“Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat
Allah).” (TQS. al-Qalam [68]: 8)
Rabb kita
telah memperingatkan kita atas tunduk (lemah)nya kita terhadap orang-orang
dzalim. Firman Allah Swt:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim, yang
menyebabkan kamu disentuh api Neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai
seorang penolongpun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”
(TQS. Hud [11]: 113)
Dakwah
yang benar (dengan mengajak) kepada iman yang benar mampu menjadikan
keterikatan seorang muslim dengan syari’atnya secara sempurna, meskipun orang
tersebut baru masuk Islam atau baru saja terikat dengan hukum syara.’ Tidak ada
jalan lain bagi kita, sebagai pengemban dakwah, selain dari menanamkan iman ke
dalam jiwa dan menjaganya hingga memperoleh (panen) buah yang paling baik
dengan menjadikan sebaik-baik iltizam dan
takwa.
Daulah
Islam tidak dibangun oleh orang-orang yang kosong dari pemikiran Islam, atau
yang disesaki dengan pemikiran Barat, juga tidak didirikan di atas orang-orang
yang tidak menjalankan aktivitas dakwah, dan orang-orang yang tidak terpengaruh
oleh dakwah maupun orang-orang yang terpaksa menerima dakwah.
Daulah
Khilafah Islam, wajib dibangun di atas opini umum yang terpancar dari kesadaran
umum, yang menerima pemikiran Islam dan menerima ide untuk ber-tahkim kepada Islam. Dengan demikian tidak
diperlukan sikap dengan mengikuti nafsu manusia atau mengikuti realitas yang
menyimpang, karena Allah telah memerintahkan kita untuk merubah jiwa-jiwa
(manusia) dan merubah realitas (yang ada) agar sesuai dengan Islam.
Apabila
kita menengok kembali al-Qur’an, kemudian kita dalami lagi ayat-ayatnya, pasti
kita akan mengetahui bahwa perintah untuk menerapkan hukum Islam bersifat qath’i.
Rasulullah
Saw. dan orang-orang yang beriman kepadanya, setiap kali diturunkan ayat
al-Qur’an, saat itu juga segera menerapkannya tanpa menunggu-nunggu atau
memperlambatnya. Hukum yang diturunkan wajib diterapkan seiring dengan turunnya
ayat.
Setelah
turunnya ayat:
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (TQS. al-Maidah
[5]: 3)
Kaum Muslim dituntut
untuk melaksanakan Islam secara keseluruhan, dengan tuntutan yang bersifat
menyeluruh; baik itu terkait dengan masalah akidah, ibadah ataupun akhlaq; baik
itu terkait dengan muamalat ataupun dengan aspek pemerintahan, ekonomi, sosial
atau politik luar negeri; baik dalam kondisi damai maupun perang.
Firman
Allah Swt:
“Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
sangat keras hukuman-Nya.” (TQS. al-Hasyr [59]: 7)
Ambillah dan
amalkanlah seluruh perkara yang dibawa oleh Rasulullah Saw., dan tinggalkanlah
serta jauhilah seluruh perkara yang dilarangnya. Kata (mâ) di dalam ayat itu termasuk dalam kategori bentuk umum, yang
mencakup wajibnya beramal dengan seluruh kewajiban, dan wajibnya meninggalkan
atau menjauhi seluruh larangan. Tuntutan untuk melaksanakan atau meninggalkan
yang terdapat di dalam ayat ini sifatnya wajib, dengan qarînah (indikasi) yang terdapat di ujung ayat, (yaitu) berupa
perintah untuk bertakwa dan ancaman dengan azab yang pedih bagi yang tidak
melaksanakan ayat tersebut.
Firman
Allah Swt:
“(Dan)
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah
diturunkan Allah, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka. Juga,
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari
sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (TQS. al-Maidah [5]: 49)
Ayat ini memerintahkan
kepada Rasul dan kaum Muslim setelah beliau dengan perintah yang bersifat jazm (pasti), (yaitu) tentang wajibnya
berhukum dengan apa yang diturunkan Allah; baik itu berupa perintah ataupun
larangan.
Di dalam ayat itu juga
Rasulullah Saw. dan kaum Muslim setelah beliau dilarang untuk mengikuti hawa
nafsu manusia lalu cenderung pada keinginan mereka. Demikian juga terdapat
peringatan bagi Rasulullah Saw. dan kaum Muslim sesudah beliau agar tidak dipalingkan
oleh manusia dari penerapan hukum-hukum yang diturunkan Allah.
Allah
Swt berfirman:
“Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.” (TQS. al-Maidah [5]: 44)
“Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang dzalim.” (TQS. al-Maidah [5]: 45)
“Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang fasik.” (TQS. al-Maidah [5]: 47)
Di
dalam ayat-ayat ini Allah Swt. menghukumi kafir atau dzalim atau fasik bagi
orang-orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan. Lafadz (mâ) di sini berbentuk umum, mencakup seluruh
hukum-hukum syara’ yang diturunkan, baik berupa perintah-perintah ataupun
larangan-larangan.
Tidak
ada keraguan bahwa wajib bagi kaum Muslim, baik individu, jama’ah maupun negara
Khilafah Islam, untuk menerapkan hukum-hukum Islam secara sempurna, tanpa
menunda-nunda, memperlambat ataupun bertahap dalam penerapan.
Islam
memandang orang yang menerapkan sebagian hukum seraya meninggalkan sebagian
yang lainnya, berdosa di sisi Allah, baik ia individu, jamaah ataupun negara.
Maka seluruh muslim harus terus mengupayakan terpenuhinya kewajiban hukum-hukum
Islam.
Sesuatu
yang wajib akan tetap wajib, (yaitu) harus dilaksanakan. Dan sesuatu yang haram
akan tetap haram, (yaitu) wajib dijauhi. Rasulullah Saw. tidak menerima
tuntutan (yang dilontarkan) utusan bani Tsaqif agar membiarkan berhala yang
mereka sembah (Lâta) selama tiga tahun;
dan tidak membiarkan mereka untuk tidak menjalankan shalat jika mereka masuk
Islam. Rasulullah Saw. tidak menerima (tuntutan tersebut) dan menolaknya dengan
tegas. Beliau tetap bersikeras untuk menghancurkan berhala tanpa menunda-nunda
waktu, dan tetap memerintahkan shalat tanpa mengulur-ulur waktu.
Allah
Swt. telah menetapkan bahwa orang yang tidak menerapkan seluruh hukum-hukum
Islam, atau menerapkan sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain, sebagai
kafir jika dia TIDAK MEYAKINI KELAYAKAN hukum-hukum Islam, atau tidak meyakini
kelayakan sebagian hukum yang ditinggalkannya itu. Allah Swt. juga
menganggapnya dzalim jika dia tidak menerapkan sebagian hukum Islam seraya
tetap meyakini kelayakan penerapan (hukum) Islam.
Rasulullah
Saw. mewajibkan untuk memerangi khalifah yang sah, dan mengangkat senjata
apabila khalifah yang sah menampakkan kekufuran yang nyata, di mana kita
memiliki bukti nyata di hadapan Allah. Dengan kata lain, sikap itu diberlakukan
atas seorang khalifah yang menerapkan hukum kufur, yang tidak ada keraguan
sedikitpun bahwa hal itu adalah hukum kufur, baik hukum itu banyak atau
sedikit. Ini berdasarkan penjelasan dalam hadits Ubadah bin Shamit:
“Dan
agar kami tidak merebut kekuasaan dari yang berhak. (Rasulullah bersabda):
‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, di mana kalian memiliki burhân (bukti nyata ) di sisi Allah’.” (HR.
Muslim)
Berdasarkan
hal itu, tidak boleh ada (sikap) meremehkan sebagian hukum-hukum Allah. Sebab,
tidak ada perbedaan antara satu kewajiban dengan kewajiban lainnya, juga antara
satu perkara haram dengan perkara haram lainnya, termasuk antara satu hukum
dengan hukum yang lainnya. Hukum Allah semuanya sama-sama wajib untuk
dilaksanakan, tanpa ada penundaan atau sedikit demi sedikit. Jika tidak, maka
kita akan dibalas Allah Swt.:
“Apakah
kamu beriman kepada sebagian dari (isi) al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian
yang lain? Tiadalah balasan dari orang yang berbuat demikian dari padamu,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang amat berat.” (TQS. al-Baqarah [2]: 85)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar