Sesungguhnya tadarruj (pentahapan) tidak terkait dengan tahapan-tahapan tertentu. Juga tidak
tunduk kepada kaidah-kaidah yang mengikat -menurut orang-orang yang
membolehkannya-.
Konsep kompromistis tadarruj (bertahap) bisa mencakup juga
pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan akidah, seperti ‘Sesungguhnya
sosialisme itu bagian dari Islam’ atau ‘Sesungguhnya demokrasi adalah bagian
dari Islam’. Bisa pula mencakup hukum-hukum syara’. Bisa tadarruj berkaitan dengan sistem, seperti
tuntutan agar turut serta sebagai penguasa di dalam sistem pemerintahan
non-Syariah, meskipun hal itu haram secara syar’i sesuai dengan pengakuan para
pendukung tadarruj itu sendiri. Namun,
menurut mereka bukan tuntutan itu yang menjadi tujuan sebenarnya. Bergabungnya
dalam kekuasaan di pemerintahan kufur itu dalam rangka menuju pemerintahan
Islam yang merupakan pokok dan kewajiban pada tahap berikutnya. Tadarruj juga bisa berarti usaha-usaha untuk
mewujudkan sebagian hukum Islam dengan membiarkan hukum-hukum kuur, dengan
harapan akan semakin banyak hukum Islam yang diterapkan, kemudian diasumsikan
bisa menjadi mayoritas dan seterusnya. Orang yang meyakini tadarruj bersikukuh dengan cara-caranya ini
dan berusaha mengajak orang lain untuk mengikutinya. Kadang-kadang kita jumpai
bahwa orang yang melontarkan ide ini adalah orang yang takwa, yang jika
berkaitan dengan dirinya sendiri dia tidak menerima adanya tahapan-tahapan,
akan tetapi jika berkaitan dengan orang lain dia menerima adanya tadarruj karena dia menghendaki agar orang
lain dapat menjalankan hukum syara’, di samping agar mereka tidak menolak
dakwah kepada hukum-hukum Islam. Jadi, menurutnya, keadaan mereka yang turut
melestarikan hukum-hukum kufur dan mengupayakan sebagian dari hukum-hukum Islam
adalah lebih baik daripada tidak melaksanakannya sama sekali.
Para pendukung ide
ini menggunakan pembenaran yang memperkuat pemahaman mereka dalam pemikiran dan
dakwah Islam. Dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapainya mereka telah
mempergunakan alasan-alasan itu sebagai dalil terhadap apa yang mereka inginkan.
Mereka tidak tunduk kepada nash dan dalalah (penunjukannya)-nya. Mereka malah mempergunakankan nash agar
sesuai dengan keinginan mereka.
Dahulu, jihad futuhât (penaklukan/pembebasan) oleh Islam
melalui Negara Islam dilakukan hanya dengan berjalan kaki. Saat itu banyak
negeri-negeri dibuka. Pada waktu itu manusia berbondong-bondong masuk ke dalam
agama Allah. Kaum Muslim yang membuka negeri itu tidak mempedulikan masih
barunya ke-Islaman saudara-saudara mereka, dan tidak membiarkan mereka minum khamar melalui tahapan sebagaimana asumsi
“tahapan” yang telah dilalui dalam pengharaman khamar.
Padahal bisa diasumsikan kondisi saat itu menuntut mereka dan sangat dibutuhkan
seandainya asumsi pentahapan bisa dijadikan sebagai patokan.
Wajar saja para
ulama kita terdahulu tidak pernah membahas masalah tadarruj. Kiranya benarlah sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya
barangsiapa di antara kalian yang menjumpai perbedaan yang banyak, maka
berhati-hatilah kalian dari segala perkara yang menambah-nambah sesuatu yang
baru (dalam masalah agama), karena yang demikian itu adalah bid’ah. Dan setiap
bid’ah (tempatnya) di dalam Neraka.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)
Hukum Syariah telah
lengkap, yang secara syar’i tidak boleh
kembali kepada hukum kufur. Jika kita melaksanakan hukum jahiliyah, berarti
kita telah melaksanakan apa yang tidak diperintahkan Allah Swt. kepada kita.
Inilah pendapat orang-orang terdahulu dan kemudian.
Allah ‘azza wa jalla telah menurunkan hukum-hukum
berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk memperkuat hati. Yang
pertama kali turun adalah masalah iman, kemudian tentang Surga dan Neraka.
Setelah itu halal dan haram. Hal
ini bukan berarti mengambil sebagian Islam dan meninggalkan sebagian yang lain.
Saat itu kaum Muslim bertanggung
jawab sebatas (ayat-ayat) al-Qur’an yang diturunkan, tidak lebih dari itu.
Ketika ayat-ayat
tentang keimanan turun, sedangkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum banyak
belum turun, maka kaum Muslim –saat itu- bertanggung jawab terhadap Islam
seluruhnya, akan tetapi sampai pada batas-batas yang telah dijelaskan nash-nash
syara’ yang telah turun.
Kaum Muslim selalu
harus bertanggungjawab terhadap hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan
individu muslim dalam setiap keadaan, baik daulah Islam telah eksis ataupun
belum ada. Sedangkan hukum-hukum Islam yang disandarkan pembebanannya kepada
negara maka tetap berkaitan dengan negara yang harus dipastikan terpenuhinya.
Inilah perincian yang mengikat kaum Muslim, bukan yang lainnya. Tidak ada yang
namanya kembali ke belakang.
Ide tentang tadarruj (pentahapan) bukan berasal dari
syara’ dan tidak boleh menisbahkannya kepada syara’. Permasalahan ini terkait
dengan metode berpikir yang tidak sesuai dengan syara’ dalam kondisi apapun.
Islam memiliki
sifat-sifat pokok yang berbeda dengan agama lainnya. Dan tabi’at sistem Islam
itu adalah tegak dengan mengikuti wahyu semata.
Tatkala seorang
muslim terikat dengan hukum syara’ maka dia harus menjadikan keterikatannya itu
berdasarkan keimanan kepada Allah Swt. Jika tidak demikian maka konsistensinya
itu tidak akan diterima. Demikian juga ketika dia mengajak orang lain kepada Islam
maka dia wajib menjadkan iman kepada Allah Swt. sebagai asas dakwahnya.
Akidah Islam serta tauhid
mengandung pengertian wajibnya berpasrah untuk menerima seluruh syariah Islam,
jika TIDAK MAU MENERIMA Syariah Islam sebagai wujud KETUNDUKAN HATI kepada
Allah berarti akidahnya, tauhidnya rusak.
Agar seorang muslim
berubah dan sistem juga berubah dengan perubahan yang benar dan lurus maka
wajib memperhatikan asas ruhiyahnya, yaitu dengan mewujudkannya kemudian
memupuknya. Apabila seorang muslim tidak bersandar kepada asas ruhiyah ketika
melaksanakan syariat, maka hal itu dapat menjerumuskannya pada dosa, bahkan
bisa menggelincirkannya kepada syirik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar