Berdiskusi tentang
republik tak bisa dilepaskan dari oligarki. Oligarki adalah suatu sistem yang
muncul karena adanya konsentrasi kekayaan pada kelompok elit yang akhirnya
mempengaruhi kekuasaan.
Kelompok elit ini
sering disebut oligark, yaitu kelompok yang memiliki kekayaan yang berlimpah
dan menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk mempertahankan dan meningkatkan
kekayaannya.
Menurut Jefrey A
Winters (profesor politik dari Northwetern University, USA), sejak lahirnya
republik sekitar 250-300 tahun yang lalu ternyata konsentrasi kekayaan pada
kelompok tertentu semakin meningkat dan kesenjangan ekonomi semakin lebar.
Menurutnya kondisi ini
terjadi di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Misalnya di Amerika Serikat,
pendapatan orang terkaya adalah 20.000 kali pendapatan orang biasa. Di
Indonesia, GDP 40 orang terkaya di Indonesia adalah 630.000 kali GDP orang
biasa (Jefrey A. Winters, 2016).
Data pada tahun 2011
ternyata 1% orang menguasai 43% kekayaan dunia (saat ini sudah meningkat
menjadi 50%), 9% orang menguasai 44% kekayaan dunia, 24% orang menguasai 13%
kekayaan dunia dan 66% tidak memiliki kekayaan sama sekali.
Untuk kasus di
Indonesia kondisinya lebih parah dari data dunia, bahkan banyak orang Indonesia
yang kekayaannya negatif.
Pertanyaan kritisnya
adalah mengapa republik melahirkan kelompok elitis dengan kekayaan melimpah dan
menimbulkan kesenjangan ekonomi yang sangat lebar? Hal ini terjadi karena republik
menawarkan konsep kebebasan memiliki.
Konsep kebebasan
memiliki secara faktual tak mampu melahirkan keadilan tetapi malah menghasilkan
konsentrasi kekayaan yang menumpuk pada kelompok elitis
kapitalis. Sumberdaya yang menguasai hajat hidup orang banyak pun dikuasai
oleh personal atau segelintir orang.
Dalam perkembangannya
kelompok elitis kapitalis ini kemudian mempengaruhi keputusan-keputusan politik
dan jadilah mereka menjadi para oligark. Para oligark dengan material power-nya menyediakan dana untuk
memenangi kontestasi politik republik.
Dalam konteks
Indonesia, perubahan orde baru ke orde reformasi tak mampu menghilangkan para
kapitalis oligark. Kapitalisme yang membentuk varian baru neoliberalisme
ternyata malah semakin “menggemukkan” para oligark dengan konsentrasi
kekayaannya.
Mereka tetap hidup dan
terus mengendalikan keputusan-keputusan politik republik di Indonesia. Cara
apapun akan dilakukan dengan kekayaan mereka.
Media akan
dikendalikan, lembaga survey akan dibayar mahal untuk membentuk opini dan tentu
kecurangan yang ditata rapi pun siap dilakukan. Semua itu tak lain untuk meraih
kekuasaan guna mempertahankan kekayaan dan menambah kekayaan.
Menurut Jefrey
A. Winters, oligarki di Indonesia memiliki sifat unik yaitu mengedepankan
ideologi “bagi-bagi” di antara segelintir kapitalis oligark. Mereka
memiliki prinsip “gotong-royong” dan “musyawarah mufakat” untuk berbagi
kekayaan Indonesia.
Para intelektual dan
akdemisi terus mencari cara agar oligarki hilang. Mereka terus berkreasi menata
prosedur republik untuk menghilangkan oligarki tetapi ternyata oligarki terus
muncul. Hal ini seperti menegakkan benang basah yang tak akan mungkin terjadi.
Mengapa sulit
diselesaikan hanya dengan menata prosedur republik?
Mari kita berpikir cerdas, republik menyediakan kebebasan memiliki yang diperlukan
oleh para kapitalis oligark.
Dan para
kapitalis oligark menyediakan uang untuk membiayai kontestasi politik republik
yang mahal. Republik dan kapitalisme akhirnya berkelindan membangun
lingkaran setan problematika sistemik, ruwet dan kusut yang sulit untuk
diselesaikan. Dalam arti lain republik sebenarnya sedang membunuh dirinya
sendiri.
Bagi siapa saja yang
mencintai tanah dan air negeri ini maka sudah saatnya berpikir untuk mengambil
pilihan meninggalkan republik.
Dan saatnya kita
campakkan sistem rusak ini, suatu sistem yang mengatasnamakan rakyat tetapi
nyatanya menindas rakyat, menipu rakyat dan mencurangi rakyat.
Republik dan
kapitalisme lahir dari prinsip sekulerisme, pemisahan agama dari
kehidupan. Oleh karena itu republik tak akan pernah memberi peluang untuk
diterapkannya syariah Islam secara kaffah.
Syariah Islam yang
diterima hanya syariah Islam yang dianggap bisa menambal sulam kebobrokan
sistem republik
dan kapitalisme.
Sedangkan syariah
Islam yang dianggap akan mengganggu eksistensi sekulerisme, republik dan
kapitalisme tak akan pernah diakomodir, bahkan akan dimonsterisasi.
Pejuang syariah Islam
pun akan dikriminalisasi. Pengalaman Akhina Mursi di Mesir dan FIS di Aljazair
menjadi bukti republik bukan untuk islam.
Dan tentu apa yang
dirasakan umat Islam di Indonesia akhir-akhir ini semakin menguatkan fakta ini.
Bacaan: Agung Wisnuwardana
Republik adalah sistem
negara yang menduduki puncak kekuasaan di dunia saat ini. Hampir seluruh negara
di dunia ini menerapkan sistem republik dalam menjalankan roda kehidupan
negaranya. Sistem yang tegak di atas asas “pemisahan agama dari kehidupan” ini
mampu menarik perhatian umat manusia dengan jargonnya “dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat.” Dalam republik, pemimpin Negara dipilih melalui
proses yang disebut pemilihan umum (pemilu).
Realitas sistem
republik yang memiliki banyak kecacatan semakin membingungkan masyarakat.
Apakah republik hari ini sedang dimodifikasi oleh kaum elit pemegang kekuasaan
atau memang hakikat republik seperti itu?
Tapi, yang
mengherankan adalah masih ada orang yang mengharap perubahan hakiki bisa
terjadi lewat pemilu, seolah-olah mata mereka tertutup dalam melihat fakta
rusak dari republik
dan sistem pemilihan umum. Masih banyak rakyat, terutama umat Islam, yang
kemudian sangat berharap kehidupan mereka berubah dari sistem rusak republik.
Mereka tidak menyadari bahwa di hadapan mereka ada sebuah ideologi yang
memiliki sistem tata negara yang jauh lebih baik dibandingkan republik. Itulah
Khilafah, sebuah sistem dari Islam.
Islam memberikan
solusi luar biasa yang berasal dari Allah Subhanahu
wa ta’ala. Pemimpin negara khilafah disebut khalifah. Khilafah dipilih
oleh rakyat tetapi tidak bisa dipecat oleh rakyat karena pemberhentian khalifah
dilakukan oleh Mahkamah Madzhalim disebabkan pelanggaran hukum syara’. Peraturan yang ditetapkan oleh hukum
yang berasal dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sehingga tidak
memungkin terjadinya kekacauan dalam pelaksanaannya karena hukum tersebut
adalah sempurna sifatnya. Tidak seperti hukum manusia yang ditetapkan dalam
republik yang sifatnya terbatas dan bisa menimbukan kekacauan. Sudah saatnya,
kita menjemput kebangkitan khilafah
yang akan menjalankan hukum Syara’.
Bacaan: Zainab Said
“ Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali
untuk mereka beribadah kepada-Ku ”. (TQS. Adz Dzariyat: 56).
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di
muka bumi.” (TQS. Al-Baqarah : 30).
"Dan sebenarnya Kami telah mendatangkan sebuah
Kitab (Al-Qur'ân) untuk mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar
pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang beriman ”.
(TQS. Al-A'râf : 52).
"Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur'an)
untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat untuk orang-orang
yang berserah diri". (TQS. An-Nahl: 89).
Jelas bukan? Bahwa
hanya Islam-lah SATU-SATUnya yang mampu menyelesaikan berbagai perkara
kehidupan setiap insan di muka bumi ini.
Lantas? Masihkah kita
berharap pada Republik ini? Sepertinya lebih pantas disebut Democrazy. Why?
Sebab terlalu banyak yang 'GILA' dalam sistem ini. Mulai dari gila harta dan
materi, gila wanita, dan yang lebih parah lagi adalah "gila
kedudukan". Berebut kursi pemerintahan? Adalah hal biasa dan sangat wajar.
So? Republik bukanlah harapan untuk
melindungi harkat dan martabat Umat, juga tak bisa diharapkan menjadi 'pusat
pemberhentian' segala macam problematika kehidupan masyarakat. Yuk Move
On
dari Republik! Hanya dengan Islam kita bisa wujudkan kebangkitan hakiki!
Bacaan: Zulfa Rasyida
Kepemimpinan zhalim,
khianat dan penuh dusta ini -ditambah proses melanggengkannya dengan curang-
diperoleh dari pemilu dalam sistem republik. Republik, menghalalkan siapapun
dan aspirasi apapun berkembang. Tetapi republik, tak pernah memberi ruang meskipun
hanya saru inchi, untuk menyemai dan menumbuhkan aspirasi umat Islam.
Jadi yang salah adalah
republiknya.
Problem utamanya
adalah republik itu sendiri yang menjadikan kedaulatan rakyat sebagai hukum
dalam teorinya, faktanya, kedaulatan kapital yang eksisting berkuasa.