Gagasan Ekonomi An-Nabhani dan
Bregman (2): Apa yang Seharusnya Terwujud 67 Tahun Lalu
Oleh Yudha Pedyanto
Kemiskinan selalu
menjadi momok menakutkan, tidak hanya karena kemiskinan itu jelek, tapi karena
kemiskinan itu menghasilkan kejelekan-kejelekan berantai seperti benang kusut
yang sulit terurai.
Tingginya
kriminalitas, meningkatnya mortalitas, memudarnya moralitas, tumpulnya
intelektualitas dan kreativitas, sampai mewabahnya obesitas, semua terjadi
karena kemiskinan.
Selama ini kita,
khususnya politisi dan motivator, meyakini problem benang kusut kemiskinan
akibat dari mindset, karakter dan
kebiasaan yang keliru. Intinya kemiskinan adalah problem yang harus diatasi
sendiri. Karena sumber masalahnya ada pada diri mereka sendiri.
Maka ketika kita
melihat orang miskin, kita biasanya bicara dalam hati; itu salahmu sendiri,
kamu miskin karena kamu punya mindset
dan kebiasaan miskin. Benahi mindset dan
kebiasaanmu; berfikir positif, belajar wirausaha, berusaha dengan tekun,
pantang menyerah, maka kamu akan jadi kaya. Benarkah?
Ternyata hasil riset
berbeda. Dua orang peneliti, Eldar Shafir (Princeton University) dan Sendhil
Mullainathan (Harvard University), menawarkan teori baru tentang kemiskinan.
Dua profesor tadi menyimpulkan; orang miskin sering bertindak bodoh dan ceroboh
bukan karena mindset, karakter atau
kebiasaan mereka, tapi karena kondisi eksternal mereka.
Bayangkan sebuah
komputer menjalankan sepuluh aplikasi berat secara bersamaan. Belum selesai,
masih ditambah lagi dengan sepuluh aplikasi berat lainnya. Apa yang terjadi?
Komputer jadi hang. Hal ini terjadi
bukan karena komputernya jelek, tapi karena ia dipaksa bekerja melebihi
kapasitas serta kemampuannya.
Menurut dua profesor
tadi, itulah analoginya yang terjadi pada orang-orang miskin. Mereka cenderung
bertindak bodoh dan ceroboh bukan karena pada dasarnya mereka bodoh dan
ceroboh, tapi karena mereka hidup di kondisi eksternal yang akan membuat
siapapun bertindak bodoh dan ceroboh. Termasuk Anda sendiri.
Bayangkan jika pikiran
Anda terus-menerus dibombardir dengan keruwetan; anak-anak besok makan apa,
listrik diputus bagaimana solusinya, kontrakan naik pindah ke mana, penagih
utang berkali-kali datang harus bilang apa. Semua problem kusut tadi menjejali "bandwidth mental” Anda, sampai tak ada ruang
yang tersisa untuk berfikir jernih dan obyektif.
Itulah yang terjadi
dalam benak orang miskin, dan benak siapapun yang ditempatkan pada kondisi yang
sama. Maka solusinya bukan memperbaiki mindset
dan karakter mereka, tapi memperbaiki kondisi eksternal mereka. Bagaimana
caranya? Negara harus memenuhi semua kebutuhan hidup mereka, dengan memberi
mereka uang tunai bulanan yang cukup untuk hidup layak.
Tapi bukankah kita
dilarang memberikan ikan (uang tunai) kepada orang miskin, karena mereka hanya
akan makan sehari. Sedangkan kalau kita ajari mereka memancing (mindset dan kebiasaan benar), maka mereka akan
makan seumur hidup. Lagi pula jika mereka disuapi uang tunai terus-menerus,
dikhawatirkan tidak akan ada lagi orang yang mau bekerja. Masyarakat jadi tidak
produktif, ekonomi jadi lesu. Benarkah? Sekali lagi biarkan data riset yang
bicara.
Sejak tahun 1982,
setiap penduduk di Alaska (negara bagian AS terbesar) menerima uang tunai
(tanpa syarat) untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Apakah mereka memutuskan
berhenti bekerja? Hasil riset menjawab: tidak. Tingkat employment rate di Alaska sama dengan negara-negara bagian AS
lainnya. Dengan kata lain mereka bekerja sama kerasnya. Bahkan ekonomi lokal di
Alaska semakin tumbuh berkembang.
Mungkin ada yang
komentar: Ah itu kan di negara maju Amerika Serikat. Baiklah kita lihat data di
negara-negara dunia ketiga.
Di Kenya tahun 2011,
MIT (Massachusetts Institute of Technology) dan LSM yang didanai Google
menjalankan program serupa. Hasilnya? Pendapatan mereka meningkat 38%,
kelaparan anak-anak menurun 42%, serta kepemilikan hewan ternak meningkat 58%.
Karena dinilai sukses, program ini diperpanjang 12 tahun ke depan.
Kemudian pada tahun
2008 di Uganda, pemerintah memberikan basic
income sebesar 400 dollar (hampir Rp 6 juta) per bulan, kepada 12,000
warganya yang berumur 16 sampai 35 tahun. Hasilnya? Setelah 5 tahun aset bisnis
domestik tumbuh 57%, jam kerja naik 17%, dan pendapatan naik 38%.
Masih banyak data-data
keberhasilan universal basic income lainnya; di Namibia, India,
Canada sampai Finlandia. Jika masih ada yang berfikir dengan memberi ikan (uang
tunai) membuat orang malas dan ekonomi lesu, mungkin dia termasuk tipe manusia
baperan yang susah move on. Kecuali dia
bisa menunjukkan data riset skala regional dan nasional yang mendukung
pendapatnya.
Jadi kalo kita mau
berfikir ilmiah berdasarkan data, solusi mengurai benang kusut kemiskinan itu
sederhana; beri mereka uang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, seumur hidup
mereka. Seperti yang ditegaskan An-Nabhani dalam Nizham
Iqtishadi fi Al-Islam, dan Bregman dalam Utopia
for Realists. Hanya saja An-Nabhani menegaskan kebijakan ini adalah
amanah Qur’an dan Sunnah.
Perbedaan lainnya, basic income versi An-Nabhani tidak langsung
diberikan kepada setiap warna negara. Tapi sebagai safety net terakhir, di mana tunjangan tersebut diberikan kepada
seseorang yang benar-benar tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, serta tidak
memiliki wali atau ahli waris yang menanggungnya. Jadi mereka yang kaya tidak
mendapat santunan dari negara.
Dua tahun belakangan
ini, universal basic income (UBI)
menjadi pembicaran hangat di kalangan politisi, negarawan dan aktivis
kemanusian tingkat dunia. Mereka seolah berlomba-lomba mengimplementasikannya.
Ada yang sudah menjalankan dan memperpanjangnya, ada yang baru sebagai pilot project, ada juga yang turun ke jalan
menuntut referendum diberlakukannya UBI.
Bagaimana dengan
Indonesia? Jika kita tidak segera memulai, saya khawatir kita tertinggal dan
hanya bisa planga-plongo saja. Terus-menerus berkubang di lembah kemiskinan
sementara bangsa lain sudah bangkit dan sejahtera. Ironis, karena sebagai
negeri muslim terbesar, seharusnya Indonesia menjadi pelopor dalam
mengimplementasikan dan menawarkan alternatif solusi Islam kepada dunia.
Jika mereka menemukan
solusi UBI melalui eksperimen sosial berdarah-darah, kita sebagai muslim
seharusnya bisa melaksanakannya langsung tanpa perlu mengorbankan apapun.
Sebagaimana sudah saya jelaskan, 67 tahun yang lalu An-Nabhani sudah mendahului
gagasan serupa UBI yang hari ini sedang ramai diperbincangkan.
Tapi Syaikh Taqiyuddin
An-Nabhani 67 tahun lalu tidak hanya meninggalkan warisan kitab Nizham Iqtishadiy. Beliau menyiapkan sebuah
partai politik internasional untuk memperjuangkan hukum-hukum syariah hasil
ijtihadnya di level negara. Partai politik internasional itu bernama Hizbut
Tahrir. Saat ini Hizbut Tahrir berkembang di hampir lima puluh negara di dunia.
Namun sayangnya,
keberdaan Hizbut Tahrir diberangus di beberapa negara, termasuk baru-baru ini
di Indonesia. Persekongkolan penguasa lokal dan global nampaknya cukup gerah
dan khawatir hegemoni mereka berakhir. Seandainya 67 tahun yang lalu, atau
setidaknya 30 tahun yang lalu para penguasa itu terbuka hatinya menerima dan
menerapkan konsep-konsep Hizbut Tahrir, mungkin saat ini kita sudah jadi
pelopor dalam kemajuan dan kemakmuran.
Jogjakarta, 1
September 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar