Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 30 Agustus 2017

Dalil Sunah Khitan



Khitan

Al-Khitan (huruf kha dikasrahkan): merupakan mashdar dari khatana yang artinya memotong; al-khatnu dengan difathahkan dan disukunkan artinya satu bagian tertentu dari anggota badan tertentu.
Al-Mawardi berkata: khitanu ad-dzakari, artinya memotong kulit yang menutupi hasyafah (ujung dzakar). Dia berkata: khitanul untsa, artinya memotong kulit yang ada di bagian atas farji wanita, yang nampak seperti biji atau jambul ayam.
Mengkhitan lelaki dan wanita disebut juga i'dzar, sedangkan mengkhitan wanita secara khusus disebut khafdha.
Mengkhitan dzakar itu cukup dilakukan dengan memotong seluruh kulup, di mana tidak tersisa sesuatupun darinya, dan hasyafah menjadi nampak seluruhnya.
Beberapa hadits berikut berkaitan dengan khitan:

1. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Ibrahim kekasih Allah dikhitan setelah berusia delapan puluh tahun, dia dikhitan menggunakan kapak.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan al-Baihaqi)

2. Diriwayatkan dari Said bin Jubair bahwasanya dia berkata:

“Ibnu Abbas ditanya: Seperti siapakah engkau saat Rasulullah Saw. dimakamkan? Ibnu Abbas berkata: Hari itu aku dikhitan. Dia berkata: Orang-orang tidak mengkhitan seorang laki-laki hingga dia baligh.” (HR. Bukhari)

3. Dari ‘Utsaim bin Kulaib, dari ayahnya, dari kakeknya:

“Bahwasanya dia menemui Nabi Saw., lalu dia berkata: Aku ingin masuk Islam. Beliau Saw. bersabda: “Buanglah dari dirimu rambut kekufuran.” Dia berkata: Potonglah. Dia berkata: Dan orang lain yang bersama Nabi memberitahuku bahwasanya Nabi Saw. berkata pada yang lain, potonglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Dalam hadits dhaif ini terdapat inqitha' (sanad yang terputus), Utsaim dan ayahnya adalah orang yang tidak dikenal.

4. Dari Aisyah ra., dia berkata:

“Jika seorang lelaki duduk di antara empat cabang tubuh wanita, lalu khitan bertemu dengan khitan, maka wajib mandi.” (HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Jika khitan melewati khitan maka wajiblah mandi.” (HR. Tirmidzi, dan ia berkata: status hadits ini hasan shahih)

5. Dari Jabir ra., dia berkata:

“Rasulullah Saw. mengaqiqahi Hasan dan Husain, dan mengkhitan keduanya pada usia tujuh hari.” (HR. al-Baihaqi)

6. Dari Ummu Athiyah al-Anshariyah:

“Seorang perempuan dikhitan di Madinah, lalu Nabi Saw. bersabda: “Janganlah berlebihan memotong, karena sesungguhnya itu lebih bermanfaat dan lebih nikmat bagi seorang wanita, dan lebih disukai oleh suami.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Abu Dawud berkata: status hadits ini dhaif.

7. Dari Ibnu Umar, dia berkata:

“Beberapa orang wanita Anshar datang menemui Nabi Saw., maka Nabi Saw. bersabda: “Wahai wanita Anshar, warnailah kuku dengan cara mencelupkannya, berkhitanlah, dan jangan berlebihan memotong, karena sesungguhnya itu lebih nikmat bagi suami-suami kalian, dan hati-hatilah kalian dari kekufuran orang-orang yang diberi nikmat.” (HR. al-Bazzar)

Ini hadits dhaif menurut Ibnu Hajar, al-Bukhari; Al-Haitsami berkata: Di dalam rangkaian sanad hadits ini terdapat nama Mandal bin Ali, dia perawi yang dhaif.

8. Dari Abu al-Malih bin Usamah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Khitan itu sunat bagi kaum lelaki, dan mulia bagi kaum wanita.” (HR. Ahmad, al-Baihaqi dan Abu Dawud)

Al-Baihaqi berkata: “hadits ini dhaif,” dilemahkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Abi Hatim.

Para imam dan fuqaha berbeda pendapat dalam masalah hukum khitan untuk lelaki dan wanita sebagai berikut: As-Syafi’i berkata bahwa khitan itu wajib bagi lelaki dan wanita.
Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas adanya penekanan atas hal itu, di mana beliau menyatakan bahwa orang yang tidak berkhitan itu tidak sah haji dan shalatnya.
Abu Hanifah dan Malik berkata bahwa khitan itu sunah saja untuk keduanya (lelaki dan wanita-pen.).
Ahmad berkata bahwa khitan itu wajib bagi lelaki tetapi tidak bagi wanita.
Diriwayatkan dari Hasan bahwasanya dia menganggap ada rukhshah untuk tidak berkhitan, di mana dia mengatakan: Orang yang berkulit hitam dan putih telah masuk Islam, di mana mereka tidak diteliti dan tidak dikhitan.

Kelompok pertama -as-Syafi’i dan mereka yang berpendapat seperti beliau- telah berhujjah dengan hadits Abu Hurairah yang pertama dan hadits Utsaim yang ketiga, dan dengan hadits Ummu Athiyah yang keenam untuk mewajibkan mengkhitan perempuan. Mereka berkata pula, seandainya khitan itu tidak wajib bagi Ibrahim maka pastinya beliau tidak akan berkhitan, terlebih lagi dalam usia delapan puluh tahun, dan al-Qur,an menyatakan:

“Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif.” (TQS. an-Nahl [16]: 123)

Ayat al-Qur'an dijadikan dalil wajibnya berkhitan. Dalil-dalil ini sekaligus menjadi dalil kelompok ketiga yang mewajibkan berkhitan kepada kaum lelaki, tanpa wanita, dengan mengecualikan hadits keenam.

Kelompok kedua berhujjah dengan hadits Abu al-Malih yang terdapat pada nomor delapan, karena hadits ini menurut mereka menggambarkan bahwa mengkhitan lelaki itu sunah saja, dan menggambarkan bahwa mengkhitan wanita itu sebagai suatu kemuliaan saja, dan ini bermakna sunah juga. Dengan hadits ini kelompok ketiga mengambil kesimpulan bahwa mengkhitan wanita itu sunah saja.
Kelompok pertama dan kelompok ketiga menambahkan bahwa membuka aurat itu haram, kecuali untuk perkara yang wajib saja. Seandainya khitan itu tidak wajib, niscaya tidak mungkin dibolehkan mengkhitan orang yang sudah baligh dan membuka auratnya.
Hadits kedua menjadi dalil mengkhitan orang yang sudah baligh. Inilah ringkasan pendapat dan istidlal mereka.

Sebelum kita mengkaji lebih jauh nash-nash ini dari sisi istidlalnya, kita mesti mengkaji nash-nash tersebut dari sisi validitas sanadnya.
Kami nyatakan: Dalam hadits Utsaim yang ketiga itu terdapat inqitha' (sanad yang terputus), Utsaim dan ayahnya adalah orang yang tidak dikenal. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dan Ibnu al-Qathan, karena itu hadits ini dhaif sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah.

Di dalam hadits Ummu Athiyah terdapat perawi yang diperselisihkan, yakni Abdul Malik bin Umair, dikatakan bahwa dia menerima kabar dari ad-Dhahak, dikatakan pula dari Athiyah al-Quradzi, dan dikatakan pula dari yang lainnya.
Kemudian hadits ini dipandang bercacat karena ada Muhammad bin Hassan. Abu Dawud berkata: Muhammad bin Hasan itu seorang yang tidak dikenal, sehingga status hadits ini dhaif. Dengan demikian hadits ini tidak layak digunakan sebagai hujjah.

Hadits Abdullah bin Umar yang ketujuh juga dhaif, hadits ini didhaifkan oleh Ibnu Hajar dan al-Bukhari. Al-Haitsami berkata: Di dalam rangkaian sanad hadits ini terdapat nama Mandal bin Ali, dia perawi yang dhaif.
Dan begitu pula hadits Abul Malih yang kedelapan. Al-Baihaqi berkata: “hadits ini dhaif,” dilemahkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Abi Hatim, sehingga tidak layak dijadikan sebagai hujjah.

Tinggallah kini hadits yang pertama, kedua, keempat dan kelima.

Mengenai hadits pertama, di dalamnya tidak ada dilalah yang mewajibkan berkhitan, karena para Nabi alaihissalam melakukan berbagai perkara wajib seperti halnya mereka melakukan perkara mandub (sunah). Jika ada yang berkata bahwa dengan berkhitannya Nabi Ibrahim as. dalam usia delapan puluh tahun menunjukkan wajibnya khitan, maka kami katakan: sesungguhnya berkhitannya Ibrahim alaihissalam dalam usia delapan puluh tahun justru menunjukkan bahwa berkhitan itu tidak wajib, karena seandainya berkhitan itu wajib atasnya maka mengapa diundurkan sampai usia setua itu.
Kedua, sesungguhnya syariat umat sebelum umat Muhammad (syar'u man qablana) bukanlah syariat bagi kita. Khitan yang dilakukan Ibrahim seandainya benar dipahami sebagai sebuah kewajiban sesungguhnya tidak wajib diikuti kaum Muslim. Jika ada yang berkata bahwa al-Qur’an menuntut kita untuk mengikuti beliau, maka kami katakan bahwa ayat yang mereka kutip itu tidak menunjukkan pengertian sebagaimana yang mereka klaim, karena mengikuti millah lbrahim itu bukan berarti mengikuti syariatnya.
Kita diperintahkan untuk mengikuti millah Ibrahim, millah Isa, millah Musa dan millah Nuh, dan semuanya itu merupakan millah yang satu. Pengertian millah itu adalah pokok atau pangkal agama (ashlud diin) dan tauhid. Inilah maksud dari ayat:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (TQS. Ali Imran [3]: 19)

Din, millah, dan tauhid itu satu dan sama pada seluruh para Nabi. Tetapi kita tidak diperintahkan untuk mengikuti syariat-syariat mereka, karena setiap Nabi itu memiliki syariat yang berbeda satu sama lain.
Kita sebagai kaum Muslim tidak diperintahkan untuk mengikuti syariat selain syariat Islam saja. Allah Swt. berfirman:

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (TQS. al-Maidah [5]: 48)

Khitan itu merupakan bagian dari syariat, bukan bagian dari akidah, sehingga kita tidak diseru oleh ayat di atas.
Ayat dan hadits ini tidak menunjukkan pada apa yang mereka nyatakan. Hadits tersebut juga tidak menunjukkkan kecuali sebagai pemberitahuan saja bahwa Nabi Ibrahim alaihissalam berkhitan pada usia delapan puluh tahun tanpa ada embel-embel apapun.

Adapun hadits keempat, maka ini merupakan penjelasan atas fakta yang ada di tengah-tengah kaum Muslim, bahwa mereka biasa berkhitan. Ini merupakan perkara yang tidak diragukan lagi oleh seorang Muslim pun termasuk kita.
Bunyi hadits tersebut: Bersentuhannya khitan dengan khitan ini menunjukkan bahwa kaum Muslim berkhitan, baik lelaki ataupun wanita.
Lafadz hadits seperti itu tidak menunjukkan khitan itu wajib atau mandub.

Begitu pula hadits kelima, sama-sama menunjukkan fakta bahwa kaum Muslim berkhitan, dan ada tambahan fakta baru bahwa Hasan dan Husain dikhitan pada usia dini, yakni usia tujuh hari, ini berbeda dengan apa yang disebutkan dalam hadits kedua.
Inilah fakta yang terlihat oleh mata, dan fakta yang terlihat oleh mata itu tidak berlaku umum. Dari fakta itu tidak bisa dilakukan generalisasi hukum pada selainnya, dalam arti bahwa Hasan dan Husain itu dikhitan pada usia tujuh hari, dan ini merupakan perbuatan Rasulullah Saw. yang tidak mengandung pengertian sebagai perintah beliau Saw. kepada kaum Muslim untuk mengkhitan anak-anak mereka pada usia tujuh hari.

Perihal kutipan yang disampaikan oleh mereka yang mewajibkan berkhitan, bahwa membuka aurat itu tidak bisa dilakukan kecuali untuk perkara yang wajib -yang mereka maksudkan adalah mengkhitan orang yang sudah baligh- maka kami katakan bahwa pernyataan seperti itu tidak patut. Syariat telah mengharamkan melihat tubuh wanita dan menyingkap auratnya, walaupun begitu syara telah membolehkan seorang pemuda yang menyelidiki seorang wanita yang ingin dikhitbah (dilamar)-nya untuk melihat bagian manapun dari wanita tersebut yang mendorong dirinya menikahi wanita tersebut, bahkan untuk menyingkap bagian yang ingin sekali dilihatnya pada tubuh wanita tersebut. Dari Jabir bin Abdillah dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian meminang seorang wanita, jika memungkinkan bisa melihat dari wanita itu sesuatu yang membuatnya tertarik untuk menikahinya, maka lakukanlah.” Dia berkata: Lalu aku meminang seorang wanita dari Bani Salamah. Dengan bersembunyi di bawah semak pelepah kurma, aku dapat melihat darinya sebagian perkara yang membuatku tertarik untuk menikahinya, kemudian aku pun menikahinya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Ini merupakan nash yang sharih (jelas) membolehkan seorang yang mengkhitbah melihat bagian manapun dari wanita yang ingin dikhitbahnya. Ucapan dalam hadits tersebut:

“Melihat dari wanita itu sesuatu yang membuatnya tertarik untuk menikahinya.”

Bersifat umum, yang tidak ditakhsis oleh satu nash pun dalam persoalan ini. Lelaki tersebut boleh melihat rambutnya, dadanya, lehernya, betisnya, dan hastanya, jika dia memang benar-benar ingin mengetahui semua itu dari calon isterinya tersebut. Semua itu boleh, padahal khitbah itu hukumnya tidak wajib, terlebih lagi dalam mengkhitbah si fulanah secara pribadi. Di sini syariat membolehkan melihat aurat wanita untuk perkara yang tidak wajib, yakni khitbah dan nikah.

Adapun pernyataan yang disampaikan oleh sebagian fuqaha, bahwa yang dituntut oleh hadits ini adalah melihat wajah saja, merupakan pernyataan yang rusak dan keliru. Pernyataan tersebut sama dengan mengabaikan dan membatalkan hadits tersebut, dan menjadikannya sebagai ucapan tanpa guna. Hal ini karena melihat wajah itu dihukumi boleh, tanpa perlu adanya nash ini.
Kemudian perawi hadits ini bercerita bahwa dia mengendap bersembunyi agar bisa melihat sesuatu yang membuat dirinya tertarik menikahi si gadis. Tidak mungkin rasanya Jabir sampai harus mengendap-endap bersembunyi sedemikian rupa di antara pohon kurma jika hanya untuk melihat wajah si gadis semata.
Kemudian Abu Ja’far menceritakan:

“Umar meminang puteri Ali, maka Ali berkata: Anak tersebut masih kecil. Lalu dikatakan kepada Umar: Maksud ucapan Ali itu adalah melarang engkau meminangnya. Abu Jafar berkata: Kemudian Umar berbicara dengan Ali, maka Ali berkata: Aku akan membawanya menemuimu, jika engkau suka maka dia menjadi isterimu. Lalu Ali membawa puterinya itu menemui Umar. Abu Jafar berkata: Umar kemudian berdiri, lalu menyingkapkan betisnya, maka puteri Ali itu berkata: Lepaskan, seandainya engkau bukan Amirul Mukminin, niscaya aku sudah menghantam lehermu.” (HR. Abdurrazaq dan Said bin Manshur)

Dengan hadits seperti ini gugurlah pernyataan mereka bahwa menyingkapkan aurat itu tidak dilakukan kecuali untuk perkara yang wajib saja.
Dengan gugurnya syubhat ini, maka gugurlah sudah semua syubhat dan hujjah mereka yang mewajibkan khitan, sehingga yang tetap bertahan hanyalah pendapat bahwa khitan itu hanya bagian dari sunanul fithrah.

Bacaan: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam