya
melanjutkan kehidupan Islam.
Jika gerakan-gerakan
politik Islam lainnya mudah ditunggangi dan dibelokkan, lain halnya dengan
Hizbut Tahrir. Katakanlah jika ada anggota Hizbut Tahrir yang mendukung calon
presiden tertentu yang akan menerapkan hukum buatan manusia ala demokrasi (tak
peduli petahana atau oposisi), maka algoritma Qiyadah Fikriyah langsung
mengisolir dan melenyapkan pendapat tersebut tanpa ampun. Seperti sistem imune mengisolir dan melenyapkan virus asing
dalam tubuh manusia.
Jika sudah seperti
ini, maka tidak ada pilihan lain bagi para tiran zhalim kecuali main pembekuan
dan pembubaran. Hizbut Tahrir dilarang di banyak negara. Tapi seperti halnya
Blockchain yang tak bisa dihentikan dengan pembekuan komunitasnya, demikian pula
Qiyadah Fikriyah tak bisa dicegah dengan pembubaran jamaahnya. Bagaimana
mungkin Anda menghentikan gagasan yang menyebar dan melesat cepat dari satu
kepala ke kepala yang lain?
A stand can be made against invasion by an army; no
stand can be made against invasion by an idea.
-Victor Hugo
Terakhir, jika
tertarik Anda bisa meng-install
algoritma Blockchain di komputer Anda. Tapi tentu Anda harus didampingi oleh
tenaga ahli certified dan berpengalaman
dalam bidang Blockchain. Dan jika tertarik, Anda bisa meng-install algoritma Qiyadah Fikriyah di pikiran
Anda. Tapi tentu Anda harus didampingi oleh tenaga ahli certified dan berpengalaman dalam bidang Qiyadah Fikriyah:
Mereka adalah para anggota Hizbut Tahrir.
[Tulisan ini saya
persembahkan kepada mereka yang menjelaskan Qiyadah Fikriyah dengan sangat amazing; Ustadz Adam Romulo dkk. Antum ibarat Master Jedi yang mengajari para Jedi junior bagaimana melindungi galaksi. May
the force of Qiyadah Fikriyah be with you…]
Yogyakarta, 24
September 2018
#HTIMilenial
#KomikIdeologis []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar