Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 17 Juni 2017

Sindrom Chicago Intai Indonesia


Apa artinya punya rumah dan mobil mewah,jika hidup seorang diri tanpa nikah sampai menua? Apa bahagianya bisa keliling dunia, bulan madu setiap hari dengan pasangan, tanpa kehadiran anak dalam pernikahan, disebabkan enggan hamil dan melahirkan? Apa nikmatnya berpenghasilan sendiri belasan atau puluhan juta, tapi keluarga tercerai-berai? Apa tenteramnya di masa tua jika hidup merana meski berlimpah harta?

Bagi manusia normal yang mendengarkan hati nuraninya terdalam, pasti tak mau mengalami kondisi seperti di atas. Dalam fase hidup, pasti ingin menikah, meski dengan pasangan yang bersahaja. Setelah nikah, pasti merindukan kehamilan, melahirkan keturunan sebagai penyambung generasi. Sudah ada anak, pasti ingin keluarga terus rukun, bisa membesarkan anak bersama hingga ajal memisahkan.

Begitu seharusnya kehidupan normal manusia, sejak zaman dahulu hingga yang akan datang. Namun saat ini, fenomena seperti itu mulai terancam punah. Sedikit demi sedikit, konsep hidup manusia modern kian bergeser.

Banyak yang memilih hidup melajang, saking sibuknya mengejar materi dan tak punya waktu mencari pasangan. Asal punya uang, lebih bebas hidup sendirian. Bujangan-perawan yang sejatinya merana, tapi menutupi kondisi sesungguhnya dengan gila kerja. Kemapanan baginya adalah memiliki karier yang bagus, rumah sendiri, mobil dan segala perabotannya.

Ada juga pasangan modern yang sejak menikah enggan memiliki anak. Apalagi jika sang istri perempuan sibuk, merasa anak menjadi beban bagi pengembangan dirinya. Fitrah perempuan sayang anak, ditekan habis-habisan agar tidak muncul. Disibukkanlah dengan karier, shopping, koleksi, dan gaya hidup yang dianggap membahagiakan.

Kehidupan seperti itu, banyak ditemukan di negara-negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Jerman, Korea Selatan, dll. Hampir seluruh negara yang katanya maju setara fisik, mengalami fenomena kehancuran sosial yang disebut sindrom Chicago. Maju di satu sisi, tapi mundur di sisi lain. Pembangunan dan teknologi maju, tapi aspek sosial kemanusiaan merosot tajam. Sebuah paradoks yang sangat memprihatinkan.

Hancurnya Peradaban Sekuler

Peradaban sekuler saat ini memacu manusia untuk mengejar kemajuan duniawi setinggi-tingginya. Kemajuan yang dikejar itu, diukur dari menggelembungnya pendapatan per kapita, menjulangnya gedung bertingkat, menterengnya gaya hidup masyarakat dan simbol-simbol kemajuan fisik lainnya.

Tetapi di sisi lain, aspek-aspek kemanusiaan kian ditanggalkan. Pernikahan tidak lagi diimpikan, membangun keluarga tak lagi diidamkan, merawat dan membesarkan anak tak lagi jadi tujuan. Manusia tidak lagi hidup menjalani fitrahnya, melainkan bak robot tanpa perasaan.

Fenomena tersebut tampaknya sudah mulai melanda Indonesia yang kian sekuler dan liberal. Buktinya, bangunan keluarga kian rapuh. Ketahanan keluarga terancam ambruk. Pernikahan kian tidak dihormati. Jumlah lajang kian menjulang. Usia pernikahan kian menua. Sementara volume duda dan janda makin menggelembung. Krisis sosial pun melanda. Jelas ini ancaman serius yang harus dibenahi. Siapa paling bertanggung jawab?

Negara Ujung Tombak

Buruknya kondisi sosial masyarakat saat ini adalah ancaman serius bagi masa depan bangsa. Bukan kemajuan hakiki, jika kemajuan fisik tidak dibarengi dengan ketinggian moral. Bukan peradaban yang baik, jika kemajuan fisik malah diikuti kemerosotan moral. Jelas hal itu tidak akan menjadi sumber kebahagiaan, kecuali semu.

Fenomena di negara-negara maju, mereka kering dari sisi spiritual dan moral. Akibatnya, angka depresi dan bunuh diri cenderung tinggi. Peradaban yang baik, seharusnya menjamin kebahagiaan setiap manusia. Jika sebaliknya, itu pertanda hancurnya peradaban.

Ancaman sindrom Chicago ini, tentu hanya bisa diselesaikan dengan peran besar negara. Bahkan, negara seharusnya yang menjadi pilar utama (soko guru) untuk merealisasikan kehidupan yang baik, maju secara fisik maupun moral.

Pasalnya, buruknya kondisi masyarakat saat ini adalah persoalan sistemik. Persoalan individu, keluarga dan masyarakat hari ini, tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan negara. Tidak terlepas dari sistem apa yang diterapkan negara dalam seluruh aspek kehidupan. Maka, sistem sekuler kapitalis harus diganti dengan sistem Islam.

Pertama, dalam hal politik, seharusnya negara bertindak sebagai pelayanan (khadamah) umat, yakni senantiasa memberikan yang terbaik bagi rakyatnya. Tidak berlaku sebagai pedagang, yang selalu berpikir untung rugi dalam melayani rakyat. Akibatnya, rakyat menanggung penderitaannya sendiri.

Di bidang ekonomi, negara sebagai penjamin seluruh kebutuhan umat. Misalnya, menjamin nafkah pokok keluarga sehingga keluarga tangguh secara ekonomi. Jika sudah tangguh, keluarga niscaya harmonis. Tak perlu mengeluarkan para perempuan dari rumah-rumahnya secara masif, didorong untuk bekerja keras.

Dalam hal sosial, seharusnya negara melarang kehidupan bebas yang menjerumuskan manusia pada amoral. Seperti melarang pergaulan bebas dan menghukum tegas pelakunya, memberantas perzinaan, pelacuran, pornografi dan sejenisnya. Agar terwujud kehidupan sosial yang sehat dan bermartabat. Manusia dihargai sebagai manusia, berperilaku penuh etika dan tidak bebas seperti binatang.

Demikian pula bidang pendidikan dan kesehatan, semestinya disediakan dengan gratis dan berkualitas oleh negara. Dengan begitu masyarakat fokus mencerdaskan dirinya, mendidik generasi lebih terarah dan serius, hingga lahirlah manusia-manusia cerdas dan beradab. Kurikulum pendidikan berbasis islam diterapkan, sehingga anak didik menjadi generasi berkualitas. Dan masih banyak bidang lainnya yang hanya bisa terwujud jika sistem khilafah yang diterapkan.

Perempuan Punya Peran

Krisis moral, krisis sosial, krisis keluarga sangat dekat dengan isu perempuan. Perempuan adalah tiang negara. Jika perempuan tangguh, cerdas, baik, bermoral, paham politik dan paham Islam, niscaya mampu menjalankan peran dengan semestinya. Menikah, menjadi ibu dan pendidik generasi terbaik.

Selain di dalam rumahnya, perempuan juga punya peran besar dalam ikut serta menyelamatkan keluarga, generasi dan negara. Maka, sudah saatnya kaum Muslimah, sebagai pemeran utama sebuah keluarga dan masyarakat, ikut memperjuangkan tegaknya khilafah. []kholda

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 188
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam