Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 16 Oktober 2017

Jika Tak Ada Kedua Sarana Bersuci



Shalat Orang yang Tidak Mendapati Dua Sarana Bersuci

Yang dimaksud dengan dua sarana bersuci adalah air dan tanah.
Terdapat beberapa nash yang mewajibkan wudhu dengan air. Ketika tidak ada air atau ada halangan yang menghalangi seseorang menggunakan air, maka dia bertayamum dengan tanah.
Sekarang kita membahas kondisi ketiga, yakni kondisi tidak ada air dan tidak ada tanah secara bersamaan. Contoh dari kondisi ini misalnya ada seorang tahanan yang berada di suatu tempat pengasingan, padahal dia tidak memiliki air dan tidak mendapatkan tanah, dan tempat pengasingan tersebut tidak memiliki dinding yang bisa digunakan untuk bertayamum, padahal si tahanan ini ingin melakukan shalat, maka apa yang harus dilakukannya? Apakah dia bisa shalat tanpa perlu berwudhu ataukah tidak perlu shalat? Dan ketika dia sudah shalat, lalu suatu saat menemukan salah satu sarana bersuci, apakah dia wajib mengulang shalatnya (i'adah). Inilah permasalahannya.
Para imam yang empat berbeda pendapat dalam hal ini, yang akan kami paparkan sebagai berikut:

Kalangan ulama Hanafiyah berkata: hendaknya dia melaksanakan shalat secara formalitas, yakni si mushalli melakukan gerakan shalat berupa berdiri, ruku, sujud, duduk tanpa perlu membaca al-Fatihah, melafalkan tasbih atau bertasyahud serta tanpa niat, sehingga kewajiban shalat tersebut masih tetap ditanggungnya. Dia harus mengqadha shalatnya ketika suatu saat menemukan air atau tanah. Dalam hal kewajiban mengqadha shalat ini, pendapat mereka sama dengan pendapat at-Tsauri dan al-Auzaiy.
Kalangan ulama Malikiyah menyatakan: kewajiban shalat telah gugur dari orang tersebut, sehingga dia tidak perlu shalat dan tidak perlu mengqadha ketika menemukan air atau tanah.
Kalangan ulama Syafi’iyah menyatakan: jika dia junub maka dia harus melaksanakan shalat, tetapi hanya terbatas pada membaca al-Fatihah saja, dia harus mengulang shalat tersebut ketika menemukan air atau tanah, tetapi ketika dia berhadats kecil maka dia harus shalat secara sempurna dan seperti biasanya, dan dia tetap harus mengulangnya ketika menemukan air atau tanah.
Kalangan ulama Hanabilah (pengikut madzhab Imam Hanbali) menyatakan dia bisa shalat dan tidak perlu mengulang shalatnya itu ketika menemukan air atau tanah, tetapi ini terbatas pada shalat fardhu saja. Pendapat ulama Hanabilah terkait tidak wajibnya mengulang shalat, sama dengan pendapat al-Muzanni, Sahnun, Ibnu al-Mundzir dan as-Syaukani.

Pendapat yang lebih tepat menurut kami adalah pendapat ulama Hanabilah dan mereka yang sependapat dengannya.
Tahanan yang tidak memiliki air dan tanah, dan orang sakit yang tidak kuat meninggalkan tempat tidur untuk berwudhu atau bertayamum, padahal tidak ada seorangpun di sisinya yang bisa menolongnya membawakan air atau tanah; kedua orang ini bisa shalat secara sempurna dan benar seperti biasa. Keduanya dipandang telah melaksanakan kewajibannya, tidak diharuskan untuk mengqadha atau mengulang shalatnya setelah keluar waktu shalat. Keduanya juga bisa melaksanakan shalat nafilah sekehendaknya tanpa bersuci.

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Aisyah ra.:

“Bahwasanya dia meminjam kalung dari Asma, lalu kalung itu hilang. Maka Rasulullah Saw. mengutus sejumlah sahabat untuk mencarinya, hingga tiba waktu shalat. Kemudian mereka pun shalat tanpa berwudhu. Saat mereka datang kepada Nabi Saw., mereka mengadukan hal itu kepada beliau Saw. Lalu turunlah ayat tayamum.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)

Dilalah hadits ini memberi pengertian bahwa para sahabat Rasulullah Saw. telah melakukan shalat tanpa berwudhu, dan tentu saja tanpa bertayamum, karena saat itu tayamum belum disyariatkan. Tetapi Rasulullah Saw. tidak mengingkari mereka atas hal itu, sehingga sikap beliau Saw. ini dipandang sebagai pengakuan dari beliau Saw. atas perbuatan mereka tersebut.

Di saat sekarang ini dan setelah disyariatkannya tayamum, tidak ada seorangpun yang menyerupai mereka dalam melakukan hal seperti itu, kecuali orang yang shalat tanpa berwudhu dan tanpa bertayamum karena tidak adanya air dan tanah, yakni kecuali orang yang tidak menemukan dua sarana bersuci secara bersamaan. Saat itulah dia bisa shalat tanpa bersuci seperti mereka, dengan pengertian lain, bahwa pengakuan Rasulullah Saw. atas shalat pada golongan yang pertama menjadi pengakuan yang bisa ditujukan pada orang yang shalat dalam keadaan tidak menemukan dua sarana bersuci.

Dengan penarikan kesimpulan seperti ini, sejumlah ahli fiqih berpendapat. Ibnu Hajar berkata: “Di dalam hadits ini tidak ada penjelasan bahwa mereka tidak menemukan tanah. Hadits ini menunjukkan bahwa mereka hanya tidak menemukan air saja. Sehingga di dalam hadits ini terdapat dalil wajibnya shalat bagi orang yang tidak mendapatkan dua sarana bersuci. Alasannya adalah bahwa mereka melakukan shalat dengan meyakini wajibnya shalat tersebut. Seandainya shalat saat seperti itu dilarang, niscaya Rasulullah Saw. akan mengingkarinya.”
As-Syaukani menyatakan: “Di dalam hadits ini tidak ada indikasi apapun yang menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan tanah. Hadits ini menunjukkan bahwa mereka hanya tidak menemukan air saja, tetapi ketiadaan air saat itu semisal dengan ketiadaan air dan tanah, karena tidak ada media untuk bersuci selain air.”

Orang yang tidak mendapatkan dua sarana bersuci bisa shalat tanpa bersuci. Dalil ini membantah pendapat Abu Hanifah dan Malik. Terkait pendapat Malik maka sudah sangat jelas. Dan terkait pendapat Abu Hanifah maka melakukan gerakan shalat tanpa niat dan tanpa membaca al-Fatihah itu bukan shalat namanya, dalam arti, orang yang melakukan seperti itu tidak dikatakan melaksanakan shalat. Ujung-ujungnya, pendapat Abu Hanifah ini sama dengan pendapat Malik, dan hadits di atas membantah keduanya.

Tinggal satu pertanyaan: apakah orang yang shalat tanpa bersuci itu harus mengulang shalatnya ataukah tidak? Hadits ini menunjukkan bahwa i’adah (mengulang shalat) itu tidak wajib, karena jika wajib hukumnya niscaya Rasulullah Saw. menjelaskannya. Ketika Rasulullah Saw. tidak menjelaskannya maka ini menunjukkan tidak wajibnya i'adah (mengulang shalat), jika wajib tentunya sudah dijelaskan oleh beliau Saw.
Ketika beliau Saw. mendiamkannya (tidak menjelaskannya) maka hal itu menunjukkan tidak wajibnya i'adah. Dengan demikian, pendapat Abu Hanifah dan as-Syafi'i yang mewajibkan i'adah terbantahkan.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam