Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 30 Juni 2016

Konsisten Dengan Ideologi Islam


 


Konsisten Dengan Mabda’ (Ideologi), Baik Fikrah (Pemikiran) Maupun Thariqah (Metode) Islam

Hagemoni Barat yang kafir mampu menjadikan metode hidupnya sebagai model yang diikuti seluruh umat manusia. Bersamaan dengan itu kaum Muslim hidup dalam kondisi pemikiran, sosial, ekonomi, politik yang tidak menyenangkan. Mereka hidup di tengah-tengah pemikiran yang bertentangan dengan akidah mereka. Mereka telah kehilangan jejak yang lurus dan kepribadian mereka tatkala berusaha mengumpulkan kembali pemikiran yang terpancar dari akidah mereka.

Kesamaran ini muncul disebabkan karena kebodohan mereka dan karena kaum Muslim tidak mengambil segala sesuatu dari asalnya. Akibatnya, umat lalu mengkompromikan antara Islam dengan selain Islam. Pendapat mereka yang berdasarkan kepada hawa nafsu dijadikan sebagai maksud syari’at. Mereka menerima segala bentuk penakwilan dan mencari-cari justifikasi terhadap berbagai penyimpangan. Ujung-ujungnya, seluruh kehidupan sosial maupun ekonomi manusia penuh kontradiksi. Kehidupan politik diarahkan untuk menempatkan pemikiran-pemikiran yang berasal dari luar Islam pada posisi pemikiran umat yang asli.

Dalam kondisi yang sangat buruk ini muncullah gerakan-gerakan dan partai-partai untuk menghadapi berbagai pemikiran yang salah, pemahaman-pemahaman yang keliru, perasaan-perasaan yang menyimpang, dan kondisi politik yang diperbudak oleh pihak (kekuatan) asing.

Seharusnya gerakan-gerakan dan partai-partai itu memiliki obat penawar dan solusi yang menyembuhkan; memiliki jalan lurus yang bisa dilewati manusia. Hendaknya mereka mengatakan kepada manusia:
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (TQS. al-An’aam [6]: 153)

Jama’ah atau partai harus memiliki sifat-sifat yang menjadikannya mampu mencapai tujuan; berupa kejelasan pemikiran Islam dan semangat untuk mencapai tujuan; mempersiapkan kelompok yang sadar; mempersiapkan umat; dan konsisten dengan hukum-hukum thariqah (metode) perjuangan Islam.

Aspek fikrah (pemikiran) Islam harus mendapatkan perhatian utama dari jama’ah. Pemikiran itu adalah pandangan jama’ah yang benar dan wajib dipercaya oleh setiap manusia. Pemikiran itu juga petunjuk yang menyinari seluruh manusia, sekaligus sebagai rahmat yang diberikan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada hamba-Nya. Pemikiran tersebut adalah cahaya yang mengeluarkan manusia seluruhnya dari kegelapan (dan) hawa nafsu.

Pemikiran Islam itu amat layak untuk manusia, sangat sesuai dengan fitrahnya, memuaskan akal dan menenangkan hatinya. Pemikiran itu pula yang mampu membahagiakan kehidupan dan menghidupkan harapan. Di dalamnya terdapat kesempurnaan dan rincian yang menjadikannya mampu untuk menjawab setiap pertanyaan (problematika) manusia tentang kehidupan yang dihadapinya; yang menjalin manusia dengan hubungan yang benar, baik dengan kehidupan sebelum dunia dan kehidupan sesudah dunia; yang mengikat manusia dengan Penciptanya dengan ikatan yang benar, sehingga manusia mengetahui tujuan hidupnya dan menjadikannya memperoleh kebahagiaan sampai akhir.

Dengan pemikiran Islam jama’ah atau partai ideologi Islam meyakini pula bahwa jika bukan pemikiran ini yang dianut secara umum di masyarakat maka pemikiran yang bathil akan dominan, kemunkaran akan merajalela, hawa nafsu menjadi acuan, kedzaliman akan menyebar luas, kegelapan akan merata, dan kehidupan yang sempit mengakibatkan manusia tidak bisa tenang sehingga tidak akan tentram jiwa-jiwa mereka, serta akal-akal mereka tidak akan berkembang.

Jernihnya pemikiran Islam partai amat mempengaruhi kecemerlangan pandangan-pandangan yang dimiliki. Kecemerlangan pandangan diperoleh dengan pemahaman terhadap hukum syara’ melalui cara istidlâl yang benar.

Tatkala pemikiran Islam yang jernih, cemerlang, jelas dan mengkristal itu hilang maka akan hilang pula keistimewaannya. Cahayanya tidak akan kembali, bersamaan dengan sirnanya petunjuk dan rahmat. Hilang pula dasar yang menjadi alasan keberadaannya, sehingga jama’ah (partai tersebut) menjadi seperti gerakan-gerakan lainnya, yang menyerah pasrah di hadapan realitas menyimpang yang berhasil mempengaruhinya, bukan gerakan itu yang berhasil merubahnya, melainkan realitas itu yang berhasil membentuknya. Semestinya gerakan itulah yang mampu membentuk realitas sesuai dengan perkara yang diwajibkannya.

Banyaknya kristalisasi pemikiran (fikrah) pada anggota-anggota gerakan itu berbanding lurus dengan kristalisasi metode (tharîqah) yang menghantarkannya kepada realitas praktis. Kejelasan tujuan (ghâyah) adalah bagian dari kejelasan pemikiran. Dan jalan untuk mencapai tujuan diambil dari hukum-hukum syara’ juga.

Jama’ah yang mengemban mabda’ atau partai politik ideologis adalah jama’ah atau partai yang terikat dengan mabda di dalam setiap gerak maupun diamnya. Hal itu karena pemikiran yang berasal dari mabda’ (ideologi) Islam telah melarang penganutnya maupun orang yang mendakwahkannya untuk mengambil selain mabda Islam, kecuali jika pemikiran tersebut membolehkannya. Mabda adalah pemikiran pokok yang membahas tentang segala perkara dari dasarnya, dan memberikan jawaban yang khas mengenai hakikat keberadaan manusia di alam ini. Setiap pemikiran cabang lahir dan terpancar dari pemikiran pokok ini. Seluruh pemikirannya tentang hidup, pemahaman-pemahamannya tentang segala sesuatu dan hukum-hukumnya yang menyangkut seluruh perbuatan, semuanya berasal dari pemikiran pokok ini.

Dengan demikian Islam merupakan bangunan yang lengkap. Tidak ada sedikitpun kekurangannya, meskipun hanya satu topik. Apapun yang ada di dalam Islam sangat harmonis satu sama lainnya, karena terpancar dari kaidah berpikir yang satu dan telah baku, menyatu dengan aturan kehidupan dan tabiat penciptaan....

Minggu, 26 Juni 2016

Sikap Meremehkan Hukum-Hukum Allah


 


“Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah).” (TQS. al-Qalam [68]: 8)

Rabb kita telah memperingatkan kita atas tunduk (lemah)nya kita terhadap orang-orang dzalim. Firman Allah Swt:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim, yang menyebabkan kamu disentuh api Neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (TQS. Hud [11]: 113)

Dakwah yang benar (dengan mengajak) kepada iman yang benar mampu menjadikan keterikatan seorang muslim dengan syari’atnya secara sempurna, meskipun orang tersebut baru masuk Islam atau baru saja terikat dengan hukum syara.’ Tidak ada jalan lain bagi kita, sebagai pengemban dakwah, selain dari menanamkan iman ke dalam jiwa dan menjaganya hingga memperoleh (panen) buah yang paling baik dengan menjadikan sebaik-baik iltizam dan takwa.

Daulah Islam tidak dibangun oleh orang-orang yang kosong dari pemikiran Islam, atau yang disesaki dengan pemikiran Barat, juga tidak didirikan di atas orang-orang yang tidak menjalankan aktivitas dakwah, dan orang-orang yang tidak terpengaruh oleh dakwah maupun orang-orang yang terpaksa menerima dakwah.

Daulah Khilafah Islam, wajib dibangun di atas opini umum yang terpancar dari kesadaran umum, yang menerima pemikiran Islam dan menerima ide untuk ber-tahkim kepada Islam. Dengan demikian tidak diperlukan sikap dengan mengikuti nafsu manusia atau mengikuti realitas yang menyimpang, karena Allah telah memerintahkan kita untuk merubah jiwa-jiwa (manusia) dan merubah realitas (yang ada) agar sesuai dengan Islam.

Apabila kita menengok kembali al-Qur’an, kemudian kita dalami lagi ayat-ayatnya, pasti kita akan mengetahui bahwa perintah untuk menerapkan hukum Islam bersifat qath’i.

Rasulullah Saw. dan orang-orang yang beriman kepadanya, setiap kali diturunkan ayat al-Qur’an, saat itu juga segera menerapkannya tanpa menunggu-nunggu atau memperlambatnya. Hukum yang diturunkan wajib diterapkan seiring dengan turunnya ayat.

Setelah turunnya ayat:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (TQS. al-Maidah [5]: 3)
Kaum Muslim dituntut untuk melaksanakan Islam secara keseluruhan, dengan tuntutan yang bersifat menyeluruh; baik itu terkait dengan masalah akidah, ibadah ataupun akhlaq; baik itu terkait dengan muamalat ataupun dengan aspek pemerintahan, ekonomi, sosial atau politik luar negeri; baik dalam kondisi damai maupun perang.

Firman Allah Swt:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (TQS. al-Hasyr [59]: 7)

Ambillah dan amalkanlah seluruh perkara yang dibawa oleh Rasulullah Saw., dan tinggalkanlah serta jauhilah seluruh perkara yang dilarangnya. Kata () di dalam ayat itu termasuk dalam kategori bentuk umum, yang mencakup wajibnya beramal dengan seluruh kewajiban, dan wajibnya meninggalkan atau menjauhi seluruh larangan. Tuntutan untuk melaksanakan atau meninggalkan yang terdapat di dalam ayat ini sifatnya wajib, dengan qarînah (indikasi) yang terdapat di ujung ayat, (yaitu) berupa perintah untuk bertakwa dan ancaman dengan azab yang pedih bagi yang tidak melaksanakan ayat tersebut.

Firman Allah Swt:
“(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka. Juga, berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (TQS. al-Maidah [5]: 49)

Ayat ini memerintahkan kepada Rasul dan kaum Muslim setelah beliau dengan perintah yang bersifat jazm (pasti), (yaitu) tentang wajibnya berhukum dengan apa yang diturunkan Allah; baik itu berupa perintah ataupun larangan.
Di dalam ayat itu juga Rasulullah Saw. dan kaum Muslim setelah beliau dilarang untuk mengikuti hawa nafsu manusia lalu cenderung pada keinginan mereka. Demikian juga terdapat peringatan bagi Rasulullah Saw. dan kaum Muslim sesudah beliau agar tidak dipalingkan oleh manusia dari penerapan hukum-hukum yang diturunkan Allah.

Allah Swt berfirman:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (TQS. al-Maidah [5]: 44)
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang dzalim.” (TQS. al-Maidah [5]: 45)
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik.” (TQS. al-Maidah [5]: 47)

Di dalam ayat-ayat ini Allah Swt. menghukumi kafir atau dzalim atau fasik bagi orang-orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan. Lafadz () di sini berbentuk umum, mencakup seluruh hukum-hukum syara’ yang diturunkan, baik berupa perintah-perintah ataupun larangan-larangan.

Tidak ada keraguan bahwa wajib bagi kaum Muslim, baik individu, jama’ah maupun negara Khilafah Islam, untuk menerapkan hukum-hukum Islam secara sempurna, tanpa menunda-nunda, memperlambat ataupun bertahap dalam penerapan.

Islam memandang orang yang menerapkan sebagian hukum seraya meninggalkan sebagian yang lainnya, berdosa di sisi Allah, baik ia individu, jamaah ataupun negara. Maka seluruh muslim harus terus mengupayakan terpenuhinya kewajiban hukum-hukum Islam.

Sesuatu yang wajib akan tetap wajib, (yaitu) harus dilaksanakan. Dan sesuatu yang haram akan tetap haram, (yaitu) wajib dijauhi. Rasulullah Saw. tidak menerima tuntutan (yang dilontarkan) utusan bani Tsaqif agar membiarkan berhala yang mereka sembah (Lâta) selama tiga tahun; dan tidak membiarkan mereka untuk tidak menjalankan shalat jika mereka masuk Islam. Rasulullah Saw. tidak menerima (tuntutan tersebut) dan menolaknya dengan tegas. Beliau tetap bersikeras untuk menghancurkan berhala tanpa menunda-nunda waktu, dan tetap memerintahkan shalat tanpa mengulur-ulur waktu.

Allah Swt. telah menetapkan bahwa orang yang tidak menerapkan seluruh hukum-hukum Islam, atau menerapkan sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain, sebagai kafir jika dia TIDAK MEYAKINI KELAYAKAN hukum-hukum Islam, atau tidak meyakini kelayakan sebagian hukum yang ditinggalkannya itu. Allah Swt. juga menganggapnya dzalim jika dia tidak menerapkan sebagian hukum Islam seraya tetap meyakini kelayakan penerapan (hukum) Islam.

Rasulullah Saw. mewajibkan untuk memerangi khalifah yang sah, dan mengangkat senjata apabila khalifah yang sah menampakkan kekufuran yang nyata, di mana kita memiliki bukti nyata di hadapan Allah. Dengan kata lain, sikap itu diberlakukan atas seorang khalifah yang menerapkan hukum kufur, yang tidak ada keraguan sedikitpun bahwa hal itu adalah hukum kufur, baik hukum itu banyak atau sedikit. Ini berdasarkan penjelasan dalam hadits Ubadah bin Shamit:
“Dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari yang berhak. (Rasulullah bersabda): ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, di mana kalian memiliki burhân (bukti nyata ) di sisi Allah’.” (HR. Muslim)

Berdasarkan hal itu, tidak boleh ada (sikap) meremehkan sebagian hukum-hukum Allah. Sebab, tidak ada perbedaan antara satu kewajiban dengan kewajiban lainnya, juga antara satu perkara haram dengan perkara haram lainnya, termasuk antara satu hukum dengan hukum yang lainnya. Hukum Allah semuanya sama-sama wajib untuk dilaksanakan, tanpa ada penundaan atau sedikit demi sedikit. Jika tidak, maka kita akan dibalas Allah Swt.:
“Apakah kamu beriman kepada sebagian dari (isi) al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan dari orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang amat berat.” (TQS. al-Baqarah [2]: 85)

Sabtu, 25 Juni 2016

Kompromi Pentahapan Taddaruj Sistem Kufur




Sesungguhnya tadarruj (pentahapan) tidak terkait dengan tahapan-tahapan tertentu. Juga tidak tunduk kepada kaidah-kaidah yang mengikat -menurut orang-orang yang membolehkannya-.

Konsep kompromistis tadarruj (bertahap) bisa mencakup juga pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan akidah, seperti ‘Sesungguhnya sosialisme itu bagian dari Islam’ atau ‘Sesungguhnya demokrasi adalah bagian dari Islam’. Bisa pula mencakup hukum-hukum syara’. Bisa tadarruj berkaitan dengan sistem, seperti tuntutan agar turut serta sebagai penguasa di dalam sistem pemerintahan non-Syariah, meskipun hal itu haram secara syar’i sesuai dengan pengakuan para pendukung tadarruj itu sendiri. Namun, menurut mereka bukan tuntutan itu yang menjadi tujuan sebenarnya. Bergabungnya dalam kekuasaan di pemerintahan kufur itu dalam rangka menuju pemerintahan Islam yang merupakan pokok dan kewajiban pada tahap berikutnya. Tadarruj juga bisa berarti usaha-usaha untuk mewujudkan sebagian hukum Islam dengan membiarkan hukum-hukum kuur, dengan harapan akan semakin banyak hukum Islam yang diterapkan, kemudian diasumsikan bisa menjadi mayoritas dan seterusnya. Orang yang meyakini tadarruj bersikukuh dengan cara-caranya ini dan berusaha mengajak orang lain untuk mengikutinya. Kadang-kadang kita jumpai bahwa orang yang melontarkan ide ini adalah orang yang takwa, yang jika berkaitan dengan dirinya sendiri dia tidak menerima adanya tahapan-tahapan, akan tetapi jika berkaitan dengan orang lain dia menerima adanya tadarruj karena dia menghendaki agar orang lain dapat menjalankan hukum syara’, di samping agar mereka tidak menolak dakwah kepada hukum-hukum Islam. Jadi, menurutnya, keadaan mereka yang turut melestarikan hukum-hukum kufur dan mengupayakan sebagian dari hukum-hukum Islam adalah lebih baik daripada tidak melaksanakannya sama sekali.
Para pendukung ide ini menggunakan pembenaran yang memperkuat pemahaman mereka dalam pemikiran dan dakwah Islam. Dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapainya mereka telah mempergunakan alasan-alasan itu sebagai dalil terhadap apa yang mereka inginkan. Mereka tidak tunduk kepada nash dan dalalah (penunjukannya)-nya. Mereka malah mempergunakankan nash agar sesuai dengan keinginan mereka.

Dahulu, jihad futuhât (penaklukan/pembebasan) oleh Islam melalui Negara Islam dilakukan hanya dengan berjalan kaki. Saat itu banyak negeri-negeri dibuka. Pada waktu itu manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah. Kaum Muslim yang membuka negeri itu tidak mempedulikan masih barunya ke-Islaman saudara-saudara mereka, dan tidak membiarkan mereka minum khamar melalui tahapan sebagaimana asumsi “tahapan” yang telah dilalui dalam pengharaman khamar. Padahal bisa diasumsikan kondisi saat itu menuntut mereka dan sangat dibutuhkan seandainya asumsi pentahapan bisa dijadikan sebagai patokan.
Wajar saja para ulama kita terdahulu tidak pernah membahas masalah tadarruj. Kiranya benarlah sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang menjumpai perbedaan yang banyak, maka berhati-hatilah kalian dari segala perkara yang menambah-nambah sesuatu yang baru (dalam masalah agama), karena yang demikian itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah (tempatnya) di dalam Neraka.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)

Hukum Syariah telah lengkap, yang secara syar’i tidak boleh kembali kepada hukum kufur. Jika kita melaksanakan hukum jahiliyah, berarti kita telah melaksanakan apa yang tidak diperintahkan Allah Swt. kepada kita. Inilah pendapat orang-orang terdahulu dan kemudian.

Allah ‘azza wa jalla telah menurunkan hukum-hukum berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk memperkuat hati. Yang pertama kali turun adalah masalah iman, kemudian tentang Surga dan Neraka. Setelah itu halal dan haram. Hal ini bukan berarti mengambil sebagian Islam dan meninggalkan sebagian yang lain.
Saat itu kaum Muslim bertanggung jawab sebatas (ayat-ayat) al-Qur’an yang diturunkan, tidak lebih dari itu.
Ketika ayat-ayat tentang keimanan turun, sedangkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum banyak belum turun, maka kaum Muslim –saat itu- bertanggung jawab terhadap Islam seluruhnya, akan tetapi sampai pada batas-batas yang telah dijelaskan nash-nash syara’ yang telah turun.

Kaum Muslim selalu harus bertanggungjawab terhadap hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan individu muslim dalam setiap keadaan, baik daulah Islam telah eksis ataupun belum ada. Sedangkan hukum-hukum Islam yang disandarkan pembebanannya kepada negara maka tetap berkaitan dengan negara yang harus dipastikan terpenuhinya. Inilah perincian yang mengikat kaum Muslim, bukan yang lainnya. Tidak ada yang namanya kembali ke belakang.

Ide tentang tadarruj (pentahapan) bukan berasal dari syara’ dan tidak boleh menisbahkannya kepada syara’. Permasalahan ini terkait dengan metode berpikir yang tidak sesuai dengan syara’ dalam kondisi apapun.

Islam memiliki sifat-sifat pokok yang berbeda dengan agama lainnya. Dan tabi’at sistem Islam itu adalah tegak dengan mengikuti wahyu semata.

Tatkala seorang muslim terikat dengan hukum syara’ maka dia harus menjadikan keterikatannya itu berdasarkan keimanan kepada Allah Swt. Jika tidak demikian maka konsistensinya itu tidak akan diterima. Demikian juga ketika dia mengajak orang lain kepada Islam maka dia wajib menjadkan iman kepada Allah Swt. sebagai asas dakwahnya.
Akidah Islam serta tauhid mengandung pengertian wajibnya berpasrah untuk menerima seluruh syariah Islam, jika TIDAK MAU MENERIMA Syariah Islam sebagai wujud KETUNDUKAN HATI kepada Allah berarti akidahnya, tauhidnya rusak.

Agar seorang muslim berubah dan sistem juga berubah dengan perubahan yang benar dan lurus maka wajib memperhatikan asas ruhiyahnya, yaitu dengan mewujudkannya kemudian memupuknya. Apabila seorang muslim tidak bersandar kepada asas ruhiyah ketika melaksanakan syariat, maka hal itu dapat menjerumuskannya pada dosa, bahkan bisa menggelincirkannya kepada syirik.


Sabtu, 18 Juni 2016

Kaidah berpikir muslim dengan Syariah


 


Allah Swt. telah menjadikan kita umat yang paling kaya, karena Islam telah cukup dan tidak perlu mengambil dari umat yang lain. Tabiat Islam telah menentukan metode pengambilannya. Dan agama Islam diturunkan Allah untuk menyelesaikan seluruh problematika kehidupan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang muslim kecuali berijtihad, menggali nash-nash syara’ yang telah diturunkan. Bukan mencari selainnya untuk mengetahui hukum-hukum Allah Swt. Kaidah berpikir seorang muslim -yang mengharuskan kehidupannya terikat dengan dalil-dalil syara’- itulah yang disebut dengan hukum-hukum syara’ yang memiliki dalil-dalil yang rinci. Metode ijtihad ini bersifat tetap dan tidak berubah. Dengan alasan apapun tidak boleh menggantikannya. Dari sinilah bertolaknya asas kebangkitan kita secara sempurna, sebagaimana telah bertolak sebelumnya.

Kaidah-kaidah dan pemikiran-pemikiran yang terikat dengan dalil-dalil syara’ yang wajib menguasai benak kaum Muslim untuk mengatur arah dan cara pandang mereka dipaparkan agar mereka berbuat sesuai syariat. Contohnya, ‘Di mana ada hukum syara’ di situ ada maslahat, dan bukan sebaliknya’, ‘Hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’, ‘Asal segala sesuatu (benda-benda) adalah mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya’, ‘Terpuji (hasan) itu adalah apa-apa yang dikatakan baik oleh syara, dan tercela (qabih) itu adalah apa-apa yang dikatakan buruk oleh syara’, ‘Kebaikan (khair) itu adalah apa-apa yang diridhai Allah, dan keburukan (syarr) itu adalah apa-apa yang dibenci Allah’, ‘Tidak ada hukum sebelum datangnya syariat’, ‘Barangsiapa yang berpaling dari hukum Allah maka baginya kehidupan yang sempit’, ‘Sesungguhnya umat Islam adalah umat yang satu tidak seperti umat yang lain’, ‘Sesungguhnya Islam tidak mengakui ashobiyah wathaniyah (nasionalisme), qaumiyah (kebangsaan), isytirâkiyyah (sosialis) dan demokrasi’, ‘Islam adalah gaya hidup yang istimewa, yang berbeda dengan gaya hidup lainnya secara diametral.’

Jika sebagian nash-nash syara’ diperhatikan dengan seksama maka akan menunjukkan dengan jelas tentang pentingnya keterikatan terhadap apa yang telah dipegang oleh generasi salafush shâlih. Kita tidak boleh keluar dari keterikatan tersebut dengan membuat sesuatu yang baru (bid’ah), karena berlaku bid’ah di dalam agama adalah pebuatan yang tercela.

Rasulullah Saw. bersabda:
“Sungguh aku telah meninggalkan bagi kalian suatu perkara yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, sesuatu yang telah jelas, (yaitu) Kitabullah dan Sunnah RasulNya.” (Sirah Ibnu Hisyam)
Lafadz abada (selamanya) juga mencakup kita semua.

Rasulullah Saw. bersabda:
“Dan umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya berada di Neraka, kecuali satu. Dan mereka (para sahabat) bertanya: ‘Siapa orang-orang yang termasuk golongan yang selamat itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: ‘(Yaitu) yang mengikuti jalanku dan jalan para sahabatku sekarang ini’.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hanbal)

Rasulullah Saw. bersabda:
“Telah aku tinggalkan bagi kalian hujjah-hujjah yang putih bersih, yang tidak akan menyimpang daripadanya sesudahku kecuali orang-orang yang sesat.” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hanbal)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada zamanku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka....” (HR. Muslim)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Barangsiapa di antara kalian yang diberi umur panjang maka ia akan melihat perbedaan yang banyak. Dan berhati-hatilah kalian dari membuat-buat perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah berada di Neraka. Kalian wajib mengikuti Sunnahku dan Sunnah Khulafâ ar-Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Dan berpegang teguhlah kepadanya seperti menggigit dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Hadits-hadits tersebut menyerukan untuk mengikuti yang hasan (terpuji) dan peringatan agar menjauhi perkara bid’ah. Semakin jauh suatu zaman dengan masa Rasulullah Saw. maka kita dituntut agar memiliki keterikatan yang lebih kuat, lebih konsisten dan lebih banyak lagi proses pencarian kebenaran, juga membutuhkan keikhlasan yang lebih besar.

Apabila yang diminta atas kita adalah berpegang teguh kepada Sunnah Nabi Saw. dan sunnah khulafâ ar-râsyidîn yang mendapat petunjuk dan harus melaksanakan apapun yang Rasulullah saw dan para sahabat kerjakan, maka kita tidak boleh membuat-buat bid’ah di dalam agama dan tidak keluar lalu terperangkap pada perkara bid’ah. Yang demikian itu tertolak.

- Kita harus menjaga akidah Islam agar tetap bersih dan suci di dalam jiwa kita sehingga tidak ada satupun faktor yang bisa mengeruhkannya.
- Kita harus mengambil sumber-sumber Islam yang bersih dan suci.
- Kita harus menjaga metode istidlal (pengambilan dalil) yang akurat, yang bisa mencegah infiltrasi hawa nafsu dan pendapat manusia ke dalam hukum-hukum syara’.
- Kita harus menjadikan Islam sebagai perkara yang paling penting dalam kehidupan kita; lebih penting dari diri kita sendiri, anak-anak dan keluarga kita; lebih penting dari segala perkara yang mengikuti hawa nafsu kita dan kalimat Allah-lah yang tertinggi di dalam jiwa kita. Kita tidak melalaikan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, sehingga keadaan kita menjadi seperti keadaan salafush shâlih.
- Kita harus menanggalkan pemikiran-pemikiran kufur dan segala kotorannya dari jiwa dan akal kita karena bisa merusak akidah, serta membuang jauh-jauh segala keburukan dan bekas-bekasnya sebagaimana para sahabat ra. yang telah melucuti seluruh kotoran jahiliyyah di depan tangga Islam, lalu mereka memasukinya dengan penuh kesucian dan ketakwaan.

Semua ini mengharuskan kita untuk memulai segalanya dari awal, karena umat di masa akhir ini tidak akan baik kecuali dengan menggunakan perkara yang menjadikan umat di masa awal baik. Ini merupakan suatu keharusan di mana kaum Muslim harus memilikinya pada setiap fase kehidupan mereka. Dekat ataupun jauhnya mereka dari perkara tersebut amat menentukan kuat atau lemahnya kondisi mereka.

Konsep kompromistis Tadarruj (bertahap) juga berarti menerapkan sedikit hukum syara dengan ikut melestarikan penerapan hukum selain syara’ untuk sementara waktu, hingga menurut asumsinya akan tiba saatnya penerapan hukum syara’ secara sempurna.

Sabtu, 11 Juni 2016

Islam Jalan Hidup Komprehensif


 


Sesungguhnya aktivitas dakwah yang pertama pada masa Nabi Saw. bersifat komprehensif. Ketika itu, Rasulullah Saw. sebagai kepala negara mengatur dan memonitor aktivitas dakwah dalam segala bidang. Di bidang pendidikan, beliau berperan sebagai murabbi (pendidik); di bidang pengajaran, beliau berperan sebagai muallim (pengajar); di medan jihad, beliau beperan sebagai panglima perang; dan di bidang strategi, beliau adalah seorang pionir.

“Apakah kalian mengimani sebagian (isi) al-Kitab dan mengingkari sebahagian yang lainmya? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat kelak mereka dikembalikan pada siksaan yang sangat berat.” (TQS. al-Baqarah [2]: 85)

Penentuan amal perbuatan berasal dari Allah. Kaidah syariat yang berbunyi:
“Asal setiap perbuatan adalah terikat dengan hukum syariat.”

Seandainya perbuatan itu sesuai dengan perintah dan larangan Allah maka perbuatan itu hasan (terpuji) dan apabila tidak maka perbuatan itu qabih (tercela). Kaidah syara’ menyebutkan:
Hasan itu adalah apa-apa yang dikatakan oleh syara’ hasan dan qabih itu adalah apa-apa yang dikatakan syara’ qabih

Sesungguhnya Islam itu sempurna, dan Islam secara keseluruhan dilaksanakan oleh seluruh kaum Muslim atau dengan kata lain oleh umat Islam.
Di dalam umat Islam terdapat individu-individu, jamaah-jamaah dan Khalifah. Dan untuk masing-masing kelompok di atas telah dibebankan hukum-hukum syara’ yang spesifik.
Seorang individu muslim melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’ sebagai individu. Jamaah pun melaksanakan apa yang dituntut syara’ terhadapnya, Begitu pula dengan Khalifah, melaksanakan apa yang dibebankan syara’ terhadapnya.

Apabila kaum Muslim sebagai individu melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’ terhadap mereka, demikian juga jamaah dan Khalifah, maka akan terealisasilah seluruh amal dan kesempurnaannya. Begitu pula kelalaian apapun atau hanya membatasi dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban tertentu saja tanpa melaksanakan yang lainnya akan menjadikan orang yang lalai itu keluar dari keumuman apa yang harus dilaksanakan olehnya, dan akan menjerumuskannya pada dosa.

Islam yang sempurna tidak akan lengkap eksistensinya tanpa adanya Khalifah. Keterikatan banyaknya hukum-hukum Islam dengan keberadaan Khalifah menjadikan kehadirannya wajib menurut syara’, dan menjadikan usaha untuk mengadakannya juga wajib menurut syara’.
Implikasi dari semua itu mewajibkan adanya partai ideologi Islam yang beraktivitas untuk mengadakannya, dan menegakkan seluruh perkara yang dituntut syara’ untuk menegakkan agama melalui berdirinya Daulah Islamiyah.
Inilah keseluruhan yang diminta. Inilah yang dinamakan dengan melanjutkan kehidupan Islam. Secara keseluruhan, itulah yang dituntut oleh syara’ dari jamaah. Jamaah dilarang oleh syara’ untuk melaksanakan hukum-hukum yang tidak menjadi kewenangannya, seperti menerapkan hudud. Jamaah tidak boleh mengambil alih tugas Khalifah. Yang harus dilakukan oleh jamaah adalah mewujudkan Khalifah agar dia melaksanakan tugas yang dituntut atasnya.

“Dan amir itu adalah pemimpin yang mengurusi urusan umat, dan dia bertanggung jawab dengan segala urusannya.” (HR. Muslim)

Dari sini kita mengalihkan perhatian pada topik bahwa seseorang yang beriman kepada Islam secara sempurna dan berdakwah kepada Islam secara keseluruhan, dia pasti akan mengadopsi secara terperinci hal-hal yang dituntut syara’ darinya dan mengadopsi pula hal-hal yang dituntut syara’ dari partai ideologi Islam, tempat dia beraktivitas di dalamnya.

Kelalaian terhadap perkara apapun yang dituntut darinya akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt. Demikian juga halnya dengan seorang Khalifah. Dia harus melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’ sebagai pribadi. Dia wajib mengerjakan shalat, shaum, berhaji, membayar zakat, berbakti kepada kedua orang tuanya. Diapun dilarang untuk berzina, melakukan aktivitas riba, berdusta dan menipu. Di samping itu dia juga harus melaksanakan tugas-tugasnya sebagai seorang Khalifah, seperti menyusun Undang-undang, mengumumkan jihad, melindungi persatuan kaum Muslim, memerintah (negara dan masyarakat) dengan apa yang diturunkan Allah, menerapkan hudud. Sebaliknya, kelalaian apapun dalam tugas-tugas yang diberikan kepadanya akan ditanyakan oleh Allah kelak.

Inilah realitas yang ditampilkan oleh hukum-hukum syara’. Dan hal ini harus dipahami dengan baik oleh partai ideologi Islam, agar partai ideologi Islam mampu untuk memilah-milah mana perkara yang harus dilaksanakan olehnya, dan mana perkara yang tidak dituntut atasnya. Jika sebuah partai ideologi Islam mampu menentukan fakta tentang dirinya maka partai ideologi Islam tersebut dapat menetapkan kapasitas yang dituntut atasnya.

Aktivitas partai ideologi Islam harus bersifat politis, serta berdiri berdasarkan asas [ideologi] yang ingin diterapkan atas umat Islam. Akidah Islam memperoleh perhatian utama dalam dakwah, karena akidah Islam adalah asas setiap perkara cabang dan berkaitan dengan seluruh hukum-hukum syara’. Konsentrasi yang amat besar pada aktivitas pendirian Daulah Khilafah Islamiyah adalah karena keterikatan banyaknya hukum dengan negara, dan dari sinilah penamaan bahwa mendirikan Daulah Islamiyah sebagai tâj al-furûdh (mahkota dari berbagai perkara fardhu).

Dengan demikian apabila partai ideologi Islam berusaha untuk mencapai takâmul dan tawâzun yang berbeda dengan apa yang telah dijelaskan, maka partai ideologi Islam tersebut telah membebani dirinya dengan apa yang tidak diwajibkan Allah atasnya. Dan jamaah tersebut akan terus mengeluhkan kekurangan dan ketidakseimbangan. Ujung-ujungnya jamaah tesebut akan berubah menjadi jamaah yang penuh dengan keluhan dan berurai air mata, tersesat dari jalan yang seharusnya karena dia telah kehilangan petunjuk.

Minggu, 05 Juni 2016

Keharusan Sanksi Administratif Internal


 
Setiap perkara yang telah diadopsi oleh partai ideologi Islam adalah wajib dilaksanakan. Lantas, bagaimana sikap partai jika terjadi pelanggaran terhadap apa yang telah diadopsinya? Apakan partai akan menyelesaikannya dengan teguran atau sanksi administratif?

Sebuah organisasi politik ideologi Islam sesungguhnya juga harus mengadopsi sejumlah sanksi administratif atas setiap anggotanya yang melanggar hukum yang telah diadopsinya atau yang melampaui batas-batas syariat yang telah ditetapkannya. Dasar hukum dari keharusan adanya sanksi-sanksi tersebut adalah adanya pelanggaran terhadap perintah amir (mukhâlafah al-amir). Alasannya, hukum syariat telah mewajibkan adanya amir jamaah atau ketua partai sekaligus mewajibkan pula untuk menaatinya. Pelanggaran terhadap setiap perintahnya —yang berkaitan dengan semua perkara yang menyebabkan dirinya diangkat sebagai amir/ketua atas diri mereka— adalah tindakan yang diharamkan. Jika tidak demikian, eksistensi amir/ketua bagi partai ideologi Islam tentu tidak ada artinya.

Adanya sanksi-sanksi administratif harus meliputi seluruh komponen partai ideologi Islam, mulai dari amir sampai anggota terkecil dalam tubuh partai. Sanksi-sanksi ini diberlakukan atas seluruh pelanggaran terhadap apa yang telah diadopsi oleh partai ideologi Islam. Jadi, siapa saja yang melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat yang diadopsi partai, melanggar uslûb-uslûb-nya, atau tidak mempedulikan eksistensi struktur administrasi (jihâz idârî) atau peraturan administrasi (qânûn idârî), ataupun keluar dari batas-batas wewenangnya harus ditegur, dikritik, atau diberi sanksi.

Demikianlah, suasana pemikiran harus disertai dengan suasana organisasi yang teratur, yang akan mengatur pengejawantahan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan aktivitas partai ideologi Islam dan hukum-hukum yang berhubungan dengan metode dakwahnya.

Kita telah melihat dengan mata kepala kita sendiri betapa banyak organisasi Islam maupun non-Islam telah bubar karena tidak memperhatikan aspek keorganisasian yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, wajar jika sebuah partai yang tidak memperhatikan gagasan tentang betapa pentingnya pengadopsian (tabanni) pemikiran/hukum akan selalu dilanda perbedaan pendapat, menghadapi keguncangan dan kekacauan, masuk dalam lingkaran setan, mengalami berbagai deviasi, dan tidak memiliki pihak yang melakukan kritik terhadapnya.

Akibatnya, partai akan semakin jauh dari sosoknya yang memenuhi berbagai ketentuan syariat. Wajar pula jika perekrutan para anggota partai dan para penanggung jawabnya yang tidak berdasarkan syarat-syarat syar’iyyah yang tertib —tetapi berdasarkan pada kekerabatan, kedudukan sosial, jabatan, atau tingkat pendidikannya— akan mengakibatkan buruknya distribusi tugas-tugas dakwah dan menciptakan kesenjangan jabatan di antara para anggotanya.

Tidak adanya aturan administrasi yang jelas, yang harus ditaati oleh semua anggota partai, secara alami, juga akan menimbulkan kritik/teguran yang bersifat diskriminatif dan tidak proposional. Bahaya pula jika tidak ada sanksi-sanksi administratif yang tidak mentoleransi terjadinya pelanggaran besar maupun kecil dan tidak akan membiarkan orang menikmati kemaksiatan dan banyak berbuat kesalahan.

Berdasarkan hal di atas, berbagai aspek keorganisasian dan pembentukan tubuh partai ideologi Islam yang mampu bergerak secara efektif harus selalu diperhatikan, karena hal itu merupakan garansi bagi tertibnya pemikiran-pemikiran dakwah ideologi Islam dan terkoordinasinya para aktivis partai ideologi Islam, yang lebih lanjut akan memudahkan aktivitas dakwah ideologi Islam. Dalam hal ini, pembentukan partai atau jamaah dakwah ideologi Islam harus senantiasa sesuai dengan tujuannya.

Hendaknya jangan ada seorangpun yang berasumsi bahwa aspek keorganisasian hanya merupakan perkara sekunder. Akan tetapi, harus disadari bahwa aspek ini mempunyai peran yang sangat penting dan krusial. Oleh karena itu, jika penyusunan dan pembentukan partai tidak tepat, pengadopsian hukum-hukum yang diperlukannya tidak bagus, dan keterikatannya terhadap apa yang diadopsi tidak baik, maka segala sesuatu yang dimiliki partai —sebagaimana yang disebutkan sebelumnya— akan mengalami keruntuhan dan kehancuran.

Selanjutnya, harus disadari, bahwa pelaksanaan tugas-tugas keorganisasian mengharuskan partai atau jamaah memiliki dana. Di antaranya adalah untuk membiayai aktivitas para aktivisnya yang membutuhkan dana untuk transportasi, biaya percetakan/fotokopi, dan lain sebagainya, yang diperlukan bagi upaya pengembanan dakwah Islam. Tanggung jawab keuangan ini harus ditanggung oleh partai ideologi Islam, dengan kata lain, harus ditanggung oleh para anggotanya. Dengan demikian, siapa saja yang telah mengikhlaskan diri untuk berdakwah ideologi Islam, sudah selayaknya dia mengorbankan hartanya, yang nyata-nyata lebih ringan dibandingkan dengan memilkul tugas dakwah ideologi Islam itu sendiri.

Dalam hal ini, partai ideologi Islam harus berusaha keras agar tidak meminta bantuan pihak luar; baik pihak luar ini adalah individu, kelompok, atau pemerintah yang ada. Dengan begitu, partai ideologi Islam tidak akan disusupi melalui sektor ini. Masalahnya, musuh-musuh partai ideologi Islam akan selalu berpikir untuk mengeksploitasi kebutuhan partai terhadap dana hingga mereka pun menawarkan bantuannya. Boleh jadi, pada awalnya tanpa pretensi apa-apa. Akan tetapi kemudian, tidak berapa lama, bantuan dana tesebut akan berubah menjadi bantuan yang mengandung motif dan tujuan tertentu di baliknya....

Rabu, 01 Juni 2016

Cara Dan Sarana Parpol Islam



Partai ideologi Islam di samping harus mengadopsi hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan aktivitasnya, ia juga harus mengadopsi sejumlah cara (uslûb) yang diperlukan untuk menerapkan hukum-hukum tersebut. Uslûb, dengan demikian, merupakan model dari penerapan hukum-hukum syariat.

Uslûb adalah hukum yang berkaitan dengan hukum asal di mana dalil datang untuk menetapkannya. Sebagai contoh: yang dituntut dari sebuah jamaah adalah memproduksi pemikiran (tsaqâfah) yang mendalam pada diri para aktivisnya, sebagaimana teladan yang diberikan oleh Rasulullah Saw. Ini adalah hukum syariat yang harus dilaksanakan. Lantas, dengan model seperti apa dan bagaimana hukum syariat ini diaplikasikan, tentu harus ada cara (uslûb) tertentu. Dalam hal ini, dapat digunakan uslûb berupa halqah, ‘usrah, atau model lainnya.

Banyaknya uslûb bagi penerapan satu hukum syariat mengharuskan partai ideologi Islam mengadopsi uslûb tertentu dan membimbing para aktivisnya untuk menggunakannya. Dalam hal ini, partai ideologi Islam hendaknya mengadopsi uslûb yang dapat mengantarkan pada penerapan hukum-hukum syariat. Atas dasar ini, hukum uslûb diambil berdasarkan hukum pokoknya. Jadi, uslûb yang diambil bersifat mengikat sebagaimana halnya hukum syariat.

Partai ideologi Islam yang telah memilih halaqah (halqah, halqât) sebagai uslûb untuk mewujudkan pemikiran (tsaqâfah) yang mendalam harus mengadopsi uslûb tersebut sebagai sesuatu yang mengikat. Ketika mengadopsi uslûb tersebut, partai ideologi Islam harus memandang bahwa tujuan yang diharapkan, yaitu terwujudnya tsaqâfah (pemikiran) Islam yang mendalam, akan tercapai dengan uslûb ini.

Contohnya adalah demikian: jumlah anggota halaqah harus disesuaikan dengan tujuan. Jumlah anggota halaqah yang terlalu banyak dapat menyebabkan para anggotanya kurang konsentrasi. Sebaliknya, jumlah anggota halaqah yang terlalu sedikit akan mengakibatkan jumlah kelompok halaqah menjadi banyak sehingga akan menyulitkan dan menyusahkan. Oleh karena itu, jumlah anggota halaqah harus sesuai dengan proses penanaman pemikiran Islam; tidak lebih dan tidak kurang. Penentuan jumlah anggota halaqah ini harus dipertimbangan secara rasional.

Demikian juga alokasi waktu yang diperlukan untuk halaqah; harus diatur agar para anggota halaqah tetap memiliki kesadaran di dalam memahami berbagai pemikiran yang ada. Alokasi waktu halaqah yang terlalu lama akan mengakibatkan daya serap para anggota terhadap materi halaqah menjadi rendah. Daya serap para anggota yang rendah akan mengakibatkan berbagai pemikiran tidak tersampaikan secara sempurna.

Demikian pula menyangkut frekuensi halaqah; apakah harian, mingguan, atau dwimingguan; harus disepakati dan ditetapkan waktunya. Dengan begitu, aspek praktis dalam dakwah tidak akan menjadi sulit dan para aktivis partai tidak disibukkan oleh aspek ilmiah Islam dengan mengorbankan aspek amaliahnya.

Demikianlah proses pengadopsian setiap uslûb yang sesuai dengan hukum-hukum syariat berlangsung dan menjadikannya pas dengan hukum-hukum syariat yang ingin direalisasikan.

Apa yang dibicarakan berkaitan dengan uslûb juga sama persis dengan apa yang dibicarakan bekenaan dengan wasilah (sarana) dakwah. Seorang pemimpin partai ideologi Islam, dalam hal ini, boleh melakukan perubahan terhadap uslûb dan wasilah yang digunakan sesuai dengan apa yang memang dituntut untuk merealisasikan suatu amal.

Karena aktivitas partai ideologi Islam meliputi areal yang luas di muka bumi dan memiliki jaringan di berbagai negara, maka besarnya tugas yang dibebankan pada partai mengharuskan adanya struktur administrasi (jihâz idârî). Dengan struktur administrasi ini, partai ideologi Islam dapat melakukan monitoring dakwah, merealisasikan berbagai targetnya di seluruh lahan aktivitasnya, mengatur dan menertibkan gerakan dakwah ideologi Islam, mengawasi pembinaan para aktivisnya, mempersiapkan kondisi umum atas ide, terjun dalam pergulatan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî), sekaligus menampilkan diri di tengah-tengah umat sebagai satu tubuh yang memposisikan dirinya untuk melaksanakan kewajiban ini.

Dengan demikian, harus ada struktur organisasi yang didirikan untuk mencapai tujuan secara optimal sehingga hasil-hasilnya dapat diperoleh dan dilestarikan.

Oleh karena itu, partai ideologi Islam harus pula mengadopsi struktur administrasi (jihâz idârî) atau struktur organisasi sehingga pengaturan aktivitas dakwah ideologi Islam dapat dilakukan secara sempurna. Dengan begitu, tujuan dakwah ideologi Islam dapai dicapai dengan sukses.

Setelah itu, partai ideologi Islam harus mengadopsi peraturan administrasi (qânûn idârî) yang akan mengatur setiap bagian partai dan gerakan di dalamnya, membatasi wewenang ketua (amir) partai, menentukan bagaimana ketua partai mengatur partai, menjelaskan bagaimana cara pemilihan ketua partai, serta menerangkan siapa yang berhak mengangkat penanggung jawab mantiqah-mantiqah (mas’ûl manâtiq) atau penanggung jawab wilayah-wilayah (mas’ûl wilâyât) dan batas-batas wewenang mereka. Singkatnya, peraturan ini mengatur administrasi setiap aktivitas partai ideologi Islam dan menentukan wewenang semua komponen partai ideologi Islam.

Semua yang disebutkan di atas merupakan uslûb dan wasilah yang dibutuhkan untuk melaksanakan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan aktivitas partai ideologi Islam. Berbagai uslûb administrasi yang diadopsi partai wajib dilaksanakan selama ketua (amir) partai memandang perlu hal itu. Alasannya, menaati ketua/amir partai hukumnya wajib….


Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam