Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 05 September 2018

Gagasan Ekonomi An-Nabhani dan Bregman (2): Apa yang Seharusnya Terwujud 67 Tahun Lalu



Gagasan Ekonomi An-Nabhani dan Bregman (2): Apa yang Seharusnya Terwujud 67 Tahun Lalu

Oleh Yudha Pedyanto

Kemiskinan selalu menjadi momok menakutkan, tidak hanya karena kemiskinan itu jelek, tapi karena kemiskinan itu menghasilkan kejelekan-kejelekan berantai seperti benang kusut yang sulit terurai.

Tingginya kriminalitas, meningkatnya mortalitas, memudarnya moralitas, tumpulnya intelektualitas dan kreativitas, sampai mewabahnya obesitas, semua terjadi karena kemiskinan.

Selama ini kita, khususnya politisi dan motivator, meyakini problem benang kusut kemiskinan akibat dari mindset, karakter dan kebiasaan yang keliru. Intinya kemiskinan adalah problem yang harus diatasi sendiri. Karena sumber masalahnya ada pada diri mereka sendiri.

Maka ketika kita melihat orang miskin, kita biasanya bicara dalam hati; itu salahmu sendiri, kamu miskin karena kamu punya mindset dan kebiasaan miskin. Benahi mindset dan kebiasaanmu; berfikir positif, belajar wirausaha, berusaha dengan tekun, pantang menyerah, maka kamu akan jadi kaya. Benarkah?

Ternyata hasil riset berbeda. Dua orang peneliti, Eldar Shafir (Princeton University) dan Sendhil Mullainathan (Harvard University), menawarkan teori baru tentang kemiskinan. Dua profesor tadi menyimpulkan; orang miskin sering bertindak bodoh dan ceroboh bukan karena mindset, karakter atau kebiasaan mereka, tapi karena kondisi eksternal mereka.

Bayangkan sebuah komputer menjalankan sepuluh aplikasi berat secara bersamaan. Belum selesai, masih ditambah lagi dengan sepuluh aplikasi berat lainnya. Apa yang terjadi? Komputer jadi hang. Hal ini terjadi bukan karena komputernya jelek, tapi karena ia dipaksa bekerja melebihi kapasitas serta kemampuannya.

Menurut dua profesor tadi, itulah analoginya yang terjadi pada orang-orang miskin. Mereka cenderung bertindak bodoh dan ceroboh bukan karena pada dasarnya mereka bodoh dan ceroboh, tapi karena mereka hidup di kondisi eksternal yang akan membuat siapapun bertindak bodoh dan ceroboh. Termasuk Anda sendiri.

Bayangkan jika pikiran Anda terus-menerus dibombardir dengan keruwetan; anak-anak besok makan apa, listrik diputus bagaimana solusinya, kontrakan naik pindah ke mana, penagih utang berkali-kali datang harus bilang apa. Semua problem kusut tadi menjejali "bandwidth mental” Anda, sampai tak ada ruang yang tersisa untuk berfikir jernih dan obyektif.

Itulah yang terjadi dalam benak orang miskin, dan benak siapapun yang ditempatkan pada kondisi yang sama. Maka solusinya bukan memperbaiki mindset dan karakter mereka, tapi memperbaiki kondisi eksternal mereka. Bagaimana caranya? Negara harus memenuhi semua kebutuhan hidup mereka, dengan memberi mereka uang tunai bulanan yang cukup untuk hidup layak.

Tapi bukankah kita dilarang memberikan ikan (uang tunai) kepada orang miskin, karena mereka hanya akan makan sehari. Sedangkan kalau kita ajari mereka memancing (mindset dan kebiasaan benar), maka mereka akan makan seumur hidup. Lagi pula jika mereka disuapi uang tunai terus-menerus, dikhawatirkan tidak akan ada lagi orang yang mau bekerja. Masyarakat jadi tidak produktif, ekonomi jadi lesu. Benarkah? Sekali lagi biarkan data riset yang bicara.

Sejak tahun 1982, setiap penduduk di Alaska (negara bagian AS terbesar) menerima uang tunai (tanpa syarat) untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Apakah mereka memutuskan berhenti bekerja? Hasil riset menjawab: tidak. Tingkat employment rate di Alaska sama dengan negara-negara bagian AS lainnya. Dengan kata lain mereka bekerja sama kerasnya. Bahkan ekonomi lokal di Alaska semakin tumbuh berkembang.

Mungkin ada yang komentar: Ah itu kan di negara maju Amerika Serikat. Baiklah kita lihat data di negara-negara dunia ketiga.

Di Kenya tahun 2011, MIT (Massachusetts Institute of Technology) dan LSM yang didanai Google menjalankan program serupa. Hasilnya? Pendapatan mereka meningkat 38%, kelaparan anak-anak menurun 42%, serta kepemilikan hewan ternak meningkat 58%. Karena dinilai sukses, program ini diperpanjang 12 tahun ke depan.

Kemudian pada tahun 2008 di Uganda, pemerintah memberikan basic income sebesar 400 dollar (hampir Rp 6 juta) per bulan, kepada 12,000 warganya yang berumur 16 sampai 35 tahun. Hasilnya? Setelah 5 tahun aset bisnis domestik tumbuh 57%, jam kerja naik 17%, dan pendapatan naik 38%.

Masih banyak data-data keberhasilan universal basic income lainnya; di Namibia, India, Canada sampai Finlandia. Jika masih ada yang berfikir dengan memberi ikan (uang tunai) membuat orang malas dan ekonomi lesu, mungkin dia termasuk tipe manusia baperan yang susah move on. Kecuali dia bisa menunjukkan data riset skala regional dan nasional yang mendukung pendapatnya.

Jadi kalo kita mau berfikir ilmiah berdasarkan data, solusi mengurai benang kusut kemiskinan itu sederhana; beri mereka uang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, seumur hidup mereka. Seperti yang ditegaskan An-Nabhani dalam Nizham Iqtishadi fi Al-Islam, dan Bregman dalam Utopia for Realists. Hanya saja An-Nabhani menegaskan kebijakan ini adalah amanah Qur’an dan Sunnah.

Perbedaan lainnya, basic income versi An-Nabhani tidak langsung diberikan kepada setiap warna negara. Tapi sebagai safety net terakhir, di mana tunjangan tersebut diberikan kepada seseorang yang benar-benar tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, serta tidak memiliki wali atau ahli waris yang menanggungnya. Jadi mereka yang kaya tidak mendapat santunan dari negara.

Dua tahun belakangan ini, universal basic income (UBI) menjadi pembicaran hangat di kalangan politisi, negarawan dan aktivis kemanusian tingkat dunia. Mereka seolah berlomba-lomba mengimplementasikannya. Ada yang sudah menjalankan dan memperpanjangnya, ada yang baru sebagai pilot project, ada juga yang turun ke jalan menuntut referendum diberlakukannya UBI.

Bagaimana dengan Indonesia? Jika kita tidak segera memulai, saya khawatir kita tertinggal dan hanya bisa planga-plongo saja. Terus-menerus berkubang di lembah kemiskinan sementara bangsa lain sudah bangkit dan sejahtera. Ironis, karena sebagai negeri muslim terbesar, seharusnya Indonesia menjadi pelopor dalam mengimplementasikan dan menawarkan alternatif solusi Islam kepada dunia.

Jika mereka menemukan solusi UBI melalui eksperimen sosial berdarah-darah, kita sebagai muslim seharusnya bisa melaksanakannya langsung tanpa perlu mengorbankan apapun. Sebagaimana sudah saya jelaskan, 67 tahun yang lalu An-Nabhani sudah mendahului gagasan serupa UBI yang hari ini sedang ramai diperbincangkan.

Tapi Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani 67 tahun lalu tidak hanya meninggalkan warisan kitab Nizham Iqtishadiy. Beliau menyiapkan sebuah partai politik internasional untuk memperjuangkan hukum-hukum syariah hasil ijtihadnya di level negara. Partai politik internasional itu bernama Hizbut Tahrir. Saat ini Hizbut Tahrir berkembang di hampir lima puluh negara di dunia.

Namun sayangnya, keberdaan Hizbut Tahrir diberangus di beberapa negara, termasuk baru-baru ini di Indonesia. Persekongkolan penguasa lokal dan global nampaknya cukup gerah dan khawatir hegemoni mereka berakhir. Seandainya 67 tahun yang lalu, atau setidaknya 30 tahun yang lalu para penguasa itu terbuka hatinya menerima dan menerapkan konsep-konsep Hizbut Tahrir, mungkin saat ini kita sudah jadi pelopor dalam kemajuan dan kemakmuran.

Jogjakarta, 1 September 2018


Tidak ada komentar:

Related Posts with Thumbnails

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam