Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 18 Juni 2016

Kaidah berpikir muslim dengan Syariah


 


Allah Swt. telah menjadikan kita umat yang paling kaya, karena Islam telah cukup dan tidak perlu mengambil dari umat yang lain. Tabiat Islam telah menentukan metode pengambilannya. Dan agama Islam diturunkan Allah untuk menyelesaikan seluruh problematika kehidupan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang muslim kecuali berijtihad, menggali nash-nash syara’ yang telah diturunkan. Bukan mencari selainnya untuk mengetahui hukum-hukum Allah Swt. Kaidah berpikir seorang muslim -yang mengharuskan kehidupannya terikat dengan dalil-dalil syara’- itulah yang disebut dengan hukum-hukum syara’ yang memiliki dalil-dalil yang rinci. Metode ijtihad ini bersifat tetap dan tidak berubah. Dengan alasan apapun tidak boleh menggantikannya. Dari sinilah bertolaknya asas kebangkitan kita secara sempurna, sebagaimana telah bertolak sebelumnya.

Kaidah-kaidah dan pemikiran-pemikiran yang terikat dengan dalil-dalil syara’ yang wajib menguasai benak kaum Muslim untuk mengatur arah dan cara pandang mereka dipaparkan agar mereka berbuat sesuai syariat. Contohnya, ‘Di mana ada hukum syara’ di situ ada maslahat, dan bukan sebaliknya’, ‘Hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’, ‘Asal segala sesuatu (benda-benda) adalah mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya’, ‘Terpuji (hasan) itu adalah apa-apa yang dikatakan baik oleh syara, dan tercela (qabih) itu adalah apa-apa yang dikatakan buruk oleh syara’, ‘Kebaikan (khair) itu adalah apa-apa yang diridhai Allah, dan keburukan (syarr) itu adalah apa-apa yang dibenci Allah’, ‘Tidak ada hukum sebelum datangnya syariat’, ‘Barangsiapa yang berpaling dari hukum Allah maka baginya kehidupan yang sempit’, ‘Sesungguhnya umat Islam adalah umat yang satu tidak seperti umat yang lain’, ‘Sesungguhnya Islam tidak mengakui ashobiyah wathaniyah (nasionalisme), qaumiyah (kebangsaan), isytirâkiyyah (sosialis) dan demokrasi’, ‘Islam adalah gaya hidup yang istimewa, yang berbeda dengan gaya hidup lainnya secara diametral.’

Jika sebagian nash-nash syara’ diperhatikan dengan seksama maka akan menunjukkan dengan jelas tentang pentingnya keterikatan terhadap apa yang telah dipegang oleh generasi salafush shâlih. Kita tidak boleh keluar dari keterikatan tersebut dengan membuat sesuatu yang baru (bid’ah), karena berlaku bid’ah di dalam agama adalah pebuatan yang tercela.

Rasulullah Saw. bersabda:
“Sungguh aku telah meninggalkan bagi kalian suatu perkara yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, sesuatu yang telah jelas, (yaitu) Kitabullah dan Sunnah RasulNya.” (Sirah Ibnu Hisyam)
Lafadz abada (selamanya) juga mencakup kita semua.

Rasulullah Saw. bersabda:
“Dan umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya berada di Neraka, kecuali satu. Dan mereka (para sahabat) bertanya: ‘Siapa orang-orang yang termasuk golongan yang selamat itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: ‘(Yaitu) yang mengikuti jalanku dan jalan para sahabatku sekarang ini’.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hanbal)

Rasulullah Saw. bersabda:
“Telah aku tinggalkan bagi kalian hujjah-hujjah yang putih bersih, yang tidak akan menyimpang daripadanya sesudahku kecuali orang-orang yang sesat.” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hanbal)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada zamanku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka....” (HR. Muslim)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Barangsiapa di antara kalian yang diberi umur panjang maka ia akan melihat perbedaan yang banyak. Dan berhati-hatilah kalian dari membuat-buat perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah berada di Neraka. Kalian wajib mengikuti Sunnahku dan Sunnah Khulafâ ar-Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Dan berpegang teguhlah kepadanya seperti menggigit dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Hadits-hadits tersebut menyerukan untuk mengikuti yang hasan (terpuji) dan peringatan agar menjauhi perkara bid’ah. Semakin jauh suatu zaman dengan masa Rasulullah Saw. maka kita dituntut agar memiliki keterikatan yang lebih kuat, lebih konsisten dan lebih banyak lagi proses pencarian kebenaran, juga membutuhkan keikhlasan yang lebih besar.

Apabila yang diminta atas kita adalah berpegang teguh kepada Sunnah Nabi Saw. dan sunnah khulafâ ar-râsyidîn yang mendapat petunjuk dan harus melaksanakan apapun yang Rasulullah saw dan para sahabat kerjakan, maka kita tidak boleh membuat-buat bid’ah di dalam agama dan tidak keluar lalu terperangkap pada perkara bid’ah. Yang demikian itu tertolak.

- Kita harus menjaga akidah Islam agar tetap bersih dan suci di dalam jiwa kita sehingga tidak ada satupun faktor yang bisa mengeruhkannya.
- Kita harus mengambil sumber-sumber Islam yang bersih dan suci.
- Kita harus menjaga metode istidlal (pengambilan dalil) yang akurat, yang bisa mencegah infiltrasi hawa nafsu dan pendapat manusia ke dalam hukum-hukum syara’.
- Kita harus menjadikan Islam sebagai perkara yang paling penting dalam kehidupan kita; lebih penting dari diri kita sendiri, anak-anak dan keluarga kita; lebih penting dari segala perkara yang mengikuti hawa nafsu kita dan kalimat Allah-lah yang tertinggi di dalam jiwa kita. Kita tidak melalaikan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, sehingga keadaan kita menjadi seperti keadaan salafush shâlih.
- Kita harus menanggalkan pemikiran-pemikiran kufur dan segala kotorannya dari jiwa dan akal kita karena bisa merusak akidah, serta membuang jauh-jauh segala keburukan dan bekas-bekasnya sebagaimana para sahabat ra. yang telah melucuti seluruh kotoran jahiliyyah di depan tangga Islam, lalu mereka memasukinya dengan penuh kesucian dan ketakwaan.

Semua ini mengharuskan kita untuk memulai segalanya dari awal, karena umat di masa akhir ini tidak akan baik kecuali dengan menggunakan perkara yang menjadikan umat di masa awal baik. Ini merupakan suatu keharusan di mana kaum Muslim harus memilikinya pada setiap fase kehidupan mereka. Dekat ataupun jauhnya mereka dari perkara tersebut amat menentukan kuat atau lemahnya kondisi mereka.

Konsep kompromistis Tadarruj (bertahap) juga berarti menerapkan sedikit hukum syara dengan ikut melestarikan penerapan hukum selain syara’ untuk sementara waktu, hingga menurut asumsinya akan tiba saatnya penerapan hukum syara’ secara sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam