Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 31 Agustus 2017

Dalil Haram Menyambung Rambut



4. Menyambung Rambut

Mayoritas fuqaha mengharamkan wanita menyambung rambut dengan apapun juga, baik dengan rambut, wol, sutera, atau benda apapun yang lainnya. Mereka mengharamkan hal ini dengan argumentasi hadits yang diriwayatkan Abu Zubair, bahwasanya dia mendengar Jabir bin Abdillah berkata:

“Nabi Saw. melarang keras wanita menyambung rambut kepalanya dengan apapun juga.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Dan hadits yang diriwayatkan bahwa Muawiyah berkata pada suatu hari:

“Sesungguhnya kalian telah mengambil pakaian yang buruk. Ketahuilah, sesungguhnya Nabi Saw. telah melarang dari penipuan dan kebatilan. Al-Musayyabb berkata: Lalu datang seorang laki-laki yang membawa tongkat, di atas kepalanya ada sobekan kain. Kemudian Muawiyah berkata: Ketahuilah, ini adalah termasuk penipuan dan kebatilan. Qatadah berkata: Itu adalah yang dilakukan para wanita untuk memperbanyak rambutnya dengan sobekan kain.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Ibnu Hajar berkata: Hadits ini menjadi hujjah atau argumentasi bagi mayoritas ulama untuk melarang menyambung rambut dengan benda lain, baik benda tersebut berupa rambut atau bukan.

Ahmad bin Hanbal, al-Laits, dan banyak fuqaha berpendapat, bahwa larangan tersebut hanya berlaku untuk menyambung rambut dengan rambut, bukan dengan benda selain rambut. Mereka melontarkan pendapat seperti itu karena berargumentasi dengan keumuman hadits-hadits yang melarang menyambung rambut dengan rambut.

Bahwasanya dia mendengar Muawiyah bin Abi Sufyan berkata di atas mimbar saat musim haji, -dia mengambil potongan rambut dari tangan pengawalnya-: Di mana ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah Saw. melarang dari perkara seperti ini, dan aku mendengar pula beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya Bani Israil binasa ketika wanita-wanita mereka memakai yang seperti ini.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai dan at-Tirmidzi)

Di dalam satu riwayat dari jalur Said bin al-Musayyab, dia berkata:

“Muawiyah tiba di Madinah, yaitu saat terakhir dia datang di Madinah, lalu dia berkhutbah di hadapan kami, sambil mengeluarkan gulungan rambut. Ia berkata: Aku tidak pernah melihat seorangpun yang mengenakan benda seperti ini kecuali orang Yahudi. Sesungguhnya Nabi Saw. menamakan ini dengan az-zuur (penipuan), yakni sambungan rambut.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan an-Nasai)

Hadits yang lebih jelas dari dua riwayat di atas adalah yang diriwayatkan oleh an-Nasai dari Muawiyah dengan lafadz:

“Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Wanita manapun yang menambahkan rambut yang bukan berasal dari dirinya ke atas kepalanya, maka itu termasuk zuur (pemalsuan) yang ditambahkannya ke atasnya.”

Hadits-hadits ini melarang menyambung rambut dengan rambut, dan menamakan hal seperti itu dengan az-zuur.

Mereka (para fuqaha) terbiasa dengan hadits yang diriwayatkan dari Said bin Jubair, ia berkata: Tidak mengapa menggunakan qaramil. Ucapan ini diceritakan kembali oleh Abu Dawud. Al-Qaramil adalah tali atau ikatan yang berasal dari sutera, bulu domba (wol), atau rami, yang berlaku sebagai pita yang digunakan seorang wanita untuk menyambung rambutnya.
Sebagian ulama menyatakan: Yang haram itu adalah menyambung rambut dengan rambut manusia, tetapi tidak haram kalau disambung dengan bulu hewan yang suci, karena bagian tubuh anak Adam memiliki hak untuk dimuliakan dan tidak disalahgunakan. Selain mereka menyatakan: menyambung rambut itu boleh jika darurat atau diijinkan oleh suami.

Orang yang mencermati nash-nash dan berbagai pernyataan ini akan berkesimpulan haramnya menyambung rambut dengan rambut saja, bukan dengan benda-benda selainnya. Dalam arti, menyambung rambut dengan rambut sajalah yang diharamkan, sedangkan menyambung rambut dengan sobekan kain atau kain perca, qaramil, dan sebagainya, dihukumi mubah saja.
Hal ini karena nash-nash tersebut telah menjelaskan ‘illat larangan, sedangkan ‘illat itu sendiri senantiasa menyertai ma’lul (hukum) dari sisi ada dan tidaknya. Ketika ‘illat itu ada, maka hukumnya pun ada, ketika 'illatnya tidak ada maka hukumnya pun menjadi tidak ada.
Illat tersebut adalah larangan melakukan pemalsuan, yakni penipuan dan kebohongan, dan ‘illat seperti ini tidak ditemukan kecuali ketika menyambung rambut dengan rambut yang semisal, atau menyambung rambut dengan benda imitasi lainnya yang menyerupai rambut sebagaimana terjadi di masa sekarang ini.
Ketika seorang wanita menyambung rambutnya dengan rambut manusia, atau menyambungnya dengan rambut imitasi yang persis rambut manusia, atau menyambung rambutnya dengan bulu hewan yang mirip rambut manusia, maka semua ini diharamkan, karena dipandang sebagai pemalsuan dan penipuan sehingga tercakup dalam larangan dan pengharaman.
Tetapi jika disambung dengan benda selainnya, di mana tidak samar bagi orang yang melihatnya bahwa itu bukan rambut si wanita tersebut, maka benda tersebut hanya dipandang sebagai perhiasan yang hukumnya mubah saja, yang tidak diharamkan oleh nash manapun.

Contoh yang dicakup oleh larangan tersebut adalah ketika seorang wanita memasang bulu binatang, atau kain perca, atau benda apapun yang disembunyikan di bawah rambutnya, agar rambutnya nampak tumbuh tebal; maka ini termasuk penipuan dan pemalsuan.
Begitu pula contoh lain yang dicakup oleh larangan tersebut ketika seorang wanita meletakkan di atas rambutnya sebuah penutup atau selubung rambut yang terbuat dari rambut manusia atau rambut yang serupa dengan rambut manusia yang disebut dengan barukah, agar orang yang melihatnya menyangka bahwa barukah tersebut adalah rambut si wanita.
Hal seperti ini tergolong penipuan dan pemalsuan yang dilarang. Namun jika barukah terbuat dari bulu binatang, atau bulu unta, atau benang wol, sehingga orang yang melihatnya bisa menetapkan dengan mudah bahwa itu bukan rambut si wanita, maka ini tidak apa-apa; karena barukah seperti itu tidak lebih hanya jadi sekedar penutup kepala seperti halnya surban, tudung kepala, dan sebagainya.
Yang harus dijadikan patokan adalah ada tidaknya ‘illat larangan tersebut. Ketika ada unsur penipuan dan pemalsuan maka hukumnya haram. Ketika tidak ada unsur seperti itu maka benda tersebut hanya termasuk perhiasan yang mubah saja, sehingga tidak berdosa ketika dikenakan.

Perihal hadits Jabir:

“Nabi Saw. melarang keras wanita menyambung rambut kepalanya dengan apapun juga.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Maka lafadz hadits ini berasal dari Jabir, sehingga kita tidak harus terikat dengan makna harfiahnya. Hadits ini harus berhadapan dengan hadits Muawiyah yang diriwayatkan oleh an-Nasai:

“Wanita manapun yang menambahkan ke atas kepalanya rambut yang bukan berasal darinya, maka itu termasuk zuur (pemalsuan) yang ditambahkannya ke atasnya.

Ini merupakan lafadz dari Rasulullah Saw., sehingga di hadapan kita terdapat dua lafadz yang nampak ada kontradiksi atau perbedaan di antara keduanya. Lafadz dari Jabir dan lafadz Rasulullah Saw. Jika kita katakan ada perbedaan atau kontradiksi maka kita harus membuang hadits Jabir ini dan mengamalkan hadits Muawiyah. Tetapi ketika kita katakan ada peluang mengkompromikan keduanya, maka kita harus mengamalkan opsi kedua ini.

Dengan mengkaji dua hadits tersebut, kita menemukan peluang atau kemungkinan untuk mengkompromikan dan mengamalkan keduanya secara bersamaan.
Kita akan menafsirkan lafadz Jabir tersebut dalam arti sebagai sesuatu yang berasal dari rambut, bukan benda apa saja, yakni sesuatu yang berasal dari rambut, baik sedikit ataupun banyak, sehingga perkara ini menjadi jelas. Karena jika kita menafsirkan lafadz hadits Jabir sebagai benda apa saja, niscaya akan ada perbedaan antara hadits ini dengan hadits Muawiyah yang notabene merupakan lafadz dari Rasulullah Saw., sehingga kita mau tidak mau harus mengamalkan lafadz Rasulullah Saw. dan membuang lafadz Jabir.
Selain itu, penafsiran ini bertentangan dengan ‘illat larangan yang disebutkan dalam hadits Muawiyah, yakni pemalsuan dan penipuan, karena ‘illat pemalsuan itu tidak ditemukan dalam menyambung rambut dengan kain perca dan yang semisalnya, sehingga tidak ada alternatif selain penafsiran yang pertama atau membuang hadits tersebut sama sekali.
Tentu saja penafsiran yang pertama tadi lebih baik daripada membuang hadits. Mereka yang mengharamkan menyambung rambut dengan kain perca tidak bisa menerima hadits Muawiyah yang ber'illat itu, kecuali dengan sangat dibuat-buat, karena mereka tidak bisa mengkompromikan antara mengharamkan menyambung rambut dengan kain perca dengan mengharamkan menyambung yang ditandai pemalsuan. Ini sangat jelas.
Adapun ketika mereka mengutip hadits Muawiyah yang ditakhrij oleh Muslim dan Ahmad:

“Lalu datang seorang laki-laki yang membawa tongkat, di atas kepalanya ada sobekan kain. Muawiyah berkata: Ketahuilah, ini adalah termasuk penipuan dan kebatilan.”

Maka tindakan mereka mengutip hadits ini tertolak dengan dua alasan.
Pertama, ini merupakan pemahaman yang berasal dari Muawiyah. Pemahaman Muawiyah itu bukan dalil syar’iy.
Kedua, riwayat ini bertentangan dengan riwayat lain yang mengatakan bahwa benda yang ditunjukkan Muawiyah adalah potongan rambut (qushshatu sya’rin), dan riwayat ketiga yang menyebutkan bahwa benda yang dipegang Muawiyah itu adalah gulungan rambut (kubbatun min sya’rin), sehingga bagaimana mungkin kita mengambil satu riwayat yang menyendiri, seraya meninggalkan dua riwayat yang saling menguatkan?

Mengenai pernyataan sebagian ulama, bahwa menyambung rambut itu jika dilakukan karena darurat, seperti sakit misalnya, maka tidak apa-apa, merupakan pernyataan yang tertolak berdasarkan hadits Asma, dia berkata:

“Seorang perempuan bertanya pada Nabi Saw., dia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya puteriku terkena penyakit campak, sehingga rontok rambutnya, dan aku hendak mengawinkannya. Apakah aku boleh menyambung rambutnya? Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah melaknat orang yang menyambung rambut dan yang minta disambung.” (HR. Bukhari)

Bukhari meriwayatkan hadits ini dengan lafadz yang lain:

“Apakah aku boleh menyambung rambutnya? Maka Rasulullah Saw. mencela orang yang menyambung rambut dan meminta disambung rambutnya.”

Di sini terdapat dua riwayat. Salah satunya berisi kutukan, sedangkan yang lain berisi celaan. Keduanya merupakan ungkapan larangan yang paling jelas.
Kemudian kebutuhan dari menyambung rambut tersebut adalah mengobati penyakit, bukan mengobati kondisi yang diakibatkan oleh penyakit. Perbedaan di antara keduanya sangat luas.
Kemudian, dari mana pembolehan sesuatu yang haram karena alasan darurat ini berasal? Pernyataan ini tidak ragu lagi bertentangan dengan hadits, dan sama dengan membatalkan hadits. Ini merupakan pernyataan tidak benar yang tidak seharusnya dilontarkan.

Tinggallah kini membahas pernyataan yang dilontarkan oleh mereka yang mengatakan bahwa menyambung rambut itu boleh jika dilakukan sepengetahuan dan seijin suaminya. Pernyataan seperti ini tertolak berdasarkan keumuman hadits yang melarang menyambung rambut tanpa adanya takhsis atau taqyid (pembatasan) sepengetahuan dan seijin suami.
Juga tertolak berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim:

“Sesungguhnya aku telah mengawinkan puteriku, tetapi rambutnya rontok, sedangkan suaminya memintanya untuk memperbaikinya. Apakah aku boleh menyambung rambutnya wahai Rasulullah? Maka beliau Saw. tetap melarangnya.”

Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari: “Al-Laits berpendapat, juga Abu Ubaidah telah menukil dari banyak fuqaha, bahwa yang dilarang itu adalah menyambung rambut dengan rambut. Adapun ketika menyambung rambut dengan selain rambut, misalnya dengan sobekan kain, maka tidak termasuk dalam larangan di atas.”
Ibnu Hajar menambahkan:
“Sebagian dari mereka membagi antara menyambung rambut dengan selain rambut yang setelah diikatkan disembunyikan/ditutupi dengan rambut, agar disangka itu adalah rambut, dengan sambungan yang nampak jelas. Sekelompok orang melarang yang pertama saja karena di dalamnya ada pemalsuan, dan pendapat ini cukup kuat. Tetapi di antara mereka ada juga yang membolehkan menyambung rambut secara mutlak, baik disambung dengan rambut atau dengan selain rambut, dengan syarat sepengetahuan dan seijin sang suami. Dan hadits-hadits yang disebutkan dalam bab ini menjadi argumentasi yang meruntuhkan pendapat mereka.”

Ringkasnya, menyambung rambut dengan rambut manusia semisalnya, atau dengan sesuatu yang menyerupai rambut manusia, seperti bulu hewan atau rambut imitasi, itu haram seluruhnya. Sedangkan menyambung rambut dengan benda lain yang jelas dan nampak berbeda, itu boleh-boleh saja, alias tidak berdosa, karena dipandang termasuk perhiasan yang dibolehkan Allah Swt. untuk kaum wanita, seperti qaramil, menancapkan bunga imitasi dan bunga alami, memakai pita dan perhiasan lain yang nampak jelas bahwa itu bukan rambut. Hal itu hukumnya boleh-boleh saja.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dalil Sunah Menyemir Rambut Beruban



3. Menyemir Uban (Rambut yang Sudah Putih)

Terdapat beberapa hadits yang berkaitan dengan hal ini.

1. Jabir bin Abdillah, dia berkata:

“Pada hari penaklukkan Makkah, Abu Quhafah dihadapkan pada Nabi Saw. dengan kepala seperti tsagamah. Maka Rasulullah Saw. berkata: “Bawalah dia ke sebagian isterinya, dan rubahlah (warnailah) rambutnya itu, tetapi jauhilah warna hitam.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Tsagamah adalah pohon yang bunga dan buahnya berwarna putih, tumbuh di puncak bebukitan.

2. Dari Utsman bin Abdullah bin Mauhib, dia berkata:

“Aku pernah menemui Ummu Salamah, isteri Nabi Saw., lalu beliau memperlihatkan sebagian rambut Rasulullah Saw. yang telah dicat dengan pacar dan katam kepada kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Bukhari meriwayatkan hadits ini tanpa menyebutkan pacar dan katam. Kata al-katam artinya adalah tumbuhan yang warnanya hitam sedikit kemerah-merahan, yang suka digunakan untuk menyemir/mengecat.

3. Dari Abu Dzar ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya yang paling baik untuk merubah warna uban adalah pacar dan al-katam.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dan berkata: status hadits ini hasan shahih.

4. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata:

“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani tidak menyemir (mewarnai rambut), maka hendaknya kalian berbeda dengan mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)

Para ulama dari kalangan salaf dan khalaf berbeda pendapat tentang hukum mewarnai atau menyemir uban. Sebagian mereka menyatakan bahwa uban itu lebih baik tidak disemir. Pendapat ini diriwayatkan berasal dari Abu Bakar, Umar, Ali, dan sebagainya.
Sebagian lagi menyatakan bahwa menyemirnya itu lebih baik. Pendapat ini diriwayatkan berasal dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah, Ali dalam satu riwayat darinya, Utsman, Saad, al-Hasan, al-Husain, Uqbah bin Amir, dan Ibnu Sirin.
At-Thabari membenarkan perbedaan pendapat ini dengan menyatakan:
“Sebenarnya hadits-hadits Nabi Saw. yang menganjurkan dan melarang menyemir uban itu semuanya shahih dan tidak ada pertentangan di dalamnya, karena perintah menyemir itu berlaku bagi orang yang beruban, seperti uban Abu Quhafah. Sedangkan larangan itu berlaku bagi orang yang beruban sedikit saja.”
At-Thabari menambahkan:
“Perbedaan pendapat di kalangan salaf dalam melakukan dua perkara tersebut sesungguhnya didasarkan pada perbedaan kondisi mereka dalam perkara itu, padahal perintah dan larangan menyemir rambut tersebut bukan dalam perkara yang diwajibkan menurut kesepakatan, sehingga mereka tidak saling mengingkari satu sama lain.
Ketika melihat seseorang menyemir uban yang ada di janggutnya, Ahmad berkomentar: Sungguh aku melihat seorang lelaki yang menghidupkan sesuatu yang sudah mati itu sebagai bagian dari sunah.
Ahmad merasa gembira melihatnya, dan ini menunjukkan bahwa Ahmad berpendapat menyemir uban itu sunah hukumnya.
An-Nawawi sebagai seorang ulama besar dari kalangan Syafi’iyah berkata: Pendapat yang kami pegang adalah bahwa menyemir uban oleh lelaki dan wanita dengan warna kuning dan merah itu sunah hukumnya, sedangkan menyemir uban dengan warna hitam adalah haram hukumnya berdasarkan pendapat yang paling shahih.

Pendapat yang saya pegang adalah menyemir uban itu sunah, dan lebih baik untuk dilakukan. Inilah pendapat yang ditunjukkan oleh hadits-hadits di atas.
Perintah Rasulullah Saw. kepada kita untuk menyemir uban agar kita berbeda dengan orang Yahudi dan Nasrani ini cukup menjadi qarinah bahwa menyemir uban itu dihukumi sunah.
Perintah beliau Saw. ini bersifat umum, baik uban pada rambut kepala ataupun pada janggut, mencakup uban yang banyak ataupun yang sedikit. Sunah tersebut bisa direalisasikan dengan bahan apapun yang layak digunakan untuk menyemir.
Sedangkan yang disebutkan dalam hadits bahwa menyemir itu sebaiknya menggunakan pacar dan katam, maka ini tidak menunjukkan bahwa menyemir dengan selain keduanya itu tidak baik, sebab diceritakan dalam beberapa atsar sahabat bahwa mereka juga seringkali menyemir uban menggunakan waras dan kunyit (keduanya adalah pewarna kuning). Bahan penyemir yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut semata-mata untuk menunjukkan sesuatu yang lebih umum dan lebih banyak digunakan untuk menyemir saat itu.

Mengenai pernyataan yang dilontarkan oleh an-Nawawi: “Haram menyemirnya dengan warna hitam menurut pendapat yang paling shahih” sebagai hasil istinbath dari hadits Abu Quhafah: tetapi jauhilah warna hitam, sebagaimana beliau dan orang yang sependapat dengannya, berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Pada akhir zaman nanti akan ada orang-orang yang mengecat rambutnya dengan warna hitam seperti warna bulu dada merpati. Mereka tidak akan mencium wangi Surga.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan an-Nasai)

Untuk membantahnya adalah, bahwa hadits Abu Quhafah ini tidak menunjukkan pengharaman, hanya menjelaskan bahwa Abu Quhafah -seorang yang sudah tua renta- itu tidak cocok bila rambutnya disemir dengan warna hitam, sehingga dia diminta untuk menyemir rambut dengan selain warna hitam.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Ibnu Abbas, maka inipun tidak menunjukkan makruhnya menyemir rambut dengan warna hitam, melainkan hanya pemberitahuan tentang adanya suatu kaum yang kondisi atau keadaannya seperti itu.
Pemahaman seperti ini terhadap hadits tersebut muncul disebabkan dua faktor: pertama, hadits ini mirip dengan hadits yang menceritakan hal ihwal atau ciri-ciri Khawarij, “ciri mereka adalah menggunduli rambut” sehingga kondisi ini menjadi ciri mereka saja, tanpa menjadikan menggunduli rambut itu sendiri sebagai sebab celaan; kedua, banyak sahabat dan tabi’in yang menyemir rambut mereka dengan warna hitam dan ini telah diceritakan oleh at-Thabari. Mereka yang berasal dari kalangan sahabat adalah al-Hasan, al-Husain, Utsman, Saad bin Abi Waqash, Abdullah bin Jafar, Uqbah bin Amir, al-Mughirah bin Syu’bah, Jarir bin Abdullah, dan Amr bin Ash.
Dan mereka yang berasal dari kalangan tabi'in adalah Amr bin Utsman, Ali bin Abdullah bin Abbas, Abu Salamah bin Abdurrahman, Abdurrahman bin al-Aswad, Musa bin Thalhah, az-Zuhri, Ayub, Ismail bin Ma’di Kariba; sehingga andai saja hukum menyemir rambut dengan warna hitam itu haram, niscaya mereka tidak akan melakukannya.
Kemudian kami melihat satu hadits yang diriwayatkan dari Suhaib al-Khair, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

Sesungguhnya yang paling baik kalian gunakan untuk mengecat rambut adalah warna hitam ini, karena warna tersebut lebih disukai oleh isteri-isteri kalian, dan bisa lebih menggentarkan dada musuh-musuh (menjadikan mereka lebih takut).” (HR. Ibnu Majah)

Al-Haitsami berkata: sanadnya hasan.

Hadits ini jelas menjadi keterangan nyata pemutus perbedaan pendapat ini.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Dalil Sunah Memuliakan Merawat Rambut



BAB ENAM

SUNAH-SUNAH YANG DIGABUNGKAN DENGAN FITRAH

Pasal ini mencakup dua masalah. Pertama, hukum-hukum yang berkaitan dengan rambut; kedua, hukum-hukum yang berkaitan dengan bercelak dan memakai wewangian.

Di dalam persoalan ini terdapat tujuh pembahasan:

  1. Memuliakan rambut.
  2. Mencabut uban (rambut yang sudah putih).
  3. Menyemir uban.
  4. Menyambung rambut.
  5. Menyisir rambut.
  6. Membelah rambut.
  7. Bercelak dan memakai wewangian.

Hukum yang Berkaitan Dengan Rambut

1. Memuliakan Rambut

Pengertian memuliakan rambut adalah: memperhatikan kebersihan rambut, dengan menyisir dan merawatnya. Beberapa hadits berikut menyinggung persoalan memuliakan dan merawat rambut:

1) Dari Aisyah ra., dia berkata:

“Rambut Rasulullah Saw. itu kurang dari jammah, dan lebih dari wafrah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Al-Wafrah adalah rambut lebat yang memenuhi kepala dan terurai hingga mencapai dua telinga. Jika terurai melebihi dua daun telinga disebut limmah, dan jika panjangnya mencapai dua bahu maka disebut jummah.

2) Dari Anas ra.:

“Bahwasanya Nabi Saw. suka membiarkan rambutnya menjuntai hingga dua bahunya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan an-Nasai)

Ahmad, Muslim dan an-Nasai meriwayatkan juga hadits dari Anas, dia berkata:

“Rambut Nabi Saw. mencapai pertengahan dua telinganya.”

Dan dalam suatu riwayat disebutkan dengan lafadz:

“(Rambutnya) tidak melewati dua telinganya.”

3) Dari Abu Hurairah ra., bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa memiliki rambut, maka hendaklah dia memuliakannya (merawatnya).” (HR. Abu Dawud)

Ibnu Hajar berkata: sanad hadits ini hasan.

4) Dari Atha bin Yasar, dia berkata:

“Ketika Rasulullah Saw. sedang berada di masjid, ada seorang laki-laki masuk dengan rambut dan janggut yang acak-acakan dan tidak beraturan. Maka Rasulullah Saw. memberi isyarat dengan tangannya pada laki-laki itu agar dia keluar, seakan beliau Saw. ingin mengatakan agar ia merapikan rambut dan janggutnya terlebih dahulu. Lalu laki-laki itu pun keluar merapikannya, dan kemudian masuk kembali. Rasulullah Saw. bersabda: “Bukankah ini lebih baik, daripada salah seorang dari kalian datang dengan rambut yang acak-acakan seperti setan.” (HR. Malik)

5) Dari Abdullah bin Mughaffal al-Muzanniy:

“Bahwasanya Nabi Saw. melarang seseorang menyisir rambut kecuali secara berkala (tidak terus-menerus). (HR. Ahmad, Abu Dawud dan anNasai)

Hadits ini diriwayatkan dan dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban.

6) Dari salah seorang sahabat ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. melarang salah seorang dari kami menyisir terus setiap hari.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan an-Nasai)

7) Dari Abu Qatadah:

“Bahwasanya ia mempunyai rambut yang panjang nan lebat, lalu ia bertanya kepada Nabi Saw. mengenai rambutnya, maka Nabi Saw. memerintahkan untuk merawatnya dengan baik dan menyisirnya setiap hari.” (HR. an-Nasai)

Para perawinya adalah perawi hadits shahih.

Dalam satu riwayat dari Malik:

“Abu Qatadah bertanya kepada Rasulullah Saw.: Aku memiliki rambut yang panjang, apakah aku harus menyisirnya? Rasulullah Saw. bersabda: “Ya, dan rawatlah dengan baik.”

8) Dari Nafi, dari Ibnu Umar :

“Bahwasanya Rasulullah Saw. melarang dari qaza’. Dia berkata: Aku bertanya kepada Nafi: Apakah qaza' itu? Dia berkata: Mencukur sebagian rambut anak, seraya membiarkan sebagian yang lain.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad dan Abu Dawud)

Abu Dawud, Ahmad dan an-Nasai meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar:

“Nabi Saw. melihat seorang anak kecil dicukur sebagian rambutnya dan disisakan sebagian yang lainnya. Maka beliau Saw. melarang mereka dari hal itu. Beliau Saw. bersabda: “Cukurlah semua, atau biarkan semua.”

9) Dari Abdullah bin Ja’far:

“Kemudian beliau Saw. menunda mendatangi keluarga Ja’far sampai tiga hari, lalu beliau Saw. mendatangi mereka dan berkata: “Janganlah kalian menangisi saudaraku setelah hari ini atau setelah esok hari, panggilkan kedua anak saudaraku.” Dia berkata: Kemudian kami dibawa ke hadapan beliau Saw., seakan-akan kami anak ayam yang kehilangan induknya. Maka beliau Saw. berkata: “Panggilkan tukang cukur padaku. Lalu didatangkan tukang cukur, kemudian dia mencukur rambut kami.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)

Para perawi hadits yang ditakhrij oleh Ahmad adalah para perawi hadits shahih.

Secara ringkas bisa dikatakan bahwa disunahkan untuk mencuci, menyisir dan memelihara rambut dari waktu ke waktu tanpa berlebihan.
Kita boleh memanjangkan rambut hingga mencapai dua bahu, atau sampai pertengahan dua telinga, atau lebih pendek dari itu, atau boleh pula mencukur seluruhnya, di mana semua itu disebutkan dalam beberapa hadits yang telah saya tunjukkan di atas.

Hadits pertama dan kedua menunjukkan bolehnya memanjangkan rambut hingga mencapai dua telinga atau dua bahu.
Hadits kedelapan -riwayat kedua- menunjukkan bolehnya mencukur habis rambut, walaupun begitu syariat melarang dari satu gaya mencukur rambut yakni al-qaza’, maksudnya adalah menggunduli sebagian rambut seraya membiarkan sebagian yang lainnya; ini merupakan perbuatan yang biasa dilakukan sebagian orang dusun ketika mencukur rambut anak kecil dengan menyisakan satu potongan atau satu bagian rambut di bagian teratas kepalanya, atau yang biasa dilakukan para pemuda yang mengikuti kebiasaan orang Barat di zaman sekarang ini. Larangan ini ditunjukkan oleh hadits kedelapan dalam dua riwayatnya. Rambut kepala itu boleh dicukur seluruhnya, boleh dipendekkan seluruhnya, boleh dipanjangkan seluruhnya, tetapi tidak boleh hanya pada satu bagian saja darinya.

Adapun hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa:

“Bahwasanya Abu Musa jatuh pingsan, lalu isterinya menangis. Ketika dia sadar, ia berkata kepadanya: Bukankah telah sampai kepadamu apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw.? Lalu kami menanyakan hal itu kepada isterinya, maka dia (isterinya) berkata: Beliau Saw. bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang meratap, mencukur, dan merobek baju (ketika tertimpa musibah kematian).” (HR. an-Nasai, Ahmad, Muslim dan Abu Dawud)

Hadits ini bukan larangan dari mencukur secara mutlak, melainkan ditaqyid dengan mencukur dalam kondisi terkena musibah kematian. Artinya, haram mencukur rambut sebagai bentuk perkabungan ketika terkena musibah kematian.
Begitu pula haram meratap dan merobek pakaian karena perkabungan dan kesedihan. Hadits ini tidak menunjukkan larangan bercukur yang bersifat mutlak.
Di dalam hadits kesembilan disebutkan bahwa Rasulullah Saw. menangguhkan mencukur rambut anak-anak Ja'far hingga tiga hari setelah kematiannya. Beliau Saw. menunggu hingga masa perkabungan itu lewat. Ibnu Abdil Barr berkata: Para ulama bersepakat tentang bolehnya mencukur.
Hadits ketiga dan keempat menunjukkan anjuran membasuh rambut, membersihkan, dan menyisirnya, agar rambut itu tidak dibiarkan kotor dan tidak terurus.
Hadits kelima dan keenam menunjukkan bahwa menyisir dan membersihkan rambut dilakukan dan diperhatikan dengan tanpa berlebihan, dilakukan dengan sedang-sedang saja. Tetapi ini tidak menafikan menyisir rambut setiap hari, jika memang hal itu dibutuhkan misalnya bagi orang yang memiliki rambut tebal yang panjangnya sampai dua bahu (jummah) sebagaimana disebutkan dalam hadits ketujuh.

Tujuannya adalah menuntut orang tersebut memperhatikan dan memelihara rambutnya dari waktu ke waktu dengan tanpa berlebihan, seperti yang dilakukan para pemuda sekarang ini yang senantiasa membawa sisir di saku untuk menyisir rambut mereka setiap saat, setiap kali rambutnya tertiup angin, atau setiap melakukan gerakan yang bisa merusak tatanan rambut mereka. Maka beberapa hal terakhir ini dan semisalnya tercakup dalam larangan di atas.

Apa yang dilakukan oleh kaum lelaki di masa sekarang ini dengan mencukur dan memendekkan rambut mereka, dan mencukur habis rambut yang ada di bagian belakang bawah kepalanya (dekat tengkuknya), maka ini boleh-boleh saja dan tidak berdosa. Begitu pula perkara yang tidak tercakup dalam larangan ini, yaitu memanjangkan dua sisi rambut yang terkadang dilakukan para pemuda sekarang ini, hukumnya boleh-boleh saja. Kedua perkara ini tidak terkategorikan qaza’ yang dilarang dalam hadits.

Bukhari telah meriwayatkan dari Ubaidillah bin Hafsh, bahwa Umar bin Nafi memberi kabar padanya dari Nafi pelayan Abdullah, bahwasanya dia mendengar Ibnu Umar ra. berkata:

“Aku mendengar Rasulullah Saw. melarang dari qaza'. Ubaidillah berkata: Aku bertanya: Apa qaza’ itu? Ubaidillah lalu memberi isyarat kepada kami sambil berkata: Jika rambut anak kecil itu dicukur, lalu dibiarkan rambutnya sebagian sebelah sini, sebelah sini, dan sebelah sini. Ubaidillah menunjukkan kepada kami pada ubun-ubun dan samping (kanan dan kiri) kepalanya. Lalu ditanyakan kepada Ubaidillah: Apakah ini diberlakukan untuk anak perempuan dan anak laki-laki? Ubaidillah berkata: Aku tidak mengetahui yang seperti ini. Dia bertanya: Apakah khusus untuk anak laki-laki? Ubaidillah berkata: Aku juga mengulang pertanyaan itu padanya. Ubaidillah berkata: Tidak mengapa membiarkan rambut depan kepala dan rambut tengkuk bagi anak-anak, tetapi maksud dari qaza itu adalah membiarkan sebagian rambut yang ada di ubun-ubun, hingga di kepala yang tersisa hanya itu. Begitu pula dengan memangkas rambut kepalanya yang ini dan ini.”

Dengan demikian qaza itu adalah mencukur habis sebagian rambut kepala, seraya meninggalkan sebagian yang lain; bukan memangkas dan memendekkan rambut kepala seraya membiarkan rambut di atas ubun-ubunnya lebih panjang, atau rambut pada dua sisi kepalanya lebih panjang. Kuncung (rambut di bagian depan kepala) itu boleh-boleh saja selama rambut kepalanya (yang lain) tidak dicukur habis atau tidak digunduli. Namun, ketika rambutnya dicukur habis sama sekali, maka tidak boleh ada kuncung seperti itu.
Perihal hadits yang diriwayatkan at-Thabrani, dari Umar bin Kattab ra., bahwasanya dia berkata:

“Rasulullah Saw. melarang dari mencukur rambut di tengkuk, kecuali bila hendak dibekam.”

Status hadits ini dhaif, sehingga tidak layak digunakan sebagai dalil.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Rabu, 30 Agustus 2017

Dalil Sunah Khitan



Khitan

Al-Khitan (huruf kha dikasrahkan): merupakan mashdar dari khatana yang artinya memotong; al-khatnu dengan difathahkan dan disukunkan artinya satu bagian tertentu dari anggota badan tertentu.
Al-Mawardi berkata: khitanu ad-dzakari, artinya memotong kulit yang menutupi hasyafah (ujung dzakar). Dia berkata: khitanul untsa, artinya memotong kulit yang ada di bagian atas farji wanita, yang nampak seperti biji atau jambul ayam.
Mengkhitan lelaki dan wanita disebut juga i'dzar, sedangkan mengkhitan wanita secara khusus disebut khafdha.
Mengkhitan dzakar itu cukup dilakukan dengan memotong seluruh kulup, di mana tidak tersisa sesuatupun darinya, dan hasyafah menjadi nampak seluruhnya.
Beberapa hadits berikut berkaitan dengan khitan:

1. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Ibrahim kekasih Allah dikhitan setelah berusia delapan puluh tahun, dia dikhitan menggunakan kapak.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan al-Baihaqi)

2. Diriwayatkan dari Said bin Jubair bahwasanya dia berkata:

“Ibnu Abbas ditanya: Seperti siapakah engkau saat Rasulullah Saw. dimakamkan? Ibnu Abbas berkata: Hari itu aku dikhitan. Dia berkata: Orang-orang tidak mengkhitan seorang laki-laki hingga dia baligh.” (HR. Bukhari)

3. Dari ‘Utsaim bin Kulaib, dari ayahnya, dari kakeknya:

“Bahwasanya dia menemui Nabi Saw., lalu dia berkata: Aku ingin masuk Islam. Beliau Saw. bersabda: “Buanglah dari dirimu rambut kekufuran.” Dia berkata: Potonglah. Dia berkata: Dan orang lain yang bersama Nabi memberitahuku bahwasanya Nabi Saw. berkata pada yang lain, potonglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Dalam hadits dhaif ini terdapat inqitha' (sanad yang terputus), Utsaim dan ayahnya adalah orang yang tidak dikenal.

4. Dari Aisyah ra., dia berkata:

“Jika seorang lelaki duduk di antara empat cabang tubuh wanita, lalu khitan bertemu dengan khitan, maka wajib mandi.” (HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Jika khitan melewati khitan maka wajiblah mandi.” (HR. Tirmidzi, dan ia berkata: status hadits ini hasan shahih)

5. Dari Jabir ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. mengaqiqahi Hasan dan Husain, dan mengkhitan keduanya pada usia tujuh hari.” (HR. al-Baihaqi)

6. Dari Ummu Athiyah al-Anshariyah:

“Seorang perempuan dikhitan di Madinah, lalu Nabi Saw. bersabda: “Janganlah berlebihan memotong, karena sesungguhnya itu lebih bermanfaat dan lebih nikmat bagi seorang wanita, dan lebih disukai oleh suami.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Abu Dawud berkata: status hadits ini dhaif.

7. Dari Ibnu Umar, dia berkata:

“Beberapa orang wanita Anshar datang menemui Nabi Saw., maka Nabi Saw. bersabda: “Wahai wanita Anshar, warnailah kuku dengan cara mencelupkannya, berkhitanlah, dan jangan berlebihan memotong, karena sesungguhnya itu lebih nikmat bagi suami-suami kalian, dan hati-hatilah kalian dari kekufuran orang-orang yang diberi nikmat.” (HR. al-Bazzar)

Ini hadits dhaif menurut Ibnu Hajar, al-Bukhari; Al-Haitsami berkata: Di dalam rangkaian sanad hadits ini terdapat nama Mandal bin Ali, dia perawi yang dhaif.

8. Dari Abu al-Malih bin Usamah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Khitan itu sunat bagi kaum lelaki, dan mulia bagi kaum wanita.” (HR. Ahmad, al-Baihaqi dan Abu Dawud)

Al-Baihaqi berkata: “hadits ini dhaif,” dilemahkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Abi Hatim.

Para imam dan fuqaha berbeda pendapat dalam masalah hukum khitan untuk lelaki dan wanita sebagai berikut: As-Syafi’i berkata bahwa khitan itu wajib bagi lelaki dan wanita.
Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas adanya penekanan atas hal itu, di mana beliau menyatakan bahwa orang yang tidak berkhitan itu tidak sah haji dan shalatnya.
Abu Hanifah dan Malik berkata bahwa khitan itu sunah saja untuk keduanya (lelaki dan wanita-pen.).
Ahmad berkata bahwa khitan itu wajib bagi lelaki tetapi tidak bagi wanita.
Diriwayatkan dari Hasan bahwasanya dia menganggap ada rukhshah untuk tidak berkhitan, di mana dia mengatakan: Orang yang berkulit hitam dan putih telah masuk Islam, di mana mereka tidak diteliti dan tidak dikhitan.

Kelompok pertama -as-Syafi’i dan mereka yang berpendapat seperti beliau- telah berhujjah dengan hadits Abu Hurairah yang pertama dan hadits Utsaim yang ketiga, dan dengan hadits Ummu Athiyah yang keenam untuk mewajibkan mengkhitan perempuan. Mereka berkata pula, seandainya khitan itu tidak wajib bagi Ibrahim maka pastinya beliau tidak akan berkhitan, terlebih lagi dalam usia delapan puluh tahun, dan al-Qur,an menyatakan:

“Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif.” (TQS. an-Nahl [16]: 123)

Ayat al-Qur'an dijadikan dalil wajibnya berkhitan. Dalil-dalil ini sekaligus menjadi dalil kelompok ketiga yang mewajibkan berkhitan kepada kaum lelaki, tanpa wanita, dengan mengecualikan hadits keenam.

Kelompok kedua berhujjah dengan hadits Abu al-Malih yang terdapat pada nomor delapan, karena hadits ini menurut mereka menggambarkan bahwa mengkhitan lelaki itu sunah saja, dan menggambarkan bahwa mengkhitan wanita itu sebagai suatu kemuliaan saja, dan ini bermakna sunah juga. Dengan hadits ini kelompok ketiga mengambil kesimpulan bahwa mengkhitan wanita itu sunah saja.
Kelompok pertama dan kelompok ketiga menambahkan bahwa membuka aurat itu haram, kecuali untuk perkara yang wajib saja. Seandainya khitan itu tidak wajib, niscaya tidak mungkin dibolehkan mengkhitan orang yang sudah baligh dan membuka auratnya.
Hadits kedua menjadi dalil mengkhitan orang yang sudah baligh. Inilah ringkasan pendapat dan istidlal mereka.

Sebelum kita mengkaji lebih jauh nash-nash ini dari sisi istidlalnya, kita mesti mengkaji nash-nash tersebut dari sisi validitas sanadnya.
Kami nyatakan: Dalam hadits Utsaim yang ketiga itu terdapat inqitha' (sanad yang terputus), Utsaim dan ayahnya adalah orang yang tidak dikenal. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dan Ibnu al-Qathan, karena itu hadits ini dhaif sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah.

Di dalam hadits Ummu Athiyah terdapat perawi yang diperselisihkan, yakni Abdul Malik bin Umair, dikatakan bahwa dia menerima kabar dari ad-Dhahak, dikatakan pula dari Athiyah al-Quradzi, dan dikatakan pula dari yang lainnya.
Kemudian hadits ini dipandang bercacat karena ada Muhammad bin Hassan. Abu Dawud berkata: Muhammad bin Hasan itu seorang yang tidak dikenal, sehingga status hadits ini dhaif. Dengan demikian hadits ini tidak layak digunakan sebagai hujjah.

Hadits Abdullah bin Umar yang ketujuh juga dhaif, hadits ini didhaifkan oleh Ibnu Hajar dan al-Bukhari. Al-Haitsami berkata: Di dalam rangkaian sanad hadits ini terdapat nama Mandal bin Ali, dia perawi yang dhaif.
Dan begitu pula hadits Abul Malih yang kedelapan. Al-Baihaqi berkata: “hadits ini dhaif,” dilemahkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Abi Hatim, sehingga tidak layak dijadikan sebagai hujjah.

Tinggallah kini hadits yang pertama, kedua, keempat dan kelima.

Mengenai hadits pertama, di dalamnya tidak ada dilalah yang mewajibkan berkhitan, karena para Nabi alaihissalam melakukan berbagai perkara wajib seperti halnya mereka melakukan perkara mandub (sunah). Jika ada yang berkata bahwa dengan berkhitannya Nabi Ibrahim as. dalam usia delapan puluh tahun menunjukkan wajibnya khitan, maka kami katakan: sesungguhnya berkhitannya Ibrahim alaihissalam dalam usia delapan puluh tahun justru menunjukkan bahwa berkhitan itu tidak wajib, karena seandainya berkhitan itu wajib atasnya maka mengapa diundurkan sampai usia setua itu.
Kedua, sesungguhnya syariat umat sebelum umat Muhammad (syar'u man qablana) bukanlah syariat bagi kita. Khitan yang dilakukan Ibrahim seandainya benar dipahami sebagai sebuah kewajiban sesungguhnya tidak wajib diikuti kaum Muslim. Jika ada yang berkata bahwa al-Qur’an menuntut kita untuk mengikuti beliau, maka kami katakan bahwa ayat yang mereka kutip itu tidak menunjukkan pengertian sebagaimana yang mereka klaim, karena mengikuti millah lbrahim itu bukan berarti mengikuti syariatnya.
Kita diperintahkan untuk mengikuti millah Ibrahim, millah Isa, millah Musa dan millah Nuh, dan semuanya itu merupakan millah yang satu. Pengertian millah itu adalah pokok atau pangkal agama (ashlud diin) dan tauhid. Inilah maksud dari ayat:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (TQS. Ali Imran [3]: 19)

Din, millah, dan tauhid itu satu dan sama pada seluruh para Nabi. Tetapi kita tidak diperintahkan untuk mengikuti syariat-syariat mereka, karena setiap Nabi itu memiliki syariat yang berbeda satu sama lain.
Kita sebagai kaum Muslim tidak diperintahkan untuk mengikuti syariat selain syariat Islam saja. Allah Swt. berfirman:

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (TQS. al-Maidah [5]: 48)

Khitan itu merupakan bagian dari syariat, bukan bagian dari akidah, sehingga kita tidak diseru oleh ayat di atas.
Ayat dan hadits ini tidak menunjukkan pada apa yang mereka nyatakan. Hadits tersebut juga tidak menunjukkkan kecuali sebagai pemberitahuan saja bahwa Nabi Ibrahim alaihissalam berkhitan pada usia delapan puluh tahun tanpa ada embel-embel apapun.

Adapun hadits keempat, maka ini merupakan penjelasan atas fakta yang ada di tengah-tengah kaum Muslim, bahwa mereka biasa berkhitan. Ini merupakan perkara yang tidak diragukan lagi oleh seorang Muslim pun termasuk kita.
Bunyi hadits tersebut: Bersentuhannya khitan dengan khitan ini menunjukkan bahwa kaum Muslim berkhitan, baik lelaki ataupun wanita.
Lafadz hadits seperti itu tidak menunjukkan khitan itu wajib atau mandub.

Begitu pula hadits kelima, sama-sama menunjukkan fakta bahwa kaum Muslim berkhitan, dan ada tambahan fakta baru bahwa Hasan dan Husain dikhitan pada usia dini, yakni usia tujuh hari, ini berbeda dengan apa yang disebutkan dalam hadits kedua.
Inilah fakta yang terlihat oleh mata, dan fakta yang terlihat oleh mata itu tidak berlaku umum. Dari fakta itu tidak bisa dilakukan generalisasi hukum pada selainnya, dalam arti bahwa Hasan dan Husain itu dikhitan pada usia tujuh hari, dan ini merupakan perbuatan Rasulullah Saw. yang tidak mengandung pengertian sebagai perintah beliau Saw. kepada kaum Muslim untuk mengkhitan anak-anak mereka pada usia tujuh hari.

Perihal kutipan yang disampaikan oleh mereka yang mewajibkan berkhitan, bahwa membuka aurat itu tidak bisa dilakukan kecuali untuk perkara yang wajib -yang mereka maksudkan adalah mengkhitan orang yang sudah baligh- maka kami katakan bahwa pernyataan seperti itu tidak patut. Syariat telah mengharamkan melihat tubuh wanita dan menyingkap auratnya, walaupun begitu syara telah membolehkan seorang pemuda yang menyelidiki seorang wanita yang ingin dikhitbah (dilamar)-nya untuk melihat bagian manapun dari wanita tersebut yang mendorong dirinya menikahi wanita tersebut, bahkan untuk menyingkap bagian yang ingin sekali dilihatnya pada tubuh wanita tersebut. Dari Jabir bin Abdillah dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian meminang seorang wanita, jika memungkinkan bisa melihat dari wanita itu sesuatu yang membuatnya tertarik untuk menikahinya, maka lakukanlah.” Dia berkata: Lalu aku meminang seorang wanita dari Bani Salamah. Dengan bersembunyi di bawah semak pelepah kurma, aku dapat melihat darinya sebagian perkara yang membuatku tertarik untuk menikahinya, kemudian aku pun menikahinya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Ini merupakan nash yang sharih (jelas) membolehkan seorang yang mengkhitbah melihat bagian manapun dari wanita yang ingin dikhitbahnya. Ucapan dalam hadits tersebut:

“Melihat dari wanita itu sesuatu yang membuatnya tertarik untuk menikahinya.”

Bersifat umum, yang tidak ditakhsis oleh satu nash pun dalam persoalan ini. Lelaki tersebut boleh melihat rambutnya, dadanya, lehernya, betisnya, dan hastanya, jika dia memang benar-benar ingin mengetahui semua itu dari calon isterinya tersebut. Semua itu boleh, padahal khitbah itu hukumnya tidak wajib, terlebih lagi dalam mengkhitbah si fulanah secara pribadi. Di sini syariat membolehkan melihat aurat wanita untuk perkara yang tidak wajib, yakni khitbah dan nikah.

Adapun pernyataan yang disampaikan oleh sebagian fuqaha, bahwa yang dituntut oleh hadits ini adalah melihat wajah saja, merupakan pernyataan yang rusak dan keliru. Pernyataan tersebut sama dengan mengabaikan dan membatalkan hadits tersebut, dan menjadikannya sebagai ucapan tanpa guna. Hal ini karena melihat wajah itu dihukumi boleh, tanpa perlu adanya nash ini.
Kemudian perawi hadits ini bercerita bahwa dia mengendap bersembunyi agar bisa melihat sesuatu yang membuat dirinya tertarik menikahi si gadis. Tidak mungkin rasanya Jabir sampai harus mengendap-endap bersembunyi sedemikian rupa di antara pohon kurma jika hanya untuk melihat wajah si gadis semata.
Kemudian Abu Ja’far menceritakan:

“Umar meminang puteri Ali, maka Ali berkata: Anak tersebut masih kecil. Lalu dikatakan kepada Umar: Maksud ucapan Ali itu adalah melarang engkau meminangnya. Abu Jafar berkata: Kemudian Umar berbicara dengan Ali, maka Ali berkata: Aku akan membawanya menemuimu, jika engkau suka maka dia menjadi isterimu. Lalu Ali membawa puterinya itu menemui Umar. Abu Jafar berkata: Umar kemudian berdiri, lalu menyingkapkan betisnya, maka puteri Ali itu berkata: Lepaskan, seandainya engkau bukan Amirul Mukminin, niscaya aku sudah menghantam lehermu.” (HR. Abdurrazaq dan Said bin Manshur)

Dengan hadits seperti ini gugurlah pernyataan mereka bahwa menyingkapkan aurat itu tidak dilakukan kecuali untuk perkara yang wajib saja.
Dengan gugurnya syubhat ini, maka gugurlah sudah semua syubhat dan hujjah mereka yang mewajibkan khitan, sehingga yang tetap bertahan hanyalah pendapat bahwa khitan itu hanya bagian dari sunanul fithrah.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Selasa, 29 Agustus 2017

Dalil Melebatkan Janggut



Melebatkan Janggut

Terdapat beberapa hadits terkait melebatkan dan memanjangkan janggut, di antaranya:

1. Hadits Aisyah di atas, di dalamnya disebutkan:

“Sepuluh perkara yang termasuk fitrah: memotong kumis, memanjangkan janggut.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan an-Nasai)

2. Hadits Ibnu Umar yang juga telah kami sebutkan, di dalamnya disebutkan:

“Hendaklah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, lebatkanlah janggut.” (HR. Bukhari)

Muslim meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Hendaklah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan lebatkanlah janggut.”

3. Hadits Abu Hurairah yang juga telah kami sebutkan di atas, di dalamnya disebutkan:

“Cukurlah kumis dan panjangkanlah janggut, hendaknya kalian berbeda dengan orang-orang Majusi.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Semua riwayat ini menggunakan beberapa lafadz berikut: i'faa, waffiruu, aufuu, arkhuu, yang semuanya mengandung satu makna, yakni membiarkan janggut memanjang tanpa dicukur, dipangkas atau dipotong, yakni perlakukanlah janggut dengan perlakuan yang berbeda sama sekali dengan yang kita lakukan terhadap kumis.
Memotong janggut termasuk kebiasaan orang kafir (ketika itu) sehingga as-Syari' melarang hal itu. Dia Swt. memerintahkan kita untuk melebatkan dan memanjangkan janggut dalam rangka menyelisihi perbuatan orang kafir.

Memanjangkan dan melebatkan jenggot itu salah satu sunanul fithrah, hukumnya sunah muakkadah, persis sama dengan hukum memendekkan kumis.
Al-Qadhi Iyadh berkata: Adalah dimakruhkan mencukur janggut, memotongnya dan menggundulinya.
As-Syaukani berkata ketika menjelaskan hadits sepuluh perkara yang termasuk fitrah: sunanul fithrah yang sepuluh ini tidak wajib hukumnya.
Syamsuddin bin Qudamah dalam kitab as-Syarhu al-Kabir menyatakan: “dianjurkan untuk memanjangkan dan melebatkan janggut.”
Pendapat saya terkait memanjangkan janggut ini persis sama dengan apa yang telah saya paparkan terkait memendekkan kumis. Hukum dan qarinah keduanya sama, walaupun penekanan terhadap tindakan memendekkan kumis lebih besar daripada terhadap memanjangkan janggut. Hal ini karena ada kalimat di dalam hadits:

“Barangsiapa yang tidak menggunting kumisnya maka dia bukan golongan kami.”

Penekanan seperti ini justru tidak ditemukan dalam persoalan memanjangkan janggut.

Adalah sunah membiarkan janggut hingga tampak dan menonjol di wajah, dan tidak ditetapkan batasan maksimal untuk ukuran panjangnya.
Apa yang dilakukan Ibnu Umar dengan memotong janggutnya agar tidak lebih dari kepalan tangan bisa dijadikan pegangan.
Bukhari berkata: Ketika berhaji atau melakukan umrah, Ibnu Umar memegang janggutnya, yang lebih dari kepalan tangannya kemudian dipotongnya. Perbuatan Ibnu Umar ini bukanlah dalil, melainkan dipandang sebagai satu hukum syara yang boleh diikuti.
Sebaliknya, tidak ada tuntutan atau perintah untuk memendekkannya sampai nampak terlihat warna kulit di baliknya. Karena itu, yang menjadi patokan dalam persoalan ini adalah ukuran janggut yang sedang atau wajar. Minimal menyembunyikan warna kulit wajah yang ada di balik bulu janggut, setelah itu dia boleh memendekkan ataupun membiarkannya panjang dengan ukuran lebih dari itu.

Persoalan memanjangkan dan melebatkan janggut ini diperhatikan oleh penganut sufi dan para syaikh secara tidak wajar, bahkan bisa dikatakan berlebihan, sampai-sampai mereka memandang orang yang memotong janggut itu sebagai orang fasik yang tidak bisa diterima kesaksiannya dan tidak boleh dijadikan imam. Seolah-olah orang yang memotong janggut itu telah melakukan satu kemaksiatan yang sangat besar, padahal hadits-hadits hanya menyebutkan memanjangkan dan melebatkan janggut itu sebagai salah satu dari sepuluh sunanul fithrah, dan hanya menganjurkan memanjangkan janggut dalam rangka menyelisihi orang-orang musyrik, persis sama dengan anjuran memendekkan kumis. Walaupun begitu, perhatian para syaikh tersebut terhadap sepuluh perkara sunan ul-fithrah yang lainnya tidak sebesar perhatian mereka terhadap memanjangkan dan melebatkan janggut.
Pada prinsipnya, persoalan ini jangan melebihi ukuran atau kedudukannya yang sebenarnya. Pernyataan yang dilontarkan sebagian mereka bahwa memanjangkan dan melebatkan jenggot itu merupakan tanda kejantanan dan superioritas merupakan pernyataan yang keliru dan tidak benar sama sekali.

Contoh penekanan berlebih dalam persoalan memanjangkan janggut ini adalah pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Albani yang sengaja saya nukil dari pernyataan beliau yang bisa ditemukan dalam kitabnya Adab az-Zafaf, kemudian saya akan membahasnya secara lebih rinci:
[Memotong janggut. Kelima: sama buruknya, jika tidak dikatakan paling buruk menurut orang-orang yang memiliki watak yang baik, adalah cobaan terbesar bagi kaum lelaki yaitu berhias dengan cara mencukur janggut karena mengikuti orang kafir Eropa, hingga menjadi aib tersendiri bagi pengantin yang memasuki hari pernikahan jika tidak mencukur janggutnya. Dalam perbuatan seperti itu terdapat beberapa pelanggaran: a. Merubah ciptaan Allah: Allah Swt. berfirman tentang setan: “Yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan: ”Aku benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untukku). Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya.” Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (TQS. an-Nisa [4]: 118-119)
Ini merupakan nash yang jelas bahwa merubah ciptaan Allah tanpa ijin dari-Nya merupakan bentuk ketaatan terhadap perintah setan dan pembangkangan terhadap Allah yang Maha Rahman. Maka tidaklah salah ketika Rasulullah Saw. melaknat orang-orang yang suka merubah ciptaan Allah untuk mempercantik diri sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan tidak ragu lagi bahwa memotong janggut untuk mempertampan diri itu termasuk perkara dilaknat yang disebutkan tadi karena jelas memiliki kesamaan ‘illat. Saya telah tegaskan: tanpa ijin dari Allah Swt., tiada lain agar beberapa perkara lain tidak sembarang dipandang termasuk ke dalam taghyir (tindakan merubah) yang sudah disebutkan, seperti mencukur bulu kemaluan dan sebagainya yang memang diijinkan oleh Allah Swt., bahkan dianjurkan dan diwajibkan-Nya. b. Menyalahi perintah Rasulullah Saw. yakni sabda beliau Saw.: “Pendekkanlah kumis, dan biarkanlah janggut tetap panjang.” Telah diketahui bahwa perintah itu memberi pengertian wajibnya (perkara yang diperintahkan) kecuali dengan qarinah, dan qarinah yang ada di sini justru makin menegaskan wajibnya perkara tersebut. Beberapa qarinah ini adalah: c. Tindakan menyerupai orang-orang kafir. Rasulullah Saw. bersabda: “Pangkaslah kumis dan panjangkanlah janggut, hendaknya kalian berbeda dengan orang-orang Majusi.” (HR. Muslim dan Ahmad) Perkara yang semakin memastikan kewajiban ini adalah: d. Menyerupai wanita. Rasulullah Saw. melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai laki-laki. Tidak samar lagi bahwa ketika seorang lelaki memotong kumisnya -padahal kumis itu adalah sesuatu yang dijadikan Allah Swt. sebagai pembeda antara dirinya dengan wanita- maka hal itu menjadi kondisi yang paling menyerupai wanita. Semoga saja dengan dalil-dalil yang kami sebutkan bisa meyakinkan orang-orang yang sedang diuji dengan berbagai rupa pembangkangan ini. Semoga Allah mengampuni kita dan mereka semua dari segala sesuatu yang tidak disukai-Nya dan tidak diridhai-Nya.] Dalam catatan kaki buku tersebut Albani kemudian melontarkan pernyataan sebagai berikut: Tidak diragukan lagi bagi orang yang fitrahnya bersih dan wataknya baik, keempat dalil ini saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa memanjangkan dan melebatkan janggut itu wajib, dan memotong atau mencukurnya itu haram, maka bagaimana bisa kedua hal yang bertentangan itu bisa dikompromikan?

Untuk membantah pernyataan Albani di atas bisa dilakukan melalui beberapa sisi:

a. Saya soroti ucapan Albani: berhias dengan cara mencukur janggut karena mengikuti orang kafir Eropa.
Albani telah menetapkan mencukur janggut sebagai cara berhias diri tetapi dia tidak menyebutkan bahwa memanjangkan janggut merupakan cara berhias diri juga, karena bisa jadi memanjangkan janggut itu menjadikan si lelaki lebih tampan daripada memendekkannya.
Kemudian Albani memandang berhias dengan cara mencukur janggut itu termasuk sikap taklid (mengikuti) orang-orang kafir. Pernyataan Albani ini mendorong kami untuk menjelaskan pengertian mengikuti (taklid) orang-orang kafir, dan hukum taklid itu sendiri.

Mengikuti orang kafir itu terbagi dua kategori: mengikuti orang kafir dalam urusan agama, dan mengikuti orang kafir dalam urusan kehidupan.
Mengikuti perbuatan dan urusan orang kafir yang berhubungan dengan agama mereka merupakan sikap taklid dalam urusan agama (syu'un ad-din), sedangkan mengikuti perbuatan dan urusan orang kafir dalam perkara yang tidak berhubungan dengan agama bagi mereka merupakan taklid dalam urusan kehidupan (syu'un al-hayat).
Perbuatan yang termasuk taklid (mengikuti) orang kafir dalam urusan agama mereka, jelas haram hukumnya, sehingga mengambil sikap yang bertentangan dengan perbuatan dan urusan mereka tersebut menjadi satu kewajiban.
Adapun perbuatan yang terkategorikan mengikuti orang kafir dalam urusan kehidupan, maka tidak diharamkan dan tidak berdosa. Walaupun, lebih baik perkara tersebut ditinggalkan, kecuali jika urusan kehidupan tersebut memang telah diharamkan dalam agama kita, maka saat itu haram pula hukumnya.
Dengan demikian, mengikuti orang kafir dengan memakai seragam dan dasi, mengikuti orang kafir cara memberikan topi pada tentara, mengikuti orang kafir menyambut kepala negara asing dengan cara melepaskan sebelas kali tembakan salvo dan membariskan pasukan pengawal kehormatan menyambutnya, mengikuti orang kafir memulai rancangan tempat tinggal dengan cara [acara] gunting pita, dan contoh lainnya yang serupa merupakan taklid (mengikuti orang kafir) yang tidak berdosa dan tidak haram, karena perbuatan dan perkara tersebut sama sekali bukan berasal dari agama mereka, dan mereka pun melakukan dan mengadopsi semua itu bukan sebagai bentuk kepatuhan pada keyakinan mereka, selain memang semua itu tidak termasuk perkara yang diharamkan oleh syariat agama kita.
Jika demikian halnya, maka mengikuti orang kafir dalam persoalan seperti itu tidaklah haram hukumnya, walaupun memang lebih baik ditinggalkan. Sedangkan mengikuti orang kafir dengan –misalnya- menjadikan proses belajar-mengajar bercampur-baur (lelaki dan wanita) sedemikian rupa di sekolah dan perguruan tinggi, dan mengikuti orang kafir yang menjadikan kaum wanita berpenampilan mencolok dan menarik perhatian, itu jelas diharamkan dan tidak boleh hukumnya, walaupun hal itu bukan termasuk urusan agama bagi mereka, tetapi bagi kita ikhtilath (campur baur) dan tabaruj (wanita berpenampilan mencolok) itu diharamkan, sehingga hukumnya pun tetap haram.

Perihal mengikuti orang kafir dengan memakai pakaian yang khas dipakai oleh para pastor mereka, dan mengangkat rohaniawan (rijal ad-din) di antara kita, mengikuti orang kafir dengan membuat pohon natal, mengikuti orang kafir dengan membuat peti mayat, dan hal serupa lainnya adalah diharamkan dan tidak boleh hukumnya. Kita wajib berbeda dengan mereka dalam semua perkara seperti itu, karena semua perbuatan dan perkara tersebut bagi mereka dipandang sebagai urusan keyakinan dan agama, sehingga mengikuti orang kafir dalam kekufuran mereka dan kedudukan mereka sebagai orang kafir itu haram hukumnya.
Adapun mengikuti orang kafir dalam perkara selainnya tidaklah diharamkan -kecuali memang perkaranya terkategorikan perkara haram bagi kita- perkara seperti itu lebih baik ditinggalkan.
Ketika seorang Muslim mengikuti orang kafir mencukur janggutnya karena mengikuti orang Eropa, tidaklah terkategorikan mengikuti orang kafir dalam kedudukannya sebagai orang kafir, juga tidak terkategorikan mengikuti orang kafir dalam salah satu urusan agama mereka.
Hal itu hanya terkategorikan sebagai penampilan duniawi semata yang tidak ada kaitannya dengan agama, sehingga mengikuti orang kafir dalam hal seperti itu tidaklah haram hukumnya.
Begitu pula dengan perbuatan dan perkara lainnya yang tidak berkaitan dengan urusan agama, sehingga nampak jelas bahwa mengikuti orang Eropa dengan mencukur jenggot itu tidak haram hukumnya.

Mengenai ucapan Albani: hingga menjadi aib tersendiri bagi pengantin yang memasuki hari pernikahan jika tidak mencukur janggutnya. Ungkapan seperti ini terlalu berlebihan. Aib itu adalah sesuatu atau perbuatan yang menjadikan pemilik atau pelakunya merasa malu sehingga dia merasa tercemar dan terhina, dan hal seperti ini tidak ditemukan dalam perkara ini.

b. Sekarang kita akan membahas empat alasan yang disampaikan Albani ketika dia menyatakan: sesungguhnya setiap dalil dari empat dalil ini cukup untuk membuktikan kewajiban memanjangkan janggut.
Ayat yang dikutip oleh Syaikh Albani yang menurutnya menjadi dalil yang layak untuk mengharamkan mencukur janggut itu terdapat dalam surat an-Nisa. Agar jelas bagi kita apakah ayat ini menunjukkan kebenaran klaimnya ataukah tidak, maka kita harus menempatkannya kembali pada posisinya semula dalam surat tersebut, lalu kita mengambil kesimpulan darinya. Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka. Yang dilaknati Allah, dan setan itu mengatakan: “Aku benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untukku). Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya binatang ternak, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya.” Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. Mereka itu tempatnya Jahannam dan mereka tidak memperoleh tempat lari dari padanya. (TQS. an-Nisa [4]: 116-121)

Lihatlah setiap ayatnya, maka Anda akan melihatnya dengan jelas.
Ayat pertama berbicara tentang persoalan syirik yang merupakan bagian dari pembahasan akidah.
Ayat kedua berbicara tentang masalah berhala dan setan, dan ini merupakan bagian dari persoalan akidah.
Ayat ketiga berbicara tentang upaya setan menyesatkan sekelompok orang yang beriman menjadi bagian dari orang-orang kafir, dan ini termasuk persoalan akidah.
Ayat keempat berbicara tentang persoalan memotong telinga binatang ternak sebagai bentuk taqarrub (upaya mendekatkan diri) kepada berhala, dan ini pun termasuk persoalan akidah.
Ayat kelima berbicara tentang janji dan tipu daya setan, dan ini termasuk persoalan akidah.
Ayat keenam berbicara tentang persoalan akidah, karena membahas orang yang masuk dan kekal di dalam Neraka Jahanam.

Kedua, ayat-ayat ini dengan jelas berbicara tentang masalah kesesatan, jelas disebutkan di bagian awal ayat yang keempat:

“Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka.”

Kesesatan (ad-dhalal) itu kebalikan dari petunjuk (al-huda), dan ini merupakan salah satu konsep dari akidah. Orang yang sesat itu adalah orang yang menyalahi akidah, baik secara keseluruhan, dalam persoalan prinsip ataupun dalam masalah cabang akidah.
Adapun orang yang menyalahi hukum syara [namun masih meyakini hukum syara’], maka disebut fasik, orang yang bermaksiat, orang yang fajir atau berdosa saja. Pembedaan ini harus betul-betul dipahami, dan saya tidak akan menyampaikan ayat-ayat yang menunjukkan pembedaan tersebut, sehingga kami persilakan kepada para pembaca untuk merujuknya sendiri.

Dengan demikian, ayat yang dikutip oleh Albani itu berbicara tentang persoalan akidah, bukan tentang persoalan hukum, sehingga masalah-masalah akidah tidak bisa dianalogikan kepada masalah-masalah hukum, dan begitu pula sebaliknya, sehingga kedua persoalan tersebut berbeda satu sama lain. Karena itu, firman Allah Swt.:

“Lalu benar-benar mereka merubahnya,”

harus dibatasi pada persoalan akidah dan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan akidah [sebagaimana ditunjukkan dalam ayat-ayat itu], bukan aktivitas yang mengandung arti halal-haram [semata].

Ketika menafsirkan ayat tersebut sebagian ahli tafsir mengatakan: “maksud dari taghyir (merubah ciptaan Allah) adalah bahwa Allah Swt. telah menciptakan matahari, bulan, batu, api dan makhluk-makhluk lainnya, lalu orang-orang kafir merubah makhluk-makhluk tersebut dengan menjadikannya sebagai tuhan yang disembah.”
Pernyataan seperti ini dilontarkan oleh az-Zajaj. Pernyataan seperti ini didukung oleh kalimat pada ayat kedua:

“Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala.”

Ayat ini ditafsirkan oleh Abu Malik dalam riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir at-Thabari, Ibnul Mundzir dan sebagainya: “Lata, Uzza, Manat, itu semuanya adalah berhala.”
Ayat ini ditafsirkan oleh Ubay bin Ka’ab dalam riwayat yang disampaikan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Ibnul Mundzir dan selainnya: “dia berkata: dalam setiap berhala itu ada jin wanita.”
Sedangkan al-Hasan menafsirkannya: “setiap suku Arab memiliki berhala yang disembah dan diberi nama dengan wanita bani fulan, lalu Allah Swt. menurunkan ayat, “Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala.”
Penafsiran al-Hasan ini diceritakan kembali oleh Said bin Manshur, Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir.
Ad-Dhahhak berkata: “Orang-orang musyrik berkata: Sesungguhnya malaikat itu adalah anak perempuan Allah, dan tidaklah kami menyembah malaikat melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.”
Penafsiran seperti ini diceritakan kembali oleh Ibnu Abi Hatim.

Ibnu Jarir at-Thabari menukil pernyataan Qatadah yang menafsirkan ayat:

“Lalu mereka benar-benar memotongnya telinga binatang ternak.”

At-Tabtik (memotong telinga) itu dilakukan terhadap al-bahirah dan as-sa’ibah sebagai persembahan untuk berhala sembahan mereka (penyembahan berhala ataupun jin mematuhi ajaran orang-orang sesat dan menyesatkan).

Bahiirah: ialah unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil air susunya.
Saaibah: ialah unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja lantaran sesuatu nazar. Seperti, jika seorang Arab Jahiliyah akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang berat, maka ia biasa bernazar akan menjadikan untanya saaibah bila maksud atau perjalanannya berhasil dengan selamat.

Ibnu Jarir dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menafsirkan ayat:

“Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya.”

Ibnu Abbas berkata: “maksudnya adalah agama Allah.”

Penafsiran seperti ini juga diriwayatkan dari ad-Dhahak dan Said bin Jubair.

Inilah pengertian taghyir (merubah ciptaan Allah), dan inilah maksud pembahasan yang disampaikan ayat tersebut, sehingga ketika mereka mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah pengebirian, membuat tato dan termasuk memotong jenggot, jelas merupakan pernyataan yang keluar dari pengertian ayat tersebut.

Ringkas kata, ayat ini sama sekali tidak bisa dijadikan dalil pengharaman mencukur janggut.

c. Pernyataan Albani: telah dimaklumi bahwa perintah itu memberi pengertian wajib kecuali jika ada qarinah, merupakan pernyataan yang tidak bisa diterima yang mengandung ambiguitas atau ketidakjelasan.
Orang awam yang membaca frase “telah dimaklumi,” akan menyangka bahwa ini merupakan kaidah yang sudah disepakati oleh mayoritas fuqaha dan ahli ushul, karena menjadi kaidah yang sudah dimaklumi secara mutlak tanpa batasan apapun.
Padahal sebaliknya, justru kaidah ini tidak dikatakan oleh semua fuqaha dan ahli ushul.
Karena itu sebaiknya Albani mengucapkan: “termasuk perkara yang kami maklumi,” atau ”telah dimaklumi bahwa beberapa fuqaha menyatakan,” atau bahwa perintah itu menunjukkan kewajiban menurut si fulan dan si fulan, atau kalimat lain yang serupa, sehingga pembaca tidak terjebak dalam ketidakjelasan.

d. Ucapan Albani: “dan qarinah yang ada di sini justru makin menegaskan wajibnya perkara tersebut, yakni menyerupai orang-orang kafir,” dalam arti ketika sebuah perintah disertai qarinah menyerupai orang kafir, maka yang diperintahkan tersebut menjadi wajib. Albani telah menjadikan tindakan menyerupai orang kafir (at-tasyabuh bil kuffar) sebagai qarinah sebuah kewajiban, atau katakanlah qarinah yang menegaskan sebuah kewajiban. Jika demikian halnya, maka apa yang akan dia katakan terkait hadits berikut:

“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani itu tidak menyemir uban, maka hendaklah kalian berbeda dengan mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)

Hadits ini memerintahkan kita untuk menyemir uban, dan memerintahkan kita agar berbeda dengan orang kafir dalam persoalan tersebut.
Apakah berbeda-dengan-orang-kafir menjadi qarinah yang bisa mewajibkan perbuatan menyemir uban?
Saya tidak menduga ada seorangpun yang mengatakan wajibnya menyemir uban.

Apa yang akan dikatakan Albani tentang hadits yang diriwayatkan Syadad bin Aus, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Hendaknya kalian berbeda dengan Yahudi, mereka shalat tanpa menggunakan sandal dan khuff.” (HR. Abu Dawud)

Tidak ada seorang faqih (ahli fiqih) pun yang mengatakan bahwa shalat menggunakan sandal dan khuff itu wajib hukumnya.
Begitu pula menyerupai orang-orang kafir terkategorikan seperti ini.

Saya ingin mengingatkan kembali penjelasan yang sebelumnya sudah saya sampaikan tentang pembedaan dalam mengikuti (taklid) atau menyerupai orang kafir (tasyabuh) yakni antara menyerupai orang kafir dalam urusan agama dengan menyerupai mereka dalam urusan kehidupan.
Ini mengandung arti, jika orang-orang kafir membiarkan uban mereka sebagai bagian dari ibadah (ta’abudiy) agamanya lalu kita menyerupai mereka dalam persoalan tersebut maka saat itu tasyabuh (menyerupai orang kafir) dalam persoalan tersebut menjadi haram hukumnya, dan hal itu layak menjadi qarinah hukum wajib.
Begitu pula ketika orang kafir mencukur janggut mereka sebagai bagian dari ibadah (ta’abudiy) agamanya, lalu kita mencukur janggut untuk menyerupai mereka dalam agama dan ibadah mereka, maka hal itu menjadi haram hukumnya, dan tentu hal ini pun layak menjadi qarinah hukum wajib.
Tetapi faktanya tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa orang kafir mencukur janggutnya sebagai bagian dari ibadah agama maupun kepercayaan mereka, sehingga hal itu tidak layak menjadi qarinah hukum wajib.
Dengan demikian, dalil kedua dan ketiga pun tidak layak menjadi dalil yang mewajibkan melebatkan dan memanjangkan janggut.

e. Ucapan Albani: “Perkara yang semakin memastikan kewajiban (memanjangkan janggut) ini adalah: Persoalan menyerupai wanita,” lalu beliau menyampaikan hadits menyerupai wanita, setelah itu dia berkomentar: “Tidak samar lagi .…maka ini menjadi kondisi yang paling menyerupai wanita,” sehingga Albani berpendapat dan memutuskan bahwa memotong janggut itu adalah sesuatu yang menyerupai wanita, dan secara berlebihan dia ungkapkan: “merupakan kondisi yang paling menyerupai wanita.” Untuk membantah pernyataan beliau ini bisa dilakukan melalui beberapa sisi:

1. Sesungguhnya maksud menyerupai wanita adalah menyerupai wanita secara mutlak, bukan menyerupai wanita-wanita tertentu, dan (maksud menyerupai wanita adalah) keluar dari karakteristik lelaki sebagai kaum lelaki, bukan keluar dari karakteristik lelaki Muslim atau dari karakteristik lelaki tertentu, karena hadits menyatakan:

“lelaki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai laki-laki.”

Hadits tersebut telah menggeneralisir kaum lelaki dan wanita, dan tidak mengkhususkannya. Artinya hadits tersebut mengatakan bahwa lelaki yang menyerupai wanita itu akan dilaknat. Ini terjadi ketika seorang lelaki dalam tindakannya telah keluar dari karakter atau sifat kaum lelaki yang sifatnya mutlak, dan menyerupai umumnya kaum wanita.
Inilah pengertian hadits ini, tidak ada takhsis (pengkhususan) dan taqyid (pembatasan) di dalamnya.
Pertanyaannya, apakah orang yang mencukur jenggotnya telah keluar dari karakter mutlak kaum lelaki? Jawaban yang menafikannya berasal dari fakta dan dari nash-nash hadits.

Menurut fakta, sebagian besar lelaki di dunia ini mencukur janggut mereka, karena itu, mencukur janggut merupakan salah satu sifat atau karakter yang umum ada pada kaum lelaki. Tidak ada seorangpun yang menyatakan bahwa jutaan orang kaum lelaki kehilangan karakter kelelakiannya sehingga menyerupai kaum wanita ketika mereka mencukur janggutnya.

Sedangkan hadits menyatakan: “hendaklah kalian berbeda dengan orang Majusi,” artinya hendaknya kalian berbeda dengan kaum lelaki Majusi dengan membiarkan janggut.
Mafhum dari hadits ini adalah bahwa kaum lelaki Majusi suka mencukur janggut mereka.
Mafhumnya juga menunjukkan bahwa orang yang mencukur janggutnya itu menyerupai lelaki Majusi, dan ini menunjukkan bahwa mencukur janggut itu tidak menyerupai wanita, sebab sejauh ini (mencukur janggut) dikatakan sebagai menyerupai kaum lelaki Majusi, bahkan hadits tersebut justru membatasi penyerupaan tersebut hanya dengan kaum lelaki Majusi.
Tidak disinggung sedikitpun penyerupaan dengan kaum wanita.
Jika demikian halnya, apakah benar orang yang mencukur jenggotnya itu menyerupai wanita?
Bagaimana dia (Albani) bisa melegitimasi diri melontarkan sebuah pernyataan yang justru bertentangan dengan apa yang ditunjukkan oleh nash hadits dan fakta yang ada?

2. Sesungguhnya tidak disebut menyerupai wanita melainkan jika dengan penyerupaan itu salah satu sifat (karakter) lelaki ternafikan dari sang lelaki, dan kemudian dilekati oleh salah satu sifat (karakter) wanita.
Misalnya kaum wanita memakai kalung dan gelang, sedangkan kaum lelaki tidak memakainya. Ini bersifat umum di setiap waktu, kaum dan bangsa, -kecuali yang dilakukan oleh suku-suku primitif yang tidak memperhatikan perbuatan yang dilakukannya- di mana lelaki yang memakai kalung dan gelang telah kehilangan salah satu sifatnya sebagai lelaki, dan dilekati sifat atau karakter yang lazim ada pada kaum wanita, sehingga memakai kalung dan gelang dipandang sebagai tasyabuh (tindakan menyerupai).
Sedangkan bercelak merupakan sifat atau karakter yang ada pada lelaki dan wanita, sehingga orang yang bercelak tidak dipandang menyerupai wanita, karena dia tidak meninggalkan salah satu sifat atau karakter lelaki.
Demikian pula halnya dengan mencukur janggut. Mencukur janggut merupakan salah satu sifat atau karakter yang populer ada pada kaum lelaki, sehingga orang yang mencukur janggutnya tidak dipandang sebagai orang yang kehilangan sifat atau karakternya sebagai seorang lelaki, seraya dilekati sifat kaum wanita. Artinya tidak dipandang menyerupai kaum wanita.
Orang yang memakai wewangian dipandang melakukan suatu perbuatan yang sama-sama bisa dilakukan kaum lelaki dan wanita, sehingga lelaki yang memakai wewangian tidak dipandang menyerupai wanita. Seperti itulah tasyabuh (menyerupai) wanita itu semestinya dipahami.
Sesungguhnya mencukur janggut itu merupakan salah satu karakter yang lazim dilakukan kaum lelaki di masa dahulu dan sekarang. Tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa jutaan lelaki di dunia yang mencukur janggutnya itu menyerupai wanita, bahkan di dalam hadits Rasulullah Saw. khaalifuuhum (hendaklah kalian berbeda dengan mereka) dapat dipahami bahwa sebelum datangnya perintah tersebut kaum Muslim itu tidak berbeda dengan mereka (orang kafir-pen.), melainkan sama dengan mereka ketika mereka mencukur janggutnya, dan mereka adalah kaum lelaki yang tidak menyerupai wanita sama sekali.

3. Ketika nampak dengan jelas bahwa orang yang mencukur janggutnya itu tidak kehilangan karakter atau ciri lelaki sehingga menyerupai wanita, maka batallah dalil terakhir yang digunakan Syaikh Albani dalam mengharamkan mencukur janggut.

f. Tinggallah kini satu poin yang berkaitan dengan merubah ciptaan Allah. Saya ingin membahasnya dari sudut pandang yang lain.

Syaikh Albani berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:

“Allah Swt. melaknat wanita yang ditato dan wanita yang diminta ditato, wanita yang mencukur habis alis dan merenggangkan gigi untuk kecantikan dengan merubah ciptaan Allah, mengapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat Nabi Saw. padahal hal itu ada termaktub dalam kitabullah.” (HR. Bukhari)

untuk menyatakan bahwa merubah ciptaan Allah itu menjadi ‘illat pengharaman perkara yang disebutkan dalam hadits tersebut, lalu dia menganalogikannya dengan mencukur janggut, karena janggut itu termasuk tindakan menghias diri dengan cara merubah ciptaan Allah, sehingga termasuk perkara yang dilaknat tadi. Dia kemudian menegaskan hal itu dengan menyatakan: “tidak ragu lagi,” dan menyatakan: “begitu pula tidak samar lagi,” seolah-olah tidak ada seorangpun yang menentang (berbeda pendapat dengan) pendapatnya itu.
Padahal dia sendiri telah menyatakan bahwa merubah ciptaan Allah itu tidak seluruhnya haram. Kalimat: “tiada lain agar beberapa perkara lain tidak sembarang dipandang termasuk ke dalam tindakan merubah yang sudah disebutkan, seperti mencukur bulu kemaluan dan sebagainya yang memang diijinkan oleh Allah Swt.,” yang diucapkannya itu menunjukkan bahwa ada tindakan merubah ciptaan Allah yang diharamkan, dan ada pula yang tidak diharamkan.
Jika kita berangkat dari kaidah yang dia buat ini, maka kita katakan: Kaidah ini telah membatalkan pernyataan dia sendiri bahwa “merubah ciptaan Allah” itu menjadi ‘illat pengharaman. Hal ini karena menurut ilmu ushul ada dan tidak adanya ma’lul (hukum) senantiasa tergantung pada ‘illat-nya.
Ini meniscayakan bahwa ‘illat ini (yakni merubah ciptaan Allah) akan mengharamkan setiap perbuatan yang mengandung unsur merubah ciptaan Allah, dan ‘illat ini tidak akan mengharamkan perbuatan apapun yang tidak mengandung unsur merubah ciptaan Allah. Inilah pengertian dan tuntutan ‘illat.
Ketika ada beberapa perbuatan yang mengandung unsur merubah ciptaan Allah tetapi malah dibolehkan oleh syara, maka ini menunjukkan bahwa merubah ciptaan Allah itu bukan ‘illat, karena ‘illat itu selamanya bersifat umum, sehingga ketika satu kali saja absen (tidak berlaku) maka batallah dari posisinya sebagai 'illat.
Ketika syara itu sendiri tidak memberlakukan kaidah merubah ciptaan Allah dalam mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan mencukur rambut, maka ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa merubah ciptaan Allah itu bukanlah 'illat pengharaman mencukur jenggot.
Mengenai pernyataan: sesungguhnya nash-nash telah mengecualikan hukum-hukum ini, maka pernyataan seperti ini bukan jawaban untuk pembahasan ‘illat. Dari pengantar ini kita beralih untuk menjelaskan hadits:

“Allah Swt. melaknat wanita yang ditato... merubah ciptaan Allah…”

Hadits ini menyebutkan bahwa wanita yang ditato, wanita yang minta ditato, wanita yang mencukur habis alis, dan merenggangkan gigi untuk kecantikan, dengan merubah ciptaan Allah itu dilaknat. Dan ketika taghyir (merubah ciptaan Allah) itu beberapa kali tidak berlaku, maka terbukti sudah bahwa taghyir itu bukan ‘illat.
Kaidah ini kemudian akan ditarik pada setiap pembahasan yang di antaranya adalah hadits ini, sehingga merubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah) tidak bisa menjadi 'illat pengharaman sesuatu yang disebutkan dalam hadits ini, dalam arti pengharaman ditujukan pada apa-apa yang disebutkan hadits ini saja, bukan didasarkan pada ‘illat taghyir (merubah ciptaan Allah).
Dengan demikian, taghyir (merubah ciptaan Allah) itu semata-mata disebutkan hanya sebagai sifat yang biasa melekat pada beberapa perbuatan tersebut. Seperti ini pulalah penjelasan yang disampaikan Ibnu Hajar.

Pertanyaannya adalah: untuk apa sifat ini disebutkan dalam hadits tersebut? Jawabannya adalah penyebutan sifat di dalam hadits ini berfungsi sebagai syarat (qayid) atau batasan, yang dengannya beberapa perbuatan yang disebutkan di dalamnya bisa diharamkan.
Artinya, ditato, mencukur alis dan merenggangkan gigi, tidak menjadi haram, kecuali jika sampai pada batasan taghyir (merubah ciptaan Allah).
Jika tidak sampai pada batasan dan ukuran ini maka perbuatan-perbuatan tersebut tidak haram, hukumnya mubah saja.
Ketika seorang wanita mencabut beberapa lembar bulu alisnya, atau membuat satu atau dua titik tato pada wajah atau tangannya, atau sedikit mengikir salah satu giginya, maka saat itu wanita tersebut tidak dipandang telah melakukan keharaman, karena kadarnya tidak sampai pada batasan taghyir (merubah ciptaan Allah).
Inilah maksud disebutkannya sifat taghyir dalam hadits tersebut, yakni berfungsi untuk menetapkan batasan atau ukuran yang menyebabkan beberapa perbuatan tersebut bisa dikategorikan perbuatan yang diharamkan, bukan berfungsi sebagai ‘illat atau sebab pengharaman.

Selain itu, hadits ini hanya menyeru kaum wanita saja, tidak menyeru kaum lelaki. Kaidah bahasa dan kaidah syara menunjukkan bahwa seruan pada mudzakar (jenis lelaki) itu adalah seruan untuk kaum lelaki dan wanita, tetapi seruan pada muannats (jenis perempuan) itu hanya seruan untuk kaum wanita saja. Ketika al-Qur’an menggunakan bentuk mudzakar:

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (TQS. al-Baqarah [2]: 183)

Maka perintah berpuasa ini ditujukan pada kaum lelaki dan juga wanita.
Dan ketika Allah Swt. berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (TQS al-Ahzab [33]: 70)

Maka perintah bertakwa dan mengatakan perkataan yang benar, juga ditujukan pada lelaki dan wanita.

Tetapi ketika al-Qur'an menggunakan bentuk muannats:

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” (TQS. al-Ahzab [33]: 33)

Maka perintah dalam ayat ini tidak mencakup kaum lelaki, artinya, ayat ini tidak memerintahkan kaum lelaki untuk tetap berada di rumah.
Dan ketika al-Qur'an menyebutkan:

“Dan janganlah menampakkan perhiasannya.” (TQS. an-Nur [24]: 31)

Maka ayat ini tidak melarang kaum lelaki menampakkan perhiasan.
Dan ketika al-Qur’an menyebutkan:

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (TQS. al-Baqarah [2]: 228)

Maka perintah dalam ayat ini pun tidak mencakup kaum lelaki, artinya, kaum lelaki tidak diperintahkan untuk menunggu setelah mentalak.

Hadits Nabi Saw. ketika menyebutkan:

“Kalian harus berada di pinggiran jalan.” (HR. Abu Dawud)

Maka perintah dalam hadits ini hanya berkaitan dengan kaum wanita, tidak mencakup kaum lelaki.
Demikianlah perkara yang sudah diketahui dan dimaklumi kaum Muslim.

Dengan demikian hadits:

“Allah Swt. melaknat yang wanita ditato.”

Harus dipahami dari sisi tersebut di atas. Hadits ini berkaitan dengan kaum wanita. Hadits ini tidak mengandung pengertian bahwa Allah Swt. melaknat kaum lelaki yang ditato, sehingga dari mana kesimpulan: “wanita-wanita yang merubah ciptaan Allah” tersebut mencakup kaum lelaki?
Sebenarnya hadits ini berkaitan dengan kaum wanita, sehingga tidak benar jika hadits ini ditarik-tarik untuk kaum lelaki berdasarkan sebab yang sama.
Berdasarkan dua sebab inilah, alasan tidak adanya ‘illat merubah ciptaan Allah, dan alasan bahwa nash tersebut hanya dikhususkan untuk kaum wanita, sehingga tidak boleh dilakukan analogi (qiyas) terhadapnya, dan tidak benar memasukkan dan menyertakan kaum lelaki ke dalam hadits ini secara mutlak.

Demikianlah, empat alasan kewajiban memanjangkan jenggot rontok berguguran, dan tinggallah kini hukum yang shahih yang telah disebutkan di atas, yakni bahwa memanjangkan jenggot itu dihukumi sunah saja, bukan wajib.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam