Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 29 Agustus 2017

Dalil Melebatkan Janggut



Melebatkan Janggut

Terdapat beberapa hadits terkait melebatkan dan memanjangkan janggut, di antaranya:

1. Hadits Aisyah di atas, di dalamnya disebutkan:

“Sepuluh perkara yang termasuk fitrah: memotong kumis, memanjangkan janggut.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan an-Nasai)

2. Hadits Ibnu Umar yang juga telah kami sebutkan, di dalamnya disebutkan:

“Hendaklah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, lebatkanlah janggut.” (HR. Bukhari)

Muslim meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Hendaklah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan lebatkanlah janggut.”

3. Hadits Abu Hurairah yang juga telah kami sebutkan di atas, di dalamnya disebutkan:

“Cukurlah kumis dan panjangkanlah janggut, hendaknya kalian berbeda dengan orang-orang Majusi.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Semua riwayat ini menggunakan beberapa lafadz berikut: i'faa, waffiruu, aufuu, arkhuu, yang semuanya mengandung satu makna, yakni membiarkan janggut memanjang tanpa dicukur, dipangkas atau dipotong, yakni perlakukanlah janggut dengan perlakuan yang berbeda sama sekali dengan yang kita lakukan terhadap kumis.
Memotong janggut termasuk kebiasaan orang kafir (ketika itu) sehingga as-Syari' melarang hal itu. Dia Swt. memerintahkan kita untuk melebatkan dan memanjangkan janggut dalam rangka menyelisihi perbuatan orang kafir.

Memanjangkan dan melebatkan jenggot itu salah satu sunanul fithrah, hukumnya sunah muakkadah, persis sama dengan hukum memendekkan kumis.
Al-Qadhi Iyadh berkata: Adalah dimakruhkan mencukur janggut, memotongnya dan menggundulinya.
As-Syaukani berkata ketika menjelaskan hadits sepuluh perkara yang termasuk fitrah: sunanul fithrah yang sepuluh ini tidak wajib hukumnya.
Syamsuddin bin Qudamah dalam kitab as-Syarhu al-Kabir menyatakan: “dianjurkan untuk memanjangkan dan melebatkan janggut.”
Pendapat saya terkait memanjangkan janggut ini persis sama dengan apa yang telah saya paparkan terkait memendekkan kumis. Hukum dan qarinah keduanya sama, walaupun penekanan terhadap tindakan memendekkan kumis lebih besar daripada terhadap memanjangkan janggut. Hal ini karena ada kalimat di dalam hadits:

“Barangsiapa yang tidak menggunting kumisnya maka dia bukan golongan kami.”

Penekanan seperti ini justru tidak ditemukan dalam persoalan memanjangkan janggut.

Adalah sunah membiarkan janggut hingga tampak dan menonjol di wajah, dan tidak ditetapkan batasan maksimal untuk ukuran panjangnya.
Apa yang dilakukan Ibnu Umar dengan memotong janggutnya agar tidak lebih dari kepalan tangan bisa dijadikan pegangan.
Bukhari berkata: Ketika berhaji atau melakukan umrah, Ibnu Umar memegang janggutnya, yang lebih dari kepalan tangannya kemudian dipotongnya. Perbuatan Ibnu Umar ini bukanlah dalil, melainkan dipandang sebagai satu hukum syara yang boleh diikuti.
Sebaliknya, tidak ada tuntutan atau perintah untuk memendekkannya sampai nampak terlihat warna kulit di baliknya. Karena itu, yang menjadi patokan dalam persoalan ini adalah ukuran janggut yang sedang atau wajar. Minimal menyembunyikan warna kulit wajah yang ada di balik bulu janggut, setelah itu dia boleh memendekkan ataupun membiarkannya panjang dengan ukuran lebih dari itu.

Persoalan memanjangkan dan melebatkan janggut ini diperhatikan oleh penganut sufi dan para syaikh secara tidak wajar, bahkan bisa dikatakan berlebihan, sampai-sampai mereka memandang orang yang memotong janggut itu sebagai orang fasik yang tidak bisa diterima kesaksiannya dan tidak boleh dijadikan imam. Seolah-olah orang yang memotong janggut itu telah melakukan satu kemaksiatan yang sangat besar, padahal hadits-hadits hanya menyebutkan memanjangkan dan melebatkan janggut itu sebagai salah satu dari sepuluh sunanul fithrah, dan hanya menganjurkan memanjangkan janggut dalam rangka menyelisihi orang-orang musyrik, persis sama dengan anjuran memendekkan kumis. Walaupun begitu, perhatian para syaikh tersebut terhadap sepuluh perkara sunan ul-fithrah yang lainnya tidak sebesar perhatian mereka terhadap memanjangkan dan melebatkan janggut.
Pada prinsipnya, persoalan ini jangan melebihi ukuran atau kedudukannya yang sebenarnya. Pernyataan yang dilontarkan sebagian mereka bahwa memanjangkan dan melebatkan jenggot itu merupakan tanda kejantanan dan superioritas merupakan pernyataan yang keliru dan tidak benar sama sekali.

Contoh penekanan berlebih dalam persoalan memanjangkan janggut ini adalah pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Albani yang sengaja saya nukil dari pernyataan beliau yang bisa ditemukan dalam kitabnya Adab az-Zafaf, kemudian saya akan membahasnya secara lebih rinci:
[Memotong janggut. Kelima: sama buruknya, jika tidak dikatakan paling buruk menurut orang-orang yang memiliki watak yang baik, adalah cobaan terbesar bagi kaum lelaki yaitu berhias dengan cara mencukur janggut karena mengikuti orang kafir Eropa, hingga menjadi aib tersendiri bagi pengantin yang memasuki hari pernikahan jika tidak mencukur janggutnya. Dalam perbuatan seperti itu terdapat beberapa pelanggaran: a. Merubah ciptaan Allah: Allah Swt. berfirman tentang setan: “Yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan: ”Aku benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untukku). Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya.” Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (TQS. an-Nisa [4]: 118-119)
Ini merupakan nash yang jelas bahwa merubah ciptaan Allah tanpa ijin dari-Nya merupakan bentuk ketaatan terhadap perintah setan dan pembangkangan terhadap Allah yang Maha Rahman. Maka tidaklah salah ketika Rasulullah Saw. melaknat orang-orang yang suka merubah ciptaan Allah untuk mempercantik diri sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan tidak ragu lagi bahwa memotong janggut untuk mempertampan diri itu termasuk perkara dilaknat yang disebutkan tadi karena jelas memiliki kesamaan ‘illat. Saya telah tegaskan: tanpa ijin dari Allah Swt., tiada lain agar beberapa perkara lain tidak sembarang dipandang termasuk ke dalam taghyir (tindakan merubah) yang sudah disebutkan, seperti mencukur bulu kemaluan dan sebagainya yang memang diijinkan oleh Allah Swt., bahkan dianjurkan dan diwajibkan-Nya. b. Menyalahi perintah Rasulullah Saw. yakni sabda beliau Saw.: “Pendekkanlah kumis, dan biarkanlah janggut tetap panjang.” Telah diketahui bahwa perintah itu memberi pengertian wajibnya (perkara yang diperintahkan) kecuali dengan qarinah, dan qarinah yang ada di sini justru makin menegaskan wajibnya perkara tersebut. Beberapa qarinah ini adalah: c. Tindakan menyerupai orang-orang kafir. Rasulullah Saw. bersabda: “Pangkaslah kumis dan panjangkanlah janggut, hendaknya kalian berbeda dengan orang-orang Majusi.” (HR. Muslim dan Ahmad) Perkara yang semakin memastikan kewajiban ini adalah: d. Menyerupai wanita. Rasulullah Saw. melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai laki-laki. Tidak samar lagi bahwa ketika seorang lelaki memotong kumisnya -padahal kumis itu adalah sesuatu yang dijadikan Allah Swt. sebagai pembeda antara dirinya dengan wanita- maka hal itu menjadi kondisi yang paling menyerupai wanita. Semoga saja dengan dalil-dalil yang kami sebutkan bisa meyakinkan orang-orang yang sedang diuji dengan berbagai rupa pembangkangan ini. Semoga Allah mengampuni kita dan mereka semua dari segala sesuatu yang tidak disukai-Nya dan tidak diridhai-Nya.] Dalam catatan kaki buku tersebut Albani kemudian melontarkan pernyataan sebagai berikut: Tidak diragukan lagi bagi orang yang fitrahnya bersih dan wataknya baik, keempat dalil ini saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa memanjangkan dan melebatkan janggut itu wajib, dan memotong atau mencukurnya itu haram, maka bagaimana bisa kedua hal yang bertentangan itu bisa dikompromikan?

Untuk membantah pernyataan Albani di atas bisa dilakukan melalui beberapa sisi:

a. Saya soroti ucapan Albani: berhias dengan cara mencukur janggut karena mengikuti orang kafir Eropa.
Albani telah menetapkan mencukur janggut sebagai cara berhias diri tetapi dia tidak menyebutkan bahwa memanjangkan janggut merupakan cara berhias diri juga, karena bisa jadi memanjangkan janggut itu menjadikan si lelaki lebih tampan daripada memendekkannya.
Kemudian Albani memandang berhias dengan cara mencukur janggut itu termasuk sikap taklid (mengikuti) orang-orang kafir. Pernyataan Albani ini mendorong kami untuk menjelaskan pengertian mengikuti (taklid) orang-orang kafir, dan hukum taklid itu sendiri.

Mengikuti orang kafir itu terbagi dua kategori: mengikuti orang kafir dalam urusan agama, dan mengikuti orang kafir dalam urusan kehidupan.
Mengikuti perbuatan dan urusan orang kafir yang berhubungan dengan agama mereka merupakan sikap taklid dalam urusan agama (syu'un ad-din), sedangkan mengikuti perbuatan dan urusan orang kafir dalam perkara yang tidak berhubungan dengan agama bagi mereka merupakan taklid dalam urusan kehidupan (syu'un al-hayat).
Perbuatan yang termasuk taklid (mengikuti) orang kafir dalam urusan agama mereka, jelas haram hukumnya, sehingga mengambil sikap yang bertentangan dengan perbuatan dan urusan mereka tersebut menjadi satu kewajiban.
Adapun perbuatan yang terkategorikan mengikuti orang kafir dalam urusan kehidupan, maka tidak diharamkan dan tidak berdosa. Walaupun, lebih baik perkara tersebut ditinggalkan, kecuali jika urusan kehidupan tersebut memang telah diharamkan dalam agama kita, maka saat itu haram pula hukumnya.
Dengan demikian, mengikuti orang kafir dengan memakai seragam dan dasi, mengikuti orang kafir cara memberikan topi pada tentara, mengikuti orang kafir menyambut kepala negara asing dengan cara melepaskan sebelas kali tembakan salvo dan membariskan pasukan pengawal kehormatan menyambutnya, mengikuti orang kafir memulai rancangan tempat tinggal dengan cara [acara] gunting pita, dan contoh lainnya yang serupa merupakan taklid (mengikuti orang kafir) yang tidak berdosa dan tidak haram, karena perbuatan dan perkara tersebut sama sekali bukan berasal dari agama mereka, dan mereka pun melakukan dan mengadopsi semua itu bukan sebagai bentuk kepatuhan pada keyakinan mereka, selain memang semua itu tidak termasuk perkara yang diharamkan oleh syariat agama kita.
Jika demikian halnya, maka mengikuti orang kafir dalam persoalan seperti itu tidaklah haram hukumnya, walaupun memang lebih baik ditinggalkan. Sedangkan mengikuti orang kafir dengan –misalnya- menjadikan proses belajar-mengajar bercampur-baur (lelaki dan wanita) sedemikian rupa di sekolah dan perguruan tinggi, dan mengikuti orang kafir yang menjadikan kaum wanita berpenampilan mencolok dan menarik perhatian, itu jelas diharamkan dan tidak boleh hukumnya, walaupun hal itu bukan termasuk urusan agama bagi mereka, tetapi bagi kita ikhtilath (campur baur) dan tabaruj (wanita berpenampilan mencolok) itu diharamkan, sehingga hukumnya pun tetap haram.

Perihal mengikuti orang kafir dengan memakai pakaian yang khas dipakai oleh para pastor mereka, dan mengangkat rohaniawan (rijal ad-din) di antara kita, mengikuti orang kafir dengan membuat pohon natal, mengikuti orang kafir dengan membuat peti mayat, dan hal serupa lainnya adalah diharamkan dan tidak boleh hukumnya. Kita wajib berbeda dengan mereka dalam semua perkara seperti itu, karena semua perbuatan dan perkara tersebut bagi mereka dipandang sebagai urusan keyakinan dan agama, sehingga mengikuti orang kafir dalam kekufuran mereka dan kedudukan mereka sebagai orang kafir itu haram hukumnya.
Adapun mengikuti orang kafir dalam perkara selainnya tidaklah diharamkan -kecuali memang perkaranya terkategorikan perkara haram bagi kita- perkara seperti itu lebih baik ditinggalkan.
Ketika seorang Muslim mengikuti orang kafir mencukur janggutnya karena mengikuti orang Eropa, tidaklah terkategorikan mengikuti orang kafir dalam kedudukannya sebagai orang kafir, juga tidak terkategorikan mengikuti orang kafir dalam salah satu urusan agama mereka.
Hal itu hanya terkategorikan sebagai penampilan duniawi semata yang tidak ada kaitannya dengan agama, sehingga mengikuti orang kafir dalam hal seperti itu tidaklah haram hukumnya.
Begitu pula dengan perbuatan dan perkara lainnya yang tidak berkaitan dengan urusan agama, sehingga nampak jelas bahwa mengikuti orang Eropa dengan mencukur jenggot itu tidak haram hukumnya.

Mengenai ucapan Albani: hingga menjadi aib tersendiri bagi pengantin yang memasuki hari pernikahan jika tidak mencukur janggutnya. Ungkapan seperti ini terlalu berlebihan. Aib itu adalah sesuatu atau perbuatan yang menjadikan pemilik atau pelakunya merasa malu sehingga dia merasa tercemar dan terhina, dan hal seperti ini tidak ditemukan dalam perkara ini.

b. Sekarang kita akan membahas empat alasan yang disampaikan Albani ketika dia menyatakan: sesungguhnya setiap dalil dari empat dalil ini cukup untuk membuktikan kewajiban memanjangkan janggut.
Ayat yang dikutip oleh Syaikh Albani yang menurutnya menjadi dalil yang layak untuk mengharamkan mencukur janggut itu terdapat dalam surat an-Nisa. Agar jelas bagi kita apakah ayat ini menunjukkan kebenaran klaimnya ataukah tidak, maka kita harus menempatkannya kembali pada posisinya semula dalam surat tersebut, lalu kita mengambil kesimpulan darinya. Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka. Yang dilaknati Allah, dan setan itu mengatakan: “Aku benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untukku). Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya binatang ternak, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya.” Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. Mereka itu tempatnya Jahannam dan mereka tidak memperoleh tempat lari dari padanya. (TQS. an-Nisa [4]: 116-121)

Lihatlah setiap ayatnya, maka Anda akan melihatnya dengan jelas.
Ayat pertama berbicara tentang persoalan syirik yang merupakan bagian dari pembahasan akidah.
Ayat kedua berbicara tentang masalah berhala dan setan, dan ini merupakan bagian dari persoalan akidah.
Ayat ketiga berbicara tentang upaya setan menyesatkan sekelompok orang yang beriman menjadi bagian dari orang-orang kafir, dan ini termasuk persoalan akidah.
Ayat keempat berbicara tentang persoalan memotong telinga binatang ternak sebagai bentuk taqarrub (upaya mendekatkan diri) kepada berhala, dan ini pun termasuk persoalan akidah.
Ayat kelima berbicara tentang janji dan tipu daya setan, dan ini termasuk persoalan akidah.
Ayat keenam berbicara tentang persoalan akidah, karena membahas orang yang masuk dan kekal di dalam Neraka Jahanam.

Kedua, ayat-ayat ini dengan jelas berbicara tentang masalah kesesatan, jelas disebutkan di bagian awal ayat yang keempat:

“Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka.”

Kesesatan (ad-dhalal) itu kebalikan dari petunjuk (al-huda), dan ini merupakan salah satu konsep dari akidah. Orang yang sesat itu adalah orang yang menyalahi akidah, baik secara keseluruhan, dalam persoalan prinsip ataupun dalam masalah cabang akidah.
Adapun orang yang menyalahi hukum syara [namun masih meyakini hukum syara’], maka disebut fasik, orang yang bermaksiat, orang yang fajir atau berdosa saja. Pembedaan ini harus betul-betul dipahami, dan saya tidak akan menyampaikan ayat-ayat yang menunjukkan pembedaan tersebut, sehingga kami persilakan kepada para pembaca untuk merujuknya sendiri.

Dengan demikian, ayat yang dikutip oleh Albani itu berbicara tentang persoalan akidah, bukan tentang persoalan hukum, sehingga masalah-masalah akidah tidak bisa dianalogikan kepada masalah-masalah hukum, dan begitu pula sebaliknya, sehingga kedua persoalan tersebut berbeda satu sama lain. Karena itu, firman Allah Swt.:

“Lalu benar-benar mereka merubahnya,”

harus dibatasi pada persoalan akidah dan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan akidah [sebagaimana ditunjukkan dalam ayat-ayat itu], bukan aktivitas yang mengandung arti halal-haram [semata].

Ketika menafsirkan ayat tersebut sebagian ahli tafsir mengatakan: “maksud dari taghyir (merubah ciptaan Allah) adalah bahwa Allah Swt. telah menciptakan matahari, bulan, batu, api dan makhluk-makhluk lainnya, lalu orang-orang kafir merubah makhluk-makhluk tersebut dengan menjadikannya sebagai tuhan yang disembah.”
Pernyataan seperti ini dilontarkan oleh az-Zajaj. Pernyataan seperti ini didukung oleh kalimat pada ayat kedua:

“Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala.”

Ayat ini ditafsirkan oleh Abu Malik dalam riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir at-Thabari, Ibnul Mundzir dan sebagainya: “Lata, Uzza, Manat, itu semuanya adalah berhala.”
Ayat ini ditafsirkan oleh Ubay bin Ka’ab dalam riwayat yang disampaikan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Ibnul Mundzir dan selainnya: “dia berkata: dalam setiap berhala itu ada jin wanita.”
Sedangkan al-Hasan menafsirkannya: “setiap suku Arab memiliki berhala yang disembah dan diberi nama dengan wanita bani fulan, lalu Allah Swt. menurunkan ayat, “Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala.”
Penafsiran al-Hasan ini diceritakan kembali oleh Said bin Manshur, Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir.
Ad-Dhahhak berkata: “Orang-orang musyrik berkata: Sesungguhnya malaikat itu adalah anak perempuan Allah, dan tidaklah kami menyembah malaikat melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.”
Penafsiran seperti ini diceritakan kembali oleh Ibnu Abi Hatim.

Ibnu Jarir at-Thabari menukil pernyataan Qatadah yang menafsirkan ayat:

“Lalu mereka benar-benar memotongnya telinga binatang ternak.”

At-Tabtik (memotong telinga) itu dilakukan terhadap al-bahirah dan as-sa’ibah sebagai persembahan untuk berhala sembahan mereka (penyembahan berhala ataupun jin mematuhi ajaran orang-orang sesat dan menyesatkan).

Bahiirah: ialah unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil air susunya.
Saaibah: ialah unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja lantaran sesuatu nazar. Seperti, jika seorang Arab Jahiliyah akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang berat, maka ia biasa bernazar akan menjadikan untanya saaibah bila maksud atau perjalanannya berhasil dengan selamat.

Ibnu Jarir dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menafsirkan ayat:

“Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya.”

Ibnu Abbas berkata: “maksudnya adalah agama Allah.”

Penafsiran seperti ini juga diriwayatkan dari ad-Dhahak dan Said bin Jubair.

Inilah pengertian taghyir (merubah ciptaan Allah), dan inilah maksud pembahasan yang disampaikan ayat tersebut, sehingga ketika mereka mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah pengebirian, membuat tato dan termasuk memotong jenggot, jelas merupakan pernyataan yang keluar dari pengertian ayat tersebut.

Ringkas kata, ayat ini sama sekali tidak bisa dijadikan dalil pengharaman mencukur janggut.

c. Pernyataan Albani: telah dimaklumi bahwa perintah itu memberi pengertian wajib kecuali jika ada qarinah, merupakan pernyataan yang tidak bisa diterima yang mengandung ambiguitas atau ketidakjelasan.
Orang awam yang membaca frase “telah dimaklumi,” akan menyangka bahwa ini merupakan kaidah yang sudah disepakati oleh mayoritas fuqaha dan ahli ushul, karena menjadi kaidah yang sudah dimaklumi secara mutlak tanpa batasan apapun.
Padahal sebaliknya, justru kaidah ini tidak dikatakan oleh semua fuqaha dan ahli ushul.
Karena itu sebaiknya Albani mengucapkan: “termasuk perkara yang kami maklumi,” atau ”telah dimaklumi bahwa beberapa fuqaha menyatakan,” atau bahwa perintah itu menunjukkan kewajiban menurut si fulan dan si fulan, atau kalimat lain yang serupa, sehingga pembaca tidak terjebak dalam ketidakjelasan.

d. Ucapan Albani: “dan qarinah yang ada di sini justru makin menegaskan wajibnya perkara tersebut, yakni menyerupai orang-orang kafir,” dalam arti ketika sebuah perintah disertai qarinah menyerupai orang kafir, maka yang diperintahkan tersebut menjadi wajib. Albani telah menjadikan tindakan menyerupai orang kafir (at-tasyabuh bil kuffar) sebagai qarinah sebuah kewajiban, atau katakanlah qarinah yang menegaskan sebuah kewajiban. Jika demikian halnya, maka apa yang akan dia katakan terkait hadits berikut:

“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani itu tidak menyemir uban, maka hendaklah kalian berbeda dengan mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)

Hadits ini memerintahkan kita untuk menyemir uban, dan memerintahkan kita agar berbeda dengan orang kafir dalam persoalan tersebut.
Apakah berbeda-dengan-orang-kafir menjadi qarinah yang bisa mewajibkan perbuatan menyemir uban?
Saya tidak menduga ada seorangpun yang mengatakan wajibnya menyemir uban.

Apa yang akan dikatakan Albani tentang hadits yang diriwayatkan Syadad bin Aus, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Hendaknya kalian berbeda dengan Yahudi, mereka shalat tanpa menggunakan sandal dan khuff.” (HR. Abu Dawud)

Tidak ada seorang faqih (ahli fiqih) pun yang mengatakan bahwa shalat menggunakan sandal dan khuff itu wajib hukumnya.
Begitu pula menyerupai orang-orang kafir terkategorikan seperti ini.

Saya ingin mengingatkan kembali penjelasan yang sebelumnya sudah saya sampaikan tentang pembedaan dalam mengikuti (taklid) atau menyerupai orang kafir (tasyabuh) yakni antara menyerupai orang kafir dalam urusan agama dengan menyerupai mereka dalam urusan kehidupan.
Ini mengandung arti, jika orang-orang kafir membiarkan uban mereka sebagai bagian dari ibadah (ta’abudiy) agamanya lalu kita menyerupai mereka dalam persoalan tersebut maka saat itu tasyabuh (menyerupai orang kafir) dalam persoalan tersebut menjadi haram hukumnya, dan hal itu layak menjadi qarinah hukum wajib.
Begitu pula ketika orang kafir mencukur janggut mereka sebagai bagian dari ibadah (ta’abudiy) agamanya, lalu kita mencukur janggut untuk menyerupai mereka dalam agama dan ibadah mereka, maka hal itu menjadi haram hukumnya, dan tentu hal ini pun layak menjadi qarinah hukum wajib.
Tetapi faktanya tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa orang kafir mencukur janggutnya sebagai bagian dari ibadah agama maupun kepercayaan mereka, sehingga hal itu tidak layak menjadi qarinah hukum wajib.
Dengan demikian, dalil kedua dan ketiga pun tidak layak menjadi dalil yang mewajibkan melebatkan dan memanjangkan janggut.

e. Ucapan Albani: “Perkara yang semakin memastikan kewajiban (memanjangkan janggut) ini adalah: Persoalan menyerupai wanita,” lalu beliau menyampaikan hadits menyerupai wanita, setelah itu dia berkomentar: “Tidak samar lagi .…maka ini menjadi kondisi yang paling menyerupai wanita,” sehingga Albani berpendapat dan memutuskan bahwa memotong janggut itu adalah sesuatu yang menyerupai wanita, dan secara berlebihan dia ungkapkan: “merupakan kondisi yang paling menyerupai wanita.” Untuk membantah pernyataan beliau ini bisa dilakukan melalui beberapa sisi:

1. Sesungguhnya maksud menyerupai wanita adalah menyerupai wanita secara mutlak, bukan menyerupai wanita-wanita tertentu, dan (maksud menyerupai wanita adalah) keluar dari karakteristik lelaki sebagai kaum lelaki, bukan keluar dari karakteristik lelaki Muslim atau dari karakteristik lelaki tertentu, karena hadits menyatakan:

“lelaki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai laki-laki.”

Hadits tersebut telah menggeneralisir kaum lelaki dan wanita, dan tidak mengkhususkannya. Artinya hadits tersebut mengatakan bahwa lelaki yang menyerupai wanita itu akan dilaknat. Ini terjadi ketika seorang lelaki dalam tindakannya telah keluar dari karakter atau sifat kaum lelaki yang sifatnya mutlak, dan menyerupai umumnya kaum wanita.
Inilah pengertian hadits ini, tidak ada takhsis (pengkhususan) dan taqyid (pembatasan) di dalamnya.
Pertanyaannya, apakah orang yang mencukur jenggotnya telah keluar dari karakter mutlak kaum lelaki? Jawaban yang menafikannya berasal dari fakta dan dari nash-nash hadits.

Menurut fakta, sebagian besar lelaki di dunia ini mencukur janggut mereka, karena itu, mencukur janggut merupakan salah satu sifat atau karakter yang umum ada pada kaum lelaki. Tidak ada seorangpun yang menyatakan bahwa jutaan orang kaum lelaki kehilangan karakter kelelakiannya sehingga menyerupai kaum wanita ketika mereka mencukur janggutnya.

Sedangkan hadits menyatakan: “hendaklah kalian berbeda dengan orang Majusi,” artinya hendaknya kalian berbeda dengan kaum lelaki Majusi dengan membiarkan janggut.
Mafhum dari hadits ini adalah bahwa kaum lelaki Majusi suka mencukur janggut mereka.
Mafhumnya juga menunjukkan bahwa orang yang mencukur janggutnya itu menyerupai lelaki Majusi, dan ini menunjukkan bahwa mencukur janggut itu tidak menyerupai wanita, sebab sejauh ini (mencukur janggut) dikatakan sebagai menyerupai kaum lelaki Majusi, bahkan hadits tersebut justru membatasi penyerupaan tersebut hanya dengan kaum lelaki Majusi.
Tidak disinggung sedikitpun penyerupaan dengan kaum wanita.
Jika demikian halnya, apakah benar orang yang mencukur jenggotnya itu menyerupai wanita?
Bagaimana dia (Albani) bisa melegitimasi diri melontarkan sebuah pernyataan yang justru bertentangan dengan apa yang ditunjukkan oleh nash hadits dan fakta yang ada?

2. Sesungguhnya tidak disebut menyerupai wanita melainkan jika dengan penyerupaan itu salah satu sifat (karakter) lelaki ternafikan dari sang lelaki, dan kemudian dilekati oleh salah satu sifat (karakter) wanita.
Misalnya kaum wanita memakai kalung dan gelang, sedangkan kaum lelaki tidak memakainya. Ini bersifat umum di setiap waktu, kaum dan bangsa, -kecuali yang dilakukan oleh suku-suku primitif yang tidak memperhatikan perbuatan yang dilakukannya- di mana lelaki yang memakai kalung dan gelang telah kehilangan salah satu sifatnya sebagai lelaki, dan dilekati sifat atau karakter yang lazim ada pada kaum wanita, sehingga memakai kalung dan gelang dipandang sebagai tasyabuh (tindakan menyerupai).
Sedangkan bercelak merupakan sifat atau karakter yang ada pada lelaki dan wanita, sehingga orang yang bercelak tidak dipandang menyerupai wanita, karena dia tidak meninggalkan salah satu sifat atau karakter lelaki.
Demikian pula halnya dengan mencukur janggut. Mencukur janggut merupakan salah satu sifat atau karakter yang populer ada pada kaum lelaki, sehingga orang yang mencukur janggutnya tidak dipandang sebagai orang yang kehilangan sifat atau karakternya sebagai seorang lelaki, seraya dilekati sifat kaum wanita. Artinya tidak dipandang menyerupai kaum wanita.
Orang yang memakai wewangian dipandang melakukan suatu perbuatan yang sama-sama bisa dilakukan kaum lelaki dan wanita, sehingga lelaki yang memakai wewangian tidak dipandang menyerupai wanita. Seperti itulah tasyabuh (menyerupai) wanita itu semestinya dipahami.
Sesungguhnya mencukur janggut itu merupakan salah satu karakter yang lazim dilakukan kaum lelaki di masa dahulu dan sekarang. Tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa jutaan lelaki di dunia yang mencukur janggutnya itu menyerupai wanita, bahkan di dalam hadits Rasulullah Saw. khaalifuuhum (hendaklah kalian berbeda dengan mereka) dapat dipahami bahwa sebelum datangnya perintah tersebut kaum Muslim itu tidak berbeda dengan mereka (orang kafir-pen.), melainkan sama dengan mereka ketika mereka mencukur janggutnya, dan mereka adalah kaum lelaki yang tidak menyerupai wanita sama sekali.

3. Ketika nampak dengan jelas bahwa orang yang mencukur janggutnya itu tidak kehilangan karakter atau ciri lelaki sehingga menyerupai wanita, maka batallah dalil terakhir yang digunakan Syaikh Albani dalam mengharamkan mencukur janggut.

f. Tinggallah kini satu poin yang berkaitan dengan merubah ciptaan Allah. Saya ingin membahasnya dari sudut pandang yang lain.

Syaikh Albani berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:

“Allah Swt. melaknat wanita yang ditato dan wanita yang diminta ditato, wanita yang mencukur habis alis dan merenggangkan gigi untuk kecantikan dengan merubah ciptaan Allah, mengapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat Nabi Saw. padahal hal itu ada termaktub dalam kitabullah.” (HR. Bukhari)

untuk menyatakan bahwa merubah ciptaan Allah itu menjadi ‘illat pengharaman perkara yang disebutkan dalam hadits tersebut, lalu dia menganalogikannya dengan mencukur janggut, karena janggut itu termasuk tindakan menghias diri dengan cara merubah ciptaan Allah, sehingga termasuk perkara yang dilaknat tadi. Dia kemudian menegaskan hal itu dengan menyatakan: “tidak ragu lagi,” dan menyatakan: “begitu pula tidak samar lagi,” seolah-olah tidak ada seorangpun yang menentang (berbeda pendapat dengan) pendapatnya itu.
Padahal dia sendiri telah menyatakan bahwa merubah ciptaan Allah itu tidak seluruhnya haram. Kalimat: “tiada lain agar beberapa perkara lain tidak sembarang dipandang termasuk ke dalam tindakan merubah yang sudah disebutkan, seperti mencukur bulu kemaluan dan sebagainya yang memang diijinkan oleh Allah Swt.,” yang diucapkannya itu menunjukkan bahwa ada tindakan merubah ciptaan Allah yang diharamkan, dan ada pula yang tidak diharamkan.
Jika kita berangkat dari kaidah yang dia buat ini, maka kita katakan: Kaidah ini telah membatalkan pernyataan dia sendiri bahwa “merubah ciptaan Allah” itu menjadi ‘illat pengharaman. Hal ini karena menurut ilmu ushul ada dan tidak adanya ma’lul (hukum) senantiasa tergantung pada ‘illat-nya.
Ini meniscayakan bahwa ‘illat ini (yakni merubah ciptaan Allah) akan mengharamkan setiap perbuatan yang mengandung unsur merubah ciptaan Allah, dan ‘illat ini tidak akan mengharamkan perbuatan apapun yang tidak mengandung unsur merubah ciptaan Allah. Inilah pengertian dan tuntutan ‘illat.
Ketika ada beberapa perbuatan yang mengandung unsur merubah ciptaan Allah tetapi malah dibolehkan oleh syara, maka ini menunjukkan bahwa merubah ciptaan Allah itu bukan ‘illat, karena ‘illat itu selamanya bersifat umum, sehingga ketika satu kali saja absen (tidak berlaku) maka batallah dari posisinya sebagai 'illat.
Ketika syara itu sendiri tidak memberlakukan kaidah merubah ciptaan Allah dalam mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan mencukur rambut, maka ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa merubah ciptaan Allah itu bukanlah 'illat pengharaman mencukur jenggot.
Mengenai pernyataan: sesungguhnya nash-nash telah mengecualikan hukum-hukum ini, maka pernyataan seperti ini bukan jawaban untuk pembahasan ‘illat. Dari pengantar ini kita beralih untuk menjelaskan hadits:

“Allah Swt. melaknat wanita yang ditato... merubah ciptaan Allah…”

Hadits ini menyebutkan bahwa wanita yang ditato, wanita yang minta ditato, wanita yang mencukur habis alis, dan merenggangkan gigi untuk kecantikan, dengan merubah ciptaan Allah itu dilaknat. Dan ketika taghyir (merubah ciptaan Allah) itu beberapa kali tidak berlaku, maka terbukti sudah bahwa taghyir itu bukan ‘illat.
Kaidah ini kemudian akan ditarik pada setiap pembahasan yang di antaranya adalah hadits ini, sehingga merubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah) tidak bisa menjadi 'illat pengharaman sesuatu yang disebutkan dalam hadits ini, dalam arti pengharaman ditujukan pada apa-apa yang disebutkan hadits ini saja, bukan didasarkan pada ‘illat taghyir (merubah ciptaan Allah).
Dengan demikian, taghyir (merubah ciptaan Allah) itu semata-mata disebutkan hanya sebagai sifat yang biasa melekat pada beberapa perbuatan tersebut. Seperti ini pulalah penjelasan yang disampaikan Ibnu Hajar.

Pertanyaannya adalah: untuk apa sifat ini disebutkan dalam hadits tersebut? Jawabannya adalah penyebutan sifat di dalam hadits ini berfungsi sebagai syarat (qayid) atau batasan, yang dengannya beberapa perbuatan yang disebutkan di dalamnya bisa diharamkan.
Artinya, ditato, mencukur alis dan merenggangkan gigi, tidak menjadi haram, kecuali jika sampai pada batasan taghyir (merubah ciptaan Allah).
Jika tidak sampai pada batasan dan ukuran ini maka perbuatan-perbuatan tersebut tidak haram, hukumnya mubah saja.
Ketika seorang wanita mencabut beberapa lembar bulu alisnya, atau membuat satu atau dua titik tato pada wajah atau tangannya, atau sedikit mengikir salah satu giginya, maka saat itu wanita tersebut tidak dipandang telah melakukan keharaman, karena kadarnya tidak sampai pada batasan taghyir (merubah ciptaan Allah).
Inilah maksud disebutkannya sifat taghyir dalam hadits tersebut, yakni berfungsi untuk menetapkan batasan atau ukuran yang menyebabkan beberapa perbuatan tersebut bisa dikategorikan perbuatan yang diharamkan, bukan berfungsi sebagai ‘illat atau sebab pengharaman.

Selain itu, hadits ini hanya menyeru kaum wanita saja, tidak menyeru kaum lelaki. Kaidah bahasa dan kaidah syara menunjukkan bahwa seruan pada mudzakar (jenis lelaki) itu adalah seruan untuk kaum lelaki dan wanita, tetapi seruan pada muannats (jenis perempuan) itu hanya seruan untuk kaum wanita saja. Ketika al-Qur’an menggunakan bentuk mudzakar:

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (TQS. al-Baqarah [2]: 183)

Maka perintah berpuasa ini ditujukan pada kaum lelaki dan juga wanita.
Dan ketika Allah Swt. berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (TQS al-Ahzab [33]: 70)

Maka perintah bertakwa dan mengatakan perkataan yang benar, juga ditujukan pada lelaki dan wanita.

Tetapi ketika al-Qur'an menggunakan bentuk muannats:

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” (TQS. al-Ahzab [33]: 33)

Maka perintah dalam ayat ini tidak mencakup kaum lelaki, artinya, ayat ini tidak memerintahkan kaum lelaki untuk tetap berada di rumah.
Dan ketika al-Qur'an menyebutkan:

“Dan janganlah menampakkan perhiasannya.” (TQS. an-Nur [24]: 31)

Maka ayat ini tidak melarang kaum lelaki menampakkan perhiasan.
Dan ketika al-Qur’an menyebutkan:

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (TQS. al-Baqarah [2]: 228)

Maka perintah dalam ayat ini pun tidak mencakup kaum lelaki, artinya, kaum lelaki tidak diperintahkan untuk menunggu setelah mentalak.

Hadits Nabi Saw. ketika menyebutkan:

“Kalian harus berada di pinggiran jalan.” (HR. Abu Dawud)

Maka perintah dalam hadits ini hanya berkaitan dengan kaum wanita, tidak mencakup kaum lelaki.
Demikianlah perkara yang sudah diketahui dan dimaklumi kaum Muslim.

Dengan demikian hadits:

“Allah Swt. melaknat yang wanita ditato.”

Harus dipahami dari sisi tersebut di atas. Hadits ini berkaitan dengan kaum wanita. Hadits ini tidak mengandung pengertian bahwa Allah Swt. melaknat kaum lelaki yang ditato, sehingga dari mana kesimpulan: “wanita-wanita yang merubah ciptaan Allah” tersebut mencakup kaum lelaki?
Sebenarnya hadits ini berkaitan dengan kaum wanita, sehingga tidak benar jika hadits ini ditarik-tarik untuk kaum lelaki berdasarkan sebab yang sama.
Berdasarkan dua sebab inilah, alasan tidak adanya ‘illat merubah ciptaan Allah, dan alasan bahwa nash tersebut hanya dikhususkan untuk kaum wanita, sehingga tidak boleh dilakukan analogi (qiyas) terhadapnya, dan tidak benar memasukkan dan menyertakan kaum lelaki ke dalam hadits ini secara mutlak.

Demikianlah, empat alasan kewajiban memanjangkan jenggot rontok berguguran, dan tinggallah kini hukum yang shahih yang telah disebutkan di atas, yakni bahwa memanjangkan jenggot itu dihukumi sunah saja, bukan wajib.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam