Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 24 September 2019

Kisah Panglima Abdurrahman Al-Ghafiqi



Abdurrahman Al-Ghafiqi (Abdurrahman bin Abdullah bin Bisyr bin Sharim Al-Ghafiqi Al-Akki, Abu Sa’id) - Panglima Islam Penakluk Eropa 

Abdurrahman remaja merantau meninggalkan Yaman menuju Hijaz sambil membawa hati yang menggelorakan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, membawa jiwa yang menggerakkan vitalitas dan gairah muda, serta raga yang rindu untuk menuntut ilmu dan berjihad.

Di Madinah Al-Munawwarah, Allah mempersiapkan seorang guru besar untuknya yang pernah mendampingi Rasulullah ﷺ dan meraih kemuliaan berdampingan dengan beliau. Guru itu adalah Abdullah bin Umar bin Khathab

Sang murid kagum kepada gurunya; kagum pada ilmu, perilaku, hafalan, dan sifat wataknya, hingga ia selalu mendampingi gurunya laksana bayangan yang selalu mengikutinya. Ia selalu mengikuti sang guru di pagi maupun sore hari, juga mengikuti pelajaran-pelajaran yang ia sampaikan di Masjid Nabawi, mempelajari ilmu, menghafal, dan meneladaninya.

Sang guru tidak pelit pada muridnya, karena ia melihat kemuliaan dan kecerdasan di dalam diri si murid. Ia pun menuangkan seluruh ilmu, serta simpanan pemahaman dan pengetahuan yang ia miliki ke dalam wadah akal muridnya, hingga si murid remaja ini beranjak dewasa sebagai salah seorang tabi'in yang duduk bersila di baris depan.


Awal Perjalanan

Setelah sebab-sebab ilmu dan pemahaman terpenuhi, ditambah dengan semangat yang meluap, Abdurrahman Al-Ghafiqi langsung bergerak menuju medan-medan jihad di jalan Allah. Ia bergerak dengan membawa mushaf di hati dan pedang di tangan, seraya menazarkan diri untuk Allah SWT dan menantikan salah satu di antara dua kebaikan (hidup mulia atau mati syahid).

Kedatangan pertamanya adalah ke daratan Afrika, di mana para pasukan kemenangan bergerak menuju Andalusia. Di sana, ia menghabiskan beberapa waktu untuk meneliti dan menganalisa. Ia tidak ubahnya seperti seorang komandan pasukan yang mempelajari strategi sebelum berperang.

Menuju Damaskus

Abdurrahman Al-Ghafiqi kembali ke Damaskus setelah mengetahui segala hal tentang Afrika Utara dan Andalusia. Kemudian, ia menghubungi khalifah Sulaiman bin Abdul Malik yang melihatnya sosok panglima berpengalaman, ulama yang cerdas dan mulia, serta seorang mukmin yang tulus.

Selanjutnya, khalifah Sulaiman menjadikan Abdurrahman Al-Ghafiqi sebagai orang dekat dan orang kepercayaannya, lalu mengutusnya ke Andalusia.

Dari Sulaiman bin Abdul Malik hingga Umar bin Abdul Aziz

Umar bin Abdul Aziz memegang kendali khilafah setelah Sulaiman bin Abdul Malik. Ia mulai melakukan pembenahan di berbagai sektor yang ia anggap perlu.

Andalusia saat ini tidak lagi dipimpin Musa bin Nushair dan anaknya, Abdul Aziz bin Musa. Sebagai gantinya, Umar bin Abdul Aziz mengangkat pemimpin baru untuk Andalusia; Samah bin Malik Al-Khaulani. Ini terjadi pada tahun 100 H.

Saat Samah berada di negeri-negeri Andalusia, ia bermaksud mengangkat beberapa orang yang memiliki kemampuan mumpuni di bidang kepemimpinan militer dan administrasi, khususnya untuk menjabat tugas yang dibebankan Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Sebab, Amirul Mukminin memerintahkannya untuk membedakan wilayah-wilayah Andalusia; mana yang ditaklukkan secara paksa untuk dipungut pajaknya, serta mengirimkan penjelasan kepada Amirul Mukminin tentang seluk-beluk Andalusia seakan ia melihatnya secara langsung.

Samah bin Malik mulai bertanya-tanya, meminta penjelasan, meneliti, dan menguji. Di antara sederet pertanyaan yang ia kemukakan adalah, “Apakah masih ada seorang tabi'in?

Jawaban pun datang, “Ada seorang tabi'in mulia yang memiliki ilmu melimpah, perilaku lurus, dan reputasi yang baik. Ia pernah berguru kepada Abdullah bin Umar bin Khathab ra. Ia masih ada di antara kita. Ia adalah sosok yang masyhur, dan terkenal dengan kebaikannya. Ia adalah Abdurrahman Al-Ghafiqi Al-Ukki.”

Samah bin Malik memanggil Abdurrahman Al-Ghafiqi, berbincang dengannya, mengukur sejauh mana keahlian yang ia miliki, dan mengujinya. Dan ternyata, Samah melihat dirinya jauh lebih mumpuni daripada cerita yang beredar tentangnya.

Amir Samah bin Malik merasa senang dengan apa yang ia lihat dan dengar. Lalu, ia menawarkan kepada Abdurrahman untuk mengurus pekerjaan besar dan penting di antara sekian proyek di Andalusia. Namun, Abdurrahman menolak dengan halus. Ia mengatakan di hadapan Samah bahwa ia datang ke Andalusia semata sebagai seorang pejuang dan mujahid, mencari ridha Allah, tidak ingin mengincar jabatan ataupun kekuasaan, dan ia berjanji akan lebih patuh dan menurut kepada Samah melebihi bayangannya sendiri.

Salah Satu Orang Kepercayaan Gubernur Samah

Samah bin Malik membenarkan kata-kata Abdurrahman, dan ia ridha padanya. Namun, Samah menjadikan Abdurrahman sebagai salah satu orang dekatnya. Samah selalu meminta saran dan dukungan darinya, tidak menuturkan suatu perintah pun sebelum mendengar pendapatnya, khususnya terkait medan perang. Sebab, Abdurrahman adalah sosok pemberani, ahli dalam mengatur dan merancang strategi perang yang sudah terbukti di sejumlah peperangan.

Samah dan Penaklukan

Samah bin Malik ingin mewujudkan mimpi panglima besar Musa bin Nushair yang lebih dulu meninggal dunia sebelum berhasil mewujudkannya, yaitu menghubungkan Daulah Islam yang ada di timur dan di barat melalui Roma, serta menaklukkan Konstantinopel melalui benua Eropa, sehingga terwujudlah pemberitaan (nubuwah) Rasulullah ﷺ.

Menuju Perancis

Tujuan pertama Samah bin Malik adalah Perancis.

Samah bin Malik membuat persiapan matang, menghimpun kekuatan, lalu berangkat dengan berkah Allah melintasi pegunungan Pyrenia; gunung yang paling sulit dilalui dan sangat tinggi. Di balik gunung ini -tepatnya di kaki gunung Pyrenia- terdapat kota pertama Perancis, yaitu Narbonne. Kota ini sangat kokoh dan tangguh bagi para ambisius yang ingin menaklukkannya, serta sulit dikalahkan oleh para pejuang, sehingga mereka meninggalkan kota tersebut tanpa berhasil meraih kemenangan.

Samah bin Malik tiba di kota Narbonne, lalu mengepungnya bersama seluruh pasukan. Ia berusaha mempersulit penduduknya, membidik benteng-bentengnya dengan manjaniq, dan menekannya dengan serangan-serangan beruntun. Setelah empat pekan pengepungan, akhirnya kota Narbonne takluk di tangan kaum muslimin. Mereka memasuki kota itu sebagai pemenang seraya membaca tahlil dan takbir.

Abdurrahman Al-Ghafiqi menunjukkan beragam keberanian dan keahlian dalam mengatur strategi penyerangan hingga menarik perhatian. Hal ini membuat kedudukannya semakin tinggi di mata Samah dan seluruh pasukan.

Meski Tidak Ada Amir!

Pasukan Islam pemenang terus melaju menuju tanah-tanah Perancis ke arah Toulouse (Toulouse adalah sebuah kota di barat daya Perancis di tepi Sungai Garonne, di tengah jarak antara Samudra Atlantik dan Laut Mediterania), ibu kota wilayah Aquitaine (Aquitaine adalah sebuah region di Perancis bagian barat daya. Aquitaine terletak di Pegunungan Pyrenia, berbatasan dengan Samudra Atlantik dan Spanyol) di pesisir selatan Perancis. Setelah tiba di sana, mereka mengepung kota tersebut, membidikkan “peluru-peluru” manjaniq ke arahnya yang meruntuhkan benteng dan menara-menara kota, serta meruntuhkan para prajurit yang ada di atasnya.

Kota yang terletak di Perancis ini nyaris mengalami kekalahan telak. Akan tetapi, sesuatu yang tidak diduga terjadi, juga berdasarkan takdir Allah dalam ilmu dan putusan-Nya.

Penguasa kota tersebut meminta bantuan kepada para pemimpin dan penguasa seluruh negeri-negeri Eropa, hingga mereka semua berdatangan membawa pasukan masing-masing yang memenuhi seluruh lembah dan dataran rendah, sampai-sampai kepulan debu di kaki mereka dan juga kaki-kaki kuda mereka membumbung tinggi ke awan hingga menutupi cahaya matahari di seluruh wilayah Rhone.

Pasukan yang datang bertemu pasukan muslimin di luar kota. Pasukan Allah tetap kokoh bertahan sekokoh gunung-gunung nan tinggi menjulang berkat kesabaran, iman, dan pengorbanan yang diilhamkan kepada mereka.

Anak panah musuh bersarang tepat di dada Samah bin Malik, hingga ia mati syahid. Sebelum jatuh dari kudanya, ia terus berpindah di antara kelompok-kelompok pasukan, mendorong semangat mereka untuk berperang, dan mengawasi posisi mereka di kanan, kiri, tengah, dan depan.

Para pasukan melihat panglima mereka roboh, hingga putus asa merayap masuk ke dalam hati mereka, rasa takut mendera ke dalam jiwa, melemahkan kekuatan mereka, barisan mereka kacau, dan kekalahan tragis sudah terlihat di ufuk, tepat di atas kepala mereka.

Andai saja mereka tidak mendapat perhatian Allah, niscaya mereka akan mengalami pembantaian. Perhatian Allah dengan memunculkan seorang panglima pemberani dan berpengalaman. Ia adalah Abdurrahman Al-Ghafiqi. Ia mengeluarkan perintah untuk siap-siap menarik diri dengan kerugian sekecil mungkin dan dengan segera, tanpa ragu ataupun malu.

Meski tanpa amir, Abdurrahman Al-Ghafiqi mampu menarik pasukan muslimin ke Andalusia tanpa kekalahan telak ataupun pembantaian menyeluruh.

Seluruh pasukan tahu betul kepribadian panglima Abdurrahman, sehingga mereka bersatu di sekelilingnya, hati dan jiwa mereka kembali merasa sedikit tenang saat ia menarik mereka mundur secara perlahan dari medan perang, meski harus menahan luka mendalam karena Samah gugur dan kekalahan yang menimpa. Inilah kekalahan pertama yang mereka alami sejak mereka menginjakkan kaki di tanah Andalusia.

Amir-Gubernur

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Abdurrahman sama sekali tidak mengincar kekuasaan. Namun, ternyata pasukan mengusulkannya. Begitu tiba di Andalusia, datang surat dari khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berisi penetapan Abdurrahman Al-Ghafiqi untuk memimpin Andalusia dan wilayah-wilayah Perancis yang berhasil dikuasai kaum muslimin. Umar bin Abdul Aziz memberikan kebebasan kepada Abdurrahman untuk membenahi segala hal.

Direktur Sekaligus Politikus

Pikiran Abdurrahman Al-Ghafiqi terlebih dahulu mengarah untuk mengembalikan kepercayaan diri para prajurit, mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, bersiap untuk menuntut balas, dan meneruskan gerakan penaklukan.

Itulah tugas yang menjadi kesibukan utamanya karena guncangan yang menimpa pasukan begitu menyakitkan dan berat. Belum pernah mereka mengalami hal seperti itu sebelumnya. Sepanjang waktu tanpa henti, ia berupaya untuk menghilangkan bekas-bekas kekalahan tersebut di hati mereka dengan mengasah iman di dalam ruhani mereka dan selalu mengingatkan mereka pada pertolongan Allah.

Selain itu, Abdurrahman juga memikirkan pembenahan sosial untuk membangun basis yang benar sebagai titik tolak. Sebab, umat yang mentalitasnya jatuh, yang bangunan jiwa dan komunikasinya runtuh, adalah umat yang tidak baik.

Untuk pekerjaan ini, ia harus blusukan ke berbagai penjuru negeri dari ujung ke ujung, meluruskan yang bengkok, menata yang berserakan, dan membenahi yang rusak.

Ia menyerukan di tengah-tengah khalayak, “Siapa yang pernah dizhalimi seorang penguasa, hakim, atau siapa saja, silakan melapor ke amir. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara kaum muslimin ataupun yang lain dari kalangan ahli-dzimmah.”

Ia sendiri yang menangani segala pengaduan dan perlakuan zhalim, membalas orang berbuat zalim untuk pihak yang dizalimi, dan meluruskan neraca keadilan.

Di antara pekerjaan paling menonjol yang ia lakukan adalah memeriksa kasus gereja-gereja yang dirampas dan juga gereja-gereja yang baru dibangun. Ia kembali menerapkan seluruh isi perjanjian kepada pihak-pihak terkait dan meruntuhkan gereja-gereja yang dibangun melalui jalur suap.

Ia juga menginterogasi para pemimpin seluruh wilayah, selanjutnya mempertahankan siapa di antara mereka yang terbukti berperilaku baik pada jabatannya, dan mencopot serta mengganti pemimpin yang lemah atau menyimpang dengan orang tepercaya dan punya keahlian.

Selain itu, ia mengurus pembangunan infrastruktur negara, seperti membuat jembatan-jembatan di atas lembah dan jalan-jalan pegunungan. Hal ini berfungsi untuk mempermudah mobilitas rakyat dalam persoalan penghidupan dan juga gerakan pasukan. Ia juga memperkuat benteng-benteng dan tembok pertahanan, menempatkan pasukan-pasukan penjaga di sana, terlebih yang berada di wilayah-wilayah perbatasan agar dapat mencegah

serangan-serangan musuh.

Penyelidikan yang ia lakukan terkait persoalan warga negara tidak hanya sebatas di kalangan kaum muslimin, tapi ia juga mengumpulkan para pemuka agama dan dunia dari kalangan ahli dzimmah, karena mereka juga rakyat Daulah Islamiyah, dan mereka punya perjanjian.

Perhatian di bidang jaminan basis kerakyatan menjadi tujuan utamanya sebagai kesiapan untuk perang menuntut balas, mengembalikan wibawa, memerban luka, dan gerakan besar penaklukan. Untuk tujuan ini, ia menghabiskan waktu hampir dua tahun lamanya.

Mata yang Selalu Terjaga

Mata Abdurrahman Al-Ghafiqi yang selalu terjaga untuk mengawasi segala persoalan internal negara tidak pernah melalaikan pergerakan musuh di luar. Ia menyebar sejumlah mata-mata untuk mengawasi segala pergerakan musuh, untuk selanjutnya dilaporkan kepadanya secara detil dan jujur.

Suatu ketika, Abdurrahman memanggil salah seorang tokoh mu'ahid (orang kafir yang menjalin perjanjian damai) dari salah satu wilayah Perancis. Ia berbincang panjang lebar dengan orang mu'ahid tersebut terkait segala hal hingga si tamu merasa nyaman. Setelah itu, Abdurrahman tiba-tiba bertanya,

“Mengapa raja terbesar kalian, Charles Martel, tidak memerangi kami, padahal tidak ada gencatan senjata ataupun perjanjian di antara kami, selain itu ia sudah menghimpun pasukan besar dari berbagai belahan negeri Eropa? Mengapa…?”

Si tamu menjawab, “Wahai amir! Karena kau telah memenuhi tanggung jawab dan janji kepada kami, maka kau berhak untuk mendapat jawaban yang benar dari kami untuk semua pertanyaan yang kau ajukan. Panglima besar kalian, Musa bin Nushair, telah berhasil menguasai Spanyol dan Portugal, lalu ia ingin melintasi pegunungan Pyrenia yang memisahkan antara Andalusia dan Perancis untuk menjajah negeri-negeri kami, hingga para pemimpin berbagai wilayah dan tokoh agama menemui Charles Martel, lalu mereka berkata padanya, 'Kehinaan dan aib semacam apa yang menimpa kita dan anak cucu kita, yang akan menjadi cela untuk selamanya ini? Sebelumnya kita sudah mendengar tentang kaum muslimin dan kita tidak peduli. Kita juga membendung serangan-serangan silih berganti yang mereka lancarkan kepada kita dari timur dari arah Konstantinopel, dan kita berhasil memukul mundur mereka. Namun, kali ini mereka datang kepada kita dari arah yang tidak kita duga. Mereka datang dari arah barat, memperkuat posisi di Spanyol, menguasai seluruh harta dan simpanan yang ada di sana, membangun berbagai tembok penghalang dan benteng, serta membuka jalan penaklukan seluas-luasnya. Bagaimana ini bisa terjadi, padahal jumlah mereka hanya sedikit, persenjataan mereka rapuh, dan mereka adalah orang-orang rendah di mata bangsa-bangsa yang berperadaban? Bagaimana ini? Bagaimana ini?’

Charles Martel menjawab, ‘Apa yang kalian pikirkan saat ini sudah aku pikirkan sejak lama. Lama sekali aku memikirkan hal ini. Menurutku, kita jangan membendung gerakan mereka untuk saat ini, karena mereka ibarat air bah yang mengalir begitu deras, menghanyutkan apa pun yang menghadang, bahkan mencabut hingga ke akar-akarnya, lalu melemparkannya ke mana saja seperti yang diinginkan. Dalam keyakinan yang mereka anut, mereka lebih kuat dan lebih kokoh dari seluruh benteng dan tembok penghalang, lebih kuat dari baju besi, tombak, dan semua senjata. Berilah mereka waktu sampai beberapa lama hingga tangan mereka dipenuhi rampasan perang, hingga mereka condong pada istana dan rumah, memiliki pelayan dan pembantu, serta saling bersaing memperebutkan dunia dengan segala harta benda dan perhiasannya. Saat mereka dalam kondisi seperti itulah -hanya saat seperti itu- kalian bisa mengalahkan mereka’.” (Daulatul Islam fil Andalus, Muhammad Abdullah Annan (I/84)

Abdurrahman Al-Ghafiqi menarik nafas panjang yang menyimpan segala rasa sakit dan kesedihannya. Kemudian, ia berdiri sambil berkata, “Mari (kita) shalat karena sudah tiba waktunya. Kita memohon keselamatan kepada Allah.”

***

Inilah pekerjaan dan persiapan pada masa kekuasaan kedua Abdurrahman Al-Ghafiqi, gubernur Andalusia. Sementara masa kekuasaan pertama sudah kita ketahui situasinya, yaitu setelah gugurnya Samah bin Malik dalam perang Toulouse.

Awalnya Abdurrahman Al-Ghafiqi melalui masa selama sepuluh tahun di Andalusia. Selama itu, ia hanya seorang panglima biasa (tahun 103-113 H), dan sudah ada beberapa orang sebelumnya yang menjabat kedudukan gubernur, tapi jarang sekali pasukan-pasukan bergerak menuju sasaran penaklukan, di samping kekacuan dan kelemahan saat itu menyebar luas. Hingga tibalah masa khalafah Hisyam bin Abdul Malik yang mengeluarkan dekrit untuk mengembalikan Abdurrahman ke kekuasaan lagi.

Para ahli sejarah menyatakan bahwa Abdurrahman Al-Ghafiqi adalah seorang prajurit besar, pemimpin yang mumpuni dan ahli dalam segala persoalan kekuasaan dan administrasi, reformis besar yang memiliki keinginan untuk memperbaiki, bahkan tanpa diragukan ia adalah pemimpin Andalusia terbesar dan paling kuat. (Nafhuth Thib (I/129)

Menuju Penaklukan

Abdurrahman Al-Ghafiqi tidak lupa pada janjinya kepada Allah sejak ia tiba di Andalusia, sejak kedua kakinya berjalan menginjak tanah negeri tersebut, bahwa ia akan terus bersiaga di jalan Allah sepanjang hidupnya. Bagaimana bisa seorang mukmin yang tulus lupa pada janjinya?!

Ia juga tidak lupa pada janjinya terhadap Samah bin Malik untuk menuntut balas terhadap musuh atas kematiannya.

Setelah melengkapi seluruh persiapan, memastikan kondisi internal sudah kondusif dan kuat, ia menyerukan kepada khalayak, “Mari (kita) berjihad...!”

Ia meminta bantuan pasukan dari pemimpin di Afrika. Pemimpin di Afrika memberinya bantuan pasukan. Ia juga mengirim utusan kepada pemimpin wilayah perbatasan, Utsman bin Abu Nas'ah, berisi perintah untuk menyibukkan musuh dengan serangan-serangan sampai ia datang kepadanya.

Namun masih ada cela yang potensial berbahaya, yaitu Ibnu Abi Nas’ah. Dia adalah seorang amir yang memiliki keinginan hina dan mengidap penyakit dengki. Ditambah lagi, ia pernah menawan putri Duke of Aquitaine (pemimpin kerajaan Aquitaine) lalu menikahinya. Wanita tersebut sangat cantik jelita dan juga cerdik. Hingga akhirnya ia mampu mempengaruhi Ibnu Abi Nas’ah secara penuh, karena ia telah memperdaya akal si amir ini. Sampai-sampai, Ibnu Abi Nas'ah bersedia mengikat perjanjian dengan ayahnya, lalu berdamai dan memberikan jaminan aman padanya.

Ketika perintah Amir Abdurrahman datang agar ia ikut bergerak dan berperang, ia bingung tidak tahu harus berbuat apa. Istrinya merayu agar ia menolak perintah tersebut. Ia pun menuruti apa kata istrinya, lalu mengirim surat kepada Abdurrahman, mengatakan bahwa ia tidak bisa melanggar perjanjiannya dengan Duke of Aquitaine hingga batas waktunya berakhir.

Abdurrahman Al-Ghafiqi marah besar kepada Ibnu Abi Nas’ah, karena terlalu menganggap enteng. Selanjutnya, Abdurrahman mengirim satuan pasukan berkuda yang paling tangguh dan teguh. Ia memerintahkan mereka agar mendatangi si pengkhianat itu dan membawanya dalam kondisi hidup ataupun mati. Si pengkhianat ini diketahui telah mengirim surat kepada Duke of Aquitaine dan mengingatkan kepadanya bahwa Abdurrahman akan datang kepadanya.

Saat merasa bahaya mengancam, Ibnu Abi Nas'ah melarikan diri bersama Pasukan berkuda dan istrinya. Mereka berlindung di puncak gunung. Pasukan berkuda Abdurrahman mengejarnya hingga terjadi peperangan sengit antara kedua kubu. Namun, pada akhirnya si pengkhianat ini terkapar tak bernyawa. Kepalanya dipenggal, lalu dibawa ke hadapan Abdurrahman.

Istrinya yang cantik (Mennen putri Odo) turut bersamanya. Kemudian, Abdurrahman mengirimnya kepada khalifah Hisyam bin Abdul Malik di Damaskus dengan pengawalan ketat.

Seperti itulah, Abdurrahman berhasil menutup celah perbatasan tersebut dan melindungi dirinya dari bahaya yang mengancam. Pada malam harinya, ia mempersiapkan diri untuk perang suci. Seiring datangnya tahun 113 H, Abdurrahman bergerak bersama pasukannya dari Andalusia menuju Perancis.

Namun, tragedi perang Uhud kembali terulang pada perang Bilathus Syuhada' (Battle of Tours). Bagaimana hal itu terjadi?

Keberangkatan Besar-Besaran

Abdurrahman pergi bersama pasukannya yang berjumlah lebih dari seratus ribu prajurit pemberani menuju utara dengan sasaran wilayah Aquitaine tempat musuh bebuyutannya, Eudo Duke of Aquitaine.

Odo penguasa Aquitaine mendengar berita keberangkatan pasukan Abdurrahman Al-Ghafiqi, ia pun mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Ia khawatir jika nasibnya akan menjadi seperti salah satu di antara keduanya. Akhirnya, ia memperkuat pertahanan, mempersiapkan diri, dan menghimpun pasukan sebanyak mungkin.

Abdurrahman Al-Ghafiqi melalui wilayah Aragon dan Navarra. Ia melaju turun dengan begitu deras laksana air bah yang turun dari atas pegunungan Pyrenia melalui jalur Pamplona (Pamplona merupakan kota yang terletak di sebelah utara Spanyol), hingga memasuki tanah-tanah Perancis pada musim semi tahun 114 H. Sasaran pertamanya adalah kota Arles (Aral, Arles merupakan nama kota di Perancis yang letaknya di bagian selatan) yang terletak di sungai Rhone, karena kota ini berkhianat dan melanggar janji untuk membayar jizyah setelah gugurnya Samah bin Malik di Toulouse. Abdurrahman bermaksud memberi pelajaran dan menundukkan kota tersebut. 

Saat tiba di sana, Abdurrahman mendapati Eudo Duke of Aquitaine telah siap untuk menghadapi dan menghadangnya, hingga pertempuran besar terjadi di antara kedua kubu. Duke menuai kekalahan dan melarikan diri dari medan perang bersama sisa-sisa pasukan dan kekuatannya. Abdurrahman memasuki kota Arles, menguasainya, dan mendapatkan rampasan perang yang tak terhitung jumlahnya.

Setelah itu, Abdurrahman bergerak ke arah Barat, menyeberangi sungai Garonne (Garonne adalah sebuah sungai di barat daya Perancis dan utara Spanyol, dengan panjang 575 km), dan pasukan Islam pemenang ini menyebar ke berbagai wilayah Aquitaine dan mencapai kemenangan demi kemenangan. Akhirnya, Duke of Aquitaine mengumpulkan pasukan dan berusaha untuk kembali membendung serangan Abdurrahman. Namun, tidak lama setelah itu ia mengalami kekalahan telak.

Izidor Al-Baji (ahli sejarah kebangsaan Spanyol) berkata, “Hanya Allah yang tahu berapa banyak kaum Nasrani yang terbunuh dalam peperangan itu.”

Abdurrahman berhasil menguasai kota Bordeaux (Bordeaux adalah kota pelabuhan di Perancis bagian barat daya. Dia adalah ibu kota region Aquitaine, dan juga prefektur departement Gironde. Penduduknya dipanggil Bordelais) setelah pengepungan singkat. Eudo Duke of Aquitaine melarikan diri tanpa kembali lagi, sehingga Wilayah Aqutaine berhasil ditaklukkan secara keseluruhan.

Setelah itu, Abdurrahman bergerak menuju sungai Rhone, lalu melintasi Bourgogne, menguasai Lyon dan Besancon. Bahkan, pasukan-pasukan perintis Abdurrahman sudah tiba di kota Sens yang hanya berjarak 100 mil dari Paris.

Seluruh Wilayah ini bisa dibilang separuh Wilayah Perancis selatan. Seluruhnya berhasil dikuasai Abdurrahman dalam waktu singkat; selama beberapa bulan saja.

Sejarawan Edward Gibbon (sejarawan berkebangsaan Inggris) menuturkan, “Garis kemenangan membentang sejauh 1000 mil dari bukit Gibraltar hingga tepi sungai Loire (sungai terpanjang di Perancis). Pergerakan sejauh ini nyaris membawa orang-orang Arab hingga ke perbatasan Bologna dan dataran tinggi Skotlandia. Sebab, sungai Rhein tidak lebih kuat dari sungai Nil dan Eufrat, dan armada Arab bisa saja mencapai hulu sungai Thames tanpa peperangan. Bahkan mungkin saja hukum-hukum Al-Qur'an saat ini diajarkan di institut-institut Oxford, dan mungkin mimbar-mimbarnya mendukung Muhammad ﷺ, memercayai wahyu dan risalah yang beliau bawa!"

Itulah gambaran pergerakan AbdurrahmanAl-Ghafiqi di mata orang-orang Barat dan bayangan refleksi pada masa sejarah tersebut.

Mobilisasi Besar-Besaran di Eropa

Mobilisasi besar-besaran terjadi di seluruh negara-negara Eropa untuk membangkitkan semangat semua orang guna membendung gelombang topan Islam yang tengah bergerak. Hingga akhirnya, terhimpun banyak orang di sana-sini di bawah komando Charl Martel. Tanda-tanda perang besar yang belum pernah disaksikan sejarah sebelumnya, mulai tampak di ufuk.

***

Pasukan besar Charl Martel adalah campuran dari berbagai kabilah Jerman yang liar dan berbagai kelompok bayaran Eropa. Sebagian besar di antara mereka bukan pasukan reguler, setengah telanjang, mengenakan kulit serigala, rambut ikal mereka terjuntai hingga di atas pundak yang tidak tertutup pakaian.

Pertemuan

Para ahli sejarah menuturkan tentang pertemuan antara Abdurrahman Al-Ghafiqi dan Charl Martel. Mereka berkata, “Pasukan Islam dalam pergerakannya sampai di tanah datar yang membentang luas di antara kota Poitiers dan Tours. Kaum muslimin berhasil menguasai dua kota tersebut, lalu mereka mengeluarkan seluruh harta simpanan gereja, istana, dan biara.

Charl Martel tiba lebih dulu di sungai Loire. Pasukan muslimin tidak menyadari hingga tiba-tiba Charl Martel berada di hadapan mereka dengan pasukan besar. Abdurrahman memperkirakan bahaya kumpulan pasukan besar-besaran barat ini, lalu ia mundur ke tanah luas yang terletak di antara Poitiers dan Tours, dan berkemah di sana.

Pasukan Islam merasa cemas dan takut, karena perpecahan melanda di antara kabilah-kabilah Barbar yang mengisi sebagian besar komposisi pasukan.

Kabilah-kabilah ini ingin menarik diri untuk menyelamatkan rampasan-rampasan perang yang begitu besar dan banyak.

Pasukan muslimin -kenyataannya- memilih kekayaan-kekayaan Perancis selatan dalam perjalanan mereka. Mereka merebut harta-harta simpanan biara dan gereja-gereja Perancis, hingga mereka membawa harta simpanan, rampasan perang, dan tawanan dalam jumlah yang tak terhitung.

Barang-barang berharga ini memicu celah di tengah-tengah barisan kaum muslimin dan menimbulkan banyak pertikaian.

Abdurrahman memperkirakan bahaya harta-harta rampasan itu bagi pasukan dan persiapan yang telah ia jalani. Ia berusaha -tanpa hasil- mendorong mereka untuk meninggalkan sebagian dari harta-harta tersebut agar sedikit ringan membawanya. Namun, mereka begitu tamak untuk mendapatkannya.

Abdurrahman tidak memaksa untuk meninggalkan harta-harta itu, karena khawatir mereka membangkang. Namun demikian, Abdurrahman bertekad untuk mengarungi peperangan dengan tekad kuat. Ia merancang strategi perang, dan bersiap-siap untuk itu.”

Dari Perang Uhud Hingga Pertempuran Balâthu Asy-Syuhada' (Tanah Para Syuhada)

Seperti halnya rampasan perang pasukan Quraisy saat perang Uhud menyebabkan pasukan pemanah rneninggalkan posisi, dan pelanggaran yang mereka lakukan terhadap instruksi-instruksi Rasulullah ﷺ menjadi sebab kekalahan dan mengubah neraca peperangan, seperti itu juga perkemahan tempat rampasan perang ketika pasukan muslimin di bawah komando Abdurrahman Al-Ghafiqi melawan pasukan Eropa di bawah komando Charl Martel menjadi penyebab petaka menyakitkan dan kekalahan pahit. 

Pertempuran dimulai. Peristiwa ini terjadi pada akhir-akhir bulan Sya'ban tahun 114 H. Peperangan di antara kedua kubu terus berlanjut selama tujuh hari tanpa satu pihak pun yang meraih kemenangan.

Pada hari kedelapan, serangan umum terjadi yang melibatkan seluruh kekuatan kedua kubu pasukan. Perang kian sengit hingga malam tiba dan kedua pasukan dipisahkan oleh kegelapan.

Seiring fajar hari berikutnya, peperangan dilanjutkan kembali secara lebih ganas, hingga kelelahan berat tampak pada kubu pasukan Charl Martel, tanda-tanda kemenangan Islam mulai tampak, dan sisi timbangan pasukan Abdurrahman lebih berat.

Tiba-tiba, terdengar suara yang mengatakan bahwa perkemahan tempat harta rampasan perang nyaris jatuh ke tangan musuh. Hal ini menyebabkan sebagian besar pasukan berkuda meninggalkan inti pertempuran ke baris belakang untuk menjaga rampasan perang. Akhirnya, terbuka celah besar di tengah barisan kaum muslimin, kekuatan mereka melemah, dan laju serangan mereka berubah menjadi gerakan mundur.

Upaya panglima Abdurrahman untuk mengembalikan formasi barisan kekuatan dan pasukan, serta usaha untuk meredakan rasa takut pasukannya tidak membuahkan hasil.

Ketika ia beralih ke sana-kemari dengan mengendarai kuda, ia terkena anak panah tepat di dada hingga jatuh terkapar di tanah dan menghembuskan nafas terakhir sebagai syahid di jalan Allah.

Pasukan muslimin kembali di tengah kegelapan malam dengan meninggalkan jejak-jejak peperangan terbesar dan paling krusial dalam sejarah penaklukan Andalusia, meninggalkan seluruh rampasan perang dan para syuhada.

Pertempuran ini dikenal sebagai Perang Balâtu Asy-Syuhada' (tanah para syuhada), atau Battle of Tours and Poitiers.

***

Semoga Allah merahmati seorang tabi'in mulia, panglima penakluk Abdurrahman Al-Ghafiqi, dan menempatkannya di Firdaus tertinggi; kedudukan dan tempat tertinggi.

Bacaan:

Senin, 16 September 2019

Kisah Panglima Islam YUSUF BIN TASYAFIN



YUSUF BIN TASYAFIN - Panglima Islam Penakluk Maghrib dan Andalusia

Kita masih melalui sejarah eksistensi Islam di Andalusia, eksistensi yang berlangsung lama hingga 9 abad lebih, meninggalkan banyak jejak peradaban yang hingga kini masih tegak berdiri dan menjadi saksi akan kebesaran dan keindahan eksistensi itu.

Pahlawan kita, Yusuf bin Tasyafin, punya andil dan pengaruh besar terhadap eksistensi itu.

Lantas siapakah dia? Bagaimana ia tumbuh berkembang? Dari mana ia datang? Apa yang ia lakukan? Perang apakah yang membuatnya layak berada di jajaran pahlawan-pahlawan Islam penakluk? Apakah Andalusia perlu ditaklukkan lagi? Kapan itu terjadi?

Kita kaum muslimin saat ini sangat memerlukan kepemimpinan yang mempersatukan kita, menata kembali segala bentuk penyimpangan kita yang menjauh dari Islam, menata umat Islam kita sesuai ajaran-ajaran Islam, yang menunjukkan jalan kebenaran, yang akan membawa kita ke ufuk-ufuk pengetahuan agar kita tidak menjadi mangsa bagi bangsa-bangsa lain atau mengekor mereka.

Sama sekali tidak diragukan bahwa syariat Allah adalah jalan lurus dan perahu penyelamat.

Juga tidak diragukan sedikitpun bahwa kepemimpinan yang diharapkan adalah faktor utama untuk mengembalikan kebangkitan umat.

Benar kata orang, “Kaum muslimin menuju kebaikan, tapi kelemahan terletak pada kepemimpinan.”

Islam dan Kabilah-Kabilah Barbar

Sejak awal penaklukan Islam di Afrika Utara, sejak masa Uqbah bin Nafi’ ra. hingga masa Musa bin Nashir, para penakluk menghadapi beban berat kebuasan dan perilaku kasar kabilah-kabilah Barbar selama kurang lebih 70 tahun. Hingga akhirnya mereka dapat dirangkul dalam pelukan Islam dan Allah membuka hati mereka, lalu mereka bergabung di bawah panji Islam sebagai prajurit-prajurit tangguh yang mengangkat panji Islam dan menyebarkan kalimat tauhid.

Sebagian besar di antara mereka pergi ke Andalusia bersama Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad, sehingga mereka adalah prajurit-prajurit terdepan dan pasukan yang tidak pernah melarikan diri untuk menghadapi musuh. Mereka ini menetap di wilayah-Wilayah Andalusia dan berkembang-biak, sehingga mereka memiliki kedudukan tersendiri. Kekacauan fanatisme kabilah yang tidak pernah mereda dan tidak bisa dipadamkan terkadang membuat mereka bergejolak.

Hanya saja, sekelompok dari kabilah-kabilah Barbar justru bergerak ke Afrika Utara bagian Selatan hingga ke padang pasir besar yang terbentang di antara Mauritania hingga Sudan. Di sanalah penghidupan dan kehidupan mereka berada, laksana badui nomaden. Cara hidup seperti inilah yang mungkin membuat sebagian ahli sejarah cenderung meyakini bahwa asal usul kabilah-kabilah ini adalah bangsa Arab yang pergi meninggalkan semenanjung Arab dalam gelombang-gelombang imigrasi. Meski memeluk Islam, mereka tetap berpegangan pada tradisi dan kebiasaan-kebiasaan jahiliah yang masih tumbuh berkembang dan banyak penyimpangannya. Sebab, mereka ini jauh dan terputus dari sumber-sumber ilmu pengetahuan.

Murabithun

Hanya saja, sekelompok orang di antara mereka ada yang menjalin hubungan dengan Mesir dan ulama-ulama setempat di tengah perjalanan menuju tanah suci untuk melaksanakan kewajiban haji. Sehingga mereka mengetahui bahwa kaum mereka jauh dari ajaran-ajaran Islam yang benar.

Saat pulang kampung, mereka menyampaikan kepada orang-orang apa yang mereka pelajari, menyeru untuk meninggalkan segala bentuk penyimpangan, dan mendirikan sekolah untuk mereka yang fokus menjalankan tugas memberikan nasihat, bimbingan, dan dakwah.

Mereka mulai berkomunikasi dengan pusat-pusat ilmu di Afrika Utara, seperti Kairouan dan kota-kota lainnya. Mereka aktif dalam hal ini.

Di antara mereka, muncul seseorang bernama Abdullah bin Yasin yang memegang kendali agama dan keilmuan. Ia adalah sosok yang wara’, faqih dan sangat pencemburu terhadap ajaran-ajaran Islam. Ia pernah berkunjung ke Andalusia dan menetap di sana selama beberapa tahun. Di sana, kepribadian Abdullah bin Yasin mengkristal. Ilmu, semangat, dan kegigihannya semakin meningkat.

Ia seorang orator berbakat dan sangat berpengaruh. Namun, karena keras dalam menyampaikan dakwah, banyak orang yang meninggalkannya. Akhirnya, ia meninggalkan mereka dan kembali ke sekolahnya bersama beberapa sahabatnya. Hanya saja, ia tidak lama mengucilkan diri, karena banyak orang berdatangan ke tempatnya, belajar kepadanya, dan tinggal bersamanya.

Dari Nasehat dan Bimbingan, Menuju Jihad

Pengikutnya kian banyak, dan kekuasaannya kian luas, hingga akhirnya ia membentuk dewan syura. Tidak lama setelah itu, ia menggunakan pedang dalam berdakwah dan bukan lagi dengan kata-kata. Sebab, untaian kata-kata tidak membawa guna dan membuahkan hasil. Kekuatan-kekuatan bersenjata penuh dengan iman tulus dan tekad kuat akhirnya terbentuk.

Komando kekuatan pasukan ia serahkan kepada salah seorang amir di antara para pengikutnya. Ia bernama Yahya bin Umar. Ia seorang pemberani, wara’, zuhud, dan patuh sepenuhnya kepada sang guru, Abdullah bin Yasin.

Kekuatan-kekuatan Murabithun bergerak dengan menyampaikan dakwah kepada para pemimpin sejumlah wilayah yang terusik oleh kondisi rakyatnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 445 H.

Murabithun bergerak meninggalkan padang pasir dengan menunggangi kuda dalam kelompok besar dipimpin syekh Abdullah bin Yasin dan panglima perang, amir Yahya bin Umar. Mereka pergi dari satu wilayah ke wilayah lain, menguasai dan mengembalikannya ke pangkuan Islam dengan mendirikan sejumlah madrasah dan masjid, serta menunjuk orang yang memiliki kemampuan untuk menata dan mengajar.

Mereka tetap berkelana ke berbagai penjuru, tidak ada penghalang yang mampu menghadang laju mereka, hingga pada tahun 447 H panglima Yahya bin Umar meninggal dunia. Lalu, syekh Abdullah bin Yasin menunjuk saudaranya, Abu Bakar bin Umar sebagai pengganti. Ia adalah seorang panglima pemberani yang tidak kalah mumpuni dari saudaranya.

Yusuf bin Tasyafin

Untuk pertama kalinya, nama Yusuf muncul di pentas peristiwa karena ia ditunjuk oleh panglima baru, Abu Bakar, untuk memimpin pasukan perintis. Yusuf adalah saudara sepupu Abu Bakar.

Pemilihan ini mengisyaratkan banyak makna dan petunjuk.

Yusuf adalah salah satu murid cerdas syekh Abdullah bin Yasin. Ia seorang prajurit yang menunjukkan keahlian berperang level tinggi. Di samping itu, ia sosok yang taat beragama dan berperilaku baik karena ilmu yang ia pelajari.

Saat itu, ia sudah menginjak kepala empat, yaitu 48 tahun. Artinya, ia sudah matang, penuh kewaspadaan, dewasa, besar kedudukannya, dan dikenal baik di kalangan khusus maupun umum.

Yusuf terus berjihad dan berjuang hingga sebagian besar negeri-negeri Maroko tunduk.

Syekh Abdullah bin Yasin wafat, lalu kepemimpinan agama, politik, dan militer beralih ke tangan panglima Abu Bakar. Mereka ini akhirnya berkuasa sepenuhnya terhadap negeri-negeri Maroko secara keseluruhan, dengan seluruh pedalaman padang pasirnya, hingga perbatasan-perbatasan Sudan.

Marrakesh (kota besar di Maroko Barat)

Pada tahun 454 H, setelah Yusuf bin Tasyafin menundukkan wilayah pesisir ujung Maroko, membentangkan kekuasaan di sana, dan pasukannya kian banyak. Ia berencana untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai basis pasukannya sekaligus menjadi ibukota.

Selanjutnya, ia memilih sebidang tanah. Di sana, ia mendirikan sejumlah rumah dan masjid. Ia terjun langsung mendirikan masjid bersama para pekerja. Nama kawasan tersebut adalah Marrakesh yang dalam bahasa Barbar berarti berjalanlah dengan cepat.

Di wilayah tersebut, Yusuf bin Tasyafin menempati kedudukan seorang sultan (biasa digunakan untuk menyebut gelar gubernur dalam negara khilafah, ed.). Inilah alasan yang mendorong sepupunya, Abu Bakar yang menjabat sebagai panglima tertinggi, pewaris kepemimpinan, memimpin dan berkelana ke berbagai penjuru jauh, berpikir untuk kembali. Di sisi lain, berita kemenangan-kemenangan Yusuf dan wilayah kekuasaannya yang kian meluas menyebar ke mana-mana. Abu Bakar ingin memastikan kebenaran berita tersebut, atau mengkhawatirkan kekuasaannya.

Setelah pasukan perintis Abu Bakar tiba di Marrakesh, Yusuf menyambut kedatangan mereka dengan baik, dan memberi banyak hadiah kepada para pasukan.

Setelah dua tokoh bertemu, Abu Bakar mengetahui kekuasaan yang dicapai sepupunya itu. Ia tidak berminat untuk berperang, bertikai, ataupun bermusuhan dengan sepupunya, sehingga merasa cukup dengan hadiah yang diberikan padanya. Yusuf mewasiatkan sejumlah hal kepada Abu Bakar. Setelah itu, Abu Bakar kembali bersama seluruh kekuatan untuk meneruskan misi jihad.

Abu Bakar meninggal pada tahun 480 H, gugur dalam salah satu peperangan, sehingga kekuasaan mutlak diraih Yusuf.


Sultan Yusuf bin Tasyafin Menolak Pencalonan Sebagai Khalifah

Seiring kian luasnya kekuasaan dan penyatuan Afrika Utara beserta wilayah padang pasir di pedalaman, banyak di antara orang-orang dekat Yusuf menilai untuk menempatkan Yusuf di jabatan khilafah dan kepemimpinan kaum mukminin. Terlebih daulah [zindiq] Fathimiyah-Ubaidiyah sudah hampir terbenam, di samping simbol pusat khilafah Abbasiyah melemah, eksistensi Islam di Andalusia terpecah menjadi sejumlah pemerintahan kecil yang lemah di mana sejumlah kota dan wilayah-wilayah di sana dikuasai berbagai kelompok yang setiap saat selalu terancam oleh serangan-serangan kaum Eropa di bawah kepemimpinan raja Alfonso yang merebut banyak sekali kota penting dari tangan mereka, khususnya Toledo.

Orang-orang dekat dari kalangan para tokoh aparatur negara dan ulama ingin menyerahkan jabatan khilafah kepada Yusuf, karena mereka melihat banyak kelebihan dalam diri Yusuf yang membuatnya layak menyandang kedudukan tersebut. Namun Yusuf menolak saran mereka ini, lebih memilih sebagai amir di kalangan kaum Muslimin. Peristiwa ini terjadi pada tahun 466 H.

Menuju Andalusia

Setelah bahaya kaum Eropa kian besar terhadap berbagai kelompok Andalusia, setelah para sultan merasa kekuasaan mereka sudah berada di ambang batas dan menjadi santapan lezat di mulut musuh, setelah mereka mendengar berita kemenangan-kemenangan Yusuf bin Tasyafin, persatuan Afrika Utara dengan kawasan pedalaman padang pasir di bawah kaum Murabithun, kuatnya kekuasaan mereka, dan besarnya pasukan mereka, para amir Andalusia akhirnya mengirim surat kepada Yusuf untuk memanggilnya guna menyelamatkan Andalusia. Mereka bersedia menyerahkan nyawa dan semua yang mereka miliki pada tindakan dan kemauannya.

Sudah sering kali mereka mengirim surat seperti ini. Terakhir, mereka mengirim utusan.

Mereka berada dalam kondisi hina dan iba. Mereka mengharapkan bantuan kepadanya.

Ada banyak alasan mengapa Yusuf lamban merespon permintaan bantuan para amir dan di Andalusia. Di antara alasan paling penting adalah Yusuf mengkhawatirkan mereka menjalin konspirasi dengan pihak musuh untuk menyerangnya, mengingat kebanyakan dari mereka ini mengalami lemah jiwa, hingga menjadi mainan di tangan musuh mereka, raja Alfonso, raja Castilla (Qasytala adalah perubahan dari kata Castil, yaitu benteng dalam bahasa asing), yang selalu mengancam dan mewajibkan mereka membayar jizyah.

Kemudian, Yusuf bin Tasyafin mengadakan pertemuan dengan staf dan para fuqaha, lalu mereka mendukung langkah Yusuf untuk memberikan bantuan.

Hanya saja, Yusuf mensyaratkan kepada utusan-utusan para amir Andalusia agar mereka bersatu bersamanya, masing-masing memberikan bantuan dan pasukan semampunya, dan pemimpin mereka, Mu'tamid bin Ubad, penguasa Sevilla, harus mengalah dan menyerahkan Algeciras untuk ia jadikan basis militer pasukan Yusuf setelah menyeberangi lautan. Mereka menyepakati seluruh permintaan Yusuf dan berjanji untuk itu.

Kekuatan pertama Yusuf yang menyeberang lautan adalah pasukan berkuda di bawah komando Dawud bin Aisyah menuju perbatasan Algeciras, dan berpusat di sana. Kemudian, disusul pasukan-pasukan lainnya, hingga mereka semua berhasil menyeberangi lautan.

Pada Kamis pagi pertengahan bulan Rabiul Awal 479 H, sang pahlawan syekh Yusuf menyeberang bersama sisa kekuatan pasukannya.

***

Di sini, kita perlu mencatat sepenggal kisah Yusuf bin Tasyafin.

Ketika perahu-perahu yang mengangkutnya dan juga pasukannya membelah gelombang lautan, gelombang mengamuk dan sangat tinggi. Sang pemimpin ini kemudian berdiri, membentangkan kedua tangan memanjatkan doa ke langit dan berdoa, “Ya Allah! Jika Engkau tahu kami melintasi lautan ini baik bagi kami dan kaum muslimin, maka mudahkanlah kami untuk mengarunginya. Namun, jika Engkau mengetahui sebaliknya, maka persulitlah kami hingga kami dapat menyeberanginya.”

Setelah selesai mengucapkan doa, Allah mempermudah perjalanan dan mendekatkan ke tujuan.

Proses penyeberangan tuntas terlaksana dalam hembusan angin yang baik dan lautan yang tenang.

Pertempuran Zallaqah (Battle of Sagrajas)

Seperti halnya perang Yarmuk adalah kunci kemenangan di Syam. Seperti halnya perang Qadisiyah adalah kunci kemenangan di Irak/Persia.

Seperti halnya perang benteng Babilonia adalah kunci kemenangan di Mesir.

Seperti halnya perang Wadi Lakka (Battle of Guadalete) adalah kunci kemenangan Thariq bin Ziyad di Andalusia.

Seperti itu juga perang Zallaqah yang merupakan kunci kemenangan bagi Yusuf di Andalusia untuk kedua kalinya.

Wibawa Islam di Andalusia kembali lagi, dan eksistensi Islam diperbarui dengan kuat sepanjang kurang lebih 4 abad lamanya. Dan inilah yang terpenting. Itulah di antara dampak peperangan Zallaqah.

Menuju Sevilla

Dari Jaziratul Khadhra’ (Algeciras), pasukan Yusuf bergerak ke arah Sevilla. Di tengah perjalanan, pasukan kaum muslimin mendapat bantuan makanan dan jamuan yang dikirimkan Mu'tamad bin Ubad.

Setelah hampir tiba, Mu'tamid keluar menghampiri Yusuf, menyambut kedatangannya dan berpelukan. Keduanya saling berjanji untuk berjihad, saling setia, dan saling membantu.

Yusuf juga mengirimkan surat kepada para amir kelompok-kelompok lain, seraya mengajak mereka untuk bekerjasama, saling membantu, dan setia agar seluruh pasukan lengkap dan bersatu menghadapi musuh. Sebagian di antara mereka memenuhi seruan Yusuf, dan sebagian besar enggan memenuhinya dengan alasan sibuk mempertahankan wilayah sendiri.

Antara Badajoz dan Coria di Padang Datar Zallaqah

Pasukan bergerak ke arah barat laut, dengan pasukan perintis diisi satuan-satuan kekuatan Sevilla di bawah komando Mu'tamid bin Ubbad dan pasukan garis belakang diisi prajurit Murabithun dipimpin Yusuf bin Tasyafin.

Mereka terus bergerak hingga tiba di sebuah padang datar yang terletak di antara kota Badajoz dan Coria, yang dikenal sebagai padang datar Zallaqah yang dilalui sungai Tagus.

Berita-berita pergerakan pasukan ini sampai ke telinga raja Alfanso VI, raja Castilla. Ia langsung menghentikan pengepungan terhadap wilayah Zaragoza, memanggil seluruh pasukan dan kelompoknya dari mana-mana, serta meminta bantuan kepada para sekutunya dari kalangan raja-raja dan pemimpin Nasrani di balik pegunungan Pyrenia. Para pasukan berkuda, prajurit, dan berbagai kelompok berdatangan dari Perancis, Italia, dan lain sebagainya.

Bersama pasukan besarnya, Alfonso VI mengarah ke selatan untuk menghadapi pasukan-pasukan muslimin.

Para ahli sejarah memperkirakan jumlah pasukan Alfonso sekitar 80.000 personel, sementara kekuatan pasukan Islam sekitar 48.000 personel.

Alfonso bersama seluruh kekuatannya tiba di tepi sungai Tagus yang memisahkannya dengan perkemahan pasukan muslimin.

Tiga hari berlalu...!

Kemudian, Yusuf bin Tasyafin mengirim surat kepada Alfonso -sesuai sunah- menawarkannya masuk Islam, membayar jizyah, atau perang. Juga disebutkan dalam isi surat:

“Kami mendengar hai Afdonesy -Alfonso- bahwa kau menyeru untuk bersatu melawan kami, dan kau berharap memiliki perahu-perahu untuk menyeberangi lautan ke tempat kami. Kami telah menyeberangi lautan ke tempatmu, dan Allah telah mempertemukan kita di tempat ini. Kau akan mengetahui akibat seruanmu itu. Dan seruan orang-orang kafir tidak lain berada dalam kesesatan.”

Tipu Muslihat yang Terbongkar

Alfonso berusaha menipu kaum muslimin dalam penentuan hari peperangan. Ia mengirim surat kepada Mu'tamid bin Ubbad pada hari kamis. Dalam suratnya, ia mengatakan, “Besok hari Jumat, dan hari Jumat adalah hari raya kaum muslimin. Kami tidak memerangi pada hari-hari raya kaum muslimin, dan hari Sabtu adalah hari raya kaum Yahudi, di antara pasukan kami terdapat banyak kaum Yahudi, dan hari Minggu adalah hari raya kami. Untuk itu, kita menunda peperangan hingga hari Senin.”

Surat Alfonso ini tipu muslihat yang terbongkar, karena ia bermaksud untuk berkhianat. Yusuf dan Mu'tamid mengetahui hal itu. Pasukan perintis mendatangi keduanya pada malam hari. Mereka memberitahukan persiapan di tenda pasukan Nasrani, terdengar suara gaduh, dan suara gemerincing senjata. Akhirnya, para pasukan muslimin bersiap-siap menghadapi serangan tiba-tiba.

Perang

Belum juga Subuh hari Jumat tanggal 12 Rajab 479 H terbit, datang serangan yang sudah diperkirakan pasukan muslimin yang sudah bersiap untuk menghadapinya.

Para ahli sejarah menggambarkan peristiwa-peristiwa peperangan ini. Mereka menuturkan bahwa pasukan Nasrani bergerak dan memulai peperangan. Kedua pasukan bertempur dalam serangan umum. Pasukan perintis dari Castilla dan Aragon yang dipimpin panglima Albert Hanes menyerang pasukan perintis kaum muslimin yang diisi sejumlah kekuatan Andalusia dan dipimpin oleh Mu'tamid bin Ubbad.

Serangan yang dilancarkan pasukan perintis Nasrani sangat kuat hingga menggeser pasukan perintis kaum muslimin dari posisinya. Komposisi pasukan muslimin kacau hingga sebagian besar di antaranya mundur ke arah Badajoz. Tidak ada yang tegar menghadapi pasukan Nasrani yang menyerang selain Mu'tamid dan pasukan berkuda Sevilla. Mereka melancarkan serangan terhadap pasukan Nasrani dengan kuat. Pemimpin pasukan Andalusia yang pemberani itu terkena luka, dan sebagian besar di antara mereka berpencar dari sekelilingnya. Banyak di antara pasukan Andalusia terbunuh dan hampir saja mereka kalah tanpa ada seorangpun yang maju untuk menyelamatkan mereka.

Di saat yang sama, Alfonso menyerang pasukan perintis Murabithun yang dipimpin Dawud bin Aisyah. Pasukan Alfonso juga berhasil menggeser pasukan perintis Murabithun dari posisinya.

Di saat-saat sulit itulah Yusuf bin Tasyafin mendorong prajurit-prajurit Barbar yang dipimpin komandan perang terbaik mereka, Sair bin Abu Bakar, untuk menyelamatkan dua pasukan sekaligus; pasukan Andalusia dan pasukan Murabithun. Dengan seluruh kekuatan pasukan, Sair bin Abu Bakar menembus jantung pertahanan pasukan Nasrani dengan sangat kuat hingga rona muka peperangan dengan cepat berubah. Pasukan Andalusia dan Murabithun kembali tegar, pasukan yang melarikan diri kembali ke barisan masing-masing, dan peperangan berkobar di sisi ini secara menawan hingga memperkuat kubu pasukan muslimin.

Pada saat itu, Alfonso maju menyerang hingga sampai di hadapan perkemahan pasukan Murabithun. Alfonso menerobos parit pelindung. Namun, pada saat yang sama, Yusuf menggunakan strategi inovatif. Ia bergerak menuju perkemahan pasukan Nasrani dan menyerang dengan kuat. Perkemahan dijaga sejumlah pasukan yang tidak kuat, hingga Yusuf berhasil menumpas mereka, melompat menerjang ke pasukan garis belakang Castilla dan melukai mereka dari belakang. Genderang-genderang ditabuh di sekitar pasukan hingga gemanya membelah ruang angkasa. Api besar dinyalakan di tempat pasukan Castilla hingga jilatan api membumbung tinggi ke udara.

Begitu Alfonso mengetahui kejadian yang menimpa tendanya, ia segera kembali untuk menyelamatkan tempatnya, lalu ia berhadapan dengan pasukan baris belakang Murabithun. Pertempuran besar terjadi di antara pasukan kekaisaran, hingga barisan pasukan Castilla terkoyak. Si raja Nasrani ini baru bisa sampai ke tempatnya setelah melalui sejumlah kerugian besar. Saat itulah perang dilanjutkan. Yusuf menyerang dan bergerak ke sana-kemari dengan kudanya, mendorong pasukan untuk teguh dan mati syahid. Gema gendering bedug di sekitarnya memekakkan telinga.

Pasukan-pasukan Spanyol belum pernah mendengar suara gaduh yang mengguncang tanah seperti ini.

Serangan pasukan Murabithun kian sengit di bawah komando Sair bin Abu Bakar terhadap pasukan perintis Castilla yang dipimpin oleh Albert Hanes. Keberanian seluruh pasukan Andalusia kembali.

Serangan terakhir yang mematikan terjadi ketika Yusuf mendorong pasukan penjaga, khususnya yang disebut singa-singa penjaga, yang berkekuatan 4000 prajurit ke inti pertempuran, hingga salah satu di antara prajurit ini berhasil mencapai Alfonso lalu menikamnya dengan sangkur tepat di bagian paha hingga tembus.

Matahari hampir terbenam. Alfonso dan bala tentaranya tahu bahwa mereka akan mati jika terus berperang. Saat itu, ia mundur bersama beberapa pasukannya dan berlindung di salah satu perbukitan terdekat hingga malam tiba. Di dalam kegelapan malam, mereka melarikan diri, dan berakhir sudah pertempuran Zallaqah (pertempuran Sagrajas).

Seiring berakhirnya pertempuran ini, wibawa para amir kelompok-kelompok Andalusia kembali. Kekuatan mereka kembali kokoh, baik di kota-kota maupun di wilayah-wilayah mereka.

Menuju Maroko

Para amir kelompok-kelompok Andalusia meminta Yusuf untuk terus bergerak mengejar musuh, membersihkan berbagai negeri dari kotoran, serangan, dan ancaman mereka. Yusuf meminta sedikit waktu kepada mereka.

Di saat seperti itu, ia mendengar berita kematian anaknya, Abu Bakar, di Maroko yang ia angkat untuk memimpin negeri tersebut selama kepergiannya. Berita ini terasa berat baginya, lalu ia memutuskan untuk segera kembali Maroko agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan di sana.

Ia meminta maaf kepada para amir kelompok-kelompok Andalusia. Setelah itu, kembali ke Maroko untuk merenungkan persoalannya di sana, serta melindungi wilayah tersebut dari ketamakan dan perpecahan.

Ia mempertahankan tiga ribu pasukannya untuk tetap bersama Mu'tamid bin Ubbad, penguasa Sevilla sebagai pasukan bantuan.

Kembali Menyeberang

Yusuf bin Tasyafin menghabiskan waktu hampir dua tahun di Maroko sambil mengecek segala persoalan berbagai negeri setempat dari ujung ke ujung. Ia mengunjungi setiap wilayah dan kota, meneliti kondisinya dan memastikan segala sesuatu di sana berjalan dengan baik.

Di sela-sela itu, Andalusia kembali menjadi pentas pertikaian para amir kelompok-kelompok di sana, hingga mendorong Alfonso VI, raja Castilla, untuk menyerang dan menguasai sebagian kota dan Wilayah mereka, serta mewajibkan mereka membayar jizyah.

Khususnya wilayah-wilayah yang terletak di antara Murcia dan Lorca. Di sana, Alfonso mendirikan sebuah benteng besar di atas tembok-tembok dan menara, menghimpun ribuan prajurit di dalam benteng tersebut untuk ia jadikan basis militer yang menggentarkan para musuh dan memaksa mereka untuk patuh. Benteng ini dikenal sebagai benteng Aledo, yang disebut orang Arab sebagai benteng Laith.

Situasi ini tidak menguntungkan bagi Mu'tamid bin Ubbad, penguasa Sevilla. Kemudian, ia menuju Maroko untuk menemui Yusuf, menyampaikan persoalan ini kepadanya dan meminta bantuannya.

Surat-surat para fuqaha, orang-orang penting, dan orang-orang tulus dari kalangan penduduk Andalusia tidak pernah berhenti berdatangan kepada Yusuf untuk meminta bantuan dan memintanya datang.

Sehingga mau tidak mau, amir harus memenuhi permintaan mereka, dan berjanji kepada mereka.

Selanjutnya, ia mempersiapkan diri dan seluruh kekuatannya untuk menyeberang menuju Jaziratul Khadhra' pada bulan Rabiul Awal 481 H. Di sana, Mu'tamid bin Ubbad menyambut kedatangannya, memberikan bantuan kepadanya, dan bergabung bersamanya dengan seluruh kekuatannya.

Dari Jaziratul Khadhra', Yusuf mengirim surat kepada para amir daerah-daerah Andalusia, memberitahukan kedatangannya untuk membantu mereka, sekaligus meminta mereka untuk sejalan dan bergabung bersamanya agar bersatu padu untuk menyerang, menghabisi, dan melenyapkan musuh mereka, Alfonso. Setelah itu, satu persatu di antara mereka datang bersama kekuatan dan pasukan masing-masing.

Selanjutnya, Pasukan Islam bergerak menuju benteng Aledo yang menjadi halangan utama. Mereka berencana untuk menguasai benteng tersebut, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk memerdekakan sejumlah kota yang ada di sekitarnya. Setelah sampai di sana, mereka mengepung benteng tersebut dengan ketat, mencegah segala bantuan dan perlengkapan, melemparinya dengan berbagai alat perang, dan menyerangnya dari sejumlah sisi-sisi benteng satu persatu. Namun, semua usaha ini tidak membuahkan hasil, karena benteng tetap kokoh, kuat, dan tangguh.

Pengepungan berlangsung selama 4 bulan, tapi tanpa hasil...!

Gagal dan Kembali

Selama itu, Yusuf menghadapi berbagai perselisihan para amir daerah-daerah Andalusia, dan aksi saling tuding yang mereka lakukan. Yusuf merasa bahwa situasi dan kekuatannya rentan menjadi sasaran serangan musuh dan lenyap kapan saja.

Setiap kali masuk tenda pada malam hari, pasti ada seorang amir yang mengadu kepadanya dan memfitnah rekannya. Masing-masing ingin berkuasa sendiri, sampai-sampai pengkhianatan muncul di salah satu barisan mereka. Inilah situasi yang membuat Yusuf merasa putus asa dan menyesali petualangannya kali ini.

Akhirnya, Yusuf bin Tasyafin memutuskan untuk kembali ke Maroko dan membiarkan segala sesuatunya mengalir begitu saja.

Namun, dalam dirinya, Yusuf bin Tasyafin memutuskan sesuatu.

Menggabungkan Andalusia ke Maroko...!

Karena tanpa upaya ini, situasi tidak akan membaik.

Inti kerusakan harus dilenyapkan, daerah-daerah kecil ini harus dikuasai, dan seluruh negeri harus dipersatukan. Sebab, jika ia biarkan Andalusia begitu saja tanpa melakukan upaya yang sudah ia tekadkan, tentu sama saja membuat Andalusia menjadi santapan empuk bagi Alfonso si serakah itu, dan menyia-nyiakan negeri tersebut setelah tanahnya dibasahi oleh darah para syuhada yang berbakti, selanjutnya para pemimpin tulus mengurus negeri ini dan menjadikannya sebagai permata peradaban dan ilmu pengetahuan.

Lantas, bagaimana seorang Murabith dengan idealisme dan kepahlawanan seperti Yusuf bisa lepas tangan!?

Kali ini, ia tidak menunggu permintaan, surat, ataupun undangan, karena jiwa dan dorongan positif berkobar di dalam dirinya dan mendorongnya untuk segera melakukan tindakan serius.

Yusuf tidak menentukan keputusan secara spontan, tapi ia mempelajari secara mendalam dari berbagai sisi; keagamaan, strategi, dan militer, juga bermusyawarah dengan para komandan, pemimpin, dan fuqaha.

Para amir di wilayah Andalusia kembali mencari muka, bersekutu, dan bekerja sama kembali dengan Alfonso. Inilah yang membuat Yusuf sedih. Untuk itu, musuh yang akan dihadapi Yusuf berskala luas dan kuat.

Dengan kekuatan pasukan Murabithun, Yusuf menyeberang pada tahun 483 H dengan niat menyerang Andalusia secara keseluruhan, melenyapkan para pengkhianat di sana, lalu mengarahkan fokus pada musuh bebuyutan dan lawan tangguh, Alfonso VI.

Itulah yang terjadi.

Terlebih dahulu Yusuf bergerak menuju Toledo, lalu membuat manuver di sana. Hanya saja, kota ini terlalu kokoh. Yusuf pun meninggalkan kota ini setelah mengguncang seluruh unsur penopangnya.

Setelah itu, ia bergerak menuju Granada yang dipimpin Abdullah bin Balqin, salah satu amir di Andalusia, dan yang memiliki hubungan kuat dengan Alfonso VI.

Saat mengetahui kedatangan Yusuf, Ibnu Balqin mempersiapkan pasukan untuk mempertahankan Granada dengan persiapan yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ia juga mengirim surat kepada sekutunya, Alfonso VI untuk meminta bantuan. Akan tetapi, Yusuf berhasil menguasai Granada setelah melalui perjuangan pahit, mengeluarkan seluruh harta simpanan kota ini, dan Ibnu Balqin meminta jaminan aman. Yusuf bersedia memberinya jaminan aman hanya untuk ia, istri, dan anaknya saja.

Runtuhnya Granada menebarkan rasa takut di hati para amir di Andalusia lainnya. Mu'tamid bin Ubbad berusaha untuk mencari muka di hadapan Yusuf. Ia mengunjungi Yusuf di Granada seraya menyampaikan ucapan selamat kepadanya. Yusuf menyambutnya dengan sikap kasar dan keras, karena Yusuf tahu pasti persekutuan antara Ibnu Ubbad dengan Alfonso VI, sehingga Yusuf merasa tidak senang padanya.

Yusuf merasa posisinya sudah kuat untuk menghadapi daerah-daerah Andalusia lainnya. Yusuf meninggalkan pasukannya di bawah komando panglima tiada duanya, Sair bin Abu Bakar, untuk meneruskan penaklukan di sana-sini, sementara Yusuf kembali ke Maroko, basis kewilayahannya, dan mengirimkan kekuatan-kekuatan tempur yang diperlukan dari seberang.

Pasukan-pasukan Yusuf mengarungi sejumlah peperangan, menaklukkan berbagai negeri, dan memperluas kekuasaan di Cordoba, Ronda, Jaen, Sevilla, dan wilayah-wilayah lain, hingga kemenangan nyata tercapai. Bahkan, sebagian besar wilayah di Guadalquivir tunduk pada sultan yang orang Murabithun ini. Peristiwa ini terjadi pada tahun 484 H.

Ibnu Ubbad dan para ajudannya dikirim ke Maroko sebagai tawanan, menuju daerah Aghmat (salah satu kota di Maroko). Ibnu Balqin juga dikirim ke Maroko sebagai tawanan.

Pada tahun berikutnya (485 H), pasukan Murabithun menguasai Xativa, Segura, dan Denia (kota-kota di Spanyol). Mereka terus bergerak ke arah Valencia hingga menguasai pemerintahan Santa Maria pada bulan Rajab 495 H.

Hanya dalam hitungan beberapa tahun, Spanyol muslim (Andalusia) beralih ke tangan si sultan. Sultan daerah-daerah Andalusia runtuh. Namun hanya untuk sementara waktu saja.

Yusuf menyeberang ke Andalusia pada tahun 495 H, dan kembali menuju Toledo. Di sana, ia berhadapan dengan kekuatan Castilla di bawah komando Alfonso VI. Yusuf berhasil mengalahkan mereka. Setelah itu Yusuf bergerak menuju Cordoba lalu memasuki kota tersebut, mengumpulkan para pembesar, pemimpin, komandan, dan fuqaha. Yusuf mengambil sumpah pada mereka bahwa yang akan menjadi sultan Maroko dan Andalusia sepeninggalnya nanti adalah anaknya, Ali bin Yusuf.

Yusuf bin Tasyafin Meninggal Dunia

Di akhir-akhir tahun 498 H, syekh mujahid penakluk ini jatuh sakit. Ia menetap di istananya di Marrakesh. Ia terus sakit hingga selama setahun lamanya, sampai kematian tiba dan ia pun pulang ke sisi Rabb Yang Mahamulia.

Semoga Allah merahmati Yusuf bin Tasyafin -si Murabithun, panglima dan amir. Semoga Allah memberikan balasan terbaik untuk jihad, keikhlasan, dan pengorbanannya.

Bacaan:

Related Posts with Thumbnails

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam