Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 16 Oktober 2017

Kapan Harus Tayamum



Kapan Tayamum itu Disyariatkan?

Tayamum itu disyariatkan dalam dua kondisi: kondisi tidak adanya air, dan kondisi adanya udzur yang menghalangi seseorang menggunakan air, padahal airnya ada. Kami akan merinci keduanya sebagai berikut:

Pertama: kondisi tidak adanya air, dan ini merupakan kondisi asal. Kondisi ini sebagaimana terjadi ketika sedang melakukan perjalanan (safar), juga bisa terjadi ketika tidak sedang melakukan perjalanan (hadhar), walaupun memang pada prinsipnya kondisi ini terjadi ketika sedang melakukan perjalanan. Hal ini karena jarang sekali orang tidak mendapatkan air ketika tidak melakukan perjalanan (hadhar), sehingga ketika ingin menyebut kondisi ketiadaan air maka yang disebutkan biasanya adalah perjalanan (safar) sebagai penggantinya. Begitu pula jika ingin menyebut adanya air, maka yang disebutkan biasanya adalah tidak sedang dalam perjalanan (hadhar).
Ini berarti bahwa ketika yang disebutkan itu adalah sedang dalam perjalanan (safar) sebagai sebab yang membolehkan tayamum, maka ini bukan berarti safar itu sendiri yang menjadi sebab dibolehkannya tayamum, karena sebab sesungguhnya adalah ketiadaan air.
Begitu pula ketika disebutkan tidak sedang dalam perjalanan (hadhar) sebagai sebab yang menghalangi tayamum, maka ini pun tidak berarti bahwa hadhar itu sendiri yang menjadi sebab penghalangnya, karena sebab penghalang sesungguhnya adalah adanya air.
Seperti inilah nash-nash syara yang ada dalam al-Qur’an dan al-hadits mesti dipahami, dan seperti ini pulalah berbagai pernyataan para imam dan ahli fiqih harus dipahami.
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ketiadaan air sebagai sebab yang membolehkan tayamum adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah Swt.:

“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (TQS. al-Maidah [5]: 6)

2. Dari Imran bin Hushain, dia berkata:

“Kami berada dalam suatu perjalanan bersama Nabi Saw... kemudian beliau Saw. shalat mengimami orang-orang. Ketika beliau Saw. selesai dari shalatnya, ternyata ada seorang lelaki yang memisahkan diri tidak shalat bersama orang-orang. Lalu beliau Saw. bertanya: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu sehingga tidak shalat bersama orang-orang?” Dia berkata: Aku junub, padahal tidak ada air. Beliau Saw. berkata: “Engkau bisa menggunakan tanah, tanah itu cukup bagimu.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

3. Dari Abu Dzar, dia berkata:

“Sesungguhnya aku terkena sakit pencernaan di Madinah, lalu Rasulullah Saw. memerintahkanku untuk mengikuti sekawanan unta dan ternak. Lalu aku sudah berada di sana, tetapi berada jauh dari sumber air. Isteriku ada bersamaku sehingga aku pun junub. Aku berpikir bahwa aku telah binasa, lalu aku menunggangi salah satu unta menemui Rasulullah Saw... dan aku berkata: Wahai Rasulullah, aku telah binasa. Beliau Saw. bertanya: “Apa yang membinasakanmu?” Lalu aku menceritakan perihal diriku kepada beliau Saw. dan beliau Saw. pun tertawa... kemudian Rasulullah Saw. memerintahkan seseorang untuk menyelubungiku, dan aku pun kemudian mandi. Setelah itu aku menemui Rasulullah Saw. Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya tanah yang bersih itu suci selama engkau tidak menemukan air, walaupun hingga sepuluh kali musim haji (sepuluh tahun-pen.), dan ketika engkau menemukan air maka usapkanlah air itu ke kulitmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, ad-Daruquthni, dan an-Nasai)

Perawi yang tidak diketahui (majhul) dalam sanad Ahmad ini adalah Amr bin Bujdan sebagaimana yang tercantum dalam riwayat an-Nasai dan ad-Daruquthni.

Kalimat dalam hadits Imran:

“ Aku terkena junub, padahal tidak ada air,”

menunjukkan bahwa ketiadaan air menjadi sebab untuk kalimat:

“Engkau bisa menggunakan tanah.”

Flrman Allah Swt.:

“Lalu engkau tidak memperoleh air,”

merupakan sebab untuk:

“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).”

Dan kalimat dalam hadits Abu Dzar:

“Aku berada jauh dari sumber air. Isteriku ada bersamaku sehingga aku pun junub,”

menjadi sebab untuk ucapan:

“Sesungguhnya tanah yang bersih itu suci, selama engkau tidak menemukan air.”

Bahkan jawaban itu sendiri mengandung pengertian sebab juga.

Nash-nash ini telah menetapkan bahwa ketiadaan air menjadi sebab tayamum, hal ini sangat jelas sekali, sehingga tidak diperselisihkan oleh seorang Muslim pun.

Kondisi ketiadaan air itu adalah tidak adanya air secara riil di tempat tersebut, atau adanya air di suatu tempat yang sangat jauh yang tidak bisa dicapai kecuali akan mengakibatkan lewatnya waktu shalat, atau timbulnya kesukaran yang amat sangat untuk mencapainya karena sedemikian jauhnya, atau hilangnya persahabatan ketika dicari karena sama-sama diperebutkan, atau adanya kerumunan yang berdesak-desakan yang mencegah didapatkannya air tersebut dalam waktu tersebut, atau adanya musuh berupa manusia atau hewan yang menghalangi antara dirinya dengan air tersebut, atau air tersebut berada di dalam sumur yang tidak bisa didapatkan kecuali dengan menggunakan ember dan tali, padahal saat itu dia tidak memiliki ember dan tali, atau kondisi seorang tahanan yang terhalang secara fisik dari air yang dekat dengannya, atau air tersebut sangat sedikit yang tidak mencukupi karena hanya cukup digunakan sebagai air minumnya, untuk memasak makanannya atau makanan keluarganya dalam perjalanannya itu atau untuk minum hewan tunggangannya. Bisa dipandang sebagai kondisi ketiadaan air juga ketika air itu memang ada tetapi tidak bisa didapatkan kecuali dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga semestinya.
Ini semua dipandang sebagai kondisi ketiadaan air, yang membolehkan seseorang bertayamum.

Kedua: Adanya udzur yang menghalangi seseorang menggunakan air. Kondisi ini mencakup:

a. Orang sakit yang bisa terkena bahaya jika menggunakan air, bisa berupa tambah parahnya penyakit, atau makin panjangnya masa penyembuhan.

b. Orang yang terkena luka, yang khawatir lukanya semakin lama sembuh atau bertambah parah, atau juga menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat ketika air mengenai lukanya.

c. Orang yang ada di malam yang sangat dingin, dia tidak menemukan air kecuali air yang sangat dingin, dan dia tidak memiliki untuk memanaskannya. Sehingga jika dia mandi dengan air dingin seperti itu, maka bisa membahayakan tubuhnya atau khawatir dirinya akan binasa.

Dalil-dalil atas hal itu adalah sebagai berikut:

1) Firman Allah Swt.:

“Dan jika kamu sakit.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)

2) Dari Jabir, dia berkata:

“Kami keluar dalam suatu perjalanan, lalu salah seorang dari kami terkena batu hingga kepalanya retak, kemudian dia bermimpi. Dia bertanya pada salah seorang temannya. Dia berkata: Apakah kalian menemukan adanya rukhshah (keringanan) bagiku untuk bertayamum? Mereka berkata: Kami tidak menemukan adanya rukhshah ketika engkau mampu menggunakan air. Diapun mandi dan kemudian meninggal. Ketika kami tiba di hadapan Rasulullah Saw., kami kabarkan hal itu, maka beliau Saw. berkata: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika belum mengetahui, karena sesungguhnya obat kebodohan itu bertanya. Sesungguhnya dia cukup bertayamum, menekannya atau mengikat lukanya, lalu dia membasuh bagian tubuh lainnya.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu as-Sakan.

3) Dari Amr bin al-Ash, dia berkata:

“Pada suatu malam yang sangat dingin dalam Perang Dzatus Salasil aku bermimpi. Aku merasa khawatir jika mandi akan binasa, lalu aku pun bertayamum, kemudian shalat subuh mengimami para sahabatku. Lalu mereka menceritakan hal itu kepada Nabi Saw. Maka beliau Saw. bertanya: “Wahai Amr, benarkah engkau telah shalat mengimami sahabat-sahabatmu padahal engkau dalam keadaan junub?” Lalu aku memberitahu beliau Saw. tentang perkara yang menghalangiku untuk mandi, dan kemudian aku berkata: Sesungguhnya aku mendengar Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Kemudian Rasulullah Saw. tertawa dan tidak berkata apapun.” (HR. Abu Dawud, ad-Daruquthni, Ibnu Hibban dan al-Hakim)

Bukhari meriwayatkan hadits ini tanpa sanad.

Ayat al-Qur'an dalam poin pertama menjadi dalil udzur pertama.
Hadits pada nomor dua menjadi dalil udzur yang kedua.
Hadits pada nomor tiga menjadi dalil udzur yang ketiga.

Dari nash-nash tersebut kita bisa menyimpulkan beberapa hal berikut:

1. Udzur yang ketiga terkait dengan tayamum sebagai pengganti mandi, bukan pengganti wudhu, karena dengan wudhu menggunakan air dingin tidak mungkin menimbulkan dharar (bahaya) pada badan atau membinasakan jiwa.

2. Sesungguhnya lukanya tidak cukup sekedar ditayamumi, di mana pembalut luka harus disertakan ke dalam anggota tayamum dan diusap, kemudian membasuh seluruh badan dalam mandi junub dan semisalnya, atau mengusapnya dan melakukan perbuatan wudhu lainnya. Dalilnya adalah nash kedua.
Ketika mandi itu akan menimbulkan dharar (bahaya) pada luka seperti orang yang baru dioperasi bedah perut atau dada, maka tayamum sudah cukup baginya untuk menghilangkan junub. Dalilnya adalah nash ketiga.

Masalah (Perkara)

Ketika udzur yang menghalangi digunakannya air itu hilang, maka tayamum menjadi batal dengan segera, dan orang yang bertayamum tersebut wajib mandi menggunakan air atau berwudhu dengan air sesuai dengan kondisinya.

Masalah

Tanah, pasir dan benda lainnya yang digunakan untuk bertayamum itu boleh digunakan untuk satu atau beberapa kali tayamum. Ketika benda-benda tersebut sebelumnya telah digunakan untuk bertayamum, maka kondisi tersebut tidak menghilangkan kesuciannya dan kelayakannya untuk digunakan dalam tayamum yang kedua dan ketiga kalinya. Tidak ada dalil apapun yang mencegah digunakannya benda-benda tersebut lebih dari satu kali, sehingga tetap berada dalam kondisi sucinya.

Masalah

Sejumlah ahli fiqih, di antaranya Ibnu Qudamah mengatakan: Jika pada tubuh seorang Muslim terdapat najis, dan dia tidak mampu mencucinya karena tidak ada air atau takut dharar (bahaya) ketika air tersebut digunakan, dia boleh bertayamum menghilangkan najis tersebut dan kemudian shalat.
Mereka mengambil kesimpulan tersebut dari sebuah hadits:

“Tanah yang baik itu adalah alat bersuci seorang Muslim, walaupun dia tidak menemukan air selama dua puluh tahun.”

Penarikan kesimpulan seperti ini rusak sehingga tidak bisa dibenarkan. Hal ini tiada lain karena tayamum merupakan ibadah yang dilakukan untuk menggantikan mandi dan wudhu, sehingga harus dibatasi pada tujuan yang disebutkan nash saja.
Adapun pernyataan mereka bahwa hal itu termasuk dalam keumuman hadits, maka ini pun pernyataan yang tidak berarti sama sekali, karena pernyataan seperti ini sangat umum, sehingga seorang Muslim bisa membuat-buat berbagai asumsi dan penakwilan semaunya.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam