Syarat Qadhi biasa dan muhtasib
BAB PERADILAN
PASAL 69
Qadhi
 biasa dan muhtasib disyaratkan dari kalangan orang Islam yang merdeka, 
baligh, berakal, adil dan faqih serta memahami cara menerapkan hukum 
sesuai dengan kenyatan. Sedangkan Qadhi madzalim, disyaratkan 
sebagaimana syarat pada Qadhi di atas, ditambah persyaratan laki-laki 
dan mujtahid.
KETERANGAN
Qadhi
 biasa dan muhtasib tidak disyaratkan laki-laki dan mujtahid. Tidak 
harus laki-laki karena Qadhi semacam ini hanya mengurusi urusan 
peradilan, tidak langsung berhubungan dengan kekuasaan/pemerintahan. 
Oleh karena itu, hadits mengenai keharaman wanita duduk dalam 
pemerintahan tidak berlaku di sini. Tidak harus mujtahid karena 
penyelesaian perselisihan yang terjadi cukup oleh orang yang menguasai 
fikih/hukum. Sebaliknya, Qadhi mazhalim harus laki-laki karena ia 
berurusan dengan peradilan sekaligus kekuasaan/pemerintahan. Harus 
mujtahid karena hanya mujtahid yang dapat menyelesaikan perselisihan 
antara rakyat dengan penguasa.
PASAL 70
Qadhi
 biasa dan Qadhi muhtasib ditentukan dan diberi wewenang secara mutlak 
dalam seluruh kasus yang terjadi di seluruh negeri atau ditentukan dan 
diberi wewenang yang terbatas pada kasus-kasus peradilan tertentu di 
daerah-daerah tertentu. Qadhi mazhalim ditentukan dan diberi wewenang 
secara mutlak yang mencakup seluruh jenis perkara. Dilihat dari segi 
kekuasaan Qadhi mazhalim boleh diangkat untuk seluruh negeri atau untuk 
daerah tertentu.
KETERANGAN
Dalilnya
 adalah tindakan Rasulullah SAW. Beliau, misalnya, pernah mengangkat Ali
 ibn Abi Thalib sebagai Qadhi di Yaman dan menunjuk Amr ibn Ash sebagai 
Qadhi untuk mengatasi persoalan tertentu. Ini berkaitan dengan Qadhi 
biasa dan Qadhi muhtasib. Sementara berkaitan dengan Qadhi mazhalim, 
Rasulullah telah menentukan tempat khusus, karena beliau pernah 
mengangkat Rasyid ibn Abdillah sebagai amir/kepala peradilan mazhalim 
yang memiliki wewenang penuh dan umum. Alasannya, ia bertugas 
menyelesaikan seluruh jenis persengketaan yang terjadi di antara 
penguasa dan rakyat. Ini tidak mungkin dilakukan jika wewenangnya 
bersifat khusus/terbatas.
PASAL 71
Mahkamah
 pengadilan tidak boleh terbentuk atas lebih dari satu Qadhi; yang 
berwenang memutuskan suatu perkara. Seorang Qadhi boleh dibantu oleh 
satu atau lebih Qadhi lain, tetapi mereka tidak mempunyai wewenang 
menjatuhkan vonis-vonis. Wewenang mereka hanyalah bermusyawarah dan 
mengemukakan pendapat, namun pendapat mereka tidak memaksa Qadhi untuk 
menerimanya.
KETERANGAN
Dalilnya
 adalah tindakan Rasulullah. Beliau tidak pernah menujuk dua Qadhi atau 
lebih untuk menyelesaikan satu perkara. Di samping itu, tugas Qadhi 
adalah menyampaikan ketentuan hukum syariat untuk diikuti. Sementara 
hukum syariat itu sendiri, bagi seorang Muslim adalah satu, tidak 
mungkin lebih dari satu, karena hukum Allah juga satu. Meskipun 
pemahaman terhadap hukum tersebut boleh jadi berbeda-beda (lebih dari 
satu), akan tetapi dalam tataran praktis, bagi seorang Muslim, dia hanya
 wajib melaksanakan satu ketentuan hukum.
PASAL 72
Seorang
 Qadhi tidak boleh memutuskan perkara kecuali dalam ruang sidang 
pengadilan. Pembuktian dan sumpah dianggap sah, hanya dalam ruang 
pengadilan.
KETERANGAN
Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn az-Zubayr. Ia mengatakan, “Rasulullah menetapkan bahwa dua orang yang berselisih harus didudukkan di muka hakim/pengadilan.” (HR Ahmad dan Abu dawud). Demikian juga sabda Rasulullah kepada Ali ketika Ali diangkat menjadi Qadhi. Beliau bersabda, “Ali,
 jika ada dua orang yang bertikai duduk di hadapanmu, maka janganlah 
engkau berbicara sebelum engkau mendengarkan omongan orang yang kedua 
sebagaimana engkau mendengarkan omongan orang yang pertama.”
PASAL 73
Bentuk
 mahkamah boleh berbeda-beda tergantung jenis perkaranya. Sebagian Qadhi
 boleh ditugaskan untuk menyelesaikan perkara-perkara saja dan perkara 
lainnya diserahkan pada mahkamah yang lain.
KETERANGAN
Dalilnya
 adalah kenyataan bahwa lembaga peradilan merupakan wakil khalifah. 
Artinya, ia sama dengan kenyataan wakalah (perwakilan) dalam berbagai 
urusan lain. Karena merupakan perwakilan, ia bisa bersifat umum 
(mencakup seluruh perkara) atau bersifat khusus (hanya menangani 
urusan-urusan tertentu saja). Oleh karena itu, meskipun dalam satu 
tempat yang sama, seorang Qadhi boleh hanya memutuskan perkara-perkara 
tertentu saja sementara perkara lainnya diserahkan kepada Qadhi lainnya.
 Rasulullah sendiri pernah mewakilkan kepada Amr ibn Ash untuk mengadili
 satu perkara tertentu dan mewakilkan kepada Ali untuk mengadili seluruh
 perkara secara umum ketika beliau mengangkatnya sebagai Qadhi di Yaman.
 
PASAL 74
Mahkamah
 banding tingkat pertama maupun mahkamah banding tingkat kedua tidak 
boleh ada, karena seluruh bentuk pengadilan — dalam hal memutuskan satu 
perselisihan — kedudukannya sama. Apabila seorang Qadhi memutuskan suatu
 perkara, keputusannya sah/ berlaku dan tidak boleh seorang Qadhi lain 
membatalkan keputusannya.
KETERANGAN
Dalilnya
 adalah Ijma Shahabat. Mereka telah bersepakat dalam hal ini. Abu Bakar,
 misalnya, sering mengeluarkan keputusan atas sejumlah perkara 
berdasarkan ijtihadnya dan Umar dalam hal ini sering berbeda pendapat 
dengan Abu Bakar. Akan tetapi, keputusan Abu bakar tetap berlaku dan 
tidak bisa digugurkan. Demikian pula Ali; ia sering berbeda pendapat 
dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Umar, tetapi keputusan Umar tetap
 berlaku dan tidak bisa digugurkan. Ali juga sering menentang pendapat 
Abu Bakar dan Umar, tetapi keputusan keduanya tidak bisa digugurkan. 
Akan tetapi, jika keputusan seorang Qadhi bertentangan dengan nash-nash 
qath’i atau ia memutuskan tidak sesuai dengan hukum-hukum Islam 
(berdasarkan hukum-hukum kufur), maka keputusannya wajib ditolak atau 
diluruskan oleh Qadhi yang lain. Dalilnya adalah tindakan Rasulullah. 
Jabir ibn Abdillah menuturkan, “Sesungguhnya
 pernah ada seorang laki-laki telah berzina dengan seorang wanita. 
Rasulullah lantas memerintahkan untuk mencambuk keduanya. Akan tetapi 
kemudian datang informasi bahwa ia telah menikah, maka Rasul pun 
merajamnya.”
Syarat Qadhi biasa dan muhtasib
Dari Buku: Rancangan UUD Islami (AD DUSTÛR AL ISLÂMI)
Hizbut Tahrir



 




