Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 16 Juni 2017

MEA Mimpi Buruk Jadi Nyata



Mimpi Buruk Itu Datang…

Start telah dilalui. Kran liberalisasi dibuka selebar-lebarnya. Siap tidak siap rakyat Indonesia harus menghadapi kenyataan, persaingan pasar bebas.

Di tengah kekhawatiran berbagai kalangan atas ketidaksiapan Indonesia, Presiden Jokowi mengimbau masyarakat Indonesia agar tidak takut menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Meski dihadapkan pada kompetisi dengan negara-negara tetangga, Jokowi optimistis, Indonesia mampu bersaing di MEA. Ia berdalih, kehawatiran juga muncul dari negara lain karena kondisi ekonomi sulit diprediksi. Negara-negara kompetitor juga takut produk Indonesia akan membanjiri negara mereka.

"Kenapa kita ikut-ikutan takut? Seharusnya kita percaya diri meski banyak yang harus dibenahi tapi kita bisa bersaing,” kata dia saat memberikan sambutan dalam Rakernas I PDIP di JIEXPO Kemayoran, Jakarta Utara, Ahad (10/1/2016).

Presiden Jokowi mengumbar optimismenya. Namun di lapangan, sebenarnya belum siap sama sekali.

Fakta yang dikemukakan Ketua Purna Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Zaenal Abidin menunjukkan hal itu. Ia mengatakan, hanya pemerintah yang selalu mengaku siap dalam menghadapi MEA. Sementara seluruh rakyat, termasuk para dokter tidak siap.

”Kalau saya lihat hanya pemerintah saja yang siap menghadapi globalisasi perdagangan bebas itu. Namun, rakyat tidak siap. Jadi, pemerintah siap, rakyatnya tidak dipersiapkan untuk bertarung,” kata Zaenal seperti dikutip republika.co. id, Selasa (5/12/2015).

Ia menambahkan, globalisasi bukanlah persoalan perorangan, tapi persoalan kelompok ekonomi, teknologi, dan informasi. Semua itu, kata dia, belum dimiliki rakyat Indonesia.

"Dokter mereka dimodali oleh negaranya dan perusahaannya dan masuk ke kita. Emang kita punya? Nggak ada. Negara mereka ikut campur tangan, tapi kita dilepas,” katanya menjelaskan.

Menurutnya, negara Singapura dan Malaysia lebih kuat dibandingkan dengan Indonesia di sektor kesehatan karena kedua negara tetangga tersebut mempunyai modal.

"Ini pertandingan ber-grup antar bangsa. Jadi dia tidak datang pribadi, dia datang dalam bentuk grup yang punya modal, melawan kita yang sendiri-sendiri,” kata Zaenal.

Ia melanjutkan, orang Indonesia masih banyak yang berobat ke luar negeri karena teknologi mereka lebih bagus daripada teknologi kedokteran di Indonesia. Padahal, kata dia, orang Indonesia sebenarnya juga bisa mengobati berbagai macam penyakit, hanya saja alatnya tidak memadai.

Amputasi Peran Negara

MEA telah memaksa pelaku ekonomi domestik untuk bertarung secara bebas. Padahal, sebagian pelaku ekonomi justru masih membutuhkan perlindungan agar bisa tumbuh kuat menghadapi persaingan. Belum lagi, pengelolaan negara yang buruk membuat iklim usaha di negara ini sangat tidak efisien seperti harga BBM yang mahal, biaya logistik yang tinggi, modal yang sulit diakses serta berbagai pungutan baik dalam bentuk pajak ataupun pungutan liar.

MEA juga akan memperkecil peran pemerintah untuk mengendalikan masuknya tenaga kerja profesional asing ke negara ini. Saat ini, memang baru delapan profesi yang disepakati untuk dibebaskan yaitu: dokter, dokter gigi, perawat, akuntan, insinyur, arsitek, surveyor, dan pelaku usaha pariwisata. Namun ke depannya, profesi-profesi lainnya secara bertahap juga akan dibebaskan.

Jika saat ini investor asing sudah membanjiri Indonesia, MEA akan kian membuka kran lebih luas lagi. Padahal selama ini berbagai sektor ekonomi telah disesaki investor asing seperti pada sektor migas, mineral dan batubara, perkebunan, dan industri manufaktur. Liberalisasi investasi berarti meningkatkan transfer keuntungan ke negara lain, juga akan menjadikan investor asing lebih merajalela.

Pasalnya, seluruh investor asing dan domestik harus diperlakukan setara, tanpa ada diskriminasi baik dari sisi perizinan, pendirian, produksi hingga penjualan. Pemerintah juga tidak diperkenankan memaksa perusahaan-perusahaan asing untuk meningkatkan ekspor dalam rangka meningkatkan devisa negara. Mereka juga tidak bisa ditekan untuk menyerap tenaga kerja lokal.

Ironisnya lagi, jika investor asing menganggap kebijakan-kebijakan pemerintah merugikan mereka, maka mereka dapat menuntut pemerintah ke pengadilan arbitrase internasional. Alhasil, pemerintah tidak dapat dengan mudah mengontrol eksistensi perusahaan asing di negara ini.

"Sekat batas negara juga akan semakin luntur pada integrasi di sektor keuangan dan perbankan. Mereka yang meneriakkan NKRI harga mati pun harus berhadapan dengan kenyataan asing dan aseng berkeliaran mengeruk kekayaan negeri ini.

Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa negara lain seperti Singapura dan Malaysia dapat melakukan pencatatan di Bursa Efek Indonesia sehingga mereka lebih mudah menyerap dana investasi dari negara ini. Bank-bank asing juga akan lebih mudah membuka cabangnya di negara ini. Bank-bank Malaysia seperti Maybank dan CIMB dan bank-bank Singapura seperti Danamon, DBS, NISP, OCBC dan UOB akan lebih leluasa menghimpun dana nasabah dari negara ini.

Konsekuensi dari integrasi sektor keuangan ini membuat potensi risiko krisis di sektor moneter dan finansial akan semakin besar. Aliran keluar-masuk investasi portofolio akan semakin deras sehingga nilai tukar mata uang akan lebih mudah bergejolak. Krisis yang terjadi di suatu negara akan lebih mudah menjalar ke negara ASEAN lainnya. Jika itu terjadi, untuk memadamkan krisis lagi-lagi dengan menggunakan uang publik. Kalau sudah begitu, mimpi buruk itu benar-benar terjadi Pertanyaannya, dengan apa itu semua bisa dihentikan? Mikir...

MEA Dalam Pandangan Islam

MEA hakikatnya adalah liberalisasi ekonomi. Liberalisasi akan makin meminggirkan peran dan tanggung jawab negara dalam sektor ekonomi dan pengurusan rakyat. Semuanya diserahkan kepada individu dan mekanisme pasar. Hal itu jelas menyalahi Islam.

Islam menetapkan bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya: Rasul SAW bersabda: “Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan bertanggungjawab atas pengurusan mereka” (HR. Muslim).

MEA yang bernafaskan liberalisasi pasar mengharuskan minimalisasi peran negara mengatur perdagangan dan investasi luar negeri. Ini juga menyalahi Islam. Dalam Islam, perdagangan luar negeri merupakan hubungan antarnegara dan itu ada dalam tanggung jawab negara.

Dalam Islam negara memiliki kewenangan mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara lain, termasuk hubungan rakyatnya dengan rakyat negara lain, baik dalam bidang ekonomi, perdagangan atau lainnya. Karena itu perdagangan luar negeri tidak dibiarkan bebas tanpa kontrol negara.

Selain itu, liberalisasi telah dijadikan sarana efektif bagi penjajahan oleh pihak asing dan perusahaan multinasional. Ini jelas haram dan bertentangan dengan firman Allah SWT: “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin.” (TQS. an-Nisa' [4]: 141). Artinya, apapun yang menjadi sarana bagi kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin adalah haram.

Lebih dari itu, liberalisasi ekonomi termasuk MEA membawa potensi ancaman dan bahaya yang besar. Ini jelas-jelas haram. Sebabnya, Nabi SAW bersabda: “Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri di dalam Islam.” (HR. Ibn Majah).

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 166
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam