Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 15 Oktober 2017

Tayamum Batal Ketika Ada Air



Menemukan Air Setelah Sebelumnya Tidak Menemukan

Telah kami jelaskan sebelumnya bahwa tayamum itu semisal dengan wudhu, dengan satu pengecualian ketika air ditemukan -setelah sebelumnya tidak ditemukan- maka tayamumnya menjadi batal.
Walaupun begitu, para imam dan para ahli fiqih berbeda pendapat dalam perkara yang membatalkan tersebut -dari sisi penetapan waktunya-: Apakah ditemukannya air setelah melaksanakan shalat dan sebelum keluarnya waktu itu membatalkan tayamum dan shalat tersebut, serta mewajibkan i'adah (mengulang shalat)? Apakah ditemukannya air ketika sedang shalat itu membatalkan tayamum dan shalat, serta mewajibkan orang tersebut untuk meninggalkan shalat yang sedang dilakukannya lalu mengulangnya kembali? Apakah ditemukannya air sebelum shalat itu membatalkan tayamum sehingga mewajibkannya berwudhu untuk shalat? Ataukah tayamum itu tetap sah sehingga shalatnya pun jadi sah?

Abu Hanifah, as-Syafi'i, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa orang yang shalat dengan bertayamum, kemudian menemukan air setelah selesai shalat, maka dia tidak wajib mengulang shalatnya.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat Thawus, Atha, al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Makhul, Ibnu Sirin, az-Zuhri, dan Rabi'ah, di mana mereka menyatakan orang tersebut wajib mengulang shalat (i'adah) ketika masih ada waktu.
Mayoritas ahli fiqih dan para imam berpendapat bahwa ketika seseorang bertayamum, lalu menemukan air sebelum shalat, maka dia wajib berwudhu dan dia tidak sah melakukan shalat dengan tayamumnya itu.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat Dawud dan Salamah bin Abdurrahman yang tidak mewajibkan orang tersebut berwudhu.
Abu Hanifah, al-Auza'iy, dan at-Tsauri berpendapat bahwa ketika seorang yang bertayamum menemukan air setelah memulai shalat dan sebelum selesai dari shalat, maka dia wajib meninggalkan shalatnya itu dan kemudian mengulangnya.
Pendapat mereka ini berbeda dengan pendapat Malik dan Dawud yang menyatakan orang tersebut tidak wajib keluar meninggalkan shalat bahkan haram, shalatnya tetap shahih.

Pendapat yang benar adalah: adanya air itu membatalkan tayamum. Telah diketahui bahwa ketika sesuatu yang membatalkan itu ada, maka ia akan membatalkan. Tidak ada perbedaan dalam hal itu, apakah adanya sesuatu yang membatalkan itu sebelum atau setelah masuk waktu, dan tidak ada perbedaan apakah adanya itu sebelum, sedang atau setelah shalat; semua kondisi ini memiliki satu hukum, sehingga pembedaan kondisi seperti itu hanya sesuatu yang dibuat-buat yang tidak berdalil.
Karena itu, orang yang shalat dengan tayamum, lalu ia menemukan air setelah selesai shalat, maka shalatnya sah dan dia tidak wajib mengulangnya (i’adah).
Seseorang yang bertayamum ketika menemukan air sebelum shalat, maka tayamumnya itu batal, dan dia wajib berwudhu untuk shalat, sehingga shalat yang dilakukannya tanpa berwudhu itu menjadi shalat yang batil.
Orang yang bertayamum ketika menemukan air setelah memulai shalat, tetapi belum sempat menyelesaikannya (ada air saat sedang shalat-pen.) maka dia harus keluar meninggalkan shalatnya itu dan mengulangnya kembali.
Semua ini dilandaskan pada satu pangkal, bahwa tayamum itu semisal dengan wudhu, perkara yang membatalkan tayamum itu semisal dengan perkara yang membatalkan wudhu.
Melakukan pembedaan di antara keduanya dalam perkara yang membatalkan itu merupakan tindakan yang tidak berdalil. Terlebih lagi secara lebih ekstrim yang menjadi sandaran mereka untuk melakukan pembedaan seperti itu hanya syubhat, pentakwilan dan dilalah yang jauh sekali, yang tidak akan mungkin bertahan ketika dihadapkan pada diskusi dan perdebatan. Misalnya Atha, al-Qasim, Makhul, Ibnu Sirin, az-Zuhri, Rabi'ah dan Thawus berkata: wajib mengulang shalat ketika waktunya masih ada, karena adanya seruan bersama selama waktu masih ada, berdasarkan firman Allah Swt.:

“Dirikanlah shalat.”

Dengan firman Allah Swt.:

“Jika kalian hendak mendirikan shalat.”

Di mana salah satu syarat sahnya adalah berwudhu, yang bisa dilaksanakan pada waktunya, dan berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

“Jika dia menemukan air, maka hendaklah dia bertakwa pada Allah dan menyentuhkan air itu pada kulitnya.”

Dawud dan Malik berkata: tidak wajib keluar meninggalkan shalat, bahkan haram. Mereka berdalil dengan firman Allah Swt.:

“Janganlah kalian merusakkan amal-amal kalian.” (TQS. Muhammad [47]: 33)

Keduanya berkata: Selama shalat itu telah dimulai dengan benar maka tidak boleh dibatalkan dan ditinggalkan. Dawud berkata: Seseorang yang bertayamum ketika menemukan air sebelum shalat, maka dia tidak wajib berwudhu, berdasarkan firman Allah Swt.: “Janganlah kalian merusakkan amal-amal kalian.” As-Syaukani bimbang dalam permasalahan ini, dia mengomentari hadits yang berbunyi:

“Jika menemukan air, maka hendaklah dia menyentuhkan air itu ke kulitnya, karena hal itu merupakan kebaikan.”

Dia mengomentari hadits tersebut dengan menyatakan: Aku mengalami kesulitan dalam mengambil kesimpulan dari hadits ini, yakni dengan adanya lafadz: fa inna dzalika khairun (karena hal itu merupakan kebaikan). Kalimat seperti ini menunjukkan tidak wajibnya berwudhu sebagaimana yang mereka klaim itu.
Inilah pendapat dan syubhat mereka. Dalam permasalahan ini terdapat beberapa nash berikut:

1. Dari Atha bin Yasar, dari Abu Said al-Khudri, dia berkata:

“Dua orang lelaki melakukan perjalanan, lalu tiba waktu shalat, padahal keduanya tidak memiliki air. Keduanya kemudian bertayamum dengan tanah yang bersih, lalu shalat. Setelah itu keduanya menemukan air waktu itu juga. Salah seorang dari keduanya lalu mengulang shalatnya dan berwudhu, sedangkan yang satunya lagi tidak mengulang shalatnya. Kemudian keduanya mendatangi Rasulullah Saw. dan menceritakan peristiwa itu kepada beliau Saw. Maka beliau Saw. berkata pada orang yang tidak mengulang shalat: “Engkau telah sesuai dengan Sunnah, dan shalatmu sah.” Dan beliau Saw. berkata pada orang yang berwudhu dan mengulang shalatnya: “Bagimu dua pahala.” (HR. Abu Dawud, ad-Darimi, al-Hakim dan ad-Daruquthni)

An-Nasai meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Maka beliau Saw. berkata pada orang yang tidak mengulang shalatnya: “Engkau telah sesuai dengan Sunnah, dan shalatmu sah.” Dan beliau Saw. berkata pada yang satunya lagi: “Adapun engkau, maka untukmu bagian menghimpunkan.”

Lafadz sahmu jam’in, artinya menghimpun pahala dua shalat.

2. Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Tanah itu menjadi wudhu seorang Muslim walaupun dia tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Ketika menemukan air, maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dan menyentuhkan air itu ke kulitnya, karena hal itu merupakan kebaikan.” (HR. al-Bazzar, para perawi ini termasuk perawi yang shahih).

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu al-Qathan.

Hadits yang pertama merupakan bantahan yang tegas bagi orang yang mewajibkan i’adah (mengulang shalat) saat masih ada waktu. Telah dimaklumi bahwa tidak ada peluang ijtihad dalam perkara yang dijelaskan oleh nash. Dan ini jelas merupakan nash, sehingga kita tidak boleh menyatakan pendapat yang bertentangan dengannya.
Ucapan Rasulullah Saw. pada orang yang tidak mengulang shalat:

“Engkau telah sesuai dengan sunah dan shalatmu sah.”

Merupakan teks (manthuq) yang tidak mewajibkan i’adah (mengulang shalat), sehingga gugurlah pendapat dan ijtihad mereka.
Hadits yang kedua membantah orang yang berpendapat bahwa orang yang bertayamum -jika menemukan air sebelum shalat- maka dia tidak wajib berwudhu, dan juga membantah orang yang mengatakan tidak wajibnya menghentikan shalat ketika ada air pada saat dia sedang shalat.
Ucapan Rasulullah Saw.:

“Ketika menemukan air maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dan menyentuhkan air itu ke kulitnya.”

Ucapan Rasulullah Saw. tersebut bersifat umum, untuk setiap kondisi saat adanya air, tidak membedakan antara kondisi sedang shalat, sebelum shalat atau setelah shalat.
Adanya air menjadi faktor yang membatalkan tayamum, seperti halnya buang air kecil menjadi faktor yang membatalkan wudhu. Ketika seseorang buang air kecil maka batallah wudhunya, baik hal itu terjadi sebelum shalat, saat shalat atau setelah shalat, sama saja baik di waktu shalat, sebelum masuk waktu shalat atau setelah keluar waktu shalat.
Begitu pula dengan orang yang bertayamum, ketika menemukan air maka batallah tayamumnya, baik ditemukannya air itu sebelum shalat, sedang shalat atau setelah shalat, dan sama saja baik di waktu shalat, sebelum masuk waktu shalat atau setelah keluar waktu shalat.
Orang yang mengklaim adanya takhsis untuk salah satu kondisi tersebut harus menyampaikan dalilnya, bukan malah menyampaikan syubhat atau penakwilan.

Adapun orang yang sebelum shalat, maka jelas sekali, tayamumnya menjadi batal ketika ada air. Bagaimana bisa disebut sah orang yang shalat tanpa berwudhu? Mengenai orang yang sedang shalat, maka bagaimana bisa menyempurnakan (menyelesaikan-pen.) shalatnya padahal tayamumnya telah batal dengan adanya air? Apakah orang yang buang angin saat dia sedang shalat itu bisa menyempurnakan shalatnya (melanjutkan dan menyelesaikan shalatnya) dengan menggunakan ayat berikut sebagai dalilnya?

“Janganlah kalian merusakkan amal-amal kalian.” (TQS. Muhammad [47]: 33)

Bagaimana kita bisa disebut membatalkan amal, padahal thaharah kita sudah batal? Kemudian kategori membatalkan amal seperti apakah ini, padahal kita diwajibkan mengulang shalat?

Pendapat yang benar-benar mesti direspon adalah keraguan dan kebimbangan as-Syaukani dalam mengatakan wajibnya berwudhu bagi orang yang menemukan air. Pemicu timbulnya keraguan itu adalah hadits Abu Dzar yang menyebutkan dalam salah satu riwayatnya:

“Ketika menemukan air maka hendaklah dia mengusapkan air itu ke kulitnya, karena hal itu merupakan kebaikan.”

Rasulullah Saw. telah menjelaskan alasan perintahnya membasahi kulit dengan air, yakni wudhu, dengan ucapannya: “Karena hal itu merupakan kebaikan.” As-Syaukani menganggap kalimat tersebut sebagai faktor yang mengalihkan perintah tersebut dari hukum wajib, sehingga dia pun akhirnya mengatakan sesuatu yang dikatakannya seperti di atas. As-Syaukani bisa dipandang benar seandainya dalam hadits ini tidak terdapat lafadz tambahan, di mana tambahan tersebut akan menghilangkan keraguan dan memastikan perintah tersebut sebagai hukum wajib. As-Syaukani melupakan tambahan yang disebutkan dalam hadits al-Bazzar, yakni frase:

“Hendaklah dia bertakwa kepada Allah.”

Walaupun begitu, as-Syaukani telah menyebutkan hadits yang ada tambahannya ini di suatu tempat, tetapi sayangnya dia kemudian lupa mengambil kesimpulan dari tambahan frase tersebut, sehingga akhirnya dihinggapi keraguan dan kebimbangan.

Ucapan beliau Saw.: fal yattaqillaha (maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah) itu justru menjadi qarinah yang memberi pengertian wajibnya wudhu bagi orang yang menemukan air.
Ini karena frase ittaqillaha tidak diucapkan kecuali untuk menunjukkan sesuatu wajib atau sesuatu haram. Kalimat tersebut tidak akan diucapkan terkait sesuatu yang sunah, mubah, ataupun makruh.
Lafadz yang ada dalam riwayat al-Bazzar ini justru menjadi qarinah yang layak untuk mengarahkan perintah Rasulullah Saw. tersebut menjadi hukum wajib. Lafadz ini menggugurkan pendapat orang yang menyatakan sunah atau tidak wajibnya berwudhu bagi orang yang bertayamum saat menemukan air.

Penarikan kesimpulan dari ayat:

“Jika kalian akan mendirikan shalat.”

untuk mewajibkan i’adah (mengulang shalat) bagi orang yang telah shalat dengan bertayamum, kemudian menemukan air pada saat waktu shalat masih ada, merupakan istidlal dengan mafhum yang justru kontradiktif dengan manthuq hadits Abu Said. Mafhum itu tidak bisa dipertahankan saat bertentangan dengan manthuq.

Nafi telah meriwayatkan dari Ibnu Umar:

“Bahwasanya dia datang dari arah al-Jurf. Ketika tiba di Marbad, beliau bertayamum. Beliau mengusap wajah dan kedua telapak tangannya, lalu melaksanakan shalat ashar, kemudian memasuki Madinah, padahal matahari masih tinggi, tetapi beliau tidak mengulang shalatnya.” (HR. as-Syafi’i dengan sanad yang shahih)

Hadits ini diriwayatkan Abdurrazaq dengan lafadz:

“Lalu beliau bertayamum dengan tanah dan shalat, dan tidak mengulang shalat tersebut.”

Al-Jurf adalah suatu tempat dekat Madinah.

Masalah (Perkara)

Tayamum bisa dilakukan untuk bersuci dari junub, haid, dan nifas, seperti halnya dari hadats kecil. Tayamum dari junub, haid dan nifas itu menjadi batal oleh perkara yang membatalkan mandi. Tayamum dari hadats kecil juga dibatalkan oleh perkara yang membatalkan wudhu, dengan pengecualian adanya air. Adanya air membatalkan keduanya, begitu pula hilangnya udzur yang membolehkan tayamum.
Jika tayamum dari junub kemudian berhadats kecil, seperti buang air kecil atau buang air besar, maka batallah tayamumnya dari hadats kecil tersebut, tetapi tayamumnya dari junub tidak batal. Hal ini karena hadats kecil itu membatalkan wudhu saja, tidak membatalkan mandi, sehingga membatalkan perkara sebaliknya. Jima (bersetubuh) misalnya, membatalkan thaharah dari hadats besar.
Tidak bisa dikatakan bahwa buang air kecil membatalkan tayamum yang dilakukan untuk menggantikan mandi junub, seperti yang diungkapkan oleh kalangan Malikiyah yang menyatakan bahwa buang air kecil itu membatalkan tayamum dari junub dan hadats kecil secara bersamaan, yakni orang tersebut kembali junub.

Saya tidak ingin membantah kalangan Malikiyah ini terlalu panjang selain dengan mengatakan bahwa tayamum dari junub itu menjadi pengganti mandi junub yang bersifat temporal, dan hukumnya pun sama dengannya. Telah diketahui bahwa air kencing itu membatalkan wudhu, tetapi tidak membatalkan mandi, maka pernyataan seperti ini harus dilontarkan pula terkait dengan tayamum dari hadats besar dan hadats kecil.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam