Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 29 Juni 2017

Literasi Media, Hindari Hoax


Bertebarannya hoax di media sosial dan chatroom meresahkan masyarakat. Tak terkecuali kaum Muslimah. Di kalangan ibu-ibu, banyak informasi beredar yang bisa jadi benar dan bisa jadi salah atau tidak akurat, yang sempat menjadi perhatian seperti isu penculikan dengan modus penjualan organ tubuh anak. Selain itu, penculikan dengan modus pelaku sebagai orang yang pura-pura gila, pemulung, dll.

Kaum ibu begitu semangat menyebarkannya. Ada yang beralasan, hal itu untuk membuat orangtua kian waspada. Padahal, ada atau tidak ada isu, ada atau tidak ada kasus penculikan, orang tua memang wajib waspada menjaga keselamatan anak-anaknya. Karena, potensi penculikan selalu ada, kapanpun dan di manapun.

Orang gila, pemulung, pedagang asongan bisa-bisa difitnah sebagai penculik. Di mana-mana dicurigai sebagai pelaku penculikan. Akibatnya jelas tidak baik.

Di Sampang Madura misalnya, orang gila beneran -yang bukan pura-pura gila- dihajar massa karena dituduh penculik (detik.com, 27/3/17). Padahal, mana bisa orang gila berpikir menculik? Seorang wanita sakit jiwa, Almiati, warga Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, juga diamankan massa di Lapangan Cibodas, Karawaci Tangerang, karena diduga penculik (Wartakota, 21/3/17). Di Langkat, Sumatera Utara, wanita gila (65) babak belur diamuk massa. Padahal tidak ada satupun masyarakat yang lapor kehilangan anaknya (okezone, 26/3/77).

Paling tragis di Cilegon, pria tanpa identitas tewas dihajar ratusan massa. Demikian pula di Mempawah, Kalbar, Maman Sudirman (52) dikeroyok massa hingga tewas gara-gara dicurigai sebagai penculik. Padahal sedang berkunjung ke kerabat untuk urusan bisnis (Jawapos). Dan masih banyak lagi korban fitnah dan main hakim sendiri di berbagai daerah. Innalillaahi!

Bahaya Hoax

Penyebaran hoax telah mengancam ketahanan informasi. Ini karena dalam perabadan sekuler, informasi bersifat bebas alias liberal. Media massa juga bersifat liberal, karena mengabdi pada kepentingan kapitalis. Konten info disajikan untuk memenuhi selera pasar. Informasi menjadi simpang siur, tidak bisa dibedakan mana yang benar dan mana yang salah. Selain itu, informasi publik, bercampur dengan informasi privat (infotainment).

Yang tak kalah memprihatinkan, hoax itu kadang dikemas seolah-olah Islami. Misalnya, saat marak fenomena Pokemon, serta merta dimunculkan isu bahwa istilah pokemon bermakna "aku yahudi". Padahal pokemon hanyalah singkatan dari pocket monster, merujuk pada karakter permainan yang sedang digandrungi.

Demikian pula ketika muncul fenomena "om telolet om", tersebarlah informasi bahwa itu adalah bahasa Yahudi yang umat Islam jangan sampai mengadopsinya. Ada juga yang menyebutkan itu sebagai bahasa Bali yang merupakan istilah dalam ritual umat Hindu. Padahal asal muasal istilah itu hanyalah kebiasaan anak-anak di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menunggu bus lewat supaya membunyikan klakson. Namun, fenomena ini telanjur menghabiskan energi dengan pembahasan panjang lebar yang sejatinya tidak perlu.

Tampaknya, kemunduran berpikir umat, menyebabkan kelemahan pula dalam mencerna informasi. Masyarakat banyak yang tidak memiliki ketahanan informasi secara personal, sehingga mudah terhasut info yang tidak benar. Sekalipun info tersebut sangat tidak masuk akal, tetap saja ditelan mentah-mentah. Bahkan dengan semangat, ingin menjadi terdepan dalam menyebarkan.

Malas dari tanggung jawab mencari kebenaran atau tabayyun. Ironisnya, ketika menyadari kesalahan telah menyebarkan berita bohong sekalipun, enggan menyebarkan kembali informasi sebenarnya. Misalnya, ketika muncul isu yang telah terbukti keliru/ hoax, berita klarifikasinya tidak muncul di ruang-ruang informasi publik.

Akses Informasi

Dewasa ini, masyarakat, termasuk ibu-ibu, mulai malas mengakses sumber-sumber informasi terpercaya. Di kalangan Islam, terlanjur tertanam paradigma bahwa media massa sekuler sama sekali tidak bisa dipercaya. Terbukti dengan menurunnya oplah media massa, cetak terutama.

Memang, untuk pemberitaan yang sifatnya views (pandangan), kita tidak bisa mempercayai media liberal. Karena, pastinya sudah disertai paradigma berpikir sekuler. Tetapi sekadar menengok fakta (news), media-media mainstream masih bisa menjadi rujukan. Terutama kantor-kantor berita yang jurnalistiknya objektif dan profesional.

Sementara itu, menurut berbagai survei, televisi menjadi media favorit. Padahal semua tahu, sebagian konten televisi adalah sampah. Tapi, ibu-ibu malah menggandrunginya dan menjadi penonton setia layar kaca. Pengecualian para pengemban dakwah, banyak yang telah meninggalkan televisi, beralih kepada sumber berita lain.

Media sosial merupakan wadah informasi yang bablas tanpa filter. Mayoritas pemilik akun, bukanlah pihak yang berpedoman pada kerja jurnalistik profesional. Akibatnya, informasi yang keliru bisa bergerak bebas. Jangan sampai itu menyeret para Muslimah pada arus informasi yang salah.

Melek Media

Para Muslimah, khususnya pengemban dakwah, seharusnya memiliki ketahanan informasi. Yakni, kemampuan menyeleksi informasi sehingga tidak mudah terpapar hoax. Hal itu bisa diasah dengan literasi media. Terdepan dalam mengakses informasi kekinian yang berkembang di media-media mainstream. Terdepan dalam penyebaran kebenaran dan ikut memberantas hoax.

Tak terkecuali para Muslimah pengemban dakwah, seharusnya menjadi sumber terpercaya pertama kali dalam hal informasi bagi anak-anaknya. Jangan sampai anak-anak mendapatkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dari luar sana.

Literasi media ini adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media (lihat: wikipedia). Konsumen media, termasuk anak-anak, menjadi sadar atau melek tentang cara media dibuat dan diakses. Melek informasi, berarti selalu aktif mencari informasi sesuai kebutuhan berdasarkan referensi dan sumber terpercaya. Bukan sekadar menunggu informasi. Seberapa banyak sudah melakukan literasi media, bisa diukur dari media apa yang diakses, berapa durasi menyimak berita, kemampuan menganalisa setiap informasi dan mengaitkannya dengan akidah Islam.

Melalui literasi media, Muslimah akan cerdas informasi, aktif, peka dan kritis dalam mengamati fenomena pemberitaan media saat ini. Pengemban dakwah punya keahlian memutuskan informasi yang dibutuhkan dari suatu pesan. Selanjutnya, keahlian untuk mengidentifikasi dan memilah simbol-simbol, menafsirkan informasi, menganalisis dan menyikapinya dari sudut pandang Islam.

Begitu menerima informasi, dapat berpikir jernih untuk menganalisanya, apakah info tersebut masuk akal atau tidak. Apakah info itu mengandung opini yang menyimpang atau apakah terdapat framing pemberitaan yang menggiring pada kesimpulan yang keliru.

Melalui literasi media, akan mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas intelektual kita. Sekaligus membangun rasa percaya dari umat. Bahwa, pengemban dakwah adalah penyebar informasi kebenaran saja. Dengan demikian, ikut mengedukasi masyarakat agar mereka tahu bagaimana mengakses, memilih informasi yang bermanfaat dan sesuai kebutuhan. Termasuk, informasi-informasi Islam. Dengan demikian umat ikut tercerdaskan.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 194
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam