Mimpi
Buruk Itu Datang…
Start telah dilalui. Kran liberalisasi dibuka
selebar-lebarnya. Siap tidak siap rakyat Indonesia harus menghadapi kenyataan,
persaingan pasar bebas.
Di tengah kekhawatiran
berbagai kalangan atas ketidaksiapan Indonesia, Presiden Jokowi mengimbau
masyarakat Indonesia agar tidak takut menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA).
Meski dihadapkan pada
kompetisi dengan negara-negara tetangga, Jokowi optimistis, Indonesia mampu
bersaing di MEA. Ia berdalih, kehawatiran juga muncul dari negara lain karena
kondisi ekonomi sulit diprediksi. Negara-negara kompetitor juga takut produk Indonesia
akan membanjiri negara mereka.
"Kenapa kita
ikut-ikutan takut? Seharusnya kita percaya diri meski banyak yang harus
dibenahi tapi kita bisa bersaing,” kata dia saat memberikan sambutan dalam
Rakernas I PDIP di JIEXPO Kemayoran, Jakarta Utara, Ahad (10/1/2016).
Presiden
Jokowi mengumbar optimismenya. Namun di lapangan, sebenarnya belum siap sama
sekali.
Fakta yang dikemukakan
Ketua Purna Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Zaenal Abidin menunjukkan hal
itu. Ia mengatakan, hanya pemerintah yang selalu mengaku siap dalam menghadapi
MEA. Sementara seluruh rakyat, termasuk para dokter tidak siap.
”Kalau saya lihat
hanya pemerintah saja yang siap menghadapi globalisasi perdagangan bebas itu.
Namun, rakyat tidak siap. Jadi, pemerintah siap, rakyatnya tidak dipersiapkan
untuk bertarung,” kata Zaenal seperti dikutip republika.co. id, Selasa
(5/12/2015).
Ia menambahkan,
globalisasi bukanlah persoalan perorangan, tapi persoalan kelompok ekonomi,
teknologi, dan informasi. Semua itu, kata dia, belum dimiliki rakyat Indonesia.
"Dokter mereka
dimodali oleh negaranya dan perusahaannya dan masuk ke kita. Emang kita punya? Nggak ada. Negara mereka ikut campur tangan, tapi kita dilepas,”
katanya menjelaskan.
Menurutnya, negara
Singapura dan Malaysia lebih kuat dibandingkan dengan Indonesia di sektor
kesehatan karena kedua negara tetangga tersebut mempunyai modal.
"Ini pertandingan
ber-grup antar bangsa. Jadi dia tidak datang pribadi, dia datang dalam bentuk
grup yang punya modal, melawan kita yang sendiri-sendiri,” kata Zaenal.
Ia melanjutkan, orang
Indonesia masih banyak yang berobat ke luar negeri karena teknologi mereka
lebih bagus daripada teknologi kedokteran di Indonesia. Padahal, kata dia,
orang Indonesia sebenarnya juga bisa mengobati berbagai macam penyakit, hanya
saja alatnya tidak memadai.
Amputasi
Peran Negara
MEA telah memaksa
pelaku ekonomi domestik untuk bertarung secara bebas. Padahal, sebagian pelaku
ekonomi justru masih membutuhkan perlindungan agar bisa tumbuh kuat menghadapi
persaingan. Belum lagi, pengelolaan negara yang buruk membuat iklim usaha di negara
ini sangat tidak efisien seperti harga BBM yang mahal, biaya logistik yang
tinggi, modal yang sulit diakses serta berbagai pungutan baik dalam bentuk
pajak ataupun pungutan liar.
MEA juga akan
memperkecil peran pemerintah untuk mengendalikan masuknya tenaga kerja
profesional asing ke negara ini. Saat ini, memang baru delapan profesi yang
disepakati untuk dibebaskan yaitu: dokter, dokter gigi, perawat, akuntan,
insinyur, arsitek, surveyor, dan pelaku usaha pariwisata. Namun ke depannya,
profesi-profesi lainnya secara bertahap juga akan dibebaskan.
Jika saat ini investor
asing sudah membanjiri Indonesia, MEA akan kian membuka kran lebih luas lagi.
Padahal selama ini berbagai sektor ekonomi telah disesaki investor asing
seperti pada sektor migas, mineral dan batubara, perkebunan, dan industri
manufaktur. Liberalisasi investasi berarti meningkatkan transfer keuntungan ke
negara lain, juga akan menjadikan investor asing lebih merajalela.
Pasalnya, seluruh
investor asing dan domestik harus diperlakukan setara, tanpa ada diskriminasi
baik dari sisi perizinan, pendirian, produksi hingga penjualan. Pemerintah juga
tidak diperkenankan memaksa perusahaan-perusahaan asing untuk meningkatkan ekspor
dalam rangka meningkatkan devisa negara. Mereka juga tidak bisa ditekan untuk
menyerap tenaga kerja lokal.
Ironisnya lagi, jika
investor asing menganggap kebijakan-kebijakan pemerintah merugikan mereka, maka
mereka dapat menuntut pemerintah ke pengadilan arbitrase internasional.
Alhasil, pemerintah tidak dapat dengan mudah mengontrol eksistensi perusahaan
asing di negara ini.
"Sekat batas
negara juga akan semakin luntur pada integrasi di sektor keuangan dan
perbankan. Mereka yang meneriakkan NKRI harga mati pun harus berhadapan dengan
kenyataan asing dan aseng berkeliaran mengeruk kekayaan negeri ini.
Sebagai contoh,
perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa negara lain seperti Singapura dan
Malaysia dapat melakukan pencatatan di Bursa Efek Indonesia sehingga mereka
lebih mudah menyerap dana investasi dari negara ini. Bank-bank asing juga akan
lebih mudah membuka cabangnya di negara ini. Bank-bank Malaysia seperti Maybank
dan CIMB dan bank-bank Singapura seperti Danamon, DBS, NISP, OCBC dan UOB akan
lebih leluasa menghimpun dana nasabah dari negara ini.
Konsekuensi dari
integrasi sektor keuangan ini membuat potensi risiko krisis di sektor moneter
dan finansial akan semakin besar. Aliran keluar-masuk investasi portofolio akan
semakin deras sehingga nilai tukar mata uang akan lebih mudah bergejolak. Krisis
yang terjadi di suatu negara akan lebih mudah menjalar ke negara ASEAN lainnya.
Jika itu terjadi, untuk memadamkan krisis lagi-lagi dengan menggunakan uang
publik. Kalau sudah begitu, mimpi buruk itu benar-benar terjadi Pertanyaannya,
dengan apa itu semua bisa dihentikan? Mikir...
MEA
Dalam Pandangan Islam
MEA hakikatnya adalah
liberalisasi ekonomi. Liberalisasi akan makin meminggirkan peran dan tanggung
jawab negara dalam sektor ekonomi dan pengurusan rakyat. Semuanya diserahkan
kepada individu dan mekanisme pasar. Hal itu jelas menyalahi Islam.
Islam menetapkan bahwa
pemerintah wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya: Rasul SAW
bersabda: “Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan bertanggungjawab
atas pengurusan mereka” (HR. Muslim).
MEA yang bernafaskan
liberalisasi pasar mengharuskan minimalisasi peran negara mengatur perdagangan
dan investasi luar negeri. Ini juga menyalahi Islam. Dalam Islam, perdagangan
luar negeri merupakan hubungan antarnegara dan itu ada dalam tanggung jawab negara.
Dalam Islam negara
memiliki kewenangan mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara
lain, termasuk hubungan rakyatnya dengan rakyat negara lain, baik dalam bidang
ekonomi, perdagangan atau lainnya. Karena itu perdagangan luar negeri tidak
dibiarkan bebas tanpa kontrol negara.
Selain itu,
liberalisasi telah dijadikan sarana efektif bagi penjajahan oleh pihak asing
dan perusahaan multinasional. Ini jelas haram dan bertentangan dengan firman
Allah SWT: “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang
kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin.” (TQS. an-Nisa' [4]: 141). Artinya, apapun
yang menjadi sarana bagi kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin adalah haram.
Lebih dari itu,
liberalisasi ekonomi termasuk MEA membawa potensi ancaman dan bahaya yang
besar. Ini jelas-jelas haram. Sebabnya, Nabi SAW bersabda: “Tidak boleh
membahayakan orang lain dan diri sendiri di dalam Islam.” (HR. Ibn Majah).
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 166
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar