Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 30 Juni 2017

Ancaman Kesehatan Wanita



Wanita dalam ancaman kesehata, fisik maupun jiwa. Hasil penelitian dari US Advisory Board Company menunjukkan bahwa 62 persen dari wanita dinilai kurang memperhatikan kesehatannya karena rutinitas kesibukannya. Dilaporkan pula 77 persen tidak tahu apa yang harus dilakukan agar tetap sehat. Hal itu tentu mengurangi kualitas hidupnya.

Nah, salah satu yang menjadi sorotan pada peringatan Hari Kesehatan Sedunia (HKS) awal April lalu adalah kesehatan jiwa. Tema global tahun ini "Depression: Let's Talk," dengan tema nasional: ”Depresi: Yuk Curhat!” Kesehatan jiwa menjadi perhatian karena termasuk silent killer. Kerap diabaikan sebagai pengganggu kualitas hidup, padahal bisa menyebabkan kematian. Bunuh diri misalnya.

Stres Fisik

Gaya hidup sekuler kapitalis menebar penyakit mematikan yang mengancam kesehatan wanita. Pergaulan bebas, menjadi pemicu penyakit kanker serviks yang menjadi pembunuh nomor satu bagi wanita. Selanjutnya, penyakit HIV/Aids yang juga kerap ditularkan pada wanita oleh pasangannya.

Sementara itu, dunia kecantikan dengan segala kehebohannya juga mengancam kesehatan wanita. Seperti penggunaan kosmetik berbahaya yang menjanjikan kecantikan instan: produk pemutih, pembesar (maaf) payudara, pemutih gigi, pelentik bulu mata, dsb. Juga aneka jenis perawatan tubuh yang tidak aman seperti program pelangsingan ekstrim, sedot lemak, operasi plastik, pemancung hidung, dsb.

Makanan-makanan yang konon mempercantik wanita dari dalam, juga mengancam kesehatan wanita. Seperti vitamin peluntur lemak, bubuk saset pemulus kulit, pencerah wajah, dll. Ditambah lagi kuliner ekstrim, makanan instan dan junk food yang juga menjadi bagian gaya hidup masa kini, kian mengancam kesehatan.

Stres Jiwa

Sementara itu, tak kalah bahaya adalah ancaman gangguan kesehatan jiwa pada wanita. Seperti kita ketahui, wanita memiliki perasaan lebih peka sehingga mudah stres. Masalah apapun menjadi beban pikiran. Walau sekadar candaan tidak nyambungnya warna baju dan kerudung, bisa bikin tekanan jiwa.

Nah, gaya hidup sekuler-kapitalis, lagi-lagi memicu depresi jiwa. Kegagalan wanita dalam menampilkan stereotype cantik ala Barat, seperti tubuh tinggi, langsing, hidung mancung, kulit mulus, dll, memicu stres. Betapa banyak wanita rendah diri karena merasa tidak cantik. Stres memikirkan pendapat orang lain tentang penampilan dirinya. Lalu stres memikirkan biaya perawatan demi cantik.

Budaya media sosial yang selalu menampakkan gaya hidup glamour dan serba indah, juga memperparah kondisi psikis wanita. Ada rasa iri, merasa tidak seberuntung teman-temannya yang begitu eksis di media sosial. Ada rasa frustasi, mengapa tidak bisa sekaya mereka.

Wanita yang sudah menikah menjadi istri atau ibu bagi anak-anaknya, tak juga lepas dari stres. Bahkan bertambah-tambah merasakan beratnya beban kehidupan. Lagi-lagi, disebabkan sistem hidup sekuler-kapitalis yang menghimpit beban. Sistem ekonomi yang tidak menyejahterakan, sistem pendidikan yang tidak mencerdaskan, sistem sosial yang merusak moral, sistem kesehatan yang menyakitkan, menambah beban rumah tangga.

Stres Sosial

Sejatinya, memang tak hanya wanita yang mengalami stres berat. Depresi bukan hanya menyerang secara individualistik, melainkan sudah menjadi fenomena massal. Artinya, gangguan kejiwaan telah mengancam masyarakat komunal. Mulai anak-anak hingga dewasa dilanda stres. Anak-anak hingga dewasa, pria maupun wanita mengalaminya. Maraknya bunuh diri, tawuran, kekerasan dalam rumah tangga, kesurupan, itulah stres sosial.

Makin banyak orang yang mudah tersinggung, mengamuk, dan agresif. Juga mudah menyerah dan putus asa. Termasuk meluasnya penggunaan narkoba untuk pelarian dari tekanan jiwa, menunjukkan depresi individual maupun massal serta yang terselubung makin serius di masyarakat.

WHO memperkirakan, 4 persen dari populasi mengalami depresi. Depresi yang berlarut-larut, mengantarkan pada bunuh diri. Menurut WHO, tiap tahun terjadi bunuh diri hampir 800.000 kematian. Artinya, setiap 40 detik, seseorang bunuh diri (kemenkes.go.id).

Solusi Personal

Depresi dapat terjadi pada siapapun, usia berapapun. Dan tidak banyak yang menyadarinya. Sebab, depresi seringkali dianggap sekadar perubahan suasana hati (mood). Padahal, depresi merupakan real disease atau masalah kesehatan yang nyata. Gejalanya antara lain, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, perasaan bersalah atau tidak berguna, lelah berkepanjangan, bahkan pemikiran menyakiti diri sendiri.

Termasuk Muslimah, mustahil menghindari masalah. Sebagai manusia biasa, depresi mungkin saja terjadi. Secara personal, kenali pemicunya. Jika penyebabnya karena beban pekerjaan yang terlalu berat, berhentilah. Kurangilah atau berbagilah. Jika penyebabnya hubungan dengan sesama, komunikasilah. Curhatlah dengan orang yang tepat.

Termasuk, jika media sosial malah membuat stres karena memunculkan perasaan tidak menyenangkan, seperti iri, kesalahpahaman, lebih baik tidak usah punya akun. Sudahlah rugi waktu, rugi kuota, eh, bikin sengsara.

Masalah harus dihadapi dengan benteng iman dan takwa. Sabar, ikhlas dan tawakal. Allah SWT berfirman yang artinya: ”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang , dihadapinya), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sdngkanya” (TQS. Ath-Thalaaq:2-3).

Tancapkan keyakinan bahwa setiap permasalahan tidak lain sebagai ujian keimanan. Apabila kita sabar dan menjalaninya dengan baik, insya Allah lolos dalam ujian tersebut sehingga keimanannya meningkat. Karena setiap orang beriman akan diuji Allah. Allah SWT berfirman: "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (TQS. Surat Al-Baqarah: 155).

Jangan Stres Berjuang

Selain personal, stres hanya bisa diatasi secara sistem jika sekulerisme-kapitalis yang menjadi pemicunya dilengserkan. Ganti dengan sistem Islam yang mengatur kehidupan dengan tatanan terbaiknya. Tegakkan sistem politik, ekonomi, hukum, sosial-budaya, pendidikan dan kesehatan yang adil dan menyejahterakan. Bangkitkan peradaban Islam yang gemilang.

Maka, jangan stres memperjuangkan khilafah. Karena hanya Khilafah Islamlah yang mampu mewujudkan kehidupan sosial yang sehat, sehingga menyehatkan pula jiwa dan raga manusia-manusia di dalamnya. Dengan begitu, ancaman kesehatan wanita juga bisa diminimalkan, bahkan dihilangkan. []kholda

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 195
---

Kamis, 29 Juni 2017

Literasi Media, Hindari Hoax


Bertebarannya hoax di media sosial dan chatroom meresahkan masyarakat. Tak terkecuali kaum Muslimah. Di kalangan ibu-ibu, banyak informasi beredar yang bisa jadi benar dan bisa jadi salah atau tidak akurat, yang sempat menjadi perhatian seperti isu penculikan dengan modus penjualan organ tubuh anak. Selain itu, penculikan dengan modus pelaku sebagai orang yang pura-pura gila, pemulung, dll.

Kaum ibu begitu semangat menyebarkannya. Ada yang beralasan, hal itu untuk membuat orangtua kian waspada. Padahal, ada atau tidak ada isu, ada atau tidak ada kasus penculikan, orang tua memang wajib waspada menjaga keselamatan anak-anaknya. Karena, potensi penculikan selalu ada, kapanpun dan di manapun.

Orang gila, pemulung, pedagang asongan bisa-bisa difitnah sebagai penculik. Di mana-mana dicurigai sebagai pelaku penculikan. Akibatnya jelas tidak baik.

Di Sampang Madura misalnya, orang gila beneran -yang bukan pura-pura gila- dihajar massa karena dituduh penculik (detik.com, 27/3/17). Padahal, mana bisa orang gila berpikir menculik? Seorang wanita sakit jiwa, Almiati, warga Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, juga diamankan massa di Lapangan Cibodas, Karawaci Tangerang, karena diduga penculik (Wartakota, 21/3/17). Di Langkat, Sumatera Utara, wanita gila (65) babak belur diamuk massa. Padahal tidak ada satupun masyarakat yang lapor kehilangan anaknya (okezone, 26/3/77).

Paling tragis di Cilegon, pria tanpa identitas tewas dihajar ratusan massa. Demikian pula di Mempawah, Kalbar, Maman Sudirman (52) dikeroyok massa hingga tewas gara-gara dicurigai sebagai penculik. Padahal sedang berkunjung ke kerabat untuk urusan bisnis (Jawapos). Dan masih banyak lagi korban fitnah dan main hakim sendiri di berbagai daerah. Innalillaahi!

Bahaya Hoax

Penyebaran hoax telah mengancam ketahanan informasi. Ini karena dalam perabadan sekuler, informasi bersifat bebas alias liberal. Media massa juga bersifat liberal, karena mengabdi pada kepentingan kapitalis. Konten info disajikan untuk memenuhi selera pasar. Informasi menjadi simpang siur, tidak bisa dibedakan mana yang benar dan mana yang salah. Selain itu, informasi publik, bercampur dengan informasi privat (infotainment).

Yang tak kalah memprihatinkan, hoax itu kadang dikemas seolah-olah Islami. Misalnya, saat marak fenomena Pokemon, serta merta dimunculkan isu bahwa istilah pokemon bermakna "aku yahudi". Padahal pokemon hanyalah singkatan dari pocket monster, merujuk pada karakter permainan yang sedang digandrungi.

Demikian pula ketika muncul fenomena "om telolet om", tersebarlah informasi bahwa itu adalah bahasa Yahudi yang umat Islam jangan sampai mengadopsinya. Ada juga yang menyebutkan itu sebagai bahasa Bali yang merupakan istilah dalam ritual umat Hindu. Padahal asal muasal istilah itu hanyalah kebiasaan anak-anak di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menunggu bus lewat supaya membunyikan klakson. Namun, fenomena ini telanjur menghabiskan energi dengan pembahasan panjang lebar yang sejatinya tidak perlu.

Tampaknya, kemunduran berpikir umat, menyebabkan kelemahan pula dalam mencerna informasi. Masyarakat banyak yang tidak memiliki ketahanan informasi secara personal, sehingga mudah terhasut info yang tidak benar. Sekalipun info tersebut sangat tidak masuk akal, tetap saja ditelan mentah-mentah. Bahkan dengan semangat, ingin menjadi terdepan dalam menyebarkan.

Malas dari tanggung jawab mencari kebenaran atau tabayyun. Ironisnya, ketika menyadari kesalahan telah menyebarkan berita bohong sekalipun, enggan menyebarkan kembali informasi sebenarnya. Misalnya, ketika muncul isu yang telah terbukti keliru/ hoax, berita klarifikasinya tidak muncul di ruang-ruang informasi publik.

Akses Informasi

Dewasa ini, masyarakat, termasuk ibu-ibu, mulai malas mengakses sumber-sumber informasi terpercaya. Di kalangan Islam, terlanjur tertanam paradigma bahwa media massa sekuler sama sekali tidak bisa dipercaya. Terbukti dengan menurunnya oplah media massa, cetak terutama.

Memang, untuk pemberitaan yang sifatnya views (pandangan), kita tidak bisa mempercayai media liberal. Karena, pastinya sudah disertai paradigma berpikir sekuler. Tetapi sekadar menengok fakta (news), media-media mainstream masih bisa menjadi rujukan. Terutama kantor-kantor berita yang jurnalistiknya objektif dan profesional.

Sementara itu, menurut berbagai survei, televisi menjadi media favorit. Padahal semua tahu, sebagian konten televisi adalah sampah. Tapi, ibu-ibu malah menggandrunginya dan menjadi penonton setia layar kaca. Pengecualian para pengemban dakwah, banyak yang telah meninggalkan televisi, beralih kepada sumber berita lain.

Media sosial merupakan wadah informasi yang bablas tanpa filter. Mayoritas pemilik akun, bukanlah pihak yang berpedoman pada kerja jurnalistik profesional. Akibatnya, informasi yang keliru bisa bergerak bebas. Jangan sampai itu menyeret para Muslimah pada arus informasi yang salah.

Melek Media

Para Muslimah, khususnya pengemban dakwah, seharusnya memiliki ketahanan informasi. Yakni, kemampuan menyeleksi informasi sehingga tidak mudah terpapar hoax. Hal itu bisa diasah dengan literasi media. Terdepan dalam mengakses informasi kekinian yang berkembang di media-media mainstream. Terdepan dalam penyebaran kebenaran dan ikut memberantas hoax.

Tak terkecuali para Muslimah pengemban dakwah, seharusnya menjadi sumber terpercaya pertama kali dalam hal informasi bagi anak-anaknya. Jangan sampai anak-anak mendapatkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dari luar sana.

Literasi media ini adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media (lihat: wikipedia). Konsumen media, termasuk anak-anak, menjadi sadar atau melek tentang cara media dibuat dan diakses. Melek informasi, berarti selalu aktif mencari informasi sesuai kebutuhan berdasarkan referensi dan sumber terpercaya. Bukan sekadar menunggu informasi. Seberapa banyak sudah melakukan literasi media, bisa diukur dari media apa yang diakses, berapa durasi menyimak berita, kemampuan menganalisa setiap informasi dan mengaitkannya dengan akidah Islam.

Melalui literasi media, Muslimah akan cerdas informasi, aktif, peka dan kritis dalam mengamati fenomena pemberitaan media saat ini. Pengemban dakwah punya keahlian memutuskan informasi yang dibutuhkan dari suatu pesan. Selanjutnya, keahlian untuk mengidentifikasi dan memilah simbol-simbol, menafsirkan informasi, menganalisis dan menyikapinya dari sudut pandang Islam.

Begitu menerima informasi, dapat berpikir jernih untuk menganalisanya, apakah info tersebut masuk akal atau tidak. Apakah info itu mengandung opini yang menyimpang atau apakah terdapat framing pemberitaan yang menggiring pada kesimpulan yang keliru.

Melalui literasi media, akan mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas intelektual kita. Sekaligus membangun rasa percaya dari umat. Bahwa, pengemban dakwah adalah penyebar informasi kebenaran saja. Dengan demikian, ikut mengedukasi masyarakat agar mereka tahu bagaimana mengakses, memilih informasi yang bermanfaat dan sesuai kebutuhan. Termasuk, informasi-informasi Islam. Dengan demikian umat ikut tercerdaskan.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 194
---

Rabu, 28 Juni 2017

Cara Khilafah Mengatasi Kelangkaan Komoditas Kebutuhan Publik



Oleh: KH Hafidz Abdurrahman, Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI

Salah satu fungsi dan tugas negara adalah memastikan tersedianya kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tidak hanya barang-barang dan jasa yang dibutuhkan tersedia, tetapi negara juga memastikan, barang dan jasa tersebut sampai kepada mereka. Karena itu, negara tidak hanya memastikan mekanisme supply and demand (penawaran dan permintaan) berjalan dengan lancar, tetapi juga harus dijauhkan sejauh-jauhnya dari berbagai aspek penipuan, pemerasan dan sebagainya.

Jamin Kebutuhan Rakyat

Islam menjamin setiap kebutuhan rakyat, mulai kebutuhan dasar individu, seperti sandang, papan, pangan, hingga kebutuhan dasar publik, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Mengenai kebutuhan dasar individu, seperti sandang, papan dan pangan, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan tersebut dengan sempurna. Cara yang dilakukan oleh negara adalah dengan meningkatkan produksi barang yang dibutuhkan, dan memastikan berjalannya mekanisme supply and demand dengan baik.

Untuk memastikan produksi barang dan jasa, maka Islam memastikan berjalannya seluruh syara' yang terkait dengan tujuan tersebut. Produk makanan pokok, misalnya, yang dihasilkan melalui pertanian, maka Islam telah menetapkan kewajiban untuk menggarap lahan yang menjadi milik petani, sehingga produksi bisa dipacu dan meningkat. Selain itu, (dalam hal lahan pertanian) Islam juga mengharamkan penyewaan lahan/muzara'ah, murabahah dan sejenisnya. Tetapi, membolehkan musaqat.

Bagi yang mempunyai lahan, dan mampu mengelola, tetapi tidak mempunyai modal, maka negara bisa membantu dengan memberikan modal yang dibutuhkan. Bagi yang mempunyai lahan, mempunyai modal, tetapi tidak mempunyai skill, maka negara bisa membantu dengan melatih skill bertaninya. Bagi yang mempunyai lahan, modal dan skill, tetapi tidak mampu menggarap lahannya, karena terlalu luas, maka bisa mengontrak jasa orang untuk menggarapkanya, bukan dengan muzara'ah, atau yang lain. Tetapi, dengan akad ijarah. Tetapi, bagi yang tidak mampu menggarap lahannya, sementara dia mempunyai skill dan modal, karena terlalu luas maka bisa diserahkan kepada negara. Jika tidak mau, maka negara bisa mengambilnya dengan paksa.

Dengan begitu, produksi barang-barang kebutuhan pokok bisa dilipatgandakan, karena seluruh lahan bisa diproduktifkan dengan maksimal. Tidak hanya itu, agar petani terdorong untuk meningkatkan produksi, maka tidak boleh ada mafia distribusi produk-produk pertanian. Sebaliknya, negara akan memastikan tidak adanya permainan harga oleh segelintir orang, yang bisa merugikan petani, sebagai produsen, maupun konsumen. Di sini, negara akan memastikan berjalannya akad salam, jual-beli buah di atas pohon, termasuk istishna' untuk kebutuhan akan sandang dan papan dengan tepat.

Politik Mengurusi [Ri'ayah]

Maka tugas negara bukan hanya memastikan hukum-hukum syara' yang terkait dengan produksi barang dan jasa tersebut berjalan dengan baik, tetapi juga memastikan bagaimana distribusi barang dan jasa tersebut adil, merata dan sesuai dengan ketentuan syariah. Di sinilah fungsi dan tugas politik negara khilafah, yaitu melakukan ri'ayatu syu'un al-ummah wa arrai'yyah [mengurusi urusan umat dan rakyat].

Fungsi dan tugas ri'ayatu syu'un al-ummah wa ar-rai'yyah ini tidak hanya dilakukan oleh negara khilafah dengan memastikan berjalannya hukum syara' di tengah masyarakat dengan baik dan benar, tetapi negara juga melakukan kontrol, pencegahan, bahkan punishment. Karena itu, dengan aparat kepolisian yang ada di tengah-tengah umat, ditambah qadhi hisbah yang bertugas dua puluh empat jam dalam melakukan kontrol, pencegahan, bahkan punishment (sanksi), negara khilafah benar-benar hadir secara riil di tengah-tengah rakyat.

Semua rakyat mempunyai kedudukan yang sama di mata negara dan hukum, sehingga negara khilafah tidak berpihak, kecuali kepada kebenaran dan hukum syara'. Karena kedaulatan memang di tangan syara'. Seperti ungkapan Abu Bakar, ketika dilantik menjadi khalifah, "Tidak ada orang yang kuat bagi kalian, kecuali di hadapanku dia adalah orang yang lemah. Begitu juga, tidak ada yang lemah bagi kalian, kecuali di hadapanku dia adalah orang yang kuat.” Ini menggambarkan, bahwa hukum adalah panglima. Hukum adalah pedoman bagi semua pihak, yang ditaati dan dipegang teguh, karena hukum yang diterapkan adalah perintah dan larangan Allah. Sebab di balik pelanggaran hukum ada murka dan adzab Allah.

Sebagai contoh, ketika negara menghadapi kelangkaan bahan-bahan kebutuhan pokok, maka negara akan segera melakukan tindakan. Pertama, memastikan apakah kelangkaan ini terjadi karena adanya permainan di pasar oleh oknum tertentu, atau tidak. Jika ada, maka kontrol dan punishment harus dilakukan, sekaligus mencegah hal yang serupa terulang kembali di masa yang akan datang.

Kedua, jika tidak ada, karena memang benar-benar volume produksinya menurun, maka negara harus menyuplai bahan bahan kebutuhan pokok tersebut, bisa dari wilayah lain, atau jika diperlukan bisa mengimpor dari negara lain, melalui perjanjian perdagangan.

Semua itu dilakukan oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab negara. Ini merupakan tugas dan fungsi politik negara khilafah, yaitu melakukan ri'ayatu syu'un al-ummah wa ar-rai'yyah. Bahkan, tugas dan fungsi ini sangat vital, karena memang memastikan negara hadir atau tidak dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Badan Perencanaan Negara

Bagian penting dalam melakukan fungsi dan tugas ri'ayatu syu'un al-ummah wa ar-rai’yyah, selain yang telah dijelaskan di atas, bahkan tidak kalah pentingnya adalah adanya perencanaan yang matang dan komprehensif, yang dilakukan oleh negara khilafah. Perencanaan yang terkait dengan volume produksi barang dan jasa. wilayah produksi dan volumenya, jalur distribusi antar wilayah, dan sebagainya. Untuk itu, negara khilafah juga mempunyai Badan Perencanaan Negara (Bapena).

Dengan adanya badan yang membuat perhitungan menyeluruh ini, maka kebutuhan akan barang dan jasa, termasuk ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan bisa dihitung sejak dini. Perencanaan tersebut bisa dibuat tahunan, bahkan lebih. Dengan begitu, kebutuhan setiap tahun sudah bisa diprediksi. Kalau pun meleset, kemungkinan tidak signifikan. Kecuali, jika terjadi bencana. Di sini, badan tersebut juga bisa memasukkan faktor aksidental, yaitu bencana, serangan negara lain atau peperangan.

Dengan demikian, fungsi dan tugas ri'ayatu syu'un al-ummah wa ar-rai’yyah ini benar-benar bisa dilaksanakan dengan baik, dan sempurna. Dengan adanya antisipasi sejak dini, maka bisa dibuat skenario lebih dini. Dengan begitu, secara psikologi para pemangku kekuasaan, termasuk pengambil kebijakan tindakannya bisa lebih terukur dan sistematis.

Semua kebijakan di atas membutuhkan dana yang tidak sedikit. Lalu dari mana dana-dana tersebut diperoleh oleh negara? Jawabannya, dari kekayaan milik umum dan milik negara yang sangat melimpah. Karena semuanya dikelola dan ditangani oleh negara, dan digunakan untuk kemakmuran rakyatnya. Dengan begitu, negara khilafah tidak akan pernah mengalami kekurangan dana. berapapun kebutuhannya, mengingat kekayaan alam di dunia Islam begitu luar biasa. Wallahu a'lam. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 193
---

Rabu, 21 Juni 2017

Cara Khilafah Merawat Kebhinnekaan



Munculnya opini yang digerakkan oleh pihak-pihak tertentu mengesankan seolah Islam, syariah Islam dan Khilafah Islam itu anti kebhinnekaan. Ini menunjukkan dua hal: pertama, kebodohan tentang Islam, syariah dan Khilafah Islam. Kedua, adanya niat jahat di balik tuduhan itu, karena kepentingan politik asing dan aseng di belakang mereka. Karena itu, penting dijelaskan, bagaimana Islam, syariah Islam dan Khilafah merawat kebhinnekaan tersebut?

Masalah kebhinnekaan atau kemajemukan telah dibahas oleh Islam, syariah Islam, dan diterapkan di dalam negara Islam, jauh lebih dulu ketimbang bangsa Barat. Bahkan, boleh dikatakan, hanya Islamlah yang mengakui keberagamaan manusia, baik suku, bangsa, bahasa, kedudukan sosial, bahkan agama.

Islam mengakui keberagaman, kemajemukan, dan kebhinnekaan manusia, dari aspek jenis kelamin, suku, warna kulit, bahasa, status ekonomi, sampai posisi di tengah masyarakat. Keberagaman itu merupakan fakta, yang tidak bisa dinafikan. Di dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan, ”Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal.” (TQS. al-Hujurat [49]: 13).

Pengakuan yang tegas dan jelas, bahwa manusia memang telah diciptakan berbeda, satu dengan yang lain. Itu merupakan fitrah kehidupan. Sejak zaman Nabi SAW hingga kini, perbedaan suku, bangsa, ras, bahasa dan agama itu tetap ada. Islam pun dipeluk bukan hanya oleh bangsa Arab, tetapi juga non-Arab [ajam]. Negara khilafah pun didiami bukan hanya oleh orang Islam, tetapi juga non-Muslim.

Wilayah kekuasaan kaum Muslim sejak zaman Nabi SAW hingga Khilafah Utsmani meliputi Jazirah Arab, benua Afrika, Asia hingga Eropa. Ulama Islam terdiri dari beragam etnis. Imam aI-Bukhari berasal dari kawasan Bukhara di Uzbekistan, Rusia. Ibn Hazm berasal dari Cordoba, Spanyol, sedangkan Imam an-Nawawi berasal dari Damaskus, Syam. Bahkan ada juga Imam an-Nawawi al-Bantani yang berasal dari Banten, Indonesia (nusantara).

Karena itulah, Islam dengan tegas melarang umatnya membanggakan suku bangsa dan keturunan. Rasulullah SAW bersabda, "Siapa saja yang berbangga-bangga dengan slogan-slogan jahiliah, suruhlah ia menggigit kemaluan ayahnya dan tidak usah pakai bahasa kiasan terhadap dirinya.” (HR. Ahmad).

Primordialisme Haram

Selain Islam dan khilafah menjaga kebhinnekaan, Islam juga dengan tegas melarang sikap primordialisme atau chauvinisme, yang kerap merendahkan bangsa lain dan menganggap bangsanya atau rasnya lebih superior. Selain perbedaan suku bangsa dan warna kulit, Islam juga mengakui adanya perbedaan strata sosial-ekonomi sebagai anugerah dari Allah.

Allah dengan tegas menyatakan, ”Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa." (TQS. AI-Hujurat [49]: 13). Dalam hadits shahih, Nabi SAW juga tegas menyatakan, ”Wahai manusia, ingatlah, bahwa Tuhan kalian satu, dan nenek moyang kalian juga satu [Adam]. Ingatlah, bahwa tidak ada kemuliaan bagi bangsa Arab atas bangsa lain non-Arab, juga bangsa non-Arab atas bangsa Arab, bangsa kulit putih atas kulit hitam, begitu juga kulit hitam atas bangsa kulit putih, kecuali karena ketakwaannya. Apakah aku sudah menyampaikan?” Mereka menjawab, ”Rasulullah Saw. telah menyampaikan.” (HR. Ahmad)

Islam dan kafir juga fakta yang ada di tengah-tengah masyarakat, karena menjadi Muslim dan kafir adalah pilihan. Dengan segala konsekuensinya, maka pilihan itu pun dihormati oleh Islam. Sampai Allah SWT melarang kaum Muslim, termasuk khilafah, memaksa orang kafir untuk memeluk islam, ”La ikraha fi ad-dini” [Tidak ada paksaan [bagi kaum kafir] untuk memeluk agama [Islam].” (TQS. Al-Baqarah [02]: 256).

Nabi juga mengajarkan, dan menginstruksikan kepada para walinya di daerah. Dalam surat baginda dinyatakan, ”Siapa saja yang tetap dengan keyahudian dan kenasraniannya, maka tidak boleh dipaksa atau dibujuk [untuk meninggalkan agamanya].” Ketentuan ini terus dipegang teguh dan diterapkan dalam sepanjang sejarah khilafah. Umat Islam, Kristen, Yahudi, Majusi dan yang lain bisa hidup denqan damai di bawah naungan khilafah, dengan pilihan keyakinan masing-masing.

Meski orang-orang non-Muslim diakui sebagai warga negara Khilafah dan disebut sebagai ahli dzimmah, tidak berarti mereka merupakan warga kelas kedua. Tidak. Hak-hak mereka sebagai warga negara, seperti mendapatkan jaminan kebutuhan pokok individu, sandang, papan dan pangan, termasuk kebutuhan pokok masyarakat, seperti keamanan, kesehatan dan pendidikan, semuanya dijamin oleh khilafah.

Diskriminasi terhadap kelompok non-Muslim juga tidak terjadi di dalam negara khilafah. Pemicu konflik antarumat beragama yang melibatkan elemen umat Islam justru dipicu oleh perilaku kalangan non-Muslim. Karena pengkhianatan mereka terhadap dzimmah-nya, orang-orang Yahudi diusir dari Madinah, karena pengkhianatan mereka. Mereka kemudian diusir dari Jazirah Arab, juga di zaman 'Umar bin Khatthab karena pengkhianatan mereka.

Perlindungan Islam

Islam adalah sistem kehidupan yang telah menjamin kebersamaan dan keadilan bagi semua manusia. Secara fikrah maupun thariqah, seluruh hukum Islam memberikan perlindungan bagi semua kalangan; lintas sosial, suku bangsa, bahkan hingga lintas agama.

Dalam sistem Islam tidak dikenal dikotomi masyarakat mayoritas-minoritas. Sekalipun kaum Muslim dominan di suatu wilayah khilafah, bukan berarti mereka memiliki keistimewaan atau hak prerogatif yang tidak bisa dimiliki warga minoritas. Di hadapan syariah Islam semua warga adalah sama.

Kaum Muslim juga dilarang untuk menghina sesembahan dan simbol-simbol sesembahan kalangan non-Muslim, sebagaimana firman-Nya, ”Janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (TQS. al-An'am [6]: 108).

Karena itu, praktik kehidupan yang majemuk, plural, atau apapun sebutannya telah menjadi catatan emas dalam sejarah yang ditorehkan umat Islam dan negara khilafah sepanjang I4 abad.

Semua terwujud dalam satu wadah khilafah, yang di dalamnya aturan Islam yang agung diterapkan dan memberikan jaminan kehidupan yang terbaik bagi seluruh masyarakat. Catatan apik ini diakui oleh para sejarawan Barat. T.W. Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam, menyatakan bahwa Uskup Agung Kristen dan Sinoda Agung bebas memutuskan segala hal yang berkenaan dengan keyakinan dan dogma tanpa menerima intervensi apapun dari negara. Sesuatu yang justru tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan para Kaisar Byzantium.

Keadilan dan kebersamaan status di mata hukum yang membuat kalangan non-Muslim tetap tunduk dan menjaga keutuhan khilafah sekalipun ada masa jumlah warga non-Muslim di banyak wilayah lebih dominan dibandingkan kalangan kaum Muslim.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 190
---

Selasa, 20 Juni 2017

Hikmah Emas Aksi 212



Aksi Bela Islam 3 pada 2 Desember 2012 mencatatkan diri sebagai aksi terbesar umat Islam Indonesia hingga saat ini. Jumlahnya jutaan, bahkan ada yang memperkirakan jumlahnya 3 sampai 4 juta orang. Siapapun tidak menduga -termasuk panitia- umat Islam dari berbagai daerah bisa berkumpul di Jakarta untuk menuntut agar penista Al-Qur’an ditahan.

Sebelumnya berbagai cara dilakukan oleh pemerintah dibantu oleh aparat keamanan untuk mencegah massa datang ke Jakarta. Intimidasi pun dirasakan tokoh-tokoh di daerah. Perusahaan-perusahaan otobus pun dilarang mengangkut massa ke Jakarta. Bahkan di jalan pun, aparat keamanan berusaha menghadang rombongan yang sudah kadung berangkat dengan alasan yang tidak masuk akal alias dicari-cari.

Tapi semua rencana makar pemerintah terhadap umat Islam itu gagal. "Itu semua pertolongan Allah SWT,” ujar Ketua Dewan Penasihat Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF) Habib Muhammad Rizieq Syihab di Jakarta, Ahad (4/12/2016) saat menyampaikan evaluasinya terkait Aksi Bela Islam 3.

Menurutnya, tidak ada seorang habib, kyai, ulama, ormas, atau parpol manapun yang bisa mengumpulkan orang sebanyak itu untuk satu tujuan. Aksi pun berlangsung lancar, damai, tertib dan menuai banyak pujian.

Ia mengungkapkan, pertolongan juga datang ketika Allah SWT memperlihatkan keindahan persatuan dan kebersamaan umat Islam. Pada Aksi Bela Islam 1 dan 2, keindahan tersebut sudah diperlihatkan oleh Allah. "Pada Aksi Bela Islam II, indahnya persaudaraan hanya pada lokasi aksi. Tapi, kali ini persaudaraan ini tidak hanya di lokasi aksi,” katanya.

”Seperti yang saya katakan, bagaimana warga sepanjang jalan membantu saudara-saudara dari Ciamis yang berjalan kaki. Artinya, sentuhan itu masuk ke kampung-kampung. Ini menunjukkan nuansa kebersamaan umat Islam lebih nyata dan benderang,” ungkap Rizieq.

Menurut juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) M Ismail Yusanto menilai, Aksi 212 lalu telah membuktikan bahwa umat bisa bersatu. Jutaan umat dari berbagai kelompok atau elemen hadir dengan semangat atau spirit dan tujuan yang sama yakni membela Islam. Padahal sebelum ini, banyak orang skeptis ketika berbicara tentang persatuan umat. ”Ternyata pesimisme itu salah. Umat bisa bersatu,” jelas Ismail.

Keberhasilan persatuan umat ini, menurutnya, tidak lain didorong oleh kekuatan akidah Islam. ”Inilah aksi yang membuktikan dahsyatnya kekuatan dorongan akidah Islam,” kata Ismail yang saat aksi berbaur bersama massa di kawasan Jl. Merdeka Selatan.

Kuatnya dorong akidah ini, menurutnya, mampu menghancurkan segala penghalang yang dipasang oleh aparat keamanan dalam menggembosi acara itu. Ia yakini, bila bukan karena dorongan akidah, tidak mungkin umat segitu banyak bisa serempak hadir dengan penuh semangat juang, menerobos semua hambatan dan rintangan yang menghadang.

Ismail menjelaskan dampak dorongan akidah ini pula yang mewujudkan pengorbanan yang luar biasa di tengah umat. ”Coba lihat, karena semua bus dilarang, orang-orang Ciamis nekad jalan kaki. Ini pengorbanan luar biasa dan akhirnya menginspirasi kaum Muslim yang lain," jelasnya.

Di jalan mereka disambut oleh masyarakat bak pejuang yang mau berangkat ke medan laga. Di sepanjang jalan masyarakat menyediakan berbagai kebutuhan denqan cuma-cuma alias gratis. Semua dilakukan secara sukarela. Suasana kebersamaan sangat terasa. ”Perekatnya ya iman,” tandas Ismail.

Ia sepakat dengan Habib Rizieq, pertolongan Allah menjadikan hal yang tampak mustahil menjadi mungkin. Ia mengungkapkan, bagaimana bisa acara yang ditetapkan dalam waktu kurang 1 minggu berhasil menghadirkan jutaan orang? Bagaimana bisa jutaan orang yang tumplek bleg di sekitar Monas itu bisa berjalan tertib, rapi, bersih, nyaris tanpa insiden, dan dalam waktu sekejap tempat acara dan jalanan sekitar Monas bersih seperti semula. Hujan yang datang di saat yang tepat telah memberikan jalan buat mereka yang ketika itu harus kembali berwudhu, sekaligus membuat suasana area aksi menjadi lebih sejuk. ”Inilah pertolongan Allah. Inilah tadbirur rabbani (manajemen ilahiyah),” katanya bersemangat.

Keberhasilan aksi ini, kata Ismail, menunjukkan kekuatan dan keagungan umat Islam. Menurutnya, ini sinyal sangat jelas kepada siapapun untuk tidak bermain-main dengan umat Islam. ”Sudah sangat lama umat di negeri ini disepelekan, dilecehkan dan diabaikan. Aksi lalu menegaskan, semua itu tidak boleh lagi terjadi. Kekuatan psikologis seperti inilah yang saya kira kemudian menggerakkan Presiden untuk hadir di tempat acara,” jelasnya.

Dan pasca Aksi 212, masih ada energi besar yang tersimpan di tubuh Umat. Mereka bisa keluarkan kembali.

Ar-Rayah Disambut Hangat Umat

Sebuah bendera raksasa berwarna hitam berukuran 15 m x 10,5 meter bertuliskan kalimat syahadat: La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah, berwarna putih diarak berkeliling di atas kepala massa yang memenuhi pelataran Monumen Nasional, Jakarta dalam Aksi 212. Bendera produksi syabab Hizbut Tahrir lndonesia (HTI) Chapter Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini bergerak bak gelombang dari tangan ke tangan. Tak ada satupun yang risih terhadap bendera tersebut. Semua saling membantu membentangkan Ar-Rayah -nama sebutan bendera Rasulullah tersebut.

Sampai akhirnya, Ar-Rayah menjadi ikon foto di sejumlah media baik dalam maupun luar negeri. Pengambilan gambar dari drone tak hanya memfokuskan pada jumlah massa yang besar, tapi juga membidik Ar-Rayah yang terbentang di tengah-tengah massa.

Sambutan massa yang luar biasa inipun mengisyaratkan bahwa stigmatisasi negatif terhadap bendera Rasulullah oleh aparat kepolisian khususnya Densus 88 -selalu berusaha mengidentikkan bendera itu dengan bendera ISIS- tak berhasil. Umat sangat memahami, bendera itu adalah bagian dari Islam. Makanya, sebagaimana bisa dilihat dan didengar di Youtube, massa melafalkan tahmid ketika memindahkan bendera raksasa ini.

Aksi 212 ini sekaligus menjadi ajang mengenalkan bendera Rasulullah yang selama ini masih asing di benak kaum Muslim. Ke depan semoga mereka menjadi garda terdepan untuk menegakkan panji-panji tersebut di muka bumi. []emje

Menjaga Spirit 212

Tanggal 2 Desember 2017 menjadi hari yang bersejarah bagi kaum Muslim di Indonesia. Inilah hari ketika ada pertemuan akbar umat Islam di jantung Ibukota Jakarta. Lebih dari 6 juta orang tumplek di Monumen Nasional dan sekitarnya. Bukan sekadar bertemu, mereka menuntut agar penista Al-Qur’an yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ditahan. Aksi 212, begitu orang menyebut, sekaligus menunjukkan betapa kaum Muslim mampu melaksanakan aksidengan damai, tertib, dan bermartabat.

Hujan deras yang mengguyur arena aksi bertepatan dengan saat pelaksanaan shalat Jum’at tak membuat jutaan orang buyar. Mereka seolah menjadikan air dari langit itu sebagai air wudhu setelah sebelumnya sangat sulit mendapatkan air untuk bersuci.

Semangat mereka bertahan ini sama kuatnya dengan semangat mereka untuk datang dari berbagai daerah. Upaya sistematis yang dilakukan oleh aparat keamanan agar massa tidak ke Jakarta mereka lawan dengan semangat juang dan pengorbanan. Ribuan Muslim Ciamis, Jawa Barat, menjadi pendobrak kebuntuan. Setelah mereka tak bisa mendapatkan bus-bus untuk mengantar mereka ke Jakarta, mereka mengambil keputusan di luar dugaan: berjalan kaki. Justru aksi luar biasa itu menggugah kesadaran baru bagi kaum Muslim di tempat lain untuk berbondong-bondong ke Jakarta. Mereka merasa malu jika hanya berdiam diri. Jadilah Aksi 212 sebuah pertemuan akbar di luar prediksi siapapun.

Dorongan keimanan dan kecintaan mereka membela Islam adalah kuncinya. Dorongan ini mampu menggerakkan kaum Muslim di luar kebiasaan umumnya. Mereka rela mengorbankan harta dan waktunya untuk pergi ke Jakarta. Mereka berbagi tanpa memandang siapa yang mereka beri. Mereka rela memungut sampah-sampah orang lain. Di tengah lautan manusia, mereka saling menghormati dan menyayangi sehingga tidak ada insiden saling sikut dan injak di antara mereka. Semuanya sabar. Yah, berkat dorongan keimanan itu pula, pertolongan Allah datang.

Ini adalah pemandangan yang luar biasa indah. Kaum Muslim yang selama ini sering dilecehkan dan dihinakan di negerinya sendiri, bangkit membela agamanya. Mereka adalah sebuah kekuatan besar yang bisa menggilas siapapun. Sinyal persatuan umat ini begitu kentara.

Sayang, setelah itu tuntutan mereka belum terwujud. Ahok tetap berkeliaran mengumbar janji dalam kampanye. Tidak ditahan. Padahal, inilah tuntutan nyata dari aksi tersebut -bukan ibadah dan dzikir bersama. Namun, para penggerak aksi ini masih bersabar. Mereka tahu apa yang harus dilakukan jika negara sampai bermain-main dengan penista Al-Qur’an.

Umat pun sangat paham. Kalau sekarang mereka diam, bukan berarti menyerah, Mereka sementara istirahat untuk menunggu apa yang akan terjadi. Inilah yang harus dipahami para penguasa negeri ini. Dan suatu saat, gelombang itu akan bangkit kembali, membesar, dan melabrak siapapun yang menista Al-Qur’an.

Jikalau pun Ahok masuk penjara, itupun bukan akhir sebuah perjuangan. Masih banyak yang harus diperjuangkan oleh kaum Muslim negeri ini yakni menerapkan Al-Qur’an secara kaffah. Sebab, saat ini ayat suci itu masih diletakkan di bawah ayat konstitusi oleh negara. Bukankah itu pelecehan firman ilahi.

Tanpa menerapkan Al-Maidah 51 di sebuah negara yang diatur dengan aturan Islam, maka akan muncul Ahok-Ahok baru. Maka umat harus terus maju, dan bangkit untuk kemuliaan Islam. Jaga spirit Aksi 212 menyongsong perubahan ke arah penerapan Islam secara kaffah dalam naungan khilafah.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 187
---

Bila Sistem Tidak Diganti, Akan Lahir Ahok-Ahok Baru



Sekitar 4 sampai 7 juta orang berkumpul di Monas menuntut agar Ahok segera ditahan karena telah menjadi tersangka penista Al-Qur’an, padahal pengumuman akan Aksi 212 tersebut kurang dari sepekan. Menunjukkan apa ini? Dan kalau Ahok sudah dipenjara, selesaikah perjuangan? Di seputar itulah wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.

Catatan penting Anda terkait Aksi 212?

Pertama, Aksi 212 lalu telah membuktikan bahwa umat bisa bersatu. Jutaan umat dari berbagai kelompok atau elemen hadir dengan semangat atau spirit dan tujuan yang sama: bela Islam. Sebelum ini, orang selalu skeptis ketika berbicara tentang persatuan umat. Ternyata pesimisme itu salah.

Kedua, inilah aksi yang membuktikan dahsyatnya kekuatan dorongan akidah Islam. Hanya dalam waktu kurang dari seminggu, di tengah berbagai cara yang dilakukan oleh aparat untuk menggembosi acara ini, ternyata tetap saja jutaan umat hadir. Bila bukan karena dorongan akidah, tidak mungkin umat segitu banyak bisa serempak hadir dengan penuh semangat juang, menerobos semua hambatan dan rintangan yang menghadang.

Ketiga, Aksi 212 juga membuktikan bagaimana dengan nasrullah atau pertolongan Allah, hal yang tampak mustahil menjadi mungkin. Bagaimana bisa acara yang ditetapkan dalam waktu kurang 1 minggu berhasil menghadirkan jutaan orang? Bagaimana bisa jutaan orang yang tumplek bleg di sekitar Monas itu bisa berjalan tertib, rapi, bersih, nyaris tanpa insiden, dan dalam waktu sekejap tempat acara dan jalanan sekitar Monas bersih seperti semula. Inilah pertolongan Allah. Inilah tadbirur rabbani (manajemen ilahiyah).

Keempat, Aksi 212 ini juga dengan gagah berhasil menunjukkan kekuatan dan keagungan umat Islam, serta memberikan isyarat sangat gamblang kepada siapapun untuk tidak bermain-main dengan umat Islam. Sudah sangat lama umat di negeri ini disepelekan, dilecehkan dan diabaikan. Kekuatan psikologis seperti inilah yang saya kira kemudian menggerakkan Presiden untuk hadir di tempat acara.

Bila pada Aksi 411 lalu, Presiden menghindar, kini ia malah mendatangi dan harus mendengarkan khutbah Jumat yang disampaikan oleh Habib Rizieq Shihab, orang yang konon paling dibenci oleh Presiden, yang sangat menyengat dan menggetarkan nurani siapapun yang masih ada iman di dadanya.

Tanggapan Anda dengan adanya Ar-Rayah raksasa dalam aksi tersebut?

Masya Allah. Ini juga luar biasa. Hebat. Hadirnya panji Rasulullah, ar-Rayah, bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid, yang dibentangajalankan di atas kepala jutaan peserta telah memberikan warna khusus pada Aksi 212 kemarin. Seolah menegaskan bahwa ”Kami datang dengan dorongan tauhid. Kami disatukan oleh tauhid, dan kami berjuang untuk tegaknya kalimah tauhid.”

Dan foto-foto ar-Rayah membentang di tengah lautan manusia dalam Aksi 212 itu, menurut saya, telah menjadi best picture. Itulah mengapa kemudian banyak dijadikan foto headline media massa di dalam dan luar negeri. Saya ingin mengucapkan selamat buat yang punya ide, juga tentu yang menggarapnya serta yang membawanya ke area aksi. Barakallahu fikum.

Bagaimana pula dengan aksi longmarch kafilah Ciamis untuk ikut aksi tersebut?

Ini sangat inspiratif. Awalnya diduga larangan masif dari pihak kepolisian kepada perusahaan otobis di berbagai kota untuk tidak membawa peserta aksi ke Jakarta akan membuat aksi ini gembos. Tapi ternyata justru sebaliknya. Larangan ini justru dilawan oleh ribuan santri dari Ciamis dengan cara yang sangat jitu: jalan kaki ke Jakarta.

Meski sudah berulang dibujuk oleh Kapolres dan Dandim setempat, bahkan juga Kapolda, untuk tidak melanjukan longmarch itu, tapi para santri tetap bergeming. Mereka kukuh melanjutkan perjalanan ke Jakarta dengan berjalan kaki. Di luar dugaan, aksi heroik ini kemudian menginspirasi aksi serupa di berbagai daerah dan memberikan suntikan spirit perjuangan luar biasa kepada seluruh peserta Aksi 212.

Namun, apakah Anda melihat ada upaya framing dari berbagai media sekuler?

Ya, jelas sekali.

Menurut Anda, mengapa ini dilakukan?

Mereka tentu tidak menginginkan dengan Aksi 212 itu umat Islam tampak kuat dan kokoh karena bersatu dan kompak. Karena itu mereka berusaha melakukan berbagai upaya untuk mendiskreditkan aksi tersebut, atau membuat framing sesuai untuk melakukan disadvantage terhadap aksi tersebut.

Indikasinya apa saja?

Pertama, menyangkut jumlah. Mereka berusaha keras untuk tidak memberitakan yang sebenarnya. Perhatikan, berapa jumlah peserta aksi yang mereka berulang kali sebut? Dengan beraninya Metro TV menyebut 50 ribu. Padahal massa memenuhi seluruh area Monas, jalanan sekitar Monas hingga bundaran HI, Patung Tani dan perempatan Senen. Pasti jumlahnya jutaan.

Kedua, mereka juga berusaha untuk membingkai acara itu sekadar sebagai acara doa dan ibadah. Substansi protes dan tuntutan penjarakan Ahok coba ditutupi atau dialihkan.

Ketiga, mereka juga berusaha meletakkan aksi itu sebagai ancaman atas persatuan dan kebhinnekaan, karena itu mereka kemudian mendukung aksi-aksi yang menyerukan persatuan seperti Parade Kita Indonesia (PKI) pada 412 lalu. Padahal, penistaan terhadap Al-Qur’an yang dilakukan Ahok itulah yang semestinya ditunjukkan telah mengancam persatuan dan kebhinnekaan.

Selain media sekuler, bila sebelumnya Presiden dan Kapolri nampak seperti membela Ahok kini giliran Jaksa Agung juga tampaknya seperti membela Ahok.

Maklumlah, Jaksa Agung kan kader Nasdem. Sedang Nasdem pendukung Ahok. Maka, menjadi kewajiban suci bagi dia untuk membela Ahok. Pokoknya hari gini, dengan rezim macam ini, tak usahlah membayangkan akan tegak keadilan, apalagi untuk seorang Ahok. Ahok bagi mereka bagai dewa suci yang harus terus dilindungi, at all cost (berapapun ongkosnya).

Melihat kenyataan tersebut, apa semestinya yang harus dilakukan ulama dan umat Islam?

Tidak boleh berhenti berjuang. Terus awasi proses peradilan. Tapi juga jangan hanya berhenti sampai di soal Ahok. Andaipun Ahok berhasil dijebloskan ke penjara, kita harus tetap berjuang untuk melenyapkan sistem sekuler ini, yang telah melahirkan seorang Ahok. Bila sistem busuk ini tidak segera diganti pasti akan lahir lagi Ahok-Ahok baru, karena sistem sekuler memang membuka peluang lahirnya pemimpin semacam itu.

Di sinilah pentingnya perjuangan penegakan syariah dan khilafah harus terus digelorakan. Pasca Aksi 212, saya optimis, insya Allah perjuangan ke arah sana akan makin mendapat dukungan umat. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 187
---

Senin, 19 Juni 2017

Islam Membuat Kebhinekaan Jadi Berkah


ilustrasi dakwah ideologi Islam

Keberagaman atau kebhinekaan di masyarakat merupakan sebuah keniscayaan. Keberagamaan merupakan sunatullah. Karena itu keberagaman akan terus ada di masyarakat, tidak akan pernah hilang.

Umat manusia memang beragam dari berbagai sisi; agama, suku, warna kulit, bahasa, status ekonomi, posisi di masyarakat dan sebagainya. Allah SWT menciptakan manusia dalam ragam suku dan bangsa, misalnya, agar manusia saling mengenal. Allah SWT berfirman: "Hai manuisia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal.” (TQS. Al-Hujurat [49]: 13).

Syihabuddin Mahmud al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma’ani menjelaskan kata ”lita'arafu” yakni ”Kami menjadikan kalian demikian agar sebagian mengenal sebagian yang lain sehingga kalian menyambung kekerabatan serta menjadi jelas nasab, dan saling mewarisi, bukan agar kalian saling berbangga dengan nenek moyang dan suku”.

Imam asy-Syaukani dalam tafsirnya Fathu al-Qadir menjelaskan, ”Allah saling melebihkan di antara mereka sehingga Allah SWT menjadikan sebagian mereka lebih dari sebagian lainnya dalam hal dunia berupa rezeki, kepemimpinan, kekuatan, kemerdekaan, akal dan ilmu... Liyattakhidza ba'dhuhum ba'dh[an] suhriy[an], yakni agar sebagian mereka menggunakan sebagian yang lain sehingga orang kaya menggunakan yang miskin, pemimpin atas yang dipimpin, yang kuat terhadap yang lemah, yang merdeka terhadap hamba sahaya, orang berakal terhadap yang di bawahnya dalam hal akal, orang berilmu terhadap orang yang tidak berilmu. Ini adalah galibnya kondisi penduduk dunia. Dengan itu kemaslahatan mereka sempurna, kehidupan mereka teratur dan masing-masing sampai pada apa yang dicari... Jadi Allah SWT menjadikan sebagian memerlukan sebagian lainnya agar terjadi saling tolong-menolong di antara mereka dalam perhiasan dunia."

Dengan demikian adanya keberagaman itu bukan suatu masalah. Masalahnya juga bukan mempertahankan atau merawat keberagaman itu, melainkan bagaimana keberagaman itu disikapi dan diatur. Ini agar keberagaman tidak menjadi bencana bagi manusia. Terwujud atau tidaknya hikmah itu bergantung pada pengaturan atas kerjasama dan interaksi berkaitan dengan keberagaman itu.

Baik-tidaknya keberagaman itu berkaitan dengan: Pertama, bagaimana setiap orang bisa mendapat akses atas pelayanan oleh negara, mendapat jaminan pemenuhan kebutuhan pokok serta merasakan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar berupa pendidikan, kesehatan dan perlindungan keamanan dan rasa aman.

Kedua, bagaimana setiap orang bisa merasakan akses yang sama atas peluang untuk mendapat kehidupan yang layak, bisa mendapat perlakuan yang adil di depan hukum, bisa merasakan pemerataan distribusi kekayaan.

Ketiga, bagaimana seluruh masyarakat bisa terhindar dari apa saja yang bisa membahayakan masyarakat baik kriminal, narkoba, perilaku menyimpang, dll.

Kunci

Kunci mewujudkan semua itu ada dua: Pertama, aturan yang benar, adil dan berkeadilan yang digunakan untuk mengatur semua urusan dan interaksi di masyarakat. Sistem dan aturan yang seperti itu adalah sistem dan aturan Islam.

Kedua, penyelenggara negara (penguasa dan aparatur) yang menjalankan dan menerapkan sistem dan aturan di tengah masyarakat memiliki sifat amanah dan peduli terhadap rakyat. Kuncinya adalah karena faktor iman dan ketakwaan yang ada pada diri penguasa dan aparatur serta kontrol dari masyarakat. Itu juga hanya bisa diwujudkan seutuhnya oleh sistem dan aturan Islam.

Penerapan syariah Islam dalam format kekuasaan dan sistem Islam telah terbukti membuat keberagaman menjadi berkah di masyarakat. Keberagaman tetap ada tanpa timbul problem. Dan itu telah berlangsung berabad-abad.


Hafidz Abdurrahman, Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI

Tak Akan Hapus Kebhinnekaan

Mengapa ada yang menganggap Islam bertentangan dengan kebhinekaan?

Bhinneka tunggal ika itu apa maknanya? Jika maknanya berbeda tapi tetap satu, yaitu satu sebagai bangsa Indonesia, ya faktanya memang begitu. Inilah yang disebut pluralitas, bukan pluralisme. Pluralitas itu artinya, kita memang bangsa yang majemuk. Ada banyak suku dan agama.

Apakah fakta seperti ini bertentangan dengan Islam? Jawabannya, tidak. Pertama, terkait dengan perbedaan etnik dan suku, jelas merupakan fitrah penciptaan manusia, yang tidak bisa dipilih. Al-Qur’an sendiri menyatakan begitu, “Ya Ayyuha an-nas, inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa, wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila lita’arafu” [Wahai manusia, Kami jadikan kalian, ada yang laki dan wanita, dan Kami jadikan kalian berbangsa dan bersuku agar kalian saling mengenal], [TQS. al-Hujurat: 13].

Kedua, terkait dengan perbedaan agama itu pilihan. Di dalam Islam pun, orang yang berbeda agama tidak boleh dipaksa memeluk Islam. Mereka bahkan bisa hidup berdampingan dengan Muslim, dalam Negara Islam, sebagai ahli dzimmah.

Apakah Islam akan menghapus kebhinnekaan? Jelas tidak. Bahkan, sejarah membuktikan kaum Muslim, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan selama ratusan tahun. Will Durant, dalam bukunya, the Story of Civilization, memberikan pengakuan dan apresiasi yang jujur terhadap bagaimana keadilan Islam terhadap non-Muslim.

Bagaimana pandangan Islam terhadap keberadaan agama lain?

Islam memandang, selain Islam adalah kafir, jelas. Tetapi, tidak berarti semua orang kafir lalu diperangi. Karena mereka ada yang mau tunduk dan hidup di dalam sistem Islam, dan diakui sebagai warga negara Islam. Mereka mendapatkan hak-hak dasar yang sama dengan kaum Muslim, seperti sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Pada saat yang sama, mereka tetap dibolehkan memeluk agama mereka. Inilah mengapa penganut agama lain tidak punah meski ratusan tahun diperintah oleh Islam.

Haruskah non-Muslim khawatir dengan Islam?

Tidak perlu. Mengapa? Karena, ketika Islam diterapkan, agama mereka pun tidak akan dimusnahkan. Mereka tidak akan dipaksa memeluk Islam. Justru, Islam akan menjamin kebebasan mereka beragama, termasuk peribadatan mereka, makan, minum, pakaian, nikah dan cerai. Islam tidak mengenal pengadilan inkuisisi sebagaimana yang diterapkan kaum Kisten saat mereka merebut Spanyol dari tangan kaum Muslim.

Jadi, apa yang mereka harus mereka khawatirkan?

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 186
---

Sabtu, 17 Juni 2017

Sindrom Chicago Intai Indonesia


Apa artinya punya rumah dan mobil mewah,jika hidup seorang diri tanpa nikah sampai menua? Apa bahagianya bisa keliling dunia, bulan madu setiap hari dengan pasangan, tanpa kehadiran anak dalam pernikahan, disebabkan enggan hamil dan melahirkan? Apa nikmatnya berpenghasilan sendiri belasan atau puluhan juta, tapi keluarga tercerai-berai? Apa tenteramnya di masa tua jika hidup merana meski berlimpah harta?

Bagi manusia normal yang mendengarkan hati nuraninya terdalam, pasti tak mau mengalami kondisi seperti di atas. Dalam fase hidup, pasti ingin menikah, meski dengan pasangan yang bersahaja. Setelah nikah, pasti merindukan kehamilan, melahirkan keturunan sebagai penyambung generasi. Sudah ada anak, pasti ingin keluarga terus rukun, bisa membesarkan anak bersama hingga ajal memisahkan.

Begitu seharusnya kehidupan normal manusia, sejak zaman dahulu hingga yang akan datang. Namun saat ini, fenomena seperti itu mulai terancam punah. Sedikit demi sedikit, konsep hidup manusia modern kian bergeser.

Banyak yang memilih hidup melajang, saking sibuknya mengejar materi dan tak punya waktu mencari pasangan. Asal punya uang, lebih bebas hidup sendirian. Bujangan-perawan yang sejatinya merana, tapi menutupi kondisi sesungguhnya dengan gila kerja. Kemapanan baginya adalah memiliki karier yang bagus, rumah sendiri, mobil dan segala perabotannya.

Ada juga pasangan modern yang sejak menikah enggan memiliki anak. Apalagi jika sang istri perempuan sibuk, merasa anak menjadi beban bagi pengembangan dirinya. Fitrah perempuan sayang anak, ditekan habis-habisan agar tidak muncul. Disibukkanlah dengan karier, shopping, koleksi, dan gaya hidup yang dianggap membahagiakan.

Kehidupan seperti itu, banyak ditemukan di negara-negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Jerman, Korea Selatan, dll. Hampir seluruh negara yang katanya maju setara fisik, mengalami fenomena kehancuran sosial yang disebut sindrom Chicago. Maju di satu sisi, tapi mundur di sisi lain. Pembangunan dan teknologi maju, tapi aspek sosial kemanusiaan merosot tajam. Sebuah paradoks yang sangat memprihatinkan.

Hancurnya Peradaban Sekuler

Peradaban sekuler saat ini memacu manusia untuk mengejar kemajuan duniawi setinggi-tingginya. Kemajuan yang dikejar itu, diukur dari menggelembungnya pendapatan per kapita, menjulangnya gedung bertingkat, menterengnya gaya hidup masyarakat dan simbol-simbol kemajuan fisik lainnya.

Tetapi di sisi lain, aspek-aspek kemanusiaan kian ditanggalkan. Pernikahan tidak lagi diimpikan, membangun keluarga tak lagi diidamkan, merawat dan membesarkan anak tak lagi jadi tujuan. Manusia tidak lagi hidup menjalani fitrahnya, melainkan bak robot tanpa perasaan.

Fenomena tersebut tampaknya sudah mulai melanda Indonesia yang kian sekuler dan liberal. Buktinya, bangunan keluarga kian rapuh. Ketahanan keluarga terancam ambruk. Pernikahan kian tidak dihormati. Jumlah lajang kian menjulang. Usia pernikahan kian menua. Sementara volume duda dan janda makin menggelembung. Krisis sosial pun melanda. Jelas ini ancaman serius yang harus dibenahi. Siapa paling bertanggung jawab?

Negara Ujung Tombak

Buruknya kondisi sosial masyarakat saat ini adalah ancaman serius bagi masa depan bangsa. Bukan kemajuan hakiki, jika kemajuan fisik tidak dibarengi dengan ketinggian moral. Bukan peradaban yang baik, jika kemajuan fisik malah diikuti kemerosotan moral. Jelas hal itu tidak akan menjadi sumber kebahagiaan, kecuali semu.

Fenomena di negara-negara maju, mereka kering dari sisi spiritual dan moral. Akibatnya, angka depresi dan bunuh diri cenderung tinggi. Peradaban yang baik, seharusnya menjamin kebahagiaan setiap manusia. Jika sebaliknya, itu pertanda hancurnya peradaban.

Ancaman sindrom Chicago ini, tentu hanya bisa diselesaikan dengan peran besar negara. Bahkan, negara seharusnya yang menjadi pilar utama (soko guru) untuk merealisasikan kehidupan yang baik, maju secara fisik maupun moral.

Pasalnya, buruknya kondisi masyarakat saat ini adalah persoalan sistemik. Persoalan individu, keluarga dan masyarakat hari ini, tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan negara. Tidak terlepas dari sistem apa yang diterapkan negara dalam seluruh aspek kehidupan. Maka, sistem sekuler kapitalis harus diganti dengan sistem Islam.

Pertama, dalam hal politik, seharusnya negara bertindak sebagai pelayanan (khadamah) umat, yakni senantiasa memberikan yang terbaik bagi rakyatnya. Tidak berlaku sebagai pedagang, yang selalu berpikir untung rugi dalam melayani rakyat. Akibatnya, rakyat menanggung penderitaannya sendiri.

Di bidang ekonomi, negara sebagai penjamin seluruh kebutuhan umat. Misalnya, menjamin nafkah pokok keluarga sehingga keluarga tangguh secara ekonomi. Jika sudah tangguh, keluarga niscaya harmonis. Tak perlu mengeluarkan para perempuan dari rumah-rumahnya secara masif, didorong untuk bekerja keras.

Dalam hal sosial, seharusnya negara melarang kehidupan bebas yang menjerumuskan manusia pada amoral. Seperti melarang pergaulan bebas dan menghukum tegas pelakunya, memberantas perzinaan, pelacuran, pornografi dan sejenisnya. Agar terwujud kehidupan sosial yang sehat dan bermartabat. Manusia dihargai sebagai manusia, berperilaku penuh etika dan tidak bebas seperti binatang.

Demikian pula bidang pendidikan dan kesehatan, semestinya disediakan dengan gratis dan berkualitas oleh negara. Dengan begitu masyarakat fokus mencerdaskan dirinya, mendidik generasi lebih terarah dan serius, hingga lahirlah manusia-manusia cerdas dan beradab. Kurikulum pendidikan berbasis islam diterapkan, sehingga anak didik menjadi generasi berkualitas. Dan masih banyak bidang lainnya yang hanya bisa terwujud jika sistem khilafah yang diterapkan.

Perempuan Punya Peran

Krisis moral, krisis sosial, krisis keluarga sangat dekat dengan isu perempuan. Perempuan adalah tiang negara. Jika perempuan tangguh, cerdas, baik, bermoral, paham politik dan paham Islam, niscaya mampu menjalankan peran dengan semestinya. Menikah, menjadi ibu dan pendidik generasi terbaik.

Selain di dalam rumahnya, perempuan juga punya peran besar dalam ikut serta menyelamatkan keluarga, generasi dan negara. Maka, sudah saatnya kaum Muslimah, sebagai pemeran utama sebuah keluarga dan masyarakat, ikut memperjuangkan tegaknya khilafah. []kholda

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 188
---

Jumat, 16 Juni 2017

MEA Mimpi Buruk Jadi Nyata



Mimpi Buruk Itu Datang…

Start telah dilalui. Kran liberalisasi dibuka selebar-lebarnya. Siap tidak siap rakyat Indonesia harus menghadapi kenyataan, persaingan pasar bebas.

Di tengah kekhawatiran berbagai kalangan atas ketidaksiapan Indonesia, Presiden Jokowi mengimbau masyarakat Indonesia agar tidak takut menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Meski dihadapkan pada kompetisi dengan negara-negara tetangga, Jokowi optimistis, Indonesia mampu bersaing di MEA. Ia berdalih, kehawatiran juga muncul dari negara lain karena kondisi ekonomi sulit diprediksi. Negara-negara kompetitor juga takut produk Indonesia akan membanjiri negara mereka.

"Kenapa kita ikut-ikutan takut? Seharusnya kita percaya diri meski banyak yang harus dibenahi tapi kita bisa bersaing,” kata dia saat memberikan sambutan dalam Rakernas I PDIP di JIEXPO Kemayoran, Jakarta Utara, Ahad (10/1/2016).

Presiden Jokowi mengumbar optimismenya. Namun di lapangan, sebenarnya belum siap sama sekali.

Fakta yang dikemukakan Ketua Purna Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Zaenal Abidin menunjukkan hal itu. Ia mengatakan, hanya pemerintah yang selalu mengaku siap dalam menghadapi MEA. Sementara seluruh rakyat, termasuk para dokter tidak siap.

”Kalau saya lihat hanya pemerintah saja yang siap menghadapi globalisasi perdagangan bebas itu. Namun, rakyat tidak siap. Jadi, pemerintah siap, rakyatnya tidak dipersiapkan untuk bertarung,” kata Zaenal seperti dikutip republika.co. id, Selasa (5/12/2015).

Ia menambahkan, globalisasi bukanlah persoalan perorangan, tapi persoalan kelompok ekonomi, teknologi, dan informasi. Semua itu, kata dia, belum dimiliki rakyat Indonesia.

"Dokter mereka dimodali oleh negaranya dan perusahaannya dan masuk ke kita. Emang kita punya? Nggak ada. Negara mereka ikut campur tangan, tapi kita dilepas,” katanya menjelaskan.

Menurutnya, negara Singapura dan Malaysia lebih kuat dibandingkan dengan Indonesia di sektor kesehatan karena kedua negara tetangga tersebut mempunyai modal.

"Ini pertandingan ber-grup antar bangsa. Jadi dia tidak datang pribadi, dia datang dalam bentuk grup yang punya modal, melawan kita yang sendiri-sendiri,” kata Zaenal.

Ia melanjutkan, orang Indonesia masih banyak yang berobat ke luar negeri karena teknologi mereka lebih bagus daripada teknologi kedokteran di Indonesia. Padahal, kata dia, orang Indonesia sebenarnya juga bisa mengobati berbagai macam penyakit, hanya saja alatnya tidak memadai.

Amputasi Peran Negara

MEA telah memaksa pelaku ekonomi domestik untuk bertarung secara bebas. Padahal, sebagian pelaku ekonomi justru masih membutuhkan perlindungan agar bisa tumbuh kuat menghadapi persaingan. Belum lagi, pengelolaan negara yang buruk membuat iklim usaha di negara ini sangat tidak efisien seperti harga BBM yang mahal, biaya logistik yang tinggi, modal yang sulit diakses serta berbagai pungutan baik dalam bentuk pajak ataupun pungutan liar.

MEA juga akan memperkecil peran pemerintah untuk mengendalikan masuknya tenaga kerja profesional asing ke negara ini. Saat ini, memang baru delapan profesi yang disepakati untuk dibebaskan yaitu: dokter, dokter gigi, perawat, akuntan, insinyur, arsitek, surveyor, dan pelaku usaha pariwisata. Namun ke depannya, profesi-profesi lainnya secara bertahap juga akan dibebaskan.

Jika saat ini investor asing sudah membanjiri Indonesia, MEA akan kian membuka kran lebih luas lagi. Padahal selama ini berbagai sektor ekonomi telah disesaki investor asing seperti pada sektor migas, mineral dan batubara, perkebunan, dan industri manufaktur. Liberalisasi investasi berarti meningkatkan transfer keuntungan ke negara lain, juga akan menjadikan investor asing lebih merajalela.

Pasalnya, seluruh investor asing dan domestik harus diperlakukan setara, tanpa ada diskriminasi baik dari sisi perizinan, pendirian, produksi hingga penjualan. Pemerintah juga tidak diperkenankan memaksa perusahaan-perusahaan asing untuk meningkatkan ekspor dalam rangka meningkatkan devisa negara. Mereka juga tidak bisa ditekan untuk menyerap tenaga kerja lokal.

Ironisnya lagi, jika investor asing menganggap kebijakan-kebijakan pemerintah merugikan mereka, maka mereka dapat menuntut pemerintah ke pengadilan arbitrase internasional. Alhasil, pemerintah tidak dapat dengan mudah mengontrol eksistensi perusahaan asing di negara ini.

"Sekat batas negara juga akan semakin luntur pada integrasi di sektor keuangan dan perbankan. Mereka yang meneriakkan NKRI harga mati pun harus berhadapan dengan kenyataan asing dan aseng berkeliaran mengeruk kekayaan negeri ini.

Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa negara lain seperti Singapura dan Malaysia dapat melakukan pencatatan di Bursa Efek Indonesia sehingga mereka lebih mudah menyerap dana investasi dari negara ini. Bank-bank asing juga akan lebih mudah membuka cabangnya di negara ini. Bank-bank Malaysia seperti Maybank dan CIMB dan bank-bank Singapura seperti Danamon, DBS, NISP, OCBC dan UOB akan lebih leluasa menghimpun dana nasabah dari negara ini.

Konsekuensi dari integrasi sektor keuangan ini membuat potensi risiko krisis di sektor moneter dan finansial akan semakin besar. Aliran keluar-masuk investasi portofolio akan semakin deras sehingga nilai tukar mata uang akan lebih mudah bergejolak. Krisis yang terjadi di suatu negara akan lebih mudah menjalar ke negara ASEAN lainnya. Jika itu terjadi, untuk memadamkan krisis lagi-lagi dengan menggunakan uang publik. Kalau sudah begitu, mimpi buruk itu benar-benar terjadi Pertanyaannya, dengan apa itu semua bisa dihentikan? Mikir...

MEA Dalam Pandangan Islam

MEA hakikatnya adalah liberalisasi ekonomi. Liberalisasi akan makin meminggirkan peran dan tanggung jawab negara dalam sektor ekonomi dan pengurusan rakyat. Semuanya diserahkan kepada individu dan mekanisme pasar. Hal itu jelas menyalahi Islam.

Islam menetapkan bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya: Rasul SAW bersabda: “Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan bertanggungjawab atas pengurusan mereka” (HR. Muslim).

MEA yang bernafaskan liberalisasi pasar mengharuskan minimalisasi peran negara mengatur perdagangan dan investasi luar negeri. Ini juga menyalahi Islam. Dalam Islam, perdagangan luar negeri merupakan hubungan antarnegara dan itu ada dalam tanggung jawab negara.

Dalam Islam negara memiliki kewenangan mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara lain, termasuk hubungan rakyatnya dengan rakyat negara lain, baik dalam bidang ekonomi, perdagangan atau lainnya. Karena itu perdagangan luar negeri tidak dibiarkan bebas tanpa kontrol negara.

Selain itu, liberalisasi telah dijadikan sarana efektif bagi penjajahan oleh pihak asing dan perusahaan multinasional. Ini jelas haram dan bertentangan dengan firman Allah SWT: “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin.” (TQS. an-Nisa' [4]: 141). Artinya, apapun yang menjadi sarana bagi kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin adalah haram.

Lebih dari itu, liberalisasi ekonomi termasuk MEA membawa potensi ancaman dan bahaya yang besar. Ini jelas-jelas haram. Sebabnya, Nabi SAW bersabda: “Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri di dalam Islam.” (HR. Ibn Majah).

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 166
---

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam