Melebatkan Janggut
Terdapat beberapa
hadits terkait melebatkan dan memanjangkan janggut, di antaranya:
1. Hadits Aisyah di atas, di dalamnya
disebutkan:
“Sepuluh perkara yang
termasuk fitrah: memotong kumis, memanjangkan janggut.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu
Dawud, Ibnu Majah dan an-Nasai)
2. Hadits Ibnu Umar yang juga telah kami
sebutkan, di dalamnya disebutkan:
“Hendaklah kalian
berbeda dengan orang-orang musyrik, lebatkanlah janggut.” (HR. Bukhari)
Muslim meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Hendaklah kalian
berbeda dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan lebatkanlah janggut.”
3. Hadits Abu Hurairah yang juga telah kami
sebutkan di atas, di dalamnya disebutkan:
“Cukurlah kumis dan
panjangkanlah janggut, hendaknya kalian berbeda dengan orang-orang Majusi.”
(HR. Muslim dan Ahmad)
Semua riwayat ini
menggunakan beberapa lafadz berikut: i'faa,
waffiruu, aufuu,
arkhuu, yang semuanya mengandung satu
makna, yakni membiarkan janggut memanjang tanpa dicukur, dipangkas atau
dipotong, yakni perlakukanlah janggut dengan perlakuan yang berbeda sama sekali
dengan yang kita lakukan terhadap kumis.
Memotong janggut
termasuk kebiasaan orang kafir (ketika itu) sehingga as-Syari' melarang hal itu. Dia Swt. memerintahkan kita untuk
melebatkan dan memanjangkan janggut dalam rangka menyelisihi perbuatan orang
kafir.
Memanjangkan dan melebatkan
jenggot itu salah satu sunanul fithrah, hukumnya sunah muakkadah, persis sama
dengan hukum memendekkan kumis.
Al-Qadhi Iyadh
berkata: Adalah dimakruhkan mencukur janggut, memotongnya dan menggundulinya.
As-Syaukani berkata
ketika menjelaskan hadits sepuluh perkara yang termasuk fitrah: sunanul fithrah yang sepuluh ini tidak wajib
hukumnya.
Syamsuddin bin Qudamah
dalam kitab as-Syarhu al-Kabir
menyatakan: “dianjurkan untuk memanjangkan dan melebatkan janggut.”
Pendapat saya terkait
memanjangkan janggut ini persis sama dengan apa yang telah saya paparkan
terkait memendekkan kumis. Hukum dan qarinah
keduanya sama, walaupun penekanan terhadap tindakan memendekkan kumis lebih
besar daripada terhadap memanjangkan janggut. Hal ini karena ada kalimat di
dalam hadits:
“Barangsiapa yang
tidak menggunting kumisnya maka dia bukan golongan kami.”
Penekanan seperti ini
justru tidak ditemukan dalam persoalan memanjangkan janggut.
Adalah sunah
membiarkan janggut hingga tampak dan menonjol di wajah, dan tidak ditetapkan
batasan maksimal untuk ukuran panjangnya.
Apa yang dilakukan
Ibnu Umar dengan memotong janggutnya agar tidak lebih dari kepalan tangan bisa
dijadikan pegangan.
Bukhari berkata:
Ketika berhaji atau melakukan umrah, Ibnu Umar memegang janggutnya, yang lebih
dari kepalan tangannya kemudian dipotongnya. Perbuatan Ibnu Umar ini bukanlah
dalil, melainkan dipandang sebagai satu hukum syara
yang boleh diikuti.
Sebaliknya, tidak ada
tuntutan atau perintah untuk memendekkannya sampai nampak terlihat warna kulit
di baliknya. Karena itu, yang menjadi patokan dalam persoalan ini adalah ukuran
janggut yang sedang atau wajar. Minimal menyembunyikan warna kulit wajah yang
ada di balik bulu janggut, setelah itu dia boleh memendekkan ataupun
membiarkannya panjang dengan ukuran lebih dari itu.
Persoalan memanjangkan
dan melebatkan janggut ini diperhatikan oleh penganut sufi dan para syaikh
secara tidak wajar, bahkan bisa dikatakan berlebihan, sampai-sampai mereka
memandang orang yang memotong janggut itu sebagai orang fasik yang tidak bisa
diterima kesaksiannya dan tidak boleh dijadikan imam. Seolah-olah orang yang
memotong janggut itu telah melakukan satu kemaksiatan yang sangat besar,
padahal hadits-hadits hanya menyebutkan memanjangkan dan melebatkan janggut itu
sebagai salah satu dari sepuluh sunanul fithrah,
dan hanya menganjurkan memanjangkan janggut dalam rangka menyelisihi
orang-orang musyrik, persis sama dengan anjuran memendekkan kumis. Walaupun
begitu, perhatian para syaikh tersebut terhadap sepuluh perkara sunan ul-fithrah yang lainnya tidak sebesar
perhatian mereka terhadap memanjangkan dan melebatkan janggut.
Pada prinsipnya,
persoalan ini jangan melebihi ukuran atau kedudukannya yang sebenarnya.
Pernyataan yang dilontarkan sebagian mereka bahwa memanjangkan dan melebatkan
jenggot itu merupakan tanda kejantanan dan superioritas merupakan pernyataan
yang keliru dan tidak benar sama sekali.
Contoh penekanan
berlebih dalam persoalan memanjangkan janggut ini adalah pendapat Syaikh
Muhammad Nashiruddin Albani yang sengaja saya nukil dari pernyataan beliau yang
bisa ditemukan dalam kitabnya Adab az-Zafaf,
kemudian saya akan membahasnya secara lebih rinci:
[Memotong janggut.
Kelima: sama buruknya, jika tidak dikatakan paling buruk menurut orang-orang
yang memiliki watak yang baik, adalah cobaan terbesar bagi kaum lelaki yaitu
berhias dengan cara mencukur janggut karena mengikuti orang kafir Eropa, hingga
menjadi aib tersendiri bagi pengantin yang memasuki hari pernikahan jika tidak
mencukur janggutnya. Dalam perbuatan seperti itu terdapat beberapa pelanggaran:
a. Merubah ciptaan Allah: Allah Swt. berfirman tentang setan: “Yang dilaknati
Allah dan setan itu mengatakan: ”Aku benar-benar akan mengambil dari
hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untukku). Dan aku benar-benar
akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka,
dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka
benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah),
lalu benar-benar mereka merubahnya.” Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi
pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.”
(TQS. an-Nisa [4]: 118-119)
Ini merupakan nash
yang jelas bahwa merubah ciptaan Allah tanpa ijin dari-Nya merupakan bentuk
ketaatan terhadap perintah setan dan pembangkangan terhadap Allah yang Maha
Rahman. Maka tidaklah salah ketika Rasulullah Saw. melaknat orang-orang yang
suka merubah ciptaan Allah untuk mempercantik diri sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, dan tidak ragu lagi bahwa memotong janggut untuk mempertampan diri
itu termasuk perkara dilaknat yang disebutkan tadi karena jelas memiliki
kesamaan ‘illat. Saya telah tegaskan:
tanpa ijin dari Allah Swt., tiada lain agar beberapa perkara lain tidak
sembarang dipandang termasuk ke dalam taghyir
(tindakan merubah) yang sudah disebutkan, seperti mencukur bulu kemaluan dan
sebagainya yang memang diijinkan oleh Allah Swt., bahkan dianjurkan dan
diwajibkan-Nya. b. Menyalahi perintah Rasulullah Saw. yakni sabda beliau Saw.:
“Pendekkanlah kumis, dan biarkanlah janggut tetap panjang.” Telah diketahui
bahwa perintah itu memberi pengertian wajibnya (perkara yang diperintahkan)
kecuali dengan qarinah, dan qarinah yang ada di sini justru makin menegaskan
wajibnya perkara tersebut. Beberapa qarinah ini adalah: c. Tindakan menyerupai
orang-orang kafir. Rasulullah Saw. bersabda: “Pangkaslah kumis dan
panjangkanlah janggut, hendaknya kalian berbeda dengan orang-orang Majusi.”
(HR. Muslim dan Ahmad) Perkara yang semakin memastikan kewajiban ini adalah: d.
Menyerupai wanita. Rasulullah Saw. melaknat laki-laki yang menyerupai wanita,
dan wanita yang menyerupai laki-laki. Tidak samar lagi bahwa ketika seorang
lelaki memotong kumisnya -padahal kumis itu adalah sesuatu yang dijadikan Allah
Swt. sebagai pembeda antara dirinya dengan wanita- maka hal itu menjadi kondisi
yang paling menyerupai wanita. Semoga saja dengan dalil-dalil yang kami
sebutkan bisa meyakinkan orang-orang yang sedang diuji dengan berbagai rupa
pembangkangan ini. Semoga Allah mengampuni kita dan mereka semua dari segala
sesuatu yang tidak disukai-Nya dan tidak diridhai-Nya.] Dalam catatan kaki buku
tersebut Albani kemudian melontarkan pernyataan sebagai berikut: Tidak
diragukan lagi bagi orang yang fitrahnya bersih dan wataknya baik, keempat
dalil ini saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa memanjangkan dan melebatkan
janggut itu wajib, dan memotong atau mencukurnya itu haram, maka bagaimana bisa
kedua hal yang bertentangan itu bisa dikompromikan?
Untuk membantah
pernyataan Albani di atas bisa dilakukan melalui beberapa sisi:
a. Saya soroti ucapan Albani: berhias dengan
cara mencukur janggut karena mengikuti orang kafir Eropa.
Albani telah
menetapkan mencukur janggut sebagai cara berhias diri tetapi dia tidak
menyebutkan bahwa memanjangkan janggut merupakan cara berhias diri juga, karena
bisa jadi memanjangkan janggut itu menjadikan si lelaki lebih tampan daripada
memendekkannya.
Kemudian Albani
memandang berhias dengan cara mencukur janggut itu termasuk sikap taklid
(mengikuti) orang-orang kafir. Pernyataan Albani ini mendorong kami untuk
menjelaskan pengertian mengikuti (taklid) orang-orang kafir, dan hukum taklid
itu sendiri.
Mengikuti orang kafir
itu terbagi dua kategori: mengikuti orang kafir dalam urusan agama, dan
mengikuti orang kafir dalam urusan kehidupan.
Mengikuti perbuatan
dan urusan orang kafir yang berhubungan dengan agama mereka merupakan sikap
taklid dalam urusan agama (syu'un ad-din),
sedangkan mengikuti perbuatan dan urusan orang kafir dalam perkara yang tidak
berhubungan dengan agama bagi mereka merupakan taklid dalam urusan kehidupan (syu'un al-hayat).
Perbuatan yang
termasuk taklid (mengikuti) orang kafir dalam urusan agama mereka, jelas haram
hukumnya, sehingga mengambil sikap yang bertentangan dengan perbuatan dan
urusan mereka tersebut menjadi satu kewajiban.
Adapun perbuatan yang
terkategorikan mengikuti orang kafir dalam urusan kehidupan, maka tidak
diharamkan dan tidak berdosa. Walaupun, lebih baik perkara tersebut
ditinggalkan, kecuali jika urusan kehidupan tersebut memang telah diharamkan
dalam agama kita, maka saat itu haram pula hukumnya.
Dengan demikian,
mengikuti orang kafir dengan memakai seragam dan dasi, mengikuti orang kafir
cara memberikan topi pada tentara, mengikuti orang kafir menyambut kepala
negara asing dengan cara melepaskan sebelas kali tembakan salvo dan membariskan
pasukan pengawal kehormatan menyambutnya, mengikuti orang kafir memulai
rancangan tempat tinggal dengan cara [acara] gunting pita, dan contoh lainnya
yang serupa merupakan taklid (mengikuti orang kafir) yang tidak berdosa dan
tidak haram, karena perbuatan dan perkara tersebut sama sekali bukan berasal
dari agama mereka, dan mereka pun melakukan dan mengadopsi semua itu bukan
sebagai bentuk kepatuhan pada keyakinan mereka, selain memang semua itu tidak
termasuk perkara yang diharamkan oleh syariat agama kita.
Jika demikian halnya,
maka mengikuti orang kafir dalam persoalan seperti itu tidaklah haram hukumnya,
walaupun memang lebih baik ditinggalkan. Sedangkan mengikuti orang kafir dengan
–misalnya- menjadikan proses belajar-mengajar bercampur-baur (lelaki dan
wanita) sedemikian rupa di sekolah dan perguruan tinggi, dan mengikuti orang
kafir yang menjadikan kaum wanita berpenampilan mencolok dan menarik perhatian,
itu jelas diharamkan dan tidak boleh hukumnya, walaupun hal itu bukan termasuk
urusan agama bagi mereka, tetapi bagi kita ikhtilath
(campur baur) dan tabaruj (wanita
berpenampilan mencolok) itu diharamkan, sehingga hukumnya pun tetap haram.
Perihal mengikuti
orang kafir dengan memakai pakaian yang khas dipakai oleh para pastor mereka,
dan mengangkat rohaniawan (rijal ad-din)
di antara kita, mengikuti orang kafir dengan membuat pohon natal, mengikuti
orang kafir dengan membuat peti mayat, dan hal serupa lainnya adalah diharamkan
dan tidak boleh hukumnya. Kita wajib berbeda dengan mereka dalam semua perkara
seperti itu, karena semua perbuatan dan perkara tersebut bagi mereka dipandang
sebagai urusan keyakinan dan agama, sehingga mengikuti orang kafir dalam
kekufuran mereka dan kedudukan mereka sebagai orang kafir itu haram hukumnya.
Adapun mengikuti orang
kafir dalam perkara selainnya tidaklah diharamkan -kecuali memang perkaranya
terkategorikan perkara haram bagi kita- perkara seperti itu lebih baik
ditinggalkan.
Ketika seorang Muslim
mengikuti orang kafir mencukur janggutnya karena mengikuti orang Eropa,
tidaklah terkategorikan mengikuti orang kafir dalam kedudukannya sebagai orang
kafir, juga tidak terkategorikan mengikuti orang kafir dalam salah satu urusan
agama mereka.
Hal itu hanya
terkategorikan sebagai penampilan duniawi semata yang tidak ada kaitannya
dengan agama, sehingga mengikuti orang kafir dalam hal seperti itu tidaklah
haram hukumnya.
Begitu pula dengan
perbuatan dan perkara lainnya yang tidak berkaitan dengan urusan agama,
sehingga nampak jelas bahwa mengikuti orang Eropa dengan mencukur jenggot itu
tidak haram hukumnya.
Mengenai ucapan
Albani: hingga menjadi aib tersendiri bagi pengantin yang memasuki hari
pernikahan jika tidak mencukur janggutnya. Ungkapan seperti ini terlalu
berlebihan. Aib itu adalah sesuatu atau perbuatan yang menjadikan pemilik atau
pelakunya merasa malu sehingga dia merasa tercemar dan terhina, dan hal seperti
ini tidak ditemukan dalam perkara ini.
b. Sekarang kita akan membahas empat alasan
yang disampaikan Albani ketika dia menyatakan: sesungguhnya setiap dalil dari
empat dalil ini cukup untuk membuktikan kewajiban memanjangkan janggut.
Ayat yang dikutip oleh
Syaikh Albani yang menurutnya menjadi dalil yang layak untuk mengharamkan
mencukur janggut itu terdapat dalam surat an-Nisa. Agar jelas bagi kita apakah
ayat ini menunjukkan kebenaran klaimnya ataukah tidak, maka kita harus menempatkannya
kembali pada posisinya semula dalam surat tersebut, lalu kita mengambil
kesimpulan darinya. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya Allah
tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni
dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat
sejauh-jauhnya. Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah
berhala dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah
setan yang durhaka. Yang dilaknati Allah, dan setan itu mengatakan: “Aku
benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan
(untukku). Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan
angan-angan kosong pada mereka, dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga
binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya binatang ternak, dan akan
aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya.”
Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka
sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Setan itu memberikan janji-janji
kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan
itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. Mereka itu
tempatnya Jahannam dan mereka tidak memperoleh tempat lari dari padanya. (TQS.
an-Nisa [4]: 116-121)
Lihatlah setiap
ayatnya, maka Anda akan melihatnya dengan jelas.
Ayat pertama berbicara
tentang persoalan syirik yang merupakan bagian dari pembahasan akidah.
Ayat kedua berbicara
tentang masalah berhala dan setan, dan ini merupakan bagian dari persoalan
akidah.
Ayat ketiga berbicara
tentang upaya setan menyesatkan sekelompok orang yang beriman menjadi bagian
dari orang-orang kafir, dan ini termasuk persoalan akidah.
Ayat keempat berbicara
tentang persoalan memotong telinga binatang ternak sebagai bentuk taqarrub (upaya mendekatkan diri) kepada
berhala, dan ini pun termasuk persoalan akidah.
Ayat kelima berbicara
tentang janji dan tipu daya setan, dan ini termasuk persoalan akidah.
Ayat keenam berbicara
tentang persoalan akidah, karena membahas orang yang masuk dan kekal di dalam
Neraka Jahanam.
Kedua, ayat-ayat ini
dengan jelas berbicara tentang masalah kesesatan, jelas disebutkan di bagian
awal ayat yang keempat:
“Dan aku benar-benar
akan menyesatkan mereka.”
Kesesatan (ad-dhalal) itu kebalikan dari petunjuk (al-huda), dan ini merupakan salah satu konsep
dari akidah. Orang yang sesat itu adalah orang yang menyalahi akidah, baik
secara keseluruhan, dalam persoalan prinsip ataupun dalam masalah cabang
akidah.
Adapun orang yang
menyalahi hukum syara [namun masih
meyakini hukum syara’], maka disebut
fasik, orang yang bermaksiat, orang yang fajir atau berdosa saja. Pembedaan ini
harus betul-betul dipahami, dan saya tidak akan menyampaikan ayat-ayat yang
menunjukkan pembedaan tersebut, sehingga kami persilakan kepada para pembaca
untuk merujuknya sendiri.
Dengan demikian, ayat
yang dikutip oleh Albani itu berbicara tentang persoalan akidah, bukan tentang
persoalan hukum, sehingga masalah-masalah akidah tidak bisa dianalogikan kepada
masalah-masalah hukum, dan begitu pula sebaliknya, sehingga kedua persoalan
tersebut berbeda satu sama lain. Karena itu, firman Allah Swt.:
“Lalu benar-benar
mereka merubahnya,”
harus dibatasi pada
persoalan akidah dan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan akidah
[sebagaimana ditunjukkan dalam ayat-ayat itu], bukan aktivitas yang mengandung
arti halal-haram [semata].
Ketika menafsirkan
ayat tersebut sebagian ahli tafsir mengatakan: “maksud dari taghyir (merubah ciptaan Allah) adalah bahwa
Allah Swt. telah menciptakan matahari, bulan, batu, api dan makhluk-makhluk
lainnya, lalu orang-orang kafir merubah makhluk-makhluk tersebut dengan
menjadikannya sebagai tuhan yang disembah.”
Pernyataan seperti ini
dilontarkan oleh az-Zajaj. Pernyataan seperti ini didukung oleh kalimat pada
ayat kedua:
“Yang mereka sembah
selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala.”
Ayat ini ditafsirkan
oleh Abu Malik dalam riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir at-Thabari, Ibnul
Mundzir dan sebagainya: “Lata, Uzza, Manat, itu semuanya adalah berhala.”
Ayat ini ditafsirkan
oleh Ubay bin Ka’ab dalam riwayat yang disampaikan oleh Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal, Ibnul Mundzir dan selainnya: “dia berkata: dalam setiap berhala itu ada
jin wanita.”
Sedangkan al-Hasan
menafsirkannya: “setiap suku Arab memiliki berhala yang disembah dan diberi
nama dengan wanita bani fulan, lalu Allah Swt. menurunkan ayat, “Yang mereka
sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala.”
Penafsiran al-Hasan
ini diceritakan kembali oleh Said bin Manshur, Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir.
Ad-Dhahhak berkata:
“Orang-orang musyrik berkata: Sesungguhnya malaikat itu adalah anak perempuan
Allah, dan tidaklah kami menyembah malaikat melainkan untuk mendekatkan diri
kepada Allah.”
Penafsiran seperti ini
diceritakan kembali oleh Ibnu Abi Hatim.
Ibnu Jarir at-Thabari
menukil pernyataan Qatadah yang menafsirkan ayat:
“Lalu mereka
benar-benar memotongnya telinga binatang ternak.”
At-Tabtik (memotong telinga) itu
dilakukan terhadap al-bahirah dan as-sa’ibah sebagai persembahan untuk berhala sembahan mereka
(penyembahan berhala ataupun jin mematuhi ajaran orang-orang sesat dan
menyesatkan).
Bahiirah: ialah unta betina yang telah beranak
lima kali dan anak kelima itu jantan lalu unta betina itu dibelah telinganya,
dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil air susunya.
Saaibah: ialah unta betina yang dibiarkan
pergi ke mana saja lantaran sesuatu nazar. Seperti, jika seorang Arab Jahiliyah
akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang berat, maka ia biasa bernazar akan
menjadikan untanya saaibah bila maksud
atau perjalanannya berhasil dengan selamat.
Ibnu Jarir dan yang
lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menafsirkan ayat:
“Dan akan aku suruh
mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya.”
Ibnu Abbas berkata:
“maksudnya adalah agama Allah.”
Penafsiran seperti ini
juga diriwayatkan dari ad-Dhahak dan Said bin Jubair.
Inilah pengertian taghyir (merubah ciptaan Allah), dan inilah
maksud pembahasan yang disampaikan ayat tersebut, sehingga ketika mereka
mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah pengebirian, membuat tato dan
termasuk memotong jenggot, jelas merupakan pernyataan yang keluar dari
pengertian ayat tersebut.
Ringkas kata, ayat ini
sama sekali tidak bisa dijadikan dalil pengharaman mencukur janggut.
c. Pernyataan Albani: telah dimaklumi bahwa
perintah itu memberi pengertian wajib kecuali jika ada qarinah, merupakan pernyataan yang tidak bisa diterima yang
mengandung ambiguitas atau ketidakjelasan.
Orang awam yang
membaca frase “telah dimaklumi,” akan menyangka bahwa ini merupakan kaidah yang
sudah disepakati oleh mayoritas fuqaha dan ahli ushul, karena menjadi kaidah
yang sudah dimaklumi secara mutlak tanpa batasan apapun.
Padahal sebaliknya,
justru kaidah ini tidak dikatakan oleh semua fuqaha dan ahli ushul.
Karena itu sebaiknya
Albani mengucapkan: “termasuk perkara yang kami maklumi,” atau ”telah dimaklumi
bahwa beberapa fuqaha menyatakan,” atau bahwa perintah itu menunjukkan
kewajiban menurut si fulan dan si fulan, atau kalimat lain yang serupa,
sehingga pembaca tidak terjebak dalam ketidakjelasan.
d. Ucapan Albani: “dan qarinah yang ada di sini
justru makin menegaskan wajibnya perkara tersebut, yakni menyerupai orang-orang
kafir,” dalam arti ketika sebuah perintah disertai qarinah menyerupai orang
kafir, maka yang diperintahkan tersebut menjadi wajib. Albani telah menjadikan
tindakan menyerupai orang kafir (at-tasyabuh
bil kuffar) sebagai qarinah sebuah kewajiban, atau katakanlah qarinah
yang menegaskan sebuah kewajiban. Jika demikian halnya, maka apa yang akan dia
katakan terkait hadits berikut:
“Sesungguhnya orang
Yahudi dan Nasrani itu tidak menyemir uban, maka hendaklah kalian berbeda
dengan mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)
Hadits ini
memerintahkan kita untuk menyemir uban, dan memerintahkan kita agar berbeda
dengan orang kafir dalam persoalan tersebut.
Apakah
berbeda-dengan-orang-kafir menjadi qarinah
yang bisa mewajibkan perbuatan menyemir uban?
Saya tidak menduga ada
seorangpun yang mengatakan wajibnya menyemir uban.
Apa yang akan
dikatakan Albani tentang hadits yang diriwayatkan Syadad bin Aus, dia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Hendaknya kalian
berbeda dengan Yahudi, mereka shalat tanpa menggunakan sandal dan khuff.” (HR.
Abu Dawud)
Tidak ada seorang
faqih (ahli fiqih) pun yang mengatakan bahwa shalat menggunakan sandal dan
khuff itu wajib hukumnya.
Begitu pula menyerupai
orang-orang kafir terkategorikan seperti ini.
Saya ingin
mengingatkan kembali penjelasan yang sebelumnya sudah saya sampaikan tentang
pembedaan dalam mengikuti (taklid) atau menyerupai orang kafir (tasyabuh) yakni antara menyerupai orang kafir
dalam urusan agama dengan menyerupai mereka dalam urusan kehidupan.
Ini mengandung arti,
jika orang-orang kafir membiarkan uban mereka sebagai bagian dari ibadah (ta’abudiy) agamanya lalu kita menyerupai
mereka dalam persoalan tersebut maka saat itu tasyabuh
(menyerupai orang kafir) dalam persoalan tersebut menjadi haram hukumnya, dan
hal itu layak menjadi qarinah hukum
wajib.
Begitu pula ketika
orang kafir mencukur janggut mereka sebagai bagian dari ibadah (ta’abudiy) agamanya, lalu kita mencukur
janggut untuk menyerupai mereka dalam agama dan ibadah mereka, maka hal itu
menjadi haram hukumnya, dan tentu hal ini pun layak menjadi qarinah hukum wajib.
Tetapi faktanya tidak
ada seorangpun yang mengatakan bahwa orang kafir mencukur janggutnya sebagai
bagian dari ibadah agama maupun kepercayaan mereka, sehingga hal itu tidak
layak menjadi qarinah hukum wajib.
Dengan demikian, dalil
kedua dan ketiga pun tidak layak menjadi dalil yang mewajibkan melebatkan dan
memanjangkan janggut.
e. Ucapan Albani: “Perkara yang semakin
memastikan kewajiban (memanjangkan janggut) ini adalah: Persoalan menyerupai
wanita,” lalu beliau menyampaikan hadits menyerupai wanita, setelah itu dia
berkomentar: “Tidak samar lagi .…maka ini menjadi kondisi yang paling
menyerupai wanita,” sehingga Albani berpendapat dan memutuskan bahwa memotong
janggut itu adalah sesuatu yang menyerupai wanita, dan secara berlebihan dia
ungkapkan: “merupakan kondisi yang paling menyerupai wanita.” Untuk membantah
pernyataan beliau ini bisa dilakukan melalui beberapa sisi:
1. Sesungguhnya maksud menyerupai wanita adalah
menyerupai wanita secara mutlak, bukan menyerupai wanita-wanita tertentu, dan
(maksud menyerupai wanita adalah) keluar dari karakteristik lelaki sebagai kaum
lelaki, bukan keluar dari karakteristik lelaki Muslim atau dari karakteristik
lelaki tertentu, karena hadits menyatakan:
“lelaki yang
menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai laki-laki.”
Hadits tersebut telah
menggeneralisir kaum lelaki dan wanita, dan tidak mengkhususkannya. Artinya
hadits tersebut mengatakan bahwa lelaki yang menyerupai wanita itu akan
dilaknat. Ini terjadi ketika seorang lelaki dalam tindakannya telah keluar dari
karakter atau sifat kaum lelaki yang sifatnya mutlak, dan menyerupai umumnya
kaum wanita.
Inilah pengertian
hadits ini, tidak ada takhsis
(pengkhususan) dan taqyid (pembatasan)
di dalamnya.
Pertanyaannya, apakah
orang yang mencukur jenggotnya telah keluar dari karakter mutlak kaum lelaki?
Jawaban yang menafikannya berasal dari fakta dan dari nash-nash hadits.
Menurut fakta,
sebagian besar lelaki di dunia ini mencukur janggut mereka, karena itu,
mencukur janggut merupakan salah satu sifat atau karakter yang umum ada pada
kaum lelaki. Tidak ada seorangpun yang menyatakan bahwa jutaan orang kaum
lelaki kehilangan karakter kelelakiannya sehingga menyerupai kaum wanita ketika
mereka mencukur janggutnya.
Sedangkan hadits
menyatakan: “hendaklah kalian berbeda dengan orang Majusi,” artinya hendaknya
kalian berbeda dengan kaum lelaki Majusi dengan membiarkan janggut.
Mafhum dari hadits ini adalah bahwa kaum
lelaki Majusi suka mencukur janggut mereka.
Mafhumnya juga menunjukkan bahwa orang yang
mencukur janggutnya itu menyerupai lelaki Majusi, dan ini menunjukkan bahwa
mencukur janggut itu tidak menyerupai wanita, sebab sejauh ini (mencukur
janggut) dikatakan sebagai menyerupai kaum lelaki Majusi, bahkan hadits
tersebut justru membatasi penyerupaan tersebut hanya dengan kaum lelaki
Majusi.
Tidak disinggung
sedikitpun penyerupaan dengan kaum wanita.
Jika demikian halnya,
apakah benar orang yang mencukur jenggotnya itu menyerupai wanita?
Bagaimana dia (Albani)
bisa melegitimasi diri melontarkan sebuah pernyataan yang justru bertentangan
dengan apa yang ditunjukkan oleh nash hadits dan fakta yang ada?
2. Sesungguhnya tidak disebut menyerupai wanita
melainkan jika dengan penyerupaan itu salah satu sifat (karakter) lelaki
ternafikan dari sang lelaki, dan kemudian dilekati oleh salah satu sifat
(karakter) wanita.
Misalnya kaum wanita
memakai kalung dan gelang, sedangkan kaum lelaki tidak memakainya. Ini bersifat
umum di setiap waktu, kaum dan bangsa, -kecuali yang dilakukan oleh suku-suku
primitif yang tidak memperhatikan perbuatan yang dilakukannya- di mana lelaki
yang memakai kalung dan gelang telah kehilangan salah satu sifatnya sebagai
lelaki, dan dilekati sifat atau karakter yang lazim ada pada kaum wanita,
sehingga memakai kalung dan gelang dipandang sebagai tasyabuh (tindakan menyerupai).
Sedangkan bercelak
merupakan sifat atau karakter yang ada pada lelaki dan wanita, sehingga orang
yang bercelak tidak dipandang menyerupai wanita, karena dia tidak meninggalkan
salah satu sifat atau karakter lelaki.
Demikian pula halnya
dengan mencukur janggut. Mencukur janggut merupakan salah satu sifat atau
karakter yang populer ada pada kaum lelaki, sehingga orang yang mencukur
janggutnya tidak dipandang sebagai orang yang kehilangan sifat atau karakternya
sebagai seorang lelaki, seraya dilekati sifat kaum wanita. Artinya tidak
dipandang menyerupai kaum wanita.
Orang yang memakai
wewangian dipandang melakukan suatu perbuatan yang sama-sama bisa dilakukan
kaum lelaki dan wanita, sehingga lelaki yang memakai wewangian tidak dipandang
menyerupai wanita. Seperti itulah tasyabuh
(menyerupai) wanita itu semestinya dipahami.
Sesungguhnya mencukur
janggut itu merupakan salah satu karakter yang lazim dilakukan kaum lelaki di
masa dahulu dan sekarang. Tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa jutaan
lelaki di dunia yang mencukur janggutnya itu menyerupai wanita, bahkan di dalam
hadits Rasulullah Saw. khaalifuuhum
(hendaklah kalian berbeda dengan mereka) dapat dipahami bahwa sebelum datangnya
perintah tersebut kaum Muslim itu tidak berbeda dengan mereka (orang kafir-pen.), melainkan sama dengan mereka ketika
mereka mencukur janggutnya, dan mereka adalah kaum lelaki yang tidak menyerupai
wanita sama sekali.
3. Ketika nampak dengan jelas bahwa orang yang
mencukur janggutnya itu tidak kehilangan karakter atau ciri lelaki sehingga
menyerupai wanita, maka batallah dalil terakhir yang digunakan Syaikh Albani
dalam mengharamkan mencukur janggut.
f. Tinggallah kini satu poin yang berkaitan
dengan merubah ciptaan Allah. Saya ingin membahasnya dari sudut pandang yang
lain.
Syaikh Albani berdalil
dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:
“Allah Swt. melaknat
wanita yang ditato dan wanita yang diminta ditato, wanita yang mencukur habis
alis dan merenggangkan gigi untuk kecantikan dengan merubah ciptaan Allah,
mengapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat Nabi Saw. padahal hal itu ada
termaktub dalam kitabullah.” (HR. Bukhari)
untuk menyatakan bahwa
merubah ciptaan Allah itu menjadi ‘illat
pengharaman perkara yang disebutkan dalam hadits tersebut, lalu dia
menganalogikannya dengan mencukur janggut, karena janggut itu termasuk tindakan
menghias diri dengan cara merubah ciptaan Allah, sehingga termasuk perkara yang
dilaknat tadi. Dia kemudian menegaskan hal itu dengan menyatakan: “tidak ragu
lagi,” dan menyatakan: “begitu pula tidak samar lagi,” seolah-olah tidak ada
seorangpun yang menentang (berbeda pendapat dengan) pendapatnya itu.
Padahal dia sendiri
telah menyatakan bahwa merubah ciptaan Allah itu tidak seluruhnya haram.
Kalimat: “tiada lain agar beberapa perkara lain tidak sembarang dipandang
termasuk ke dalam tindakan merubah yang sudah disebutkan, seperti mencukur bulu
kemaluan dan sebagainya yang memang diijinkan oleh Allah Swt.,” yang
diucapkannya itu menunjukkan bahwa ada tindakan merubah ciptaan Allah yang
diharamkan, dan ada pula yang tidak diharamkan.
Jika kita berangkat
dari kaidah yang dia buat ini, maka kita katakan: Kaidah ini telah membatalkan
pernyataan dia sendiri bahwa “merubah ciptaan Allah” itu menjadi ‘illat pengharaman. Hal ini karena menurut ilmu
ushul ada dan tidak adanya ma’lul
(hukum) senantiasa tergantung pada ‘illat-nya.
Ini meniscayakan bahwa
‘illat ini (yakni merubah ciptaan Allah)
akan mengharamkan setiap perbuatan yang mengandung unsur merubah ciptaan Allah,
dan ‘illat ini tidak akan mengharamkan
perbuatan apapun yang tidak mengandung unsur merubah ciptaan Allah. Inilah
pengertian dan tuntutan ‘illat.
Ketika ada beberapa
perbuatan yang mengandung unsur merubah ciptaan Allah tetapi malah dibolehkan
oleh syara, maka ini menunjukkan bahwa
merubah ciptaan Allah itu bukan ‘illat,
karena ‘illat itu selamanya bersifat
umum, sehingga ketika satu kali saja absen (tidak berlaku) maka batallah dari
posisinya sebagai 'illat.
Ketika syara itu sendiri tidak memberlakukan kaidah
merubah ciptaan Allah dalam mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak,
memotong kuku, dan mencukur rambut, maka ini sudah cukup untuk menunjukkan
bahwa merubah ciptaan Allah itu bukanlah 'illat
pengharaman mencukur jenggot.
Mengenai pernyataan:
sesungguhnya nash-nash telah mengecualikan hukum-hukum ini, maka pernyataan
seperti ini bukan jawaban untuk pembahasan ‘illat.
Dari pengantar ini kita beralih untuk menjelaskan hadits:
“Allah Swt. melaknat
wanita yang ditato... merubah ciptaan Allah…”
Hadits ini menyebutkan
bahwa wanita yang ditato, wanita yang minta ditato, wanita yang mencukur habis
alis, dan merenggangkan gigi untuk kecantikan, dengan merubah ciptaan Allah itu
dilaknat. Dan ketika taghyir (merubah
ciptaan Allah) itu beberapa kali tidak berlaku, maka terbukti sudah bahwa taghyir itu bukan ‘illat.
Kaidah ini kemudian
akan ditarik pada setiap pembahasan yang di antaranya adalah hadits ini,
sehingga merubah ciptaan Allah (taghyir
khalqillah) tidak bisa menjadi 'illat
pengharaman sesuatu yang disebutkan dalam hadits ini, dalam arti pengharaman
ditujukan pada apa-apa yang disebutkan hadits ini saja, bukan didasarkan pada ‘illat taghyir (merubah ciptaan Allah).
Dengan demikian, taghyir (merubah ciptaan Allah) itu
semata-mata disebutkan hanya sebagai sifat yang biasa melekat pada beberapa
perbuatan tersebut. Seperti ini pulalah penjelasan yang disampaikan Ibnu Hajar.
Pertanyaannya adalah:
untuk apa sifat ini disebutkan dalam hadits tersebut? Jawabannya adalah
penyebutan sifat di dalam hadits ini berfungsi sebagai syarat (qayid) atau batasan, yang dengannya beberapa
perbuatan yang disebutkan di dalamnya bisa diharamkan.
Artinya, ditato,
mencukur alis dan merenggangkan gigi, tidak menjadi haram, kecuali jika sampai
pada batasan taghyir (merubah ciptaan
Allah).
Jika tidak sampai pada
batasan dan ukuran ini maka perbuatan-perbuatan tersebut tidak haram, hukumnya
mubah saja.
Ketika seorang wanita
mencabut beberapa lembar bulu alisnya, atau membuat satu atau dua titik tato
pada wajah atau tangannya, atau sedikit mengikir salah satu giginya, maka saat
itu wanita tersebut tidak dipandang telah melakukan keharaman, karena kadarnya
tidak sampai pada batasan taghyir
(merubah ciptaan Allah).
Inilah maksud
disebutkannya sifat taghyir dalam hadits
tersebut, yakni berfungsi untuk menetapkan batasan atau ukuran yang menyebabkan
beberapa perbuatan tersebut bisa dikategorikan perbuatan yang diharamkan, bukan
berfungsi sebagai ‘illat atau sebab
pengharaman.
Selain itu, hadits ini
hanya menyeru kaum wanita saja, tidak menyeru kaum lelaki. Kaidah bahasa dan
kaidah syara menunjukkan bahwa seruan
pada mudzakar (jenis lelaki) itu adalah
seruan untuk kaum lelaki dan wanita, tetapi seruan pada muannats (jenis perempuan) itu hanya seruan untuk kaum wanita
saja. Ketika al-Qur’an menggunakan bentuk mudzakar:
“Wahai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (TQS. al-Baqarah [2]: 183)
Maka perintah berpuasa
ini ditujukan pada kaum lelaki dan juga wanita.
Dan ketika Allah Swt.
berfirman:
“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.”
(TQS al-Ahzab [33]: 70)
Maka perintah bertakwa
dan mengatakan perkataan yang benar, juga ditujukan pada lelaki dan wanita.
Tetapi ketika
al-Qur'an menggunakan bentuk muannats:
“Dan hendaklah kamu
tetap di rumahmu.” (TQS. al-Ahzab [33]: 33)
Maka perintah dalam
ayat ini tidak mencakup kaum lelaki, artinya, ayat ini tidak memerintahkan kaum
lelaki untuk tetap berada di rumah.
Dan ketika al-Qur'an
menyebutkan:
“Dan janganlah
menampakkan perhiasannya.” (TQS. an-Nur [24]: 31)
Maka ayat ini tidak
melarang kaum lelaki menampakkan perhiasan.
Dan ketika al-Qur’an
menyebutkan:
“Wanita-wanita yang
ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (TQS. al-Baqarah [2]: 228)
Maka perintah dalam
ayat ini pun tidak mencakup kaum lelaki, artinya, kaum lelaki tidak
diperintahkan untuk menunggu setelah mentalak.
Hadits Nabi Saw.
ketika menyebutkan:
“Kalian harus berada
di pinggiran jalan.” (HR. Abu Dawud)
Maka perintah dalam
hadits ini hanya berkaitan dengan kaum wanita, tidak mencakup kaum lelaki.
Demikianlah perkara
yang sudah diketahui dan dimaklumi kaum Muslim.
Dengan demikian
hadits:
“Allah Swt. melaknat
yang wanita ditato.”
Harus dipahami dari
sisi tersebut di atas. Hadits ini berkaitan dengan kaum wanita. Hadits ini
tidak mengandung pengertian bahwa Allah Swt. melaknat kaum lelaki yang ditato,
sehingga dari mana kesimpulan: “wanita-wanita yang merubah ciptaan Allah”
tersebut mencakup kaum lelaki?
Sebenarnya hadits ini
berkaitan dengan kaum wanita, sehingga tidak benar jika hadits ini
ditarik-tarik untuk kaum lelaki berdasarkan sebab yang sama.
Berdasarkan dua sebab
inilah, alasan tidak adanya ‘illat
merubah ciptaan Allah, dan alasan bahwa nash tersebut hanya dikhususkan untuk
kaum wanita, sehingga tidak boleh dilakukan analogi (qiyas) terhadapnya, dan tidak benar memasukkan dan menyertakan
kaum lelaki ke dalam hadits ini secara mutlak.
Demikianlah, empat
alasan kewajiban memanjangkan jenggot rontok berguguran, dan tinggallah kini
hukum yang shahih yang telah disebutkan
di atas, yakni bahwa memanjangkan jenggot itu dihukumi sunah saja, bukan wajib.
Bacaan: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)