Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 07 Oktober 2017

Tidur yang Membatalkan Wudhu



5. Tidur

Para ulama dan imam memiliki perbedaan pendapat yang cukup luas tentang hukum tidur, dari sisi membatalkan atau tidak membatalkan wudhu, hingga mencapai delapan kategori pendapat sebagaimana yang dihimpun oleh an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, yakni sebagai berikut:

Pertama, tidur itu tidak membatalkan wudhu, bagaimanapun keadaannya, dan ini merupakan pendapat Abu Musa al-Asyari, Said bin Musayyab, Abu Mijlaz, Hamid al-A’raj dan Syu'bah.

Kedua, tidur -dengan seluruh kondisinya itu- membatalkan wudhu, dan ini merupakan pendapat al-Hasan al-Bashri, al-Muzani, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Ishaq bin Rahuwaih, Ibnu al-Mundzir, dan pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Anas, dan Abu Hurairah.

Ketiga, sebagian besar tidur itu -dengan setiap kondisinya- membatalkan wudhu, hanya segelintir tidur yang tidak membatalkan wudhu, itupun dalam satu kondisi, dan ini pendapat az-Zuhri, Rabi'ah, al-Auza’iy, Malik, dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya.

Keempat, jika tidur dengan posisi seperti orang yang shalat, seperti posisi ruku, sujud, berdiri, duduk, maka tidak membatalkan wudhu, baik tertidur dalam shalat ataupun di luar shalat, sehingga ketika seseorang tidur dengan posisi berbaring atau terlentang maka batallah wudhunya. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Dawud. Ini pun merupakan salah satu pendapat as-Syafi’i yang dipandang asing.

Kelima, wudhunya itu tidak batal kecuali tidurnya orang yang ruku dan sujud. Pendapat ini diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal.

Keenam, wudhunya itu tidak batal kecuali tidurnya orang yang sujud. Pendapat ini diriwayatkan juga dari Ahmad bin Hanbal.

Ketujuh, tidur dalam shalat -dengan semua kondisinya itu- tidak membatalkan wudhu, dan tidur di luar shalat itu membatalkan wudhu, dan ini merupakan pendapat yang lemah dari as-Syafi’i.

Kedelapan, jika seseorang tidur dalam keadaan duduk dan kokoh di tempat duduknya, maka tidak batal wudhunya, jika tidak, maka batallah wudhunya, baik lama atau sebentar, baik dalam shalat atau di luar shalat. Ini merupakan pendapat as-Syafi'i rahimahullah.

Kami akan menyebutkan hadits-hadits yang terkait dengan persoalan tidur ini, kemudian akan kami jelaskan mana yang shahih, hasan dan dhaif, lalu akan kami gali hukum yang rajih darinya dengan ijin Allah.

1) Dari Shafwan bin ‘Assal, dia berkata:

“Rasulullah Saw. memerintahkan kami jika kami sedang melakukan perjalanan untuk tidak menanggalkan khuff kami selama tiga hari tiga malam, kecuali karena janabah, tetapi (tidak ditanggalkan) karena buang air besar, buang air kecil dan tidur.” (HR. Tirmidzi)

Tirmidzi berkata: status hadits ini hasan shahih. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ahmad dan an-Nasai. Dalam bab sebelumnya hadits ini telah kami sebutkan.

2) Dari Ali bin Abi Thalib bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Mata itu tali pengikat dubur, barangsiapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu.” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Ahmad dan ad-Daruquthni)

3) Dari Muawiyah bin Abu Sufyan bahwasanya Nabi Saw. bersabda:

“Sesungguhnya kedua mata itu tali pengikat dubur, jika mata itu tidur maka lepaslah tali itu.” (HR. ad-Darimi, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, Ahmad dan at-Thabrani)
Ini hadits dhaif.

As-Sahu itu adalah nama lingkaran dubur.

4) Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata:

“Suatu malam aku menginap di rumah bibiku Maimunah binti al-Harits, maka aku berkata padanya: Jika Rasulullah Saw. shalat malam maka bangunkanlah aku. Lalu Rasulullah Saw. berdiri shalat, kemudian aku pun berdiri di samping kirinya. Beliau Saw. memegang kedua tanganku dan menyeretku ke sebalah kanannya. Ketika aku mengantuk, beliau Saw. memegang duping telingaku. Ibnu Abbas berkata: Lalu beliau Saw. shalat sebelas rakaat, kemudian beliau Saw. duduk memeluk lutut hingga sungguh. Aku mendengar nafasnya karena beliau tertidur. Ketika beliau Saw. mengetahui waktu sudah fajar, beliau Saw. shalat dua rakaat yang ringan.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas ra. disampaikan dengan lafadz:

“Pada suatu malam aku tidur di rumah bibiku, Maimunah, lalu Nabi Saw. bangun untuk shalat malam. Ketika di sebagian waktu malam, Nabi Saw. bangun, lalu berwudhu dari bejana kecil dengan wudhu yang ringan, diringankan oleh Amr. Beliau Saw. berdiri shalat. Aku pun berwudhu seperti yang beliau Saw. lakukan, lalu aku berdiri di sebelah kirinya. Sufyan berkata: Di sebelah kanannya. Kemudian beliau Saw. memindahkanku dan menjadikan diriku berada di sebelah kanannya. Beliau Saw. shalat sesuai yang dikehendaki-Nya, setelah itu berbaring dan tertidur hingga mendengkur. Kemudian datanglah mu'adzin seraya menyerukan adzan untuk shalat. Beliau Saw. pun bangun untuk shalat bersamanya. Lalu beliau Saw. shalat dan tidak berwudhu.”

Dalam riwayat Muslim yang kedua dari Ibnu Abbas ra. diungkapkan dengan lafadz:

“Lalu beliau Saw. bangun dan kemudian shalat. Aku pun berdiri di sebelah kirinya, lalu beliau Saw. memegang tanganku dan menggeserku ke sebelah kanannya. Shalat Rasulullah Saw. di waktu malam lengkap tiga belas rakaat, kemudian beliau Saw. berbaring dan tertidur hingga mendengkur. Dan ketika beliau Saw. tidur beliau mendengkur, lalu datanglah Bilal. Dia mengumandangkan adzan panggilan untuk shalat, lalu beliau Saw. bangun, shalat dan tidak berwudhu.”

Dalam riwayat Bukhari yang kedua dari Ibnu Abbas diungkapkan dengan lafadz:

“Kemudian beliau Saw. shalat dua rakaat, lalu tidur, hingga aku mendengar suara dengkurannya. Setelah itu beliau Saw. keluar untuk shalat.”

5) Dari Anas, ia berkata:

“Para sahabat menunggu waktu shalat isya, hingga kepala mereka terangguk-angguk. Kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu.” (HR. Abu Dawud, as-Syafi'i, al-Baihaqi, Muslim dan ad-Daruquthni)

Dalam satu riwayat disebutkan:

“Sungguh aku melihat para sahabat Rasulullah Saw. dibangunkan untuk shalat, hingga sungguh aku mendengar dengkuran salah seorang dari mereka. Kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu.” (HR. ad-Daruquthni, al-Baihaqi dan Tirmidzi)

Dalam riwayat ketiga yang ditakhrij oleh al-Bazzar dan al-Khallal diungkapkan dengan lafadz:

“Sesungguhnya para sahabat Rasulullah Saw. suka membaringkan tubuh mereka, di antara mereka ada yang berwudhu dan ada juga yang tidak berwudhu.”

Hadits ini dengan seluruh riwayatnya berstatus shahih atau hasan.

6) Dari Yazid bin Abdirrahman (ad-Dalani), dari Qatadah, dari Abul Aliyah, dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya Nabi Saw. bersabda:

“Orang yang tidur dalam keadaan bersujud tidak wajib berwudhu hingga dia berbaring, karena jika tidur berbaring maka tulang-tulang sendinya mengendur.” (HR. Ahmad)
Ini hadits dhaif.

Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Abbas dengan lafadz:

“Dia berkata: Lalu aku bertanya pada beliau Saw.: Engkau shalat dan tidak berwudhu, padahal engkau telah tidur? Maka beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya wudhu itu diwajibkan bagi orang yang tidur dalam keadaan berbaring, karena jika seseorang berbaring maka tulang-tulang persendiannya mengendur.”

Tirmidzi dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits yang kurang lebih sama.

Al-Baihaqi juga meriwayatkan:

“Wudhu itu tidak wajib bagi orang yang tidur dalam keadaan duduk, berdiri atau bersujud hingga dia berbaring, karena jika dia berbaring maka tulang-tulang persendiannya mengendur.”

7) Dari Hudzaifah bin al-Yaman ra., dia berkata:

“Aku pernah berada di Masjid Madinah dalam keadaan duduk dengan kepala terangguk-angguk karena mengantuk, lalu seseorang dari belakangku memelukku. Aku pun menoleh, ternyata yang memelukku adalah Nabi Saw. Kemudian aku bertanya: Wahai Rasulullah, apakah aku diharuskan untuk berwudhu? Beliau Saw. menjawab: “Tidak, hingga engkau (tidur) berbaring.” (HR. al-Baihaqi)
Ini hadits dhaif.

8) Dari Yazid bin Qasith, dia berkata sesungguhnya dia mendengar Abu Hurairah ra. berkata:

“Orang yang tidur dalam keadaan memeluk lututnya, orang yang tidur dalam keadaan berdiri, orang yang tidur dalam keadaan bersujud, itu tidak wajib berwudhu hingga dia (tidur dalam keadaan) berbaring, sehingga jika dia tidur berbaring maka hendaklah dia berwudhu.” (Riwayat al-Baihaqi)

9) Dari Abu Hurairah ra., dia berkata:

“Barangsiapa yang benar-benar tidur maka dia wajib berwudhu.” (Riwayat al-Baihaqi dengan sanad shahih, secara mauquf sampai pada Abu Hurairah)

Al-Baihaqi berkata: tidak sah memarfu'kan hadits ini. Ad-Daruquthni meriwayatkan hadits ini juga dan berkata: hadits ini lebih shahih dimauqufkan.

Hadits yang pertama shahih.
Sedangkan terkait dengan hadits yang kedua, Ahmad ditanya tentang hadits yang kedua dan ketiga, dia berkata: hadits Ali ini lebih mapan dan lebih kuat. Al-Jurjani berkata: hadits ini lemah. Hadits ini didhaifkan oleh Abu Zur’ah dan Abu Hatim. Tetapi al-Mundziri, Ibnu Shalah dan an-Nawawi menghasankannya. Ibnu Hajar membelanya. Dengan demikian, hadits ini hasan sehingga layak digunakan sebagai hujjah, terlebih lagi jika kita mengetahui alasan Abu Zur’ah mendhaifkannya itu adalah ketika dia menyatakan bahwa Abdurrahman bin Aid itu tidak mendengar hadits tersebut dari Ali. Pernyataan ini dibantah oleh Ibnu Hajar.

Hadits yang ketiga dhaif, karena di dalam sanadnya terdapat Baqiyyah, dari Abu Bakar bin Abi Maryam, dia perawi yang dhaif, sehingga hadits ini tidak layak digunakan sebagai hujjah.
Hadits yang keempat shahih. Hadts yang kelima juga shahih.
Hadits yang keenam didhaifkan oleh Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, Ibrahim al-Harbiy dan Tirmidzi. Al-Baihaqi berkata: Abu Khalid ad-Dalani menyendiri, dan ia diingkari oleh seluruh imam hadits, dan merekapun menyanggah Abu Khalid mendengar dari Qatadah. Ibnu Hibban berkata: Tidak boleh berhujjah dengannya. Jadi status hadits ini dhaif sehingga harus ditinggalkan.

Mengenai hadits yang ketujuh, Bahr bin Kunbuz sendirian yang meriwayatkannya, dan dia seorang yang dhaif, sehingga riwayatnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Ini yang dinyatakan oleh al-Baihaqi, sehingga hadits tersebut dhaif dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Hadits yang kedelapan dikomentari oleh al-Hafidz Ibnu Hajar: sanadnya jayyid, tetapi hadits ini mauquf.
Al-Baihaqi berkata: “hadits ini mauquf,” yakni bukan hadits marfu', yaitu bukan sebagai dalil, karena perkataan dan perbuatan sahabat itu walaupun boleh diikuti, tetapi tidak boleh dipandang sebagai dalil.

Hadits yang kesembilan mauquf sampai Abu Hurairah, sehingga tidak layak dijadikan sebagai dalil.

Tinggallah kini hadits yang pertama, kedua, dan keempat, dengan keempat redaksinya, dan hadits kelima dengan ketiga riwayatnya, dan kita tinggalkan hadits-hadits yang lain yakni hadits ketiga, keenam, ketujuh, kedelapan dan kesembilan.

Sekarang kita akan mengkaji lebih jauh hadits-hadits yang telah kita tarjih yang layak digunakan sebagai hujjah. Kami katakan: Di dalam hadits yang pertama disebutkan:

“Tetapi (tidak ditanggalkan) karena buang air besar, buang air kecil dan tidur.”

Di dalam hadits kedua disebutkan:

“Barangsiapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu.”

Dalam hadits keempat dengan lafadz dari Muslim disebutkan:

“Dan ketika aku mengantuk, beliau Saw. memegang cuping telingaku.”

Dalam lafadz hadits yang diungkapkan Bukhari disebutkan:

“Kemudian beliau Saw. berbaring dan tertidur hingga mendengkur, lalu datang mu'adzin seraya menyerukan adzan untuk shalat. Beliau Saw. bangun untuk shalat bersamanya, kemudian beliau Saw. shalat dan tidak berwudhu.”

Ini persis dengan lafadz yang digunakan dalam hadits yang ditakhrij oleh Muslim. Dalam lafadz kedua dari Bukhari disebutkan:

“Kemudian beliau Saw. tidur hingga aku mendengar suara dengkurannya. Setelah itu beliau Saw. keluar untuk shalat.”

Dalam hadits yang kelima disebutkan:

“Para sahabat menunggu waktu shalat isya, hingga kepala mereka terangguk-rangguk mengantuk, kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu.”

Lafadz yang lain menyebutkan:

“Mereka (para sahabat) dibangunkan untuk shalat, hingga sungguh aku mendengar dengkuran salah seorang dari mereka. Kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu.”

Lafadz yang ketiga menyebutkan:

“Mereka membaringkan tubuh mereka. Di antara mereka ada yang berwudhu dan ada juga yang tidak berwudhu.”

Hadits yang pertama dan hadits kedua menunjukkan bahwa tidur itu membatalkan wudhu. Yang pertama berdasarkan mafhumnya, sedangkan yang kedua berdasarkan manthuq-nya.
Hadits yang keempat dengan lafadz pertama dari Muslim menunjukkan bahwa mengantuk saat shalat tidak membatalkan wudhu, dasar alasannya sangat jelas.
Hadits yang kelima lafadz yang pertama menunjukkan bahwa tidur menunggu waktu shalat tidaklah membatalkan wudhu, begitu pula lafadz yang kedua, tetapi dengan tambahan mendengkur, yakni tidur yang disertai dengkuran saat menunggu waktu shalat tidak membatalkan wudhu.
Dengan menghimpun lafadz-lafadz hadits kelima dan lafadz Bukhari Muslim dalam hadits keempat, kemudian beliau Saw. berbaring, maka saya katakan bahwa tidur yang disertai dengan terangguk-angguknya kepala, dengkuran, dan berbaring untuk menunggu waktu shalat, itu tidak membatalkan wudhu.

Ringkasnya adalah, ketika hadits yang pertama dan hadits yang kedua menyatakan bahwa tidur itu membatalkan wudhu, maka hadits yang keempat dan kelima dengan seluruh lafadznya itu menunjukkan bahwa tidur tidak membatalkan wudhu, di mana tidurnya bisa berupa mengantuk saat shalat, terangguk-angguknya kepala, mendengkur dan berbaring saat menunggu waktu shalat. Semua hadits ini berstatus shahih dan hasan. Mengamalkan dalil-dalil tersebut lebih utama daripada mengabaikannya atau mengabaikan salah satu dan sebagiannya. Di sini mengamalkan dalil-dalil tersebut bisa dilakukan bahkan nampak jelas, sehingga kita tidak perlu mengatakan ada kontradiksi, dan tidak mungkin mengkompromikan dalil-dalil tersebut.

Dengan mengamalkan dalil-dalil tersebut, dan dengan mengkaji dan menelitinya lebih cermat lagi akan kita dapati bahwa hadits-hadits yang menunjukkan batalnya wudhu itu memberi pengertian tidur secara mutlak.
Sedangkan hadits-hadits yang memberi pengertian tidak batalnya wudhu itu datang dalam bentuk muqayyad (diberi batasan) dengan satu kondisi shalat dan menunggu shalat. Kami katakan satu kondisi bukan dua kondisi, karena menunggu shalat itu juga dianggap shalat sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Dari Anas, dia berkata:

“Nabi Saw. mengakhirkan shalat isya ke tengah malam, kemudian beliau Saw. shalat, lalu berkata: “Orang-orang sudah shalat dan tidur, sedangkan kalian sesungguhnya berada dalam shalat, selama kalian menunggu shalat.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Malaikat mendoakan salah seorang dari kalian selama dia berada di tempat shalat dan tidak berhadats, ya Allah ampunilah dia, ya Allah kasihilah dia. Dan salah seorang dari kalian tetap berada dalam shalat selama shalat menahannya, tidak ada yang mencegahnya pulang menemui keluarganya, selain shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Muslim juga meriwayatkan dari jalur yang sama:

“Ketika dia memasuki masjid, maka dia berada dalam shalat selama shalat itu menahannya, dan malaikat mendo’akan salah seorang dari kalian selama dia berada di tempat yang digunakannya untuk shalat. Para malaikat berdoa, ya Allah kasihilah dia, ya Allah ampunilah dia, terimalah taubatnya, selama dia tidak menyakiti di dalamnya, dan selama dia tidak berhadats di dalamnya.”

Hadits-hadits ini menyatakan bahwa menunggu shalat itu dipandang sebagai shalat juga.

Menunggu shalat itu dipandang sebagai shalat, artinya menunggu shalat dipandang sebagai shalat dilihat dari sisi hukumnya, bukan dari sisi faktanya. Sehingga shalat yang dilaksanakan itulah yang dipandang shalat dari sisi faktanya. Sedangkan menunggu shalat dipandang shalat dari sisi hukumnya sehingga keduanya merupakan kondisi yang satu dalam sifatnya.
Lalu datang beberapa hadits yang tidak membatalkan wudhu, yang menyamakan antara shalat dari sisi hukumnya dan shalat dari sisi faktanya. Hadits-hadits tersebut menjadikan keduanya sebagai sesuatu yang satu, yakni dari sisi bahwa tidur dalam kedua hal itu tidak membatalkan wudhu.
Dengan demikian, hadits-hadits ini telah mengecualikan tidur dalam kondisi shalat sebagai sesuatu yang tidak membatalkan wudhu.
Sedangkan tidur yang lain, secara umum dan mutlak membatalkan wudhu. Karena itu, tidak ragu lagi bahwa tidur membatalkan wudhu. Dan dikecualikan dari hal itu adalah tidur dalam kondisi shalat. Inilah hukum yang rajih yang bisa didapatkan dari hadits-hadits di atas.

Di sini kami ingin memberi sedikit catatan, bahwa tidur yang membatalkan wudhu itu adalah sesuatu yang bisa disebut sebagai tidur. Jadi, kalau tidur mengantuk (kepala terangguk-angguk, sekali atau dua kali dalam posisi duduk), maka syara telah memaafkan hal itu, dan tidak menjadikannya sebagai sesuatu yang membatalkan wudhu, dan memang ini bukan termasuk tidur, selain memang bahwa syara memaafkan sesuatu yang sedikit dan ringan.
Persis seperti darah yang membatalkan wudhu, itu akan dimaafkan kalau ringan dan sedikit, sehingga (darah yang sedikit) tidak terkategorikan sebagai darah yang membatalkan wudhu. Syara memaafkan segala sesuatu dan segala perbuatan yang sedikit dan ringan. Najis yang sedikit itu dimaafkan, darah yang sedikit keluar dari badan dimaafkan, sehingga tidur pun termasuk dalam kaidah ini, di mana jika tidur itu hanya sedikit atau ringan maka ia dimaafkan.
Pengertian seperti ini telah diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Ibnu Abbas bahwasanya dia berkata:

“Wudhu itu wajib atas setiap orang yang tidur, kecuali orang yang terangguk-angguk kepalanya karena mengantuk.”

Al-Khafqah itu artinya adalah mengantuk.

Tidur mengantuk seperti itu tidak membatalkan wudhu.

Sekarang kita akan mengkaji delapan pendapat di atas. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidur itu tidak membatalkan wudhu -bagaimanapun kondisinya- dengan alasan dilalah hadits Anas. Telah jelas sebelumnya bahwa hadits ini dengan tiga lafadznya itu tidak memberi pengertian seperti yang mereka pahami, melainkan memberi pengertian bahwa tidur dalam kondisi shalat tidaklah membatalkan wudhu. Kekeliruan tersebut muncul karena orang yang melontarkan pendapat ini telah menggeneralisir dan memutlakkan hadits Anas.
Pendapat kedua tidak mengecualikan kondisi shalat dan menunggu shalat.
Pendapat ketiga juga tidak mengecualikan kondisi shalat dan menunggu shalat. Kekeliruan tersebut bisa diminimalisir seandainya mereka memperhatikan tidur yang ringan atau sedikit, sebagaimana yang kami jelaskan di atas.
Adapun pendapat keempat jelas keliru, mengecualikan tidur yang dilakukan dalam salah satu posisi shalat, padahal di luar shalat sebagai sesuatu yang tidak membatalkan wudhu jelas keliru. Kekeliruan mereka berasal dari penggunaan hadits dhaif sebagai dalil, dan menggeneralisir sesuatu yang terjadi dalam shalat pada sesuatu di luar shalat.
Pendapat kelima juga keliru. Mereka mengatakan bahwa orang yang ruku dan sujud berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan keluarnya angin. Ini jelas pengambilan kesimpulan yang rusak, satu nash pun tidak mendukung pendapat mereka.
Tentang pendapat keenam jelas keliru dengan alasan seperti yang kami kemukakan untuk membantah pendapat kelima.
Pendapat ketujuh -dari sisi pengungkapannya- adalah pendapat yang benar. Saya harap mereka menetapkan bahwa tidur menunggu shalat itu tidak membatalkan wudhu, walaupun pendapat ini benar dari sisi pengungkapannya -sebagaimana yang kami katakan- tetapi sayangnya dalil yang mereka gunakan adalah hadits yang sangat dhaif yang diriwayatkan ad-Dailami dan Ibnu Asakir dari jalur Anas:

“Ketika seorang hamba tidur dalam sujudnya, Allah Swt. membanggakannya di hadapan malaikat, seraya berkata: Lihatlah oleh kalian hamba-Ku ini, ruhnya di sisi-Ku, sedangkan jasadnya berada dalam ketaatan pada-Ku.”
Hadits ini sangat dhaif.

Sedangkan pendapat kedelapan, saya melihatnya sebagai pendapat yang keliru. Mereka mengambil kesimpulan dari hadits Ali, Muawiyah dan Anas, padahal hadits Muawiyah ini dhaif sehingga tidak layak digunakan sebagai hujjah, dan hadits Anas juga sama, tidak bisa dijadikan sandaran penopang pendapat mereka. Mereka berargumentasi dengan lafadz pertama hadits Anas:

“Hingga kepala mereka terangguk-angguk, kemudian mereka shalat.”

Mereka memahami dari hadits ini bahwa tidur seperti itu adalah tidur orang yang duduk, tetapi sayang mereka tidak memperhatikan lafadz ketiga:

“Mereka membaringkan tubuh mereka.”

Ini merupakan nash yang jelas menerangkan bahwa mereka tidak tidur dalam keadaan duduk. Karena itu saya katakan, mereka terlalu memaksakan diri memberi penakwilan seperti itu.

Agar Anda bisa merasakan sejauh mana kebingungan yang mereka alami ketika beristidlal (mengambil kesimpulan), maka saya sampaikan kepada pembaca sekalian satu paragraf yang bisa ditemukan dalam kitab Dzail Sunan ad-Daruquthni karya Abu at-Thayyib Abadiy: [Lafadz hadits yang ditakhrij at-Tirmidzi dari jalur Syu'bah:

“Sungguh aku melihat para sahabat Rasulullah Saw. dibangunkan untuk shalat hingga aku benar-benar mendengar dengkuran salah seorang dari mereka. Kemudian mereka bangun, lalu shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu.”

Ibnul al-Mubarak berkata: Menurut kami, para sahabat tersebut tidur dalam keadaan duduk.
Al-Baihaqi berkata: seperti itu juga hadits ini dipahami oleh Abdurrahman bin Mahdi dan as-Syafi’i.
Ibnu al-Qathan berkata: Hadits ini bersesuaian dengan riwayat Muslim, mengandung kemungkinan bahwa para sahabat tersebut tidur dalam keadaan duduk.
Seperti inilah pendapat yang dipegang oleh orang-orang, tetapi ada tambahan riwayat yang bisa mencegah lahirnya pendapat seperti itu, yakni hadits yang diriwayatkan oleh Yahya bin al-Qathan dari Syu’bah, dari Qatadah, dari Anas, dia berkata:

“Para sahabat Rasulullah Saw. menunggu shalat, lalu mereka membaringkan tubuhnya. Di antara mereka ada yang tidur, kemudian dia berdiri untuk shalat.”

Ibnu Daqiq al-Id berkata: Tidur mereka tersebut dipahami sebagai tidur yang ringan. Tetapi sayang pendapat al-Ied ini bertentangan dengan riwayat Tirmidzi yang menyebutkan adanya dengkuran dari salah seorang dari sahabat yang tidur.]

Kebingungan itu nampak jelas, setiap kali mereka terikat dengan satu sisi maka terlepaslah sisi yang lain, sehingga hadits ini tidak cukup membantu mereka. Adapun hadits Ali:

“Mata itu tali pengikat dubur. Barangsiapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu.”

Berdasarkan hadits tersebut, mereka berpendapat bahwa tidur itu bukan hadats itu sendiri, keluar angin saat tidur itulah yang menjadi hadatsnya. Dari situ pula mereka menyatakan bahwa orang yang tidur dalam keadaan duduk tidak akan mengeluarkan angin, sehingga wudhunya tidak dianggap batal. Artinya, berdasarkan hadits ini mereka menyimpulkan ‘illat batalnya wudhu saat tidur itu adalah keluarnya angin. Maka kami katakan:

Pertama: hadits Anas telah membantah pemahaman mereka terhadap hadits ini, karena dalam hadits tersebut jelas disebutkan bahwa para sahabat tidur dalam keadaan berbaring, tetapi mereka tidak berwudhu.

Kedua: hadits mata itu tali pengikat dubur tidak layak untuk dijadikan sebagai dalil penetapan bahwa ‘illat batalnya wudhu saat tidur itu karena keluarnya angin, karena lafadz haditsnya tidak memberi pengertian kausal (penetapan sebab).

Ketiga: syara telah menetapkan tidur sebagai faktor yang membatalkan wudhu, persis dengan keluarnya angin, yang juga menjadi faktor yang membatalkan wudhu. Karena itu syara menetapkan keduanya (tidur dan keluarnya angin-pen.) itu sebagai faktor yang membatalkan wudhu. Syara tidak menjadikan salah satunya sebagai ‘illat (sebab) untuk pembatal wudhu yang lain, karena hal seperti itu sama saja dengan mengharuskan pembatal wudhu itu hanya satu saja, seraya mengabaikan yang lain. Pengabaian ini sama dengan nasakh (penghapusan), padahal tidak ada seorang Muslim pun yang berhak melakukan penasakhan selain Rasulullah Saw. Dan faktanya tidak ada riwayat beliau Saw. yang mengabaikan, membatalkan, atau menasakh tidur itu sebagai faktor yang membatalkan wudhu.
Pernyataan bahwa tidur menjadi pembatal wudhu disebabkan keluarnya angin saat tidur, dan ketika keluar angin ini bisa dicegah dengan cara tidur dalam keadaan duduk maka hilanglah hukum tidur sebagai pembatal wudhu. Maka pernyataan seperti ini tidak benar berdasarkan paparan yang telah kami jelaskan sebelumnya, karena di dalam syara justru banyak ditemukan nash-nash yang menetapkan tidur itu membatalkan wudhu, dan nash tersebut tidak dinasakh.
Bahkan bagian terakhir hadits mereka itu telah membantah cara mereka memahami bagian awalnya. Hadits tersebut menyatakan:

“Mata itu tali pengikat dubur. Barangsiapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu.”

Bagian akhir hadits tersebut menyatakan:

“Barangsiapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu.”

Kalimat tersebut tidak membatasi (taqyid), mengkhususkan (takhsis), ataupun merinci (tafshil), tidur dalam keadaan duduk jelas dicakup oleh nash tersebut. Seharusnya yang justru dikatakan adalah keluar angin itu besar kemungkinan terjadi pada orang yang tidur, sehingga keluar angin tidak layak menjadi ‘illat.

Inilah pendapat para ulama dan para imam beserta dalil-dalilnya. Mereka gagal mengkompromikan dan menyatukan semua dalil tersebut kecuali dengan penakwilan yang terlalu dipaksakan. Nampak jelas di hadapan pembaca sekalian bahwa hadits-hadits ini tidak bisa disatukan kecuali dengan pemahaman atau pendapat yang telah kami nyatakan, yakni bahwa tidur dalam shalat yang fi'liyah (shalat sebagai fakta riilnya) dan shalat yang hukmiyah (shalat dari sisi hukumnya) adalah tidak membatalkan wudhu, sedangkan tidur dalam selain kedua kondisi tersebut adalah membatalkan wudhu.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam